NovelToon NovelToon

Runtuh

Lagi-Lagi Murid Baru

Hari ini adalah hari pertama Oliva

menjadi murid baru di SMA Pelita. Sebelumnya ia pernah bersekolah di SMA Jaya.

Ia tidak suka dirinya harus terus-menerus berpindah sekolah mengikuti kemana

pun ayahnya berkerja. Ia sedikit mengalami kesusahan dalam beradaptasi.

                Oliva berjalan

disepanjang koridor sekolah. Didepan nya ada lelaki paruh baya, yang merupakan

kepala sekolahnya yang baru. Kemudian kedua kaki nya terhenti didepan pintu

kayu jati, ada papan kecil yang digantung. Papan tersebut bertuliskan "IPS

III" tidak terlalu buruk, pikirnya.

                "Selamat pagi

semua. Kalian kedatangan teman baru, hari ini. Bu Iva, saya serahkan kepada

anda," ujar Pak Kepala Sekolah kepada murid-murid, lalu beralih kepada

guru yang berpenampilan rapi dan menarik tersebut. Kalau dilihat-lihat, usia

guru yang bernama Bu Iva tersebut sekitar 23 tahun. Oliva tersenyum kepada pak

sekolah sebelum lelaki itu pergi meninggalkan kelas. Lalu Oliva juga tersenyum

sopan kepada Bu Iva. Wanita itu membalas senyum nya lebih manis.

  "Perkenalkan dirimu," perintah Bu Iva diangguki oleh Oliva.

 " Nama saya Oliva Zays, sebelumnya

bersekolah di SMA Pelita," seluruh murid bertepuk tangan. Memangnya ia

sedang menyanyi?

 "Sudah?" tanya Bu Iva. Oliva

tersenyum. Seorang anak laki-laki mengacungkan tangannya. Anak tersebut

memiliki wajah yang keras, namun rambutnya tampak seperti anak usia 10 tahun.

  "Ya, kenapa Jo?" tanya Bu Iva ramah.

                 "Nomor wa nya dong, Bu," semua

bersorak. Oliva hanya memberi senyuman pada anak tersebut. Ia sudah biasa

mendapatkan pertanyaan seperti itu. Bu Iva geleng-geleng kepala. Lalu menyuruh

Oliva untuk duduk di bangku yang masih kosong. Bangku tersebut berada di sudut paling

belakang. Kedua nya sama-sama kosong. tetapi Oliva melihat tanda-tanda adanya

orang dibangku sebelahnya. Mungkin saja teman sebangku nya sedang ke WC. Semoga

ia mendapatkan teman sebangku yang menyenangkan. Semoga.

                Selanjutnya, Bu Iva

kembali melanjutkan pelajaran nya yaitu, sejarah. Oh ya, Oliva sangat menyukai

sejarah. Tetapi mama nya selalu menginginkan Oliva mendapatkan nilai tinggi di

pelajaran kimia dan matematika. Oliva benar-benar tidak bisa menyanggupi

permintaan mamanya.

                45 menit telah berlalu

dengan penjelasan perang dunia kedua. Kini bel terdengar sebanyak tiga kali.

Pertanda waktu istirahat.

  "Teman sebangku Lo, hobi kabur. Sabar, ya," ujar seorang anak

perempuan berambut panjang dan bergelombang. Memiliki postur tubuh langsing dan

tinggi dan satu lagi, kulitnya memiliki warna secerah idol Korea. Apakah SMA

Pelita menerima siswa idol?, tanya Oliva dalam hati.

                Oliva tersenyum.

Perempuan itu kini mengajak nya pergi ke kantin. Ia tidak menolak. Sesampainya

di kantin, ia diperkenalkan kepada teman-teman perempuan tersebut. Ternyata,

teman-teman perempuan tersebut tak kalah cantik. Ia jadi minder tiba-tiba. Ia

tidak pendek, ia juga tidak gemuk, akan tetapi parasnya tentu tidak secantik

perempuan-perempuan di hadapannya kini.

