NovelToon NovelToon

Menikah Dengan Brondong

PERMINTAAN IBU

Tidak pernah terpikir sama sekali dibenak gadis yang kini usianya sudah 30 tahun untuk menikah. Sebab gadis itu memiliki pengalaman buruk.

Dan tiba-tiba saja Ibu lusia datang dan duduk di samping putrinya Hingga gadis itu terlihat terkejut dengan suara Ibu lusia.

"Yuna, kamu sudah cukup umur untuk membina rumah tangga, nak. Apa kata orang-orang nanti jika kamu belum menikah," ujar Ibu Yuna bernama Ibu Lusia.

"Ibu, bisa tidak, sih. Tidak usah bahas dulu masalah nikah. Yuna masih mau bebas, ibu. Ya?" kata Yuna yang sudah bosan mendengar permintaan ibunya setiap waktu.

"Yuna, Sampai kapan kamu seperti ini, nak? Lihatlah seumuran kamu. Sudah banyak yang menikah dan bahkan di antara mereka sudah ada yang memiliki anak. Kamu juga sudah Guru PNS. Apa lagi yang kamu cari?" Ujar Ibu Lusia sekali lagi.

Yuna menarik napas dan menghentikan pekerjaannya yang tengah mengisi nilai rapor siswa. kerena esok paginya sudah akan dibagikan rapor tersebut dan rencananya juga akan ikut kemping bersama siswa dan guru lainnya sebagai acara refreshing setelah semester dan rapor akan di bagikan ditempat kemping tersebut.

"Ibu, Yuna itu masih mau menikmati masa muda Yuna. Yuna masih mau berkarir. Yuna belum siap." Yuna memainkan pulpennya sambil duduk di depan meja belajar. Terlihat jelas Yuna masih terlihat pusing karena pengisian RDM belum selesai.

"Kapan kamu siapnya, Yuna?"

"Ya... nanti, kalau Yuna sudah siap, Ibu." Yuna kembali menatap ibunya dengan sedikit curiga." Jangan katakan, Ibu lagi menjodoh-jodohkan Yuna. Yuna tidak mau, Ibu!"

Penolakan Yuna membuat Ibu lusia tidak tahu lagi caranya bagaimana membujuk Yuna. Melihat ibunya keluar dari kamar, Yuna beranjak dari tempat duduknya.

Membuka sebuah laci dan terdapat di sana sebuah Foto seorang pria. Foto itu merupakan foto seorang pria yang pernah mengisi hati Yuna sebelumnya. Namun, karena sebuah penghianatan kekasihnya, Yuna meminta putus dan meninggalkan pria tersebut. Hingga sekarang, Yuna tidak tahu bagaimana kabar pria tersebut yang merupakan cinta pertama Yuna saat duduk di bangku SMA dulu.

"Ah... baiknya aku ke sekolah." ujar Yuna yang memang ada kegiatan lembur untuk pengisian RDM di sekolah tempatnya mengajar, SMA Bakti.

***

Di lain tempat, Tuan Hermawan sangat pusing dengan panggilan guru BK setiap bulan ke sekolah SMA Taruna dengan Kasus putranya, Biansyah.

Kasus sama yang kembali terjadi. Biansyah kembali membuat onar yaitu terjadi perkelahian dengan teman satu kelasnya hanya gara-gara seorang wanita.

"Bian, Apa belum cukup dengan semua fasilitas yang kami berikan dan kamu membalasnya seperti begini, ha?! Kapan kamu dewasanya?!" bentak Tuan Hermawan pada putranya itu di depan guru BK.

Sikap Tuan Hermawan itu yang Bian tidak suka. Dirinya selalu dianggap anak yang tidak pernah dewasa.

"Kamu benar-benar tidak bisa ayah banggakan! Kamu sangat berbeda dengan dengan kakak kamu. Rian!"

"Ayah, cukup! Ini di sekolah," bisik Ibu Sukma pada suaminya.

"Urus anakmu itu. Ayah benar-benar pusing!" Tuan Hermawan pamit setelah mendapat surat peringatan untuk Bian.

