Sudah sepekan ini kepalaku berdenyut sakit. Tubuh terasa lelah karena kurang istirahat. Bagaimana aku bisa beristirahat dengan tenang jika kepalaku terus memikirkan cara untuk menebus utang? Minggu ini jatuh tempo, jika tidak bisa menebusnya tentu saja rumah peninggalan orang tuaku itu akan hilang. Ya Tuhan! Rasanya kepalaku benar-benar ingin pecah sekarang. Di mana bisa kudapatkan dengan mudah uang sebanyak itu?
Apa aku harus melacur saja? Pekerjaan itu tergolong mudah, ‘kan? Tinggal buat status di media sosial, aku yakin banyak yang mau membayar tubuhku walaupun wajah ini tergolong pas-pasan. Sebab, kurasa nafsu lelaki tidak selalu butuh kecantikan fisik, ‘kan? Gila! Ini pikiran benar-benar sudah melampaui batas. Bisa-bisa aku dikutuk menjadi batu oleh almarhum kedua orang tuaku, jika khayalan tersebut direalisasikan ke dalam dunia nyata.
Pintu kamar dibuka tanpa diketuk. Si pemilik rumah sementara tempatku menumpang melangkah masuk dengan baki di tangan. Setelah meletakkan bawaannya di atas nakas, wanita itu menarik kursi dari depan meja rias ke hadapanku. Diriku yang duduk di pinggir ranjang dengan kaki menjuntai ke lantai harus mengubah posisi jadi bersila. Pasti akan ada petuah yang dia sampaikan.
Pemilik rumah ini adalah Amanda. Aku beruntung memiliki sahabat sebaik dia dan mau menampungku untuk sementara di rumah ini. Padahal dia dan suaminya merupakan pengantin baru. Katakanlah, aku sebagai ujian kebahagiaan keduanya.
Setelah mengetahui kabar dariku jika satu-satunya tempat tinggalku telah tergadaikan, Amanda pun langsung menawarkan bantuan. Awalnya aku menolak, sebab tak ingin mengganggu kemesraan mereka. Dia dan suaminya baru dua bulan menikah. Kata orang, pengantin baru itu sedang hangat-hangatnya. Entah apa yang hangat, otakku sedang tak ingin memikirkan.
Akan tetapi, bukan Amanda namanya kalau tidak bisa merayuku. Akhirnya, dengan terpaksa diriku pun mau tinggal di rumahnya. Dua hari lalu, suami Amanda ada keperluan ke luar kota. Hal itu cukup membuatku lega karena kedua mata ini tidak harus ternoda melihat kemesraan keduanya.
“Gimana keadaan kamu?” tanya Amanda dengan tatapan lekat lalu bergerak pelan untuk mengambil cangkir di atas nampan dan memberikannya kepadaku.
Aku mengambil teh hangat itu dari tangan Amanda lalu menyeruput pelan. Rasa hangatnya sampai ke perut dengan sensasi daun mint yang menenangkan. Tanpa mengembalikan cangkir yang isinya tinggal setengah itu, kuletakkan ke atas pangkuan.
“Beginilah. Apa aku harus menjual diri saja ya, biar dapat uang cepet?” tanyaku lesu yang langsung mendapat pukulan kencang di paha.
“Suka ngaco, deh. Kamu bakalan nyesel seumur hidup kalau mengambil pekerjaan itu,” ketusnya. “Sorri, ya. Aku juga belum bisa bantu banyak. Mas Wira, ‘kan, lagi merintis cabang di Sumatera. Jadi uangnya udah dioper ke sana semua,” terangnya dengan ekspresi bersalah.
Aku tertawa pelan lalu berkata yang sedikit menghibur, “Udah mau menampung hidupku selama seminggu ini, aku sudah berterima kasih banget. Jangan dipikirin lah, entar pasti ada jalan keluarnya.”
“Aamiin. Iya pasti ada jalan keluarnya. Kamu harus bersabar aja,” sahutnya lembut.
“Iya, jalan keluarnya itu banyak. Cuma aku belum nemu pintu sama kuncinya, entah terselip di mana kedua benda itu. Kayaknya, emang mataku yang kabur, deh.” Selanjutnya, kami hanya tertawa bersama tanpa melanjutkan obrolan.
Hening. Aku benci keadaan ini. Keadaan saat di mana otakku berputar-putar mencari solusi. Sedangkan wanita di hadapanku juga sepertinya telah kehabisan kata untuk menghibur.