                "SMA Jaya di

Batam, ya?" tanya perempuan berambut pendek sambil menyeruput jus jeruk

miliknya. Oliva tersenyum dan mengangguk. Tahu darimana perempuan itu? Ia jelas

tidak sekelas dengan perempuan itu. Ia hanya sekelas dengan teman nya perempuan

itu, yang menurut Oliva sangat cocok untuk menjadi idol.

                "Nggak perlu bingung,

gue tau darimana. semua sekolah sudah tahu dan sedang membincangkan nya,"

jelas perempuan tersebut tersenyum. Oliva sedikit kaget. Semua?? Yang benar

saja.

   "Eh BTW kita belum kenalan, lho" Oliva mengangguk, "oh

iya ya,"

  "Nama gue Mira," ujar perempuan yang mirip idol itu

memperkenalkan diri. Tuh, kan. namanya saja seperti nama idol. Kami saling

berjabat tangan. Selanjutnya perempuan berambut pendek tadi memperkenalkan

diri,

“nama gue Vera” Oliva ber-oh ria.

    "Rose"

     "Dita"

 Tidak lama setelah itu, seorang wanita paruh

baya, mendatangi mereka dengan membawa mangkuk-mangkuk yang berisi mie ayam. Mereka

mengambil pesanan masing-masing dan mulai menyantap nya.

                 Mira menyenggol lengan rose dan memberikan

isyarat untuk melihat ke seberang. Tetapi yang melihat tidak hanya Rose, semua

ikut melirik apa yang dilihat Mira. Seorang lelaki berkacamata sedang makan

dengan buku yang berada disampingnya. Lelaki tersebut pasti kutu buku, batin

Oliva.

   "Siapa itu?" tanya Oliva

   "George, kutu buku tingkat bahtera," jawab Mira dengan nada yang

penuh kebencian. Apakah laki-laki tersebut termasuk anak yang dibenci disekolah

ini? Kelihatannya tidak terlalu buruk. Tetapi ia benar-benar sedang sendirian

disana. Tanpa seorang teman.

                Seusai makan, mereka

berjalan menuju kelas masing-masing. Namun baru saja mereka sampai di luar

kantin, Mira menghentikan seorang anak perempuan yang tampak nya lebih muda

dari mereka. Anak tersebut tampak takut. Siapa Mira, disekolah ini?

                "Kelas apa,

Lo?" tidak seperti Mira yang ia duga. Dengan gugup, anak perempuan itu

menjawab, "X IPA II, kak" Mira mendorong tubuh anak tersebut sedikit

kuat. Membuat badan anak tersebut tidak seimbang. Mira mendekati anak tersebut

kembali.

                "Wajah

Lo biasa aja, nggak tinggi juga, kayak 'papan'. Alias datar. Pintar?  Mungkin.... banyak amat gaya Lo, ngambil

pacar orang!" tuding Mira tanpa basa-basi. Gadis yang tertuding hanya diam

tak bergeming. Mengucapkan kata maaf, selirih mungkin. Kini, Dita berjalan

mendekati anak tersebut. Oliva bertanya-tanya.

                "Putus sama Rio.

Secepatnya," Oliva tidak menyangka Dita yang terlihat kalem, ternyata

sangat mengerikan. Apakah ia sedang bersama gengstar sekolah? Ah, entahlah.

Setelah itu, mereka semua berjalan kembali ke kelas masing-masing, tanpa

membahas apa pun. Apakah karena ada dirinya, makanya mereka tidak membahas

kejadian tadi?

                Pelajaran selanjutnya

adalah sosiologi. Ia penasaran dengan pelajaran tersebut. Begitu dirinya berada

diambang pintu kelas, hal pertama yang ia lihat adalah, suasana yang riuh dan

bising memenuhi ruang kelas. Ini jelas sangat berbeda dengan suasana kelas IPA.

Anehnya ia sangat menyukai suasana ini. Ia berjalan ke kursinya dan

memperhatikan semua teman-teman nya. Hingga akhirnya ia dikejutkan oleh kehadiran

seorang lelaki disamping nya.