***

Tiba di rumah, Tuan Hermawan kembali melanjutkan amarah dan kekecewaannya ke pada Biansyah saat Rian sudah tiba di rumah dari tempat kerja.

"Apa kamu tidak bisa seperti kakak kamu! lihatlah dia, dia selalu bisa membanggakan ayah. Tapi kamu, kamu hanya bisanya bikin onar di sekolah! jika tidak bikin onar, kerjamu balapan. Apa yang bisa kami banggakan padamu, Bian!"

"Cukup, ayah! Aku memang tidak bisa seperti kak Rian! Kak Rian selalu menjadi anak kebanggaan ayah!" Bian ikut tersulut emosi selalu di pojokkan dan di bandingkan dengan saudaranya. Hal tersebut sangat menyakiti perasaannya.

"Anak ayah memang hanya Kak Rian." Bian menatap saudaranya. "Apa pun yang aku lakukan tidak ada nilainya di mata ayah!" ucap Bian dengan rasa kecewa pada Ayahnya.

"Apa katamu? Nilai apa yang mau ayah nilai darimu, tukang onar, balapan, iya?! Tuan Hermawan semakin terpancing.

"Dek, sudah." Rian meminta Agar adiknya Bian berhenti untuk tidak menimpali perkataan Ayahnya.

Bian menepis tangan Rian dengan kasar yang memegang bahunya dan melenggang pergi hendak masuk kamarnya. Namun ternyata, Tuan Hermawan salah paham.

"Mau kemana kamu? ayah belum berhenti bicara denganmu, Bian!"

"Apa lagi yang ayah mau bicarakan padaku. Bukankah lebih baik pada akhirnya aku pergi?" jawab Bian lagi.

"Oh... jadi kamu mau pergi dari rumah ini? Ok. Silahkan!" Tuan Hermawan semakin salah paham.

"Ayah, sudah dong!" Ibu Sukma berusaha menenangkan suaminya, sementara Rian berusaha menenangkan adiknya.

"Baiklah kalau kamu mau pergi dari rumah ini. Silahkan. Ambil sana pakaian kamu! Dan anggaplah kamu sudah tidak punya keluarga!" Emosi Tuan Hermawan semakin jadi.

"Ayah mengusir saya. Ok! Ayah memang tidak pernah menganggap saya sebagai anakmu!" Bian tersulut emosi.

"Bian, cukup!" Rian ikut memarahi adiknya.

"Oh, Kak Rian juga ikut menyalahkan aku, begitu? Kak, kakak memang selalu menjadi anak emas ayah. Sejak dulu hingga sekarang. Kenapa sekaligus ibu tidak menyalahkan aku?" Bian menepis kembali tangan Saudaranya yang berusaha menenangkan dirinya.

Ibu lusia semakin bersedih melihat tiga pria di depannya terus bertengkar.

"Bian, bukan seperti itu maksud kakak. Kak hanya.... " ucapan Rian terhenti.

"Stop, Kak! Tidak usah mengelak. Aku sadar diri, kok. Aku anak tidak berguna di keluarga ini!" Bian langsung masuk kamarnya dan mengambil semua Barang-barangnya.

"Bian, jangan pergi, nak! Ibu tidak bisa berpisah darimu!" Teriak Ibu Sukma menghentikan Bian untuk tidak pergi meninggalkan rumah.

"Jangan halangi dia, Ibu. Biarkan saja dia pergi kemana tujuan hidupnya. Anak tidak bisa di untung!" bentak Tuan Hermawan lagi.

"Rian, kejar adikmu! Ibu tidak bisa jauh darinya. Cepat!" Ibu Sukma tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis di tempatnya.

Rian segera menyusul Bian. Namun, Bian sudah menancap gas motor Yamaha YZF-R15

meninggalkan pekarangan rumah. Motor Yamaha berwarna biru

itu sudah membawa Bian entah kemana?

***

Ternyata Bian bersama motor Yamaha andalannya itu, kini berada di sebuah lapangan basket. Di mana ada banyak anak-anak seumuran Bian bermain basket sore itu. Alea menemuinya.

