Vianne Collins, seorang wanita yang mendapat kesempatan menjadi seorang dokter, dan bekerja di salah satu perusahaan ternama milik Tuan George Orlando, kini telah berkutat dengan pekerjaannya.
Ia sangat berterima kasih dengan apa yang telah dilakukan oleh Tuan Orlando untuk hidupnya. Jika diingat kembali, kehidupannya sangatlah buruk dan kelam. Memiliki seorang ayah yang hobi berjudi, membuat ia dijual kepada seorang gigolo di usia 16 tahun.
Untung saja ia bisa melarikan diri saar transaksi itu terjadi. Pertemuannya dengan Tuan Orlando, membuat dirinya merasa memiliki seorang ayah yang baik, yang tak pernah ia rasakan.
Ia disekolahkan hingga jenjang yang sangat tinggi, hingga menjadi seorang dokter spesialis bedah syaraf. Namun, ia mendedikasikan hidupnya di Perusahaan Orlando untuk membantu Tuan Orlando mengembangkan misi kemanusiaannya dalam memperbanyak jumlah rumah sakit serta kualitas dokter di dalamnya.
Pertemuannya dengan seorang Zayn Richard atau lebih dikenal dengan nama Zero, membuat sedikit perubahan dalam dirinya. Ia mencoba untuk dekat dengan seorang pria selain Tuan Orlando dan Wesley. Ia tak trauma dengan memiliki ayah seorang penjudi dan pemabuk, hanya saja ia tak terlalu berpikir tentang sebuah hubungan apalagi pernikahan.
*****
"Halo," sapa Zero.
"Apa aku mengganggumu?"
"Tidak. Aku hanya akan pergi ke kantor polisi. Ada hal yang harus kuselesaikan."
"Aku sudah tahu apa yang terjadi. Aku harap semuanya segera selesai dengan baik."
"Terima kasih, Anne. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu."
"Katakanlah."
"Aku rasa hubungan kita tak akan berhasil, sebaiknya kita hentikan saja sampai di sini," ucap Zero. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh wanita di seberang telepon, tapi ia yakin wanita itu pasti akan sangat terluka.
"Menurutmu begitu?"
"Ya, aku sudah mencoba dan kurasa aku tak bisa mencintaimu."
"Baiklah, tidak masalah untukku. Semoga kamu berbahagia, Ze."
Setelah menerima panggilan dari Zero, Vianne tersenyum tipis dan menghela nafasnya pelan. Sejak berkenalan dengan Zero, ia tahu bahwa Zero bukanlah pria yang mudah didekati. Ketika pria itu mendekatinya dan mengatakan ingin menjalin hubungan dengannya, ia menerimanya tanpa punya harapan berlebih.
Flashback On
"Dokter Anne, Tuan Orlando memintaku datang ke sini untuk meminta laporan tentang kinerja setiap rumah sakit dan target lokasi rumah sakit selanjutnya yang bisa anda rekomendasikan," ucap Zero.
"Tunggu sebentar, aku sudah membuatnya kemarin. Tinggal di-print saja. Duduklah dulu," ucap Dokter Anne sambil berdiri di depan laptop miliknya.
Zero memperhatikan wanita yang selalu terlihat serius itu. Sedikit banyak ia melihat bahwa Dokter Anne memiliki kemiripan dalam sikap seperti Alexa.
"Ini laporannya," ucap Dokter Vianne sambil memberikan beberapa lembar kertas yang sudah disisipkan ke dalam map pada Zero.
"Dokter Vianne, maukah anda menjadi kekasihku?" tanya Zero secara tiba tiba.
Vianne menautkan kedua alisnya seakan salah mendengar dengan apa yang dikatakan oleh Zero.
"Aku serius denganmu," ucap Zero sekali lagi.
Di dalam hati Vianne, masih tersimpan keraguan akan niat dari Zero, pasalnya mereka baru bertemu beberapa kali dan sikap pria di hadapannya selalu dingin. Bagaimana bisa tiba tiba ia ingin memulai sebuah hubungan.