Amanda berdeham pelan lalu berujar, “Habis ini makan terus minum obat ya. Biar cepat sembuh, tuh, kepala. Semalam juga sampai panas, ‘kan, badan kamu. Terlalu keras mikir, sih.”
“Siap.” Aku memberi hormat dengan satu tangan.
Amanda mengambil cangkir di tanganku lalu melangkah keluar kamar meninggalkan diriku yang menatap kosong ke arahnya.
Kurang dari satu menit, Amanda berbalik dan memanggilku agar mengikuti langkahnya ke dapur. Dengan langkah lesu, aku mengikutinya tanpa membantah.
Setelah menghabiskan bubur ayam dan meneguk pil obat, lalu berpamitan kepada pemilik rumah. Aku pun kembali masuk ke kamar. Rasanya, sedang tidak berminat untuk sekadar mengobrol atau apa pun. Lebih baik tidur saja. Mungkin, setelah menghabiskan waktu untuk terlelap, saat membuka mata nanti kehidupan yang kujalani ini berubah. Tiba-tiba di sampingku ada uang ratusan juta, misalnya. ‘Kan lumayan digunakan untuk membayar utang, membayar uang kuliah yang terbengkalai, terus mernovasi rumah. Ah, senangnya. Membayangkannya saja membuatku senyam-senyum, apalagi kalau jadi kenyataan. Pasti aku jingkrak-jingkrak.
Oh, Tuhan! Tolong hamba yang lemah ini ya ... tolong kirimkan aku uang dua ratus juta untuk menebus rumah peninggalan orang tuaku.
Aku menangadah, menatap langi-langit kamar seraya mengangkat kedua tangan. Kedua mata terpejam erat dengan bibir berkomat-kamit merapal doa. Ada kesungguhan di dalam hatiku untuk setiap keinginan yang disampaikan.
Aku janji akan jadi anak baik, sering mengunjungi makam kedua orang tuaku dan segera menyelesaikan skripsi. Tolong aku ya Allah. Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aamiin.
Aku mengusap wajah dengan kedua tangan. Lantas memejamkan mata sembari membayangkan uang dua ratus juta itu di genggaman tangan. Tidak berapa lama kemudian, mataku pun terpejam lalu terlelap.
Entah berapa lama aku berada dalam dunia mimpi. Uang dua ratus juta itu berada dalam genggaman. Aku melonjak-lonjak saking senangnya. Namun tiba-tiba, kertas berwarna merah itu hilang dalam sekejap. Air mataku mengalir tak terbendung lagi. Ibarat sebuah bendungan yang jebol. Diriku meraung-raung karena kehilangan. Goncangan di tubuh diiringi panggilan membangunkan aku.
“Kamu mimpi, Ayna.” Amanda membantuku untuk duduk. Dia pun meletakkan bantal di belakang punggungku agar diriku bisa duduk dengan nyaman.
Aku masih sesunggukan. Mimpi barusan seolah nyata. Sampai-sampai aku menangis karenanya.
“Aku udah dapat uang dua ratus juta itu, Manda,” ucapku terbata. Kedua tanganku menghapus air mata secara bergantian. “Tapi, tiba-tiba uang itu lenyap tak bersisa. Padahal belum kubayarkan untuk menebus rumah,” lanjutku kemudian meraung lagi.
“Semoga dapat uangnya segera menjadi kenyataan, ya,” ujar Amanda pelan.
“Iya, tapi belum kubayarkan untuk menebus rumah uanganya malah udah hilang!” seruku seperti anak kecil. Lupakan rasa malu, aku harus meluapkan sesak di dada ini.
“Ya, mungkin, mimpi kamu belum selesai, Ayna. Bisa jadi, uangnya sudah dibayarkan tapi kamu enggak sadar,” sahut Amanda lagi. “Nanti kalau sudah dapat uangnya beneran, kamu harus cepat-cepat bayar rumah,” lanjutnya seraya mengelus lenganku.
“Iya, aku harus segera membayar. Enggak mau hilang lagi. Cukup dalam mimpi saja,” balasku setuju.
“Dah, sekarang mending kamu mandi. Biar seger. Bik Ratih udah siapin air hangat.” Aku hanya mengangguk setuju mendengar penuturan Amanda. “Setelah itu ngapain, kek, baca-baca berita di internet atau di mana, kek. Biar enggak bosan dan kamu ada kerjaan enggak ngelamun terus,” lanjutnya seperti seorang ibu yang tengah menasihati anaknya. Lagi-lagi aku hanya mengangguk, tidak berniat sedikit pun untuk membantah atau pun menyela. Rasanya tubuhku lelah semua.