"Apa, sih, yang terjadi denganmu, bian? Kenapa mesti kabur, sih, dari rumah?" Alea menyesali atas keputusan Bian meninggalkan rumahnya. Bukan tanpa alasan Alea berkata seperti itu.

"Kamu juga menyalahkan aku. Bukankah tadi siang terjadi itu kerena dirimu?" Bian menyalahkan peristiwa yang di alaminya itu pada Alea.

"Loh, kok kamu menyalahkan aku?"

Alea tidak terima Bian menyalahkan kejadian siang sebelumnya hingga Bian mendapat surat peringatan.

"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Alea serba salah dengan tatapan Bian terlihat aneh ke arahnya.

"Kamu selingkuh dengan Rio, iya?"

tuduh Bian pada Alea.

Alea terlihat Cemas. Jika dirinya lepas dari Bian bagaimana nasibnya. Dirinya memang selingkuh, akan tetapi bukan berarti Alea mau melepaskan Bian. bukankah Bian merupakan ATM berjalan untuknya?

"Sayang, kok seperti itu. Mana ada aku selingkuh dengan Rio. Tidak, kok," elak Alea berusaha tenang.

"Benar?" tanya Bian masih sepenuhnya belum percaya.

"Sayang, lalu kamu akan tinggal di mana. Maaf, ya. Aku tidak membantumu. kamu tahu, kan ayah dan ibu aku seperti bagaimana." Alea mengalihkan pembicaraan mereka.

Bian Dam. Bian terlihat berfikir. "Aku akan ke kos Dion."

"Lalu, kemping besok. Apa kamu akan ikut?" tanya Alea memastikan.

"Kita lihat saja besok. Kenapa kamu terlihat tidak senang?"

"Senang, kok. Kenapa, sih, kamu selalu curiga padaku." Alea kembali merayu Bian.

Dalam sekejap Bian pun melupakan kecurigaannya pada Alea.

Bian kembali menancap gas motornya setelah mengantarkan Alea ke rumahnya menuju kos Dion.

***

Esok paginya, tampak Yuna bersiap menuju sekolahnya sudah lengkap dengan persiapan kemping-nya.

"Ibu, Yuna pamit, ya."

"Ini bekalmu. Ibu sudah siapkan."

Yuna tersenyum. lalu, menoleh pada adik laki-lakinya, Anto.

"Kak, boleh ikut tidak."

Yuna melebarkan matanya yang membuat Anto tidak lagi menyahut.

"Galak banget, sih, kak." lirih Anto yang masih terdengar oleh Yuna. "Pantas saja tidak ...." ledek Anto lagi yang kini duduk di bangku kelas 1 SMA. Sekolah SMA Anto berbeda dengan tempat sekolah Yuna mengajar. Entah apa alasan Yuna hingga Anto harus bersekolah ditempat lain.

"Tidak apa?!" geram Yuna.

"Yuna?" tegur ibu lusia. "Sudah, cepat sana berangkat. Nanti telat, lo. Anak gadis itu tidak boleh galak."

"Ibu?" Yuna menegur ibunya secara lembut dan kembali melemparkan tatapan

Yuna pun berangkat dan tepat di tengah perempatan jalan, Yuna hampir saja kecelakaan.

Bian begitu kesal, Motornya hampir saja ditabrak dengan seorang perempuan pegendara motor metik.

"kalau mengendara lihat jalan dong!" teriak Yuna yang singgah di pinggir jalan menenangkan dirinya.

Terjebak

Tiba di sekolah, Yuna langsung bergegas dan melihat para siswa serta guru lainnya sudah bersiap akan berangkat. Mereka akan berangkat menuju tempat kemping dengan naik Bis Sekolah.

Semua kendaraan para guru dan siswa lainnya dititip di sekolah. Tentu keamanan kendaraan mereka sudah terjamin aman.

"Ibu Yuna, kenapa terlambat?" tanya guru Dewi yang melihat Yuna dengan segala perlengkapannya.

Yuna pun menceritakan kejadian sebelumnya yang dialaminya di jalan.

"Astaghfirullah, Ibu Yuna untung tidak apa-apa," ujar Guru Dewi.

"Iya Ibu. Alhamdulillah. Aku baik-baik saja. Hanya tadi sedikit trauma," timpal Yuna pada teman sejawatnya.