"Aku akan menjemputmu nanti malam. Kita akan makan malam bersama," ucap Zero dan langsung pergi dari ruangan Vianne tanpa Vianne bisa menjawab apa ia mau atau tidak.
Malam harinya, Vianne yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya, turun ke bawah. Ia melihat Zero telah menunggunya di lobby. Pria itu tak menghubunginya untuk mengatakan bahwa ia sudah sampai dan lebih memilih untuk menunggu.
"Kita berangkat sekarang," ucap Zero.
"Katakan saja di mana kita akan makan malam. Aku akan ke sana dengan mobilku," ucap Vianne.
"Ikutlah denganku. Nanti aku akan mengantarkanmu lagi ke sini untuk mengambil mobilmu."
Tak banyak bicara atau berdebat, Vianne pun mengikuti langkah Zero. Inilah yang disukai Zero dari Vianne, tak terlalu banyak berdebat, apalagi itu tak terlalu penting.
Keduanya naik ke dalam mobil yang digunakan oleh Zeri selama berada di London. Mereka mengarah ke sebuah restoran mewah yang sengaja dipilih Zero untuk membuka hubungannya dengan Vianne.
Setelah memesan makanan, keduanya pun menyantap makan malam mereka tanpa ada obrolan apapun. Vianne melihat ke arah Zero yang wajahnya tetap terlihat datar, tanpa ekspresi.
"Apa jawabanmu?"
"Kita baru kenal, kurasa hubungan seperti ini terlalu cepat," jawab Vianne.
"Aku tak suka berbelit belit. Kita jalani saja hubungan ini, siapa tahu kita cocok," ucap Zero.
"Baiklah," jawab Vianne singkat.
Flashback Off
Sejak saat itu, keduanya sering berkomunikasi meskipun hanya melalui ponsel. Vianne hanya bertemu dengan Zero jika Axton mengirimnya untuk bertemu dengan Tuan Orlando. Vianne tak seperti kebanyakan wanita yang selalu merongrongnya untuk bertemu dan meminta perhatian.
Setelah percakapannya dengan Vianne barusan, Zero merasa aneh. Ia tak suka jika Vianne tak bertanya padanya mengapa hubungan mereka harus putus. Bahkan tak ada perdebatan yang biasa sering dilakukan oleh para wanita.
Ia pun menghela nafasnya sedikit kasar, kemudian menjalankan mobilnya menuju ke kantor polisi untuk menyelesaikan masalah penembakan di acara pernikahan Tuan Axton.
*****
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Zero pada One setelah ia mengurus masalah di kantor polisi.
"Aku tidak apa apa," jawab One.
Zero terlihat duduk di sofa dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia memegang dahinya seakan sedang berpikir masalah yang sangat berat. One menyadari hal itu.
"Apa ada masalah, Kak?" tanya One.
"Tak ada, aku hanya sedikit lelah," jawab Zero.
Namun, bukan One jika tak menaruh curiga ditambah lagi dengan rasa penasaran yang sangat besar. Ia menekan layar ponselnya dan mencoba menghubungi Seven.
One kembali melihat ke arah Zero yang masih terdiam sambil sesekali menatap ke arah ponselnya.
Jangan jangan dia sedang menunggu telepon dari kekasihnya. - batin One.
🧡 🧡 🧡
Keesokan harinya, Zero berangkat ke Perusahaan Williams. Hari ini ia akan menemani Alexa yang akan menggantikan Axton untuk sementara waktu. Axton akan pergi berbulan madu setelah ia menemui dokter kandungan.
"Al, kamu sudah sampai?" tanya Zero.
"Ya," Alexa meletakkan tas nya di atas meja dan duduk di sofa, "Apa pekerjaan Kak Axton banyak?"
"Tidak, sudah ada beberapa yang kuselesaikan," jawab Zero.