Tanpa kata, aku pun turun dari ranjang lalu bergegas masuk ke kamar mandi. Berendam di bathub dengan air hangat sedikit meringankan rasa capek di raga. Setelah beberapa menit kemudian, diriku bangkit dan menyelesaikan mandi di bawah kucuran shower. Kemudian, keluar dari ruangan dingin itu dan berganti pakaian.
Amanda sudah tidak terlihat lagi di kamar. Dia seakan memang mengerti bagaimana cara mengatasi tekanan di jiwaku. Selama ini, hanya kepada Amanda-lah aku selalu terbuka dan menceritakan apa pun. Baik itu masalah keluarga sampai ke urusan ekonomi.
Usai berganti pakaian, aku memilih keluar kamar dengan membawa ponsel di tangan. Benar kata Amanda, aku butuh refreshing walau sekadar berselancar di media sosial. Selama seminggu ini diriku sengaja menutup semua akun. Alasan tidak ingin diganggu dan merasa malu kepada orang lain malah menjadi benda tajam yang menusuk diriku sendiri. Aku semakin terpuruk dalam kubangan nestapa dan tidak mendapatkan jalan keluar.
Melewati dapur tampak dua orang itu tengah sibuk membuat adonan kue. Aku menyapa sebentar sebagai bentuk kesopanan kepada si pemilik rumah. Ah, padahal sejak kapan aku terlihat sopan dan butuh berasa-basi kepada kedua orang itu?
Aku melangkah menuju teras belakang lalu duduk di kursi bercat putih. Setelah mengaktifkan ponsel barulah terlihat banyaknya panggilan yang tidak terjawab di aplikasi hijau. Panggilan banyak didominasi oleh Adelia dan Riko. Sesaat aku mengabaikan kedua orang itu, sedang tidak berniat menerima panggilan dari siapa pun. Lantas, jemariku bergerak menelusuri perpesanan. Kalau saja ada chat penting di sana. Lagi-lagi, Adelia dan Riko berada di urutan teratas.
Riko adalah pacarku. Kami telah menjalin hubungan selama lima bulan. Namun, akhir-akhir ini hubungan kami tidak cukup baik. Bagaimana bisa baik jika setiap waktu komunikasi kami hanya diisi dengan pertengkaran saja?
Aku merasa jika Riko tidak mengerti dengan kondisiku. Dia memaksaku untuk segera mengerjakan skripsi di semester ini dengan tujuan agar kami bisa lulus bersama
“Biar kita bisa foto pakai toga bersama-sama, Sayang ....” Ucapannya itu membuatku jengkel.
“Kalau hanya untuk foto bersama, kita bisa melakukannya setelah aku lulus, Rik,” balasku ketus.
Di saat Riko tengah sibuk memikirkan judul untuk skripsi mereka, aku sedang sibuk menjual apa pun secara online demi bisa membayar uang semester. Riko mana tahu itu, sebab diriku memang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya.
“Jangan sibuk jualan online terus, Ayna. Kamu harus fokus sama kuliah. Enggak malu sama umur kalau enggak lulus tahun ini?” Suatu hari Riko bertanya sarkas.
“Lha, dirinya sendiri telat lulus,” balasku cuek.
“Iya, makanya aku serius ngurus skripsi semester ini. Kamu juga.”
Mengingat pertengkaran terkahir kami membuatku semakin malas untuk membuka pesan dari Riko. Sedangkan Adelia adalah sepupuku, dia anak Bik Imah. Setelah tidak mendapatkan tempat di rumah baru mereka, untuk apa wanita itu terus menghubungiku. Dua orang itu sangat mengganggu sekali. Jemariku terhenti saat ada notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk membuka chat tersebut. Akan tetapi, jari telunjukku ini yang telah lancang menekan notifikasi itu hingga pesan aneh terpampang di depan mata. Aku menjerit memanggil Amanda yang dengan napas ngos-ngosan telah berdiri di hadapanku.
“Ada apa, sih?” tanya Amanda sedikit jengkel.
“Baca ini!” seruku. “Mimpiku terwujud,” lanjutku girang.