Yuna pun bergabung dengan anak walinya. Terlihat para siswa begitu antusias dan bahagia pastinya. juga ada sedikit cemas akan penerimaan rapor malamnya.

***

Tibalah mereka di tempat kemping. tidak sengaja mata Yuna melihat motor yang sebelumnya hampir menabraknya di area parkiran tempat kemping.

Yuna pun memastikan motor tersebut. Yuna ingat betul nomor plat motor itu.

"Tidak salah lagi. Pemilik motor ini yang hampir saja menabrak aku." gumam Yuna melakukan sesuatu pada motor besar berwarna merah itu cukup keras yang membuat kakinya sedikit sakit.

"Hei, mbak, ngapain nendang motor orang. kurang kerjaan, ya?"

Suara itu membuat Yuna semakin geram. Yuna pun berbalik badan. Terlihat jelas seorang pria yang jauh lebih muda darinya.

"Mbak, kalau kurang kerjaan atau lagi melampiaskan amarahnya, jangan degan motor orang dong. Kalau bannya kempes. Bagaimana? Di sini bengkel jauh, Mba." Bian tidak terima ban motonya ditendang begitu cukup keras.

Yuna greget dengan pria yang lebih muda darinya itu dan berkata, "Kamu tahu mengapa aku menendang ban motormu?"

"Tidak tahu? kan Mbak tidak kasih tahu." jawab Bian ketawa. "Mbak nanya?"

Tawa Bian membuat Yuna semakin melebarkan matanya. Melihat Mata Yuna melebar, Bian langsung diam dan berdeham.

"Karena kamu... "tunjuk Yuna pada Bian.

"Aku?" tunjuk Bian pada dirinya.

"Iya. kamu! Tadi pagi sebelum aku kemari. kamu hampir saja menabrak saya. Paham, tidak."

Bian yang baru ingat pura-pura tidak tahu saja. Sebelumnya, Bian juga hampir saja terjatuh menghindari hal itu dengan kejadian sebelumnya. Bahkan dirinya hampir saja menabrak sebuah truk yang berlawanan arah dengannya. Sempat terlintas di benak Bian keadaan wanita yang hampir saja ditabrak olehnya.

Namun, yang namanya Bian, Dirinya tetap terlihat tenang dalam situasi yang sudah terpojok. Seakan hal itu tidak pernah terjadi.

"Kenapa diam? baru sadar, ya? Lain kali, kalau mengendarai motor jangan ngebut, karena jalan itu bukan nenek kamu yang membuat jalan. Dan jalan itu bukan jalan pribadi. Ngerti, tidak?"

Yuna seakan ingin memberikan sedikit pelajaran pada pria tersebut. Namun, yuna masih bisa bersabar.

"Galak amat, Mbak?" ledek Bian lagi begitu Yuna berbalik badan.

"Apa?!" Yuna berbalik badan dengan sedikit raut wajah yang terlihat kesal.

"Mbak cantik," puji Bian mengalihkan perhatian wanita di depannya. Selain tukang onar, Bian juga terkenal playboy kadal serta tukang rayu di sekolahnya.

Panggilan seseorang mengalihkan perhatian Yuna.

"Ibu Yuna, Ibu Dewi mencari ibu. kita akan mendirikan tenda di sana," sahut seroang siswi yang bernama Santi dan merupakan anak wali Yuna sediri.

"Baiklah. Ayo kita ke sana." Yuna pun meninggalkan Bian yang terus menatap kepergiannya.

"Mbak, anda meninggalkan sesuatu. Apakah ini tidak berarti buat Bu Yuna?" Bian memperlihatkan jaket Yuna yang tertinggal di atas motor miliknya.

"Jadi, Mbak seorang guru sekolah SMA Bakti?" kata Bian setelah Yuna mengambil jaketnya dari tangannya.

"Kalau iya, kenapa? Belajar yang benar!" Ucapan Yuna mampu membuat Bian terdiam sejenak dan Tersenyum.

***

Bian kembali bergabung dengan teman-temannya. Tidak jauh dari perkemahan mereka, Yuna dan para siswanya serta guru lainnya juga tampak asyik dan sibuk mendirikan tenda.