"Oya, di mana Tuan Michael? Biasanya ia selalu mengikuti ke mana pun kamu pergi," tanya Zero.
"Ia menemani anak anak. Kasihan Dad dan Mom kalau harus menjaga anak anak itu berduaan saja," jawab Alexa.
"Aku akan meminta One menemani mereka, agar Tuan Azka tidak kelelahan."
"Terima kasih, Ze."
Zero tersenyum, kemudian bangkit sambil membawa beberapa berkas dan meletakkannya di atas meja, persis di depan Alexa.
"Ini beberapa laporan yang harus kamu tanda tangani. Aku sudah memeriksanya untuk memudahkanmu," ucap Zero.
"Wow, kamu membuat semuanya terlihat sangat mudah," ucap Alexa sambil tertawa.
Alexa pun membuka map tersebut dan membaca laporan sebelum menandatanganinya. Saat melakukan itu, wajah Alexa terlihat sangat serius dan Zero sangat suka memandanginya.
Ponsel Zero tiba tiba berbunyi dan tertera nama Seven di sana. Ia mendapatkan laporan mengenai proyek yang mereka lakukan di Pulau Bali bersama Tuan Orlando. Setelah selesai berbicara, Zero melihat sebuah gambar pesan yang sepertinya terlewat ia baca. Ia melihat jam di sudah hampir makan siang. Ia yakin bahwa pesan itu pasti dikirimkan oleh Vianne. Tanpa membukanya, ia memasukkannya kembali ke dalam saku.
Aku yakin ia pasti akan mengirimiku pesan dan bertanya mengapa tiba tiba aku memutuskannya. Ia membuatku resah beberapa hari kemarin karena dengan mudahnya ia mengiyakan semuanya. Sekarang biarkan saja ia yang resah menunggu jawabanku. - batin Zero.
Tapi belum sempat ia memasukkan ponselnya, ia teringat akan perkataan Alexa bahwa Tuan Azka menjaga keempat cucunya. Jadi ia pun menghubungi One.
"Iya, Kak."
"One, kamu ke rumah Tuan Azka dan bantu semua hal yang mereka butuhkan di sana."
"Aku sudah berada di sini. Tuan Axton sudah menghubungiku."
"Baiklah kalau begitu."
Zero memutus sambungan ponselnya dan kembali membantu Alexa memeriksa beberapa berkas. Sudah lama sekali ia tak pernah berduaan dengan Alexa.
"Kamu tak ingin menikah, Ze? Kakakku saja sudah menemukan tambatan hatinya," tanya Alexa.
"Aku lebih suka seperti ini. Aku belum menemukan wanita yang cocok untukku," jawab Zero.
Kalau saja aku lebih berani, mungkin aku bisa memilikimu dan menjadikanmu istriku. - batin Zero dan menghela nafasnya pelan.
Selang 10 menit, pintu ruangan terbuka dan tampak sosok Michael telah berdiri di ambang pintu.
"Sayang, kamu datang," Alexa langsung berdiri dan menghampiri suaminya itu.
"Aku membawakanmu makan siang," ucap Michael sambil memperlihatkan makan siang yang ia beli dari restoran favorit Alexa.
Sementara Zero, ia merutuki dirinya sendiri yang tidak mengajak Alexa untuk makan siang. Ia malah membuat Alexa terus bekerja karena keinginannya untuk tetap berduaan.
"Aku keluar dulu untuk makan siang kalau begitu. Aku tinggal dulu. Nanti aku akan kembali," ucap Zero.
"Kamu tak ingin makan bersama kami?" tanya Michael, "Aku membeli banyak."
"Tidak, terima kasih. Aku harus menghubungi Seven dulu," ucap Zero. Ia tak ingin berada di dalam ruangan dan melihat keromantisan Michael dan Alexa. Ia pasti akan sakit hati melihatnya.
Zero keluar dan menuju cafe yang berada di dekat Perusahaan Williams. Ia masuk ke dalam dan memesan makanan. Sembari menunggu, ia membuka ponselnya untuk memeriksa pesan yang tadi tak ia buka, yang ia yakini berasal dari Vianne.