                "Anak baru?"

tanya lelaki tersebut, dan duduk di bangku kosong disebelahnya. Oliva menatap

sosok tersebut. Ia seperti pernah melihat orang tersebut. Terutama bola mata

hitam milik lelaki tersebut. Benar-benar mirip dengan seseorang.

                " Biasa aja,

lihatnya. Gue masih murid disini, kok," seperti nya yang dipahami lelaki

tersebut adalah, bahwa Oliva menatap penampilannya yang berantakan dan

acak-acakan.

                Tidak lama Oliva

menyadari sesuatu. Mereka berbincang ketika guru sosiologi sudah memasuki

kelas. Bukankah ini tidak sopan??

                 "Kamu dari mana aja, hah?!" bentak

guru sosiologi tersebut dengan tatapan yang cukup mengerikan. Dengan santai,

lelaki itu menjawab, " dari kolong meja, cari tutup pulpen, Bu," dan anehnya

guru berambut sebagian putih tersebut mempercayai nya. Ya ampun.

                    "Udah ketemu?" tanya Bu Daren.

Lelaki tersebut mengangguk sambil menunjukan tutup pulpen yang ia ambil dari

tangan Oliva. Gadis tersebut menatap nya tajam. Tidak lama kemudian, lelaki itu

mengembalikan tutup pulpen miliknya dan tersenyum.

                "Trims,

Zays," Oliva tersentak. Bagaimana bisa lelaki tersebut mengetahui namanya.

Bukan nya lelaki tadi tidak ada ketika acara perkenalan tadi? Tetapi lelaki itu

justru tertawa.

                    "Masa iya, kamu lupa sama aku, Zays.

Aku aja ingat lho," oliva kehilangan konsentrasi. Pikirannya terus

mengingat siapa sosok yang ada dihadapannya kini.

  "Hendri?" gumam Oliva pelan, ragu-ragu. Hendri menjentikkan

jarinya.

   "Seratus buat Lo," hampir saja Oliva berteriak. Kalau ia tidak

ingat bahwa dirinya sedang berada dalam pelajaran.

    "Serius?" bisik Oliva, ia tidak percaya. Hendri mengangguk.

Kemudian menunjukkan tangan kirinya. Ada jahitan disana. Kini Oliva tidak

sanggup berkata-kata. Ia pernah merindukan sosok laki-laki tersebut. Rindu

sebagai teman kecil. Sudah tiga tahun mereka berpisah.

   "Kenapa Lo, nggak bilang kalau mau sekolah disini?" tanya

Hendri.

    "Kalau gue tau, tadi pagi gue nggak perlu kabur," Oliva

menatap Hendri, dengan tatapan bertanya-tanya.

    "Gue muak sama pelajaran sosiologi. Tapi tadi gue dengar kalau ada

murid baru di kelas IPS III, namanya Oliva. Jadi gue datang deh," Oliva

tersenyum malas. Ngomong-ngomong, sejak kapan lelaki ini memiliki kebiasaan

bolos?

Serius?!

Seusai pelajaran sosiologi, olive

\```

mengeluarkan buku sketsa nya dan mulai menggoreskan pensilnya disana. Ia suka

menggambar dan gambaran nya juga tidak pernah mengecewakan. Sedangkan Hendri,

lelaki itu hanya duduk tanpa melakukan apapun. Matanya sekali-kali melihat

Oliva yang sedang menggambar.

   "Gambaran lo kayak anak SD," haruskah Oliva merasa sakit hati?

Ia menghentikan gerakannya dan menatap Hendri. Akan tetapi lelaki itu justru

tersenyum.

    "Sebuah apresiasi harusnya waktu gue bilang gambaran lu kayak anak

SD. Daripada kayak anak TK?" Hendri terkekeh. Oliva mendengus kesal. Lalu

kembali melanjutkan kegiatannya.

   "Nah untuk mu," Oliva menyerahkan kertas yang telah ia gambar

kepada laki-laki tersebut. Hendri tertawa.

                 "Lagi menggambar wajah sendiri, ya,"

ia tidak boleh terlihat kesal. Oliva hanya tersenyum. Hendri tertawa lagi.