Bahkan dari mereka ada yang masih sibuk mengambil gambar. mereka tampak tidak ingin melewatkan momen hari itu.

"Sekolah dari mana mereka?" tanya pak Salim pada salah satu siswa menunjuk ke arah kelompok Bian Dan Yuna bisa mendengar pertanyaan itu.

"Mereka dari sekolah SMA Taruna, Pak." jawab salah satu siswa yang tengah sibuk memasang tenda.

Sore menjelang magrib tiba. Salah satu siswa melaporkan jika siswi atas nama Ayumi dan Nana tidak ditempat. Yuna sebagai guru wali dari Ayumi tentu merasa bertanggung jawab.

"Apa? Ayumi tidak ditempat?" timpal Yuna dengan raut cemas.

"Iya, Bu, tadi Ayumi dan Nana pergi mencari kayu bakar."

"Astaghfirullah, jadi kita harus bagaimana?" Yuna terlihat panik begitu juga degan guru lainnya.

"Baiknya, Ibu Yuna disini saja. Biar kami dan lainnya mencari Ayumi dan Nana." Ujar Pak Rangga yang sebenarnya menaruh hati pada Yuna.

"Tidak. Aku harus ikut! Aku bertangungjawab jawab atas mereka," tolak Yuna bersikeras untuk ikut mencari siswanya.

"Tapi, Bu Yuna, Ini sudah hampir petang." Kata pak Rangga lagi dan guru lainnya.

"Justru itu." kita cari mereka bersama-sama. Ibu Dewi tolong awasi mereka."

Ibu Dewi serta lainnya mengangguk. Yuna pun mengambil jaketnya dan ikut dalam pencarian. Namun, tidak sadar, Yuna terpeleset dan tertinggal oleh rombongan.

"Aw... kaki aku..." rintih Yuna dan baru sadar jika dirinya berpisah dari rombongan. Yuna tentunya tidak tahu harus berbuat apa. Untungnya berbekal senter ponsel dan tidak sengaja dirinya bertabrakan dengan seseorang.

Yuna berteriak sekencang mungkin karena mengira itu adalah hewan buas, begitu juga dengan Bian. Bian juga berteriak dan mengira Yuna adalah hantu kerena cahaya senter ponsel Yuna mengenai tepat wajahnya.

"Kamu!" tunjuk mereka bersamaan.

"Kenapa, sih, aku selalu sial saat bertemu denganmu, ha?" Yuna mendorong tubuh Bian agar menjauh.

"Mbak, baiknya Mbak tidak usah menyalahkan aku. Apa Mbak tidak sadar, jika kita sekarang terjebak di dalam hutang ini? Sekarang pikir, bagaimana kita keluar dari disini?"

Sebelumnya Bian terjebak karena sibuk mengambil gambar dan tidak sadar, dirinya masuk dalam hutang yang sudah terlalu jauh dari tempat perkemahan. Juga sebelumnya, dirinya mengikuti Alea kemana akan pergi bersama seorang pria yang tidak lain adalah Roi.

"Apa kamu membawa kompas?" tanya Yuna sambil menahan rasa sakit pada bagian kakinya.

"Buat apa?" tanya Bian.

"Astaga... ya buat ..." ucapan Yuna segera dijawab oleh Bian.

"Aku tidak punya. Dan disini juga tidak ada jaringan. Jadi, ya... sudah." kata Bian sebelum dirinya di minta untuk mendownload aplikasi kompas.

"Lalu, kita harus bagaimana? pikir dong!"

"Ya ... ini lagi mikir, Mba?"

Yuna pun berjalan ke depan untuk mencari jalan keluar dari hutang tersebut. Tentu dengan langkah sedikit pincang karena rasa sakit bagian kakinya.

"Jangan pegang-pegang!" Yuna menepis tangan Bian yang menarik Jaketnya. "Dasar penakut!"

"Aku tidak takut, Mbak."

"Kalau kamu tidak takut, lalu kenapa kamu menyerempet kemari, ha?"