Namun, ternyata pesan tersebut hanya berasal dari asisten pribadi rekan bisnis Axton, yang menginginkan perubahan jadwal meeting. Zero merasa sedikit kecewa karena pesan tersebut bukan berasal dari Vianne.
"Apa kamu tak ingin tahu dengan lebih jelas mengapa aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita? Mengapa kamu tidak bertanya secara detail?" gumam Zero.
Zero meletakkan ponselnya di atas meja ketika pesanan makanannya datang. Ia menyantap makan siangnya sambil memperhatikan orang yang lalu lalang di trotoar.
Pikiran Zero menerawang, seperti banyak hal yang sedang ia pikirkan. Ia mendessah kasar dan merasa makanan di hadapannya tak terasa nikmat sama sekali.
*****
Tak berbeda jauh dengan Zero, Vianne juga merasa tak fokus dengan apa yang ia kerjakan. Ia mengambil ponsel dan ingin menanyakan apakah pria itu sudah makan siang. Namun, dengan cepat Vianne tersadar dan langsung menghapus pesan yang sudah ia ketik itu.
Ia langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas dan kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Sepertinya ia perlu suasana baru serta lebih banyak kesibukan, agar tak lagi memikirkan Zero.
"Vi, bisakah kamu pergi ke Paris untuk memeriksa rumah sakit Orlando di sana?" tanya Wesley.
"Tentu saja. Kapan aku harus ke sana?" tanya Vianne. Ia berpikir bahwa inilah saatnya ia untuk melupakan semuanya dan kembali menata hidupnya. Beberapa bulan berhubungan dengan Zero, terasa begitu mengubah kebiasaannya.
"Nanti malam."
"Baiklah. Kalau begitu aku pulang sekarang untuk mempersiapkan keberangkatanku," ucap Vianne.
"Hmm ... Pulanglah. Tiketmu akan kukirimkan via email."
"Baiklah, Wes. Aku pulang dulu."
"Hati hati. Kabari aku saat kamu sudah sampai di Paris nanti," ucap Wesley.
"Pasti. Oya, kapan Uncle akan ke London lagi?" tanya Vianne.
"Uncle akan berangkat bersama Tuan Axton dan Nyonya Jean besok."
"Sampaikan salamku untuk mereka dan katakan pada Uncle bahwa aku akan memeriksa kesehatannya sekembalinya aku dari Paris."
"Okay."
Wesley melihat kepergian Vianne dan ia pun kembali ke ruangannya. Bagi Wesley, Vianne sudah seperti adik perempuannya. Ia bertemu dengan Vianne saat Tuan Orlando memperkenalkannya ketika ia pertama kali bekerja.
Tak ada rasa iri dalam hati keduanya, terutama untuk berebut perhatian dari Tuan Orlando. Mereka berdua sangat berterima kasih pada Tuan Orlando dan memiliki tujuan hidup yang sama, yakni membahagiakan pria paruh baya yang telah menolong hidup mereka.
🧡 🧡 🧡
Vianne membereskan barang yang ia perlukan untuk pergi ke Paris.ia hampir tak pernah bepergian untuk sekedar berlibur. Semua yang ia lakukan hanyalah bekerja untuk OR Trade.
Setelah selesai, ia pun keluar dari apartemen menuju taksi online yang ia pesan. Namun, baru saja ia melangkahkan kakinya keluar, pergelangan tangannya ditarik oleh seseorang menuju taman samping, kemudian menghempaskannya dengan kasar.
"Dad," ucap Vianne menatap Ayah yang sudah lama tak ia temui. Meskipun begitu, ia masih mengenali wajah ayahnya yang tak berubah, hanya lebih tua, sebagian rambut memutih, namun dengan penampilan yang sama.
Dad Jay tertawa, "Ternyata kamu masih mengenaliku, sungguh putri yang sangat pintar. Cepat beri aku uang!"