Tangan nya menunjuk-nunjuk gambar orang utan yang baru saja digambar oleh

Oliva. Kini, suara tawa Hendri berhasil membuat seisi kelas menoleh ke arah

mereka berdua. Oliva merasa tidak enak. Sementara lelaki itu terlihat tidak

peduli. Namun saat ini teman-teman sekelas baru Oliva tampaknya benar-benar

merasa asing dengan tawa lelaki yang terdengar begitu lepas. Pasalnya, lelaki

itu belum pernah tertawa sebahagia itu.

                 "Terserah mau bilang apa. Yang jelas di

mata ku, itu wajah mu," setelah itu, Oliva tidak merespon apapun yang

dikatakan oleh Hendri. Oliva menangkap sepasang mata yang terlihat tidak

bersahabat. Sepasang mata tersebut milik Mira. Semoga saja, tidak.

                 Sepulang sekolah, Oliva didatangi Mira. Wajah

mirip idol itu, kini terlihat datar. Tidak seperti waktu istirahat tadi.

Akankah ia diperlakukan seperti adik kelas tadi? Oh, tuhan. Tidak! Tidak akan!

                "Hei anak baru,

ceritakan siapa Hendri dihidup Lo!" tanpa pikir panjang, Oliva

menceritakan hubungan pertemanan mereka sejak sepuluh tahun yang lalu. Oliva

hanya berharap, Mira tidak memperlakukan nya seperti adik kelas tadi. Itu saja,

titik.

                "Oke gue percaya.

Tapi Lo harus ingat, jangan macam-macam sama dia kalau Lo nggak mau

diperlakukan seperti adik kelas tadi. Paham?" Mira memberi penekanan pada

setiap katanya. Oliva mengangguk. Apakah Mira menyukai Hendri? Lumayan konyol,

batin nya dan pergi menuju gerbang sekolah.

                Sesampainya

di gerbang sekolah, seseorang merangkulnya. Ia mendongak. karena orang tersebut

lebih tinggi 10 cm dari dirinya. Siapa lagi kalau bukan Hendri. Hanya itu teman

yang ia kenal baik saat ini.

                 " Pulang sama gue, yuk," ajak Hendri

sambil terus berjalan dan merangkul gadis itu tiba-tiba. Oliva melihat ke arah

sekeliling. Lagi-lagi berpuluh-puluh pasang mata menatap mereka. Oliva

melepaskan rangkulan Hendri. Lelaki itu seperti nya memahami sesuatu.

                 " Tenang gue punya mobil. tuh,"

Hendri menunjuk sebuah mobil berwarna merah yang terletak disamping ruang

tunggu sekolah. Merasa tidak enak untuk menolak, Oliva menerima ajakan Hendri.

Lagi-lagi semua nya menatap mereka. Kenapa? Apa ia melakukan kesalahan?

Menerima tawaran, bukan sebuah kesalahan, kan?

Hendri mulai menjalankan mobilnya.

Aroma teh hijau menusuk Indra penciuman nya. Aroma tersebut merupakan ciri khas

Hendri dari dulu.

                " Kenapa?"

tanya Hendri, membuat Oliva menatapnya bingung. Pertanyaan ambigu. Hendri

menghela napas.

                   "Maksud gue, Lo nggak nyaman sama

tatapan-tatapan tadi?" Oliva mengangguk. Syukurlah, kalau Hendri memahami

situasinya. Hendri terkekeh.

  " Biasa, netizen julid emang kayak gitu,"

  "Maksud nya?"

  "Lihat aja nanti," keduanya diam. Oliva dengan senang hati

menghirup aroma teh hijau yang menyegarkan tersebut. Hendri yang melihat

kelakuan Oliva, tersenyum licik, mengambil botol parfum tersebut dan

menyemprotkan nya ke telapak tangan Oliva.

  "Woi, dasar nggak sopan!" seru Oliva, terkejut. Hendri tertawa

puas kini. Oliva mengusap-usap punggung tangannya ke rok abu-abu nya. sambil

menggerutu pelan.