"Galak, amat, sih, Mbak," ujar Bian lagi mengikuti Yuna. karena lelah, Yuna pun memilih istirahat.

"Kaki Mbak sakit? Mau aku gendong tidak?" Tawar Bian sambil senyum dan Yuna salah paham.

"Tidak perlu! Dasar anak muda sekarang."

"Bagaimana ini. Cas ponselku sisa sedikit. kamu bawa ponsel tidak?"

"Bawalah. cuma sudah mati." jawab Bian apa adanya sambil memperlihatkan ponsel mahalnya.

"Ya sudah, ayo jalan!" Yuna pun kembali melanjutkan perjalanannya hingga mereka menemukan sebuah gubuk. Berfikir sejenak.

"Apa sebaiknya kita disini saja dulu? Jika kita memaksakan diri, yang ada takutnya kita akan lebih masuk lagi ke dalam hutan. Apa lagi ini sudah makin larut dan ponsel mbak sudah mau mati, kan?"

"Iya, sih. Tidak ada jalan lain. Awas saja kamu macam-macam!" ancam Yuna pada Bian.

Bian masih sempat tertawa dengan ancaman Yuna. Hingga mereka masuk dalam gubuk yang Yuna bisa perkirakan jika di sekitar mereka mungkin ada kebun. Gubuk itu terlihat seperti sering dikunjungi penduduk.

"Mbak mau roti?" Bian menawarkan Rotinya pada Yuna yang kebetulan di dalam tas ranselnya masih ada satu roti yang terisa.

"Tenang saja, Mbak, ini tidak ada peletnya, kok." Tawa Bian lagi. Mbak mau?" Kembali Bian menawarkan pada Yuna.

Yuna pun mengangguk karena sudah tidak tahan dengan rasa lapar yang melanda. Bian pun berbagi roti degan Yuna.

"Aku mau tidur. Awas saja kamu macam-macam. Jika hal buruk terjadi, aku akan mengejar kamu sampai ujung dunia. Bahkan aku bisa ...." Yuna mengancam Bian dengan tangan Yuna berada dilehernya.

Bian tentu hanya bisa diam. Terlihat Yuna memang bukan wanita lemah. Bian akui. Dalam kegelapan, Bian pun sedikit mendekat ke samping Yuna yang sudah lelap.

"Suara apa itu? Ih..." Bian memaksakan matanya untuk tidur yang sebenarnya sedari tadi Bian takut dengan kegelapan. Bian memilik phobia takut dengan gelap.

Pagi tiba, Terdengar suara berisik yang membuat Yuna mau pun Bian terbangun.

"A ....!" Teriak keduanya.

Nikah Paksa

Yuna begitu marah, kerena Bian sebelumnya memeluknya. Hingga para warga yang memergokinya salah paham.

"Bapak-bapak dan Ibu-Ibu, aku bisa jelaskan!" kata Yuna berusaha membela diri.

"Apa lagi yang kalian mau jelaskan? Sudah jelas-jelas kalian kepergok. Ayo ikut kami!" Yuna mau pun Bian di bawah ke rumah pak RT yang cukup jauh dari tempat tersebut.

Warga tentu tidak percaya jika mereka adalah sepasang suami istri. Melihat Bian tampak masih muda. Berbeda degan Yuna sudah terlihat sangat dewasa.

'Andai aku tahu, jika dari sini ada beberapa rumah aku pasti tidak mengalami hal seperti ini.' batin Yuna.

Dan Bian tampak santai saja. Seakan tidak terjadi apa-apa. berbeda dengan Yuna sangat khawatir.

"Kasi kawin saja mereka, pak Rt. Ini tidak bisa di biarkan! Kami melihat sendiri bagaimana mereka saling memeluk satu sama lainnya!"

"Benar, Pak Rt!" teriak salah satu warga.

"kalian salah paham!" Yuna berdiri dari tempat duduknya dengan amarah memuncak karena di tuduh tidak sesuai faktanya.

"Mau elak apa lagi? lihatlah foto kalian." salah satu warga memperlihatkan bagaimana Bian tampak begitu menikmati memeluk Yuna dan Yuna membalasnya.