"Aku tidak punya," Vianne tak akan memberikan uang pada ayahnya yang hanya menggunakan uang itu untuk berjudi dan mabuk mabukan.
Plakkkk
"Cepat berikan!! Kamu mau jadi anak durhaka hah?! Uangmu sudah banyak kan? Lihatlah, pakaianmu bagus, penampilanmu seperti wanita berkelas, kamu tinggal di apartemen bagus, bahkan sekarang sudah menjadi seorang dokter."
"Dad mengawasiku?" tanya Vianne.
"Tentu saja aku mengawasimu. Kamu sumber uangku. Bersyukurlah ketika aku menjualmu, hingga akhirnya kamu bisa seperti sekarang ini. Tapi tubuhmu juga tak sia sia, pasti kamu pergunakan untuk menjerat bandot tua kaya raya itu bukan?"
"Berhenti Dad! Apa Dad akan terus begini? Berubahlah."
"Cihhh!!! Berubah? Untuk apa aku berubah? Hidup itu hanya sekali dan aku menikmatinya. Jadi sekarang, cepat berikan uang padaku!"
"Tidak, Dad!"
"Kalau begitu, aku akan mendatangi bandot tua kaya raya itu dan meminta darinya. Aku yakin ia akan memberikan uang banyak padaku."
"Tidak, Dad! Jangan mengganggu Tuan Orlando. Ia sangat baik padaku. Baiklah, aku akan memberikam uang pada Dad. Tapi tolong jangan mempergunakannya untuk berjudi lagi. Gunakanlah untuk hal yang benar," Vianne membuka tas dan mengambil dompetnya.
Secepat kilat Dad Jay merebut dompet itu dan mengambil semua uang tunai yang Vianne miliki, kemudian melemparkan kembali dompet itu ke wajah putrinya.
Dad Jay mencium uang itu dan memasukkannya ke dalam saku, "Saatnya bersenang senang!"
Vianne melihat kepergian Dad Jay dengan perasaan yang campur aduk. Ia langsung bangkit, ia tak bisa merenung terlalu lama. Ini bukan saatnya. Ia harus segera berangkat ke bandara, kalau tidak ia akan ketinggalan pesawat.
Ia merapikan kembali penampilannya dan menutupi pipinya yang ia yakin sudah memerah. Tadinya ia menguncir rambutnya, namun kini ia menggerainya untuk menutupi sebelah wajahnya.
"Maaf terlalu lama menunggu," ucap Vianne dan langsung masuk ke dalam taksi. Ia tak meletakkan kopernya di bagasi karena ukurannya memang tak terlalu besar.
Taksi online itu pun meninggalkan apartemen dan pergi menuju bandara. Vianne pun turun dan masuk ke dalam karena waktu untuk check in sudah dimulai.
Dengan rambut yang tergerai, membuat penampilan Vianne begitu menarik perhatian. Banyak pria yang melihat dan menatap lama ke arahnya. Ia pun langsung menjauh dan mencari tempat yang lebih sepi.
Vianne kini duduk di area tunggu sebelum naik ke dalam pesawat. Ia membuka ponselnya dan mengabari Wesley bahwa ia sudah berada di bandara.
"Vi?" panggil seseorang.
Vianne menoleh ke asal suara dan mendapati teman sekolahnya dulu.
"Samantha?"
"Ihhh kamu masih mengenaliku."
"Tentu saja aku mengenalimu. Kamu selalu cantik dan masih imut seperti dulu," ucap Vianne.
"Ahh kamu selalu saja memujiku, Vi. Aku jadi malu," ucap Samantha sambil menutup mulutnya.
"Kamu akan ke Paris juga?" tanya Vianne.
"Ya, aku akan melakukan pemotretan di sana," jawan Samantha.
"Kamu seorang model?"
Samantha menganggukkan kepalanya, "Cita citaku tercapai, Vi."