LELANG RUMAH GRATIS BESERTA ISINYA PLUS UANG SERATUS LIMA PULUH JUTA
DICARI! Wanita yang mau menerima lelangan rumah beserta isinya. Dengan syarat sebagai berikut:
Bersedia menerima dan mengurus semua kebutuhan di dalam rumah
Tidak terikat dengan lelaki mana pun atau pekerjaan apa pun
Bersedia melakukan uji coba selama tiga bulan
Catatan lainnya menyusul saat interview
Kelengkapan pendaftaran:
Surat lamaran
Curiculum Vitae
Foto terbaru
Penting : Pengumuman ini berlaku 1x24 jam setelah Anda terima.
Aku bisa merasakan ketegangan di wajah Amanda. Kedua matanya melotot dari tadi, sampai-sampai aku bergidik ngeri memikirkan kalau saja bola mata itu akan meloncat keluar.
“Sinting!” umpatan kasar meluncur begitu saja dari mulut Amanda. Dia tampak sangat kesal.
Kemudian, Amanda meletakkan benda pipih itu secara kasar ke atas meja kecil di samping kursi yang kutempati. Hah. Untung saja tidak dilemparnya.
“Hanya orang sinting yang mengirimkan pesan seperti itu.” Sepertinya, Amanda belum cukup puas hanya dengan umpatan sekali saja. “Itu pasti kerjaan penipu online, Ayna. Hoax,” lanjutnya dengan binar berapi-rapi.
Berbeda denganku yang berpikir bahwa pesan tersebut adalah sebuah jawaban atas doa yang aku panjatkan. Benar katanya, ‘Memintalah sungguh-sungguh, maka Tuhan akan mengabulkannya.’ Aku lupa itu kata siapa ....
Kuraih ponsel yang tergeletak malang di atas meja. Tanganku bergerak cepat membuka aplikasi percakapan lalu membaca ulang chat dari nomor asing tersebut. Mengaja setiap kata per kata jangan sampai ada yang terlewatkan.
“Manda ....” Panggilanku kepada Amanda tidak mendapatkan respons.
Aku melirik ke arah Amanda. Wanita itu telah duduk di kursi di samping, jarak kami tersekat oleh meja kecil. Kemudian, mataku kembali fokus membaca pengumuman di layar. “Maksud syarat nomor satu ini gimana?” tanyaku padanya.
Amanda berdecak kesal, tetapi dia tetap menjawab pertanyaanku, “Sudahlah, Ayna. Enggak usah ditanggepi chat aneh begitu. Mana dari orang tidak dikenal juga. Iseng tauk,” omelnya. Aku nyengir membalas omelannya tersebut. “Itu hoax, Ayna. Hoax,” lanjutnya penuh penekanan.
“Ya gimana? Namanya juga lagi butuh. Kita enggak bakalan tahu chat ini hoax kalau belum memeriksanya langsung, ‘kan.” Aku masih berusaha meyakinkannya.
“Iya, tapi, ‘kan ....”
Sepertinya Amanda kehabisan kata-kata, terbukti ucapannya itu tidak berlanjut lalu berganti dengan dengkusan sebal.
“Kalau beneran, ‘kan, lumayan dapat duit seratus lima puluh juta. Aku tinggal butuh lima puluh juta lagi,” ucapku pelan dan berhati-hati.
Sesekali mataku melirik ke arah Amanda, mengawasi perubahan ekspres wajahnya. Dia tampak geram dengan rahang yang kaku. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja, seperti tengah berpikir sesuatu.
“Terus ... rumahnya aja sekalian dijual untuk tambahan bayar utang, sama bayar semesteran. Sisanya untuk ngontrak,” lanjutku semangat.
“Hayalanmu ketinggian, Nona,” ucapnya sarkas.
Dasar! Enggak seneng bener lihat temennya seneng.
“Biarin. Anggap aja doa,” balasku dengen bibir mencebik. “Jadi syarat nomor satu ini gimana?” tanyaku lagi.
Amanda mendesah panjang lantas mengambil ponsel di tanganku. Dia membaca syarat yang kumaksud dengan suara keras.
“Enggak tahu gimana maksudnya.” Amanda mengangkat bahu tak acuh, sedangkan aku mendengkus kesal. Sedetik kemudian, dia berkata pelan, “Bisa jadi kamu bakalan dijadikan pembantu. Atau dijadikan istri,” terkanya memberi kesimpulan.