"Nona, ini salah satu bukti. Anda tidak bisa lagi menolak. Aturan Desa kami melarang keras ada perbuatan *** di sini. Bila kedapatan, hukumannya langsung harus di nikahkan dan itu sudah menjadi turun temurun di Desa kami."

Yuna kesal, karena Bian tidak menyahut. " Ayo bicara! bantu aku menjelaskan."

"Mau jelaskan apa lagi, Mbak. Mereka saja tidak percaya. Malas saya ribut!" tegas Bian yang duduk di tempatnya tidak mau pusing.

"Lalu?" ujar Yuna.

"Ya ... kawin saja, Mbak. Susah banget, sih."

"Enak saja kamu! Dasar Bocah! Saya tidak mau!" Tolak keras Yuna.

"Mbak, mau pulang cepat?" tanya Bian melihat ke arah Yuna terlihat gelisah.

"Maulah. Mereka pasti sudah menunggu aku di sana. ini karena kamu!" jawab Yuna dengan nada judas. "Aku sudah katakan semalam jangan dekat-dekat."

"Tapi, mbak juga menikmatinya, kan?"

"Nah, dengar kan apa yang dia katakan!" tunjuk salah satu warga lagi ke arah Bian.

Yuna semakin kesal dengan mulut ember Bian. Sampai-sampai Yuna begitu greget hingga tangan Yuna terkepal sempurna.

Yuna kembali menjelaskan kronologisnya hingga mereka tiba di hutan dan sampai di gubuk tersebut. Namun, dari penjelasan Yuna, Pak Rt menyayangkan mengapa mereka tidak mencari tahu jika jarak dari gubuk itu sudah dekat dari rumah penduduk.

"Kan sudah aku jelaskan, Pak, jika di sana sangat gelap. Ponsel kami mati," imbuh Yuna.

"Sudah. Tidak usah mengelak! kata anak muda ini, kamu juga menikmatinya. Sini ponsel kalian! akan kami hubungi masing-masing orang tua kalian," sela warga di sana yang mendengar percakapan Bian.

"Tidak! mana mau aku kawin. Aku belum siap!" Yuna kembali menegaskan prinsipnya.

"Mbak, mau saja. Biar kita cepat pulang. Habis kawin, kan kita bisa cerai. Beres, kan?" bisik Bian.

Yuna Ingin rasanya memberikan satu pelajaran pada pria tersebut.

"Kamu pikir, pernikahan itu mainan, ha? Dan kamu pikir menikah itu mudah?" dasar bo...!"

"Mbak, aku ini bukan bocah. Apa Mbak pikir aku tidak bisa menjadi seorang suami? Aku bisa!"

Semua warga merasa lucu dengan pendapat Bian yang membuat Yuna kembali melototi Bian. Melihat hal itu, Bian kembali diam. Entah mengapa Yuna membuat dirinya seperi tidak berdaya.

Apakah karena Bian sudah lelah untuk ribut? entahlah. Bian sebenarnya pusing. Kembali masalah baru datang padanya yang tentu orang tuanya akan semakin kecewa.

Cukup lama menunggu, sebuah mobil mewah memasuki penduduk warga setempat. Keluarlah Ibu Bian bersama ayahnya dari dalam mobil.

"Ayah, tahan amarahmu. Apa kata warga disini," bisik Ibu Sukma.

"Anak itu benar-benar membuat darahku mendidih. Belum selesai kemarin. dirinya kembali lagi mempermalukan aku!" geram Tuan Hermawan.

Bian bisa merasakan tatapan amarah dan kekecewaan kedua orang tuanya.

Dan Yuna, begitu bahagia bercampur sedih menyambut ibunya bersama pamannya. Yuna berdiri dari tempat duduknya dan memeluk ibunya serta minta maaf dan menjelaskan semuanya.

Sekuat bagaimana pun mereka menjelaskan, keputusan para warga sudah bulat. Dan Tuan Hermawan serta Ibu Sukma tidak bisa lagi menentang.

"Aku tidak mau menikah! Aku tidak salah! Kalianlah yang salah paham. Ibu, bantu aku." Yuna berusaha keras menolak pernikahan tidak masuk akal itu menurutku Yuna.