  " Maaf. Eh BTW rumah Lo dimana?" Oliva menatap jalanan dan

melihat sebuah halte didepan nya.

  "Turun halte aja," Hendri menghentikan mobilnya.

  "Cepat, rumah lo dimana?"

   "Nggak dengar apa, tadi aku bilang turun dihalte aja," sahut

Oliva nggak mau kalah.

   " Zays," entah kenapa mulutnya memberikan alamat rumahnya

kepada lelaki itu, setelah lelaki itu memanggilnya dengan panggilan kecilnya.

Bodoh, gumam Oliva dalam hati.

   "Oke, terima kasih, ya," Oliva membuka pintu mobilnya dan keluar.

Hendri tersenyum, "sama-sama,"

Dijebak Masa Lalu

   Oliva segera memasuki rumahnya begitu melihat mobil Hendri yang telah

\```

menjauh. Tidak ada siapapun dirumah. Tetapi anehnya pintu tidak terkunci.

"Siapa yang mengantar mu

tadi?" suara bariton itu membuat olive tersentak dan menoleh ke arah

tangga.

"Kawan, Pa" jawab Oliva

terus berjalan menuju kamar nya yang terletak di lantai dua. Bukan kah Hendri

adalah kawannya? Ia tidak salah, kan?

 "Siapa nama temannya?" Oliva tidak

sengaja menatap mata dingin milik papanya. Tiba\-tiba ia merasa gugup.

  "Papa pikir bukan cewek, teman mu itu. Iya, kan?" Oliva

pasrah. Ia menunduk, "ya, pa,"

   "Siapa, Oliva?"

  "Hendri" benar saja, bola mata papa seketika membesar.

Rahangnya mengeras. Papa berjalan mendekati Oliva.

“Hendri Angga Wijaya anak Pak

Kepler Wijaya?!” Oliva mengangguk. Oliva benar-benar ketakutan. Apakah papa nya

belum bisa memaafkan?

   "Kenapa anak tengil itu disini?!" nada tinggi papa Oliva

membuat olive bergidik ngeri, tidak berani menatap papanya sedikitpun.

   "Emang seharusnya dimana, pa?" tanya Oliva takut-takut. Tidak

seharusnya ia bertanya dalam situasi seperti ini. Tapi ia penasaran.

  "Jauhi laki-laki itu atau kamu akan papa buat sama seperti

Almas!" titah papa, mengancam. Oliva membesarkan bola matanya. Menjauhi?

Hendri salah apa?

                Merasa tidak ingin

berbincang lebih lanjut dengan papanya, Oliva segera berjalan menuju kamar.

Mengganti seragam putih abu nya dengan baju kaos warna peach polos.   Ia heran dengan sikap papa nya. Kejadian

kakaknya, Almas merupakan kejadian yang memalukan, memang. Tetapi kejadian itu

sudah lama sekali. Sesusah itu kah papa nya melupakan? Moodnya berubah sedikit

jelek hari ini. Sudah dua orang yang menyuruh nya untuk menjauhi teman kecil

nya tersebut. Haruskah ia membenci Hendri, sama seperti semua orang membenci

Wisnu?  Terdengar pintu kamar yang

dibuka. Oliva menoleh. Ternyata mamanya. Ia tersenyum.

                "Gimana

sekolahnya?" tanya sang mama, duduk ditepi ranjang. Tepat disamping Oliva.

Oliva mengulum senyum.

  " Ya, begitu lah, Ma" jawabnya, berusaha menyembunyikan. Apakah

mama nya juga akan menyuruhnya untuk menjauhi Hendri?

  "Mama dengar, kamu bertemu Hendri, ya?" Oliva mengangguk.

Tidak ada tanda-tanda kemarahan diraut wajah milik mamanya.

                  "Terus kenapa kamu sedih? Bukannya

bahagia, ya, bertemu teman lama?" Oliva diam. Ia bingung harus menjelaskan

nya bagaimana. Mama mengelus pucuk kepala Oliva. Tidak lupa menyertakan

senyuman manisnya yang sangat meneduhkan. Wajar saja, jika papanya yang super

anti cinta itu, mengejar-ngejar mamanya. Mama nya unik. Walaupun terkadang ia

sedikit kesal, saat menyadari mama nya lebih mencintai Amas daripada dirinya.