“Masak, sih?” tanyaku kaget sekaligus tak percaya. Pasalnya, di pengumuman tersebut tidak ada satu kata pun yang menyinggung soal istri atau pembantu.
“Hei! Emang lu kira rumah beserta isinya itu beneran gratis? Jangan mimpi!” Seruan Amanda membuatku terlonjak kaget. “Zaman sekarang mana ada yang gratis,” lanjutnya.
“Tapi itu tulisannya gratis, Manda. Coba, deh,baca lagi.” Aku masih berusaha mencari pembenaran sekaligus pembelaan.
“Pinter-pinter orang marketing aja itu,” sahutnya santai.
“Oke. Kita lihat besok.”
“Jangan lupa, kalau terjadi apa-apa langsung hubungi aku ya,” ucap Amanda khawatir.
“Iya-iya. Dah, keluar sana aku mau siap-siap,” balasku malas dengan mulut yang sesekali menguap lebar.
Mataku tadi masih sangat berat untuk dibuka saat goncangan di tubuh mengusik lelap aku. Baru tidur dua jam dan sudah dibangunkan itu rasanya ... sangat menjengkelkan.
“Daftar pertanyaan yang mau kamu ajukan sudah dibuat belum?” tanya Amanda lagi. Dia tidak mengindahkan pengusiran yang aku lakukan tadi.
Cukup sadar diri, Ayna. Ini rumah Amanda yang berarti juga kamar ini adalah kamar miliknya.
“Sudah,” jawabku singkat.
“Ya udah, aku tunggu di meja makan.”
Aku menutup kepala dengan selimut saat tubuh Amanda telah keluar dari kamar ini dan menutup pintunya. Ah, rupanya mataku tak lagi mampu menjemput kantuk. Maka, aku putuskan untuk turun dari ranjang, mengambil handuk di gantungan lalu melangkah lebar menuju kamar mandi.
Segarnya air dingin yang mengguyur kepala sampai tubuhku semakin melebarkan kedua kelopak mataku. Usai mandi aku duduk di depan cermin, tanganku mengambil hair dryer untuk mengeringkan rambut.
Setelah rambut dipastikan kering, aku pun melangkah ke lemari pakaian. Sejenak aku terpaku memikirkan busana apa yang cocok dikenakan hari ini. Lantas, pilihanku jatuh pada rok levis sebetis dipadukan dengan kemeja berwarna putih.
Usai berpakaian, aku pun lantas kembali menghadap cermin. Tanganku bergerak pelan menyisir rambut hitam yang kau punya ini lalu mengikatnya satu ekor kuda. Kemudian, memoles wajah dengan make-up tipis. Setelah semuanya beres, barulah aku keluar kamar untuk sarapan.
Di ruang makan, Amanda telah menunggu dengan pakaian yang tak kalah rapi. Pandanganku tertuju pada sebuah koper di sudut ruangan. Rupanya, Amanda bukannya menjemput suaminya ke bandara melainkan akan menyusul lelaki itu ke Sumatera.
“Gitu aja, katanya kalau ada apa-apa langsung kabari. Eh, dianya pergi begitu saja. Ninggalin aku,” cibirku menggodanya. Aku menahan senyum.
“Mas Wira mengubah rencana Subuh tadi. Tahu-tahu, aku sudah dibelikan tiket.” Amanda menampilkan ekspresi memelas. Wajah sok polosnya sangat tidak cocok dengannya yang binar matanya menunjukkan kebahagiaan. “Kalau udah begitu, aku bisa apa?” lanjutnya. Kemudian terkekeh pelan, sementara aku hanya mendengkus saja.
Sebenarnya sih, aku tidak masalah. Kasihan juga sahabat ku itu jika hanya di rumah saja sendirian menunggu kepulangan sang suami tercinta.
Akan tetapi, aku justru mencebikkan bibir, “Dih ....” Kami pun tertawa bersama. Amanda tampak sangat bahagia sekarang. Aku juga ikut bahagia jika dia bahagia
Tidak berapa lama kemudian terdengar nada dering di ponsel Amanda, rupanya si tukang ojek online sudah berada di depan pagar. Aku bahkan belum menyelesaikan sarapanku.
Amanda mengantarku sampai ke depan. Kami berpelukan sebentar lalu cipika cipiki ala dua sejoli yang akan berpisah lama.
“Hati-hati. Jangan lupa kasih kabar,” ujar Amanda memberi pesan yang aku balas dengan anggukan saja.
