"Luna!" teriakku kepada putri kecilku yang berumur 5 tahun.
Luna adalah putri pertama ku, sejak lahir Luna memiliki cacat pada telinga sebelah kanannya. Itulah yang membuat pendengaran Luna terganggu. Semua itu karena kesalahanku, saat itu aku yang sedang mengandung Luna berusaha untuk menggugurkannya menggunakan obat-obatan, jamu bahkan memijatnya. Semua itu kulakukan karena aku depresi akan sikap kasar suamiku.
"Luna!" aku kembali berteriak sambil berjalan ke arah Luna yang sedang bermain di halaman depan.
"Eh Ibu," ucap Luna polos sambil tersenyum ke arahku yang sedang berdiri di hadapannya.
“Mainnya sudah dulu ya Nak, sekarang Luna tidur siang dulu," perintahku sambil duduk di hadapan Luna.
"Apa Bu," tanya Luna sambil mendekatkan telinganya.
" Sekarang waktunya tidur siang, mainnya dilanjutkan nanti sore ya," jawabku sambil berteriak.
"Iya Bu," jawab Luna sambil tersenyum.
Saat Luna tertidur pulas di kamarnya aku diam-diam masuk dan duduk di sampingnya. Siang itu kupandangi wajah polos putriku yang masih berusia 5 tahun ini. Kini hanya penyesalan yang selalu aku rasakan setiap melihat wajah putri kecilku.
"Maafkan Ibu Nak, seandainya dulu Ibu tidak berusaha untuk menggugurkan mu ini semua tidak akan terjadi," batinku sambil meneteskan air mata.
Namaku Rani, aku adalah Ibu sekaligus ayah untuk Luna putri semata wayangku. 5 tahun yang lalu tepat saat aku melahirkan Luna suamiku meninggalkanku entah kemana. Bahkan sampai saat ini hubungan kami seolah menggantung tanpa kejelasan.
Sekilas aku mengingat kejadian 5 tahun lalu saat itu aku baru saja melahirkan Luna. Mas Niko yang harusnya bisa menjadi ayah dan suami yang baik untuk kami justru meninggalkan kami tanpa alasan yang jelas. Hatiku saat itu benar-benar hancur, kelahiran seorang anak yang seharusnya menjadi kebahagiaan justru menjadi sebuah duka.
"Kamu mau kemana Mas," tanyaku kepada Mas Niko yang sedang mengemasi pakaiannya.
"Aku mau pergi dari sini, aku capek hidup dengan perempuan miskin dan pembawa sial sepertimu," jawab Niko sambil terus memasukkan pakaiannya ke dalam tas koper.
"Lalu bagaimana dengan aku dan Luna Mas," tanyaku penasaran.
"Aku tidak peduli, kamu dan anak cacat itu hanya bisa membuat ku malu saja!" bentak Mas Niko sambil menoleh ke arahku.
"Aku tahu ini semua salahku, tapi aku mohon jangan tinggalkan kami Mas," jawabku sambil memegang tangan suamiku yang berjalan ke arah pintu.
"Ah!" teriak suamiku sambil menarik paksa tangannya hingga aku terjatuh di lantai.
Sejak malam itu aku tidak pernah melihat ataupun mendengar kabar dari Mas Niko. Aku yang memang seorang anak yatim piatu berusaha merawat merawat Luna seorang diri. Semua aku lakukan demi menyambung hidup kami berdua, Luna yang saat itu masih berusia satu bulan sudah harus aku bawa bekerja sebagai seorang buruh cuci dari rumah ke rumah.
"Ibu menangis," tanya Luna sambil mengusap air mataku hingga mengejutkanku.
"Tidak Nak," jawab ku sambil menggelengkan kepala agar Luna mengerti walau tidak mendengar.
"Ibu aku lapar," ucap Luna sambil memegangi perutnya.
"Kamu mandi dulu ya," jawabku sambil menggandeng tangannya menuju ke kamar mandi.
Setelah selesai memandikan Luna akupun langsung berjalan ke dapur. Luna yang saat itu sudah rapi berjalan keluar rumah untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Tidak berapa lama aku pun menghampirinya sambil membawa sepiring nasi dan telur dadar untuk Luna.
"Luna!" teriakku sambil duduk di lantai yang tidak jauh dari Luna.
“Luna suka telur dadar ya, hampir tiap hari makannya telur dadar terus,” ucap salah satu ibu-ibu yang ada disitu.
“Iya Bu, alhamdulillah Luna tidak pernah pilih-pilih makanan selama ini," jawabku sambil menyuapi Luna.
Gajiku sebagai seorang tukang cuci rumahan memang tidak besar, jadi hanya cukup untuk membeli makanan untuk hari itu dan besok. Untungnya Luna tidak pernah mengeluh ataupun protes dengan apa yang aku berikan setiap harinya. Buat kami yang penting bisa makan saja itu sudah cukup.
“Eh Mbak Rani, kabar Mas Niko gimana sudah 5 tahun pergi tapi kok gak pulang-pulang, apa nggak kangen sama Luna," tiba-tiba seorang wanita menanyakan Mas Niko hingga membuatku terkejut.
“Luna kita makan di dalam ya Nak, tadi Ibu lupa belum matikan kompor, kami permisi dulu Bu,” jawabku sambil menggandeng Luna masuk ke dalam rumah.
Aku menghindari pertanyaan mereka bukan karena aku sakit hati ataupun tersinggung kepada mereka. Namun, aku hanya tidak mau Luna bertanya tentang ayahnya. Karena pertanyaan itu yang akan membuatku terluka nantinya.