                "Oliva,

kamu dan Amas berbeda. Begitu pula dengan Wisnu dan Hendri. Kamu hanya perlu

jaga diri saja, oke," moodnya berganti menjadi sedikit lebih baik

sekarang. Ia mencintai mamanya. Oliva tersenyum, "terima kasih, ma"

                Mama membalas senyum

nya, "Ya, mama keluar dulu, ya. Hati-hati," kini mamanya beranjak dan

pergi meninggalkan nya. Oliva tersenyum lebar dan segera mengambil novel horor

yang baru saja ia beli dua Minggu yang lalu.

\*\*\*

 

 

                Pagi

harinya, ia pergi ke sekolah diantar papanya. Ia tidak mungkin mengendari motor

atau mobil sendiri. Jalanan Kota Jakarta selalu macet. Terutama dipagi hari dan

sore hari. Setelah ia pamit dengan papanya, Oliva berjalan menuju kelas.

Suasana sekolah masih sangat sepi. Jam baru saja menunjukkan pukul enam lewat

lima belas.

                Baru saja ia tiba

diambang pintu kelas, ia melihat seorang gadis berdiri didepan sebuah loker.

Gadis tersebut membuka loker tersebut dan memasukkan sesuatu didalamnya. Apa

yang dilakukan gadis tersebut? Oliva harus menjauh terlebih dahulu. Agar gadis

tersebut tidak merasa malu karena telah tertangkap basah. Setelah gadis

tersebut pergi, Oliva segera menuju loker yang didatangi gadis tadi. Betapa

terkejutnya ia saat melihat nama Hendri terpampang di depan pintu loker

tersebut. Itu artinya, loker tersebut milik Hendri, bukan?

                Ia sangat terkejut

saat membuka loker lelaki tersebut dan melihat ada banyak kado yang berbentuk

indah dan unik didalamnya. Sebanyak itu kah fans wanita nya? Bagaimana seluruh

siswa sekolah memandang Hendri. Karena bagi Oliva, Hendri tidak lebih baik dari

sikap lelaki seharusnya. Tetapi kalau soal fisik, bisa jadi Hendri pemenangnya.

Ia akui lelaki itu tampan. Tetapi karena ia sering melihat lelaki itu menangis

hanya karena masalah kecil, Ia suka illfeel sendiri.

                 "Ngapain?" Oliva spontan menoleh

kebelakang. Ternyata si pemilik loker telah datang.

                " Banyak amat, fans mu." Hendri

tersenyum miring.

                " Lo juga?"

Oliva mengernyitkan dahi. Lalu memberikan ekspresi jijik. Hendri tertawa.

               "Jadi ngapain

didepan loker gue?" Oliva mengambil sebungkus cokelat.

               "Boleh, ya"

                "Kalau mau, ambil

aja semuanya. That's not interest," Oliva melongo. Apa? Tidak menarik?

Oliva tersenyum licik.

                " Nggak usah

senyum kayak gitu. Dah paham gua." Oliva terkekeh, dan segera mengambil

apapun yang ia inginkan tanpa basa-basi. Ia juga baru menyadari sesuatu.

Bukannya Jakarta memakai lo-gue? Ah, ia belum terbiasa.

                "Makasih,

Hen," Hendri hanya bergumam sebagai jawaban nya. Namun ketika Hendri

hendak berjalan keluar kelas, Oliva memanggilnya. Hendri menoleh.

                 "Aku belum terbiasa pakai lo-gue,"

Hendri terbahak-bahak. Tidak ada yang lucu, bukan? Ia memegang kedua pipinya.

Apakah ia salah ekspresi? Tidak.

                "Oke, mulai hari

ini kalau Lo nggak ngomong lo-gue, traktir gue. Gimana?" Oliva tampak

mikir-mikir. Apakah ini pemalakan secara halus? Oliva mengangguk. Hendri

kembali berjalan keluar kelas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!