"Selamat, Tha. Dari dulu aku sudah yakin kamu pasti berhasil. Kamu punya semuanya, cantik, tinggi, seksi," puji Vianne.
"Kamu juga cantik, Vi. Oya, kamu menghilang begitu saja. Aku sampai khawatir loh."
"Ooo aku hanya keluar kota saja," jawab Vianne. Ia tak mungkin menceritakan pada Samantha apa yang terjadi pada dirinya.
"Kamu pergi sendiri?" tanya Vianne untuk mengalihkan pembicaraan.
"Tidak, aku bersama kekasihku. Kamu pasti kaget saat melihatnya," bisik Samantha.
"Baby, kamu di sini ternyata," sapa seorang pria.
"Vi, ini kekasihku, Julian Hugo," Samantha langsung mengaitkan tangannya di lengan Julian.
Vianne? - batin Julian.
"Senang berkenalan denganmu," ucap Vianne sedikit menunduk, tanpa menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.
"Kamu pasti kaget kan? Pria paling tampan di sekolah kita akhirnya menjadi kekasihku," bisik Samantha di telinga Vianne.
"Aku turut bahagia untukmu," ucap Vianne.
"Baiklah, aku duduk di sana dulu ya. Aku salah tempat, seharusnya aku di lounge First Class," ucap Samantha yang kemudian berjalan masih dengan menggandeng lengan Julian.
"Ok, Bye," Vianne kembali duduk di tempatnya. Sementara itu, Julian yang digandeng oleh Samantha, melihat ke arah belakang, di mana Vianne duduk.
*****
Zero akhirnya terbang ke Bali untuk menemui Seven di sana. Ada beberapa hal yang perlu ia lakukan, terutama untuk mengambil keputusan. Seven hanya bertugas mengawasi, namun ia belum berani mengambil keputusan.
Setelah menyelesaikan masalah di proyek, Zero kembali ke hotel. Ia akan menginap malam ini karena tubuhnya terasa sangat lelah. Namun bukan itu saja, pikirannya pun ikut lelah.
"Kamu baik baik saja, Kak?" tanya Seven yang melihat Zero yang agak gelisah.
"Aku tidak apa apa, hanya lelah saja."
Zero mengambil ponselnya dan hanya melihat notifikasi pesan dari Axton. Atasannya itu akan berangkat ke Benua Eropa untuk berbulan madu. Jadi, Zero akan menggantikannya sementara waktu untuk mengendalikan Perusahaan Williams, bersama dengan Alexa.
Tak melihat ada pesan dari Vianne selama beberapa hari ini, membuatnya merasa sedikit kesepian. Biasanya ada yang memperhatikannya di pagi, siang, dan malam hari, tapi beberapa hari ini ia merasa sepi.
Seven yang melihat Zero pun mulai mempercayai apa yang dikatakan oleh One. Kakak ketuanya ini sering melamun. Ia pun kembali mengirimkan pesan pada One, ia bahkan mengambil gambar Zero secara diam diam.
"Apa yang kamu lakukan, Stev?" tanya Zero. Zero akan memanggil nama asli Seven jika mereka hanya berduaan saja, seperti saat ini mereka menginap di hotel dengan twin bed.
"Aku sedang bermain game," jawab Seven berbohong. Ia pun langsung mengganti aplikasi kameranya ke game yang ia mainkan sebelumnya.
"Aku akan kembali ke Jakarta besok, ikutlah aku karena aku memerlukanmu di perusahaan Williams."
"Bukankah ada One di sana?"
"Dia sibuk."
"Sibuk?" tanya Seven sedikit heran. Pasalnya One terus saja mengirimkan pesan aneh sejak tadi siang padanya, seperti orang yang tidak ada kerjaan.
"Ya, dia sedang menjadi babysitter untuk para cucu keluarga Williams," jawab Zero.
Seven yang mendengar itu, tak bisa menahan tawanya. Ia langsung menumpahkan tawanya dan mencoba menghubungi One.
🧡 🧡 🧡
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!