"Yuna, Kami sudah berusaha. Dan lihatlah para warga kampung ini. Mereka berpegang teguh dengan aturan adat mereka."

"Ibu, Bagaimana bisa aku menikah dalam keadaan tidak siap dan dia... "Tunjuk Yuna ke arah Bian. " Dia masih seorang pelajar, Ibu. Aku tidak Mau!"

"Yuna, tidak ada gunanya lagi kamu seperti ini, nak. Lihatlah para warga. Masalah akan lebih panjang. Jadi, tenangkan dirimu, nak. Semua peristiwa akan ada hikmahnya."

Yuna hanya bisa meneteskan air mata ketika proses ijab qabul akan di mulai. Melihat Yuna, Ibu Sukma berharap Bian akan berubah.

Kedewasaan Yuna membuat Ibu Sukma dalam hati bahagia atas peristiwa tersebut. Berharap dengan pernikahan itu Yuna bisa membawa perubahan dalam diri Bian.

Berbeda dengan Ibu Lusia, dirinya memang mengharapkan pernikahan Yuna, akan tetapi bukan dengan brondong seperti Bian yang terlihat masih sangat muda dari Yuna.

Satu kali tarikan napas, Bian dengan mudahnya mengucap ijab qabul. Seakan tidak ada beban dalam dirinya

SAH!

SAH!

Tatapan Yuna kearah Bian begitu tajam. Mengingat dirinya sudah menikah, Yuna begitu membenci yang namanya pernikahan. bukan tanpa alasan, Yuna masih sangat Ingat bagaimana ayahnya begitu mudahnya mengatakan cerai pada Ibunya dan memilih selingkuhannya.

"Ibu, kenalkan saya ibu Biansyah Hermawan. Ibu Sukma." Ibu Sukma mengajak Ibu lusia untuk berkenalan setelah mereka akan pulang.

"Saya Ibu lusia. Ibu Yuna Febrian." ibu lusia menerima perkenalan itu dengan Yuna di sampingnya. "Dan ini paman Yuna. Pak Sahir." Paman Yuna merupakan saudara dari Ibu lusia sendiri.

"Ini suami saya Tuan Hermawan" lanjut Bu Sukma. "Mengingat anak-anak kita sudah menikah kami berharap silaturahmi ini terjaga. Dan mewakili Bian, Kami sangat minta maaf."

Ibu Lusia paham akan situasi. Dirinya juga sebenarnya menyayangkan dengan Bian yang tidak banyak komentar.

"Kita pulang!" ajak Tuan Hermawan.

"Ibu, untuk sementara Bian kami titip. Kami akan menemuinya suatu hari nanti." Bisik Ibu Sukma memeluk Ibu lusia.

Ibu lusia tentu bertanya dalam hati apa sebenarnya yang terjadi pada Bian yang kini sudah menjadi menantunya.

Setelahnya, Ibu Sukma memeluk Yuna dengan erat. Sudah lama menginginkan dirinya seorang menantu dari anak pertamanya, Justru Bianlah yang masih jauh dari pengharapan memberinya menantu dalam keadaan terpaksa.

Lalu, kalian mau kemana?" tanya Ibu Yuna.

"Yuna akan kembali ketempat perkemahan, Ibu. Mereka pastinya sudah sangat khawatir denganku."

"Baiklah, Ibu dan paman pamit." ucap Ibu lusia dan beralih menatap Bian yang terlihat menarik napas panjang.

Melihat kedua ibu dan pamannya pergi, Luna dan Bian pun menuju perkemahan.

"Anggap saja kita tidak saling mengenal!" kata Yuna sebelum mereka berpisah menuju kema masing-masing.

"Kenapa harus pura-pura. Aku tidak takut." ujar Bian.

"Kamu tidak takut. Namun aku yang malu. Sungguh aku merasa sial semenjak bertemu denganmu!"

"Mbak menganggap aku pembawa sial?" Bian menunjuk ke arah Yuna dan Yuna menarik jari telunjuk Bian yang membuat Bian meringis.

"Jangan mengikutiku!" usir Yuna agar Bian tidak terus mengikutinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!