Lantas, aku pun melambaikan tangan sebelum naik ke motor. Amanda membalasku dengan tak kalah hebohnya. Kami seakan akan berpisah lama.
Kendaraan roda dua itu melaju meninggalkan komplek perumahan. Saat berada di jalan raya kecepatannya berubah cukup kencang sampai aku harus berpegangan di besi bagian belakang dengan sangat erat. Keadaan ini sangat tidak baik, sebab aku duduk dengan posisi menyamping.
Tiba-tiba saja, motor ini mengerem mendadak. Lupakan rasa risih jika aku harus berpegangan erat ke pinggang si tukang ojek itu. Bukan hanya berpegangan, tetapi kedua tangan aku bahkan memelu pinggang di hadapanku itu dengan sangat erat.
“Hati-hati, dong, Pak,” ketusku.
“Maaf, Mbak. Sepertinya ada kecelakaan di depan sana.”
Hah?
Apa yang terjadi ini?
Belum belum, aku sudah menghadapi kesulitan seperti ini. Semoga ini bukan pertanda buruk yang memberikan dampak pada kehidupanku yang akan datang. Aku benar-benar sangat khawatir. Jantungku sampai berdetak tak keruan menghadapi kekalutan ini.
Perjalanan pagi ini sungguh melelahkan. Setelah terkena macet karena insiden kecelakaan itu selama beberapa menit, untung saja si tukang ojek itu mencari alternatif jalan lain. Walaupun harus menghabiskan waktu lebih dari yang seharusnya.
Begitu kendaraan roda dua ini berhenti di depan pagar tinggi bercat hitam, aku segera turun dan melepaskan helm di kepala lalu memberikannya kepada si tukang ojek itu. Setelah mengucapkan terima kasih, aku tidak lagi sempat menoleh untuk melepas kepergian ojek yang telah berjasa itu, sebab diriku telah sibuk membenahi penampilan yang acak-acakan.
Beberapa menit menghabiskan waktu membenahi penampilan, tidak terasa waktu di jam tangan telah menunjuk ke angka sembilan kurang lima belas menit. Aku gusar. Tiba-tiba saja nyaliku ciut. Entah ke mana perginya keberanian yang telah aku pupuk sejak tadi bahkan dari semalaman. Di detik ini ada rasa ingin mundur melangkah ke belakang lalu meninggalkan kegilaan ini. Ini benar-benar gila. Semua yang terjadi sekarang di luar nalar logikaku. Aku berjalan begitu saja, memilih jalan pintas ini tanpa bisa berpikir panjang lagi.
Terlebih, saat ingatan yang mendadak terbang jauh pada masa-masa hidup bahagia di rumah itu membuatku merana. Bagaimana perlakuan suami Bik Imah yang mencari kesempatan melecehkan diriku ini, lalu cara lelaki itu menggadaikan harta yang aku miliki satu-satunya itu dengan amat tragis kini terbayang jelas di kepala.
Ya. Aku tidak bisa mundur lagi sekarang. Langkah ini harus maju ke depan dan suatu saat harus bisa membalas rasa sakit ini kepada mereka. Orang-orang yang telah menghancurkan hidupku.
Tekad yang aku miliki kembali terkumpul di dada. Aku mengepalkan tangan di udara.
Aku membusungkan dada, mengangkat dagu sampai bisa menatap ke depan secara sempurna. Bangunan di balik pagar hitam nan tinggi itulah tujuanku sekarang. Tidak peduli apa yang akan terjadi di dalam, aku harus bisa mendapatkan uang itu. Walaupun harus menjual diri, aku tidak peduli.
Langkahku terayun yakin. Keraguan di hatiku lenyap pergi. Aku tidak menggunakan hati nurani di sini, tidak memerlukan itu. Yang aku butuhkan sekarang adalah uang yang harus cepat dibayarkan guna menebus rumah warisan itu.
Tanganku terangkat ke atas untuk menekan bel di sana. Kemudian aku melangkah mundur menunggu gerbang itu terbuka. Tidak perlu menunggu waktu lama, seorang lelaki berseragam security berdiri tegap di hadapan dengan tangan memegang pinggiran pagar. Sepertinya, tidak semua orang bisa masuk ke lokasi itu.
“Ada perlu apa, Mbak? Mau ketemu siapa?” tanya lelaki berseragam itu sopan dan tegas.
“Eh, em ....” Sial. Kenapa aku enggak tanya harus menemui siapa di rumah ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Pulang? No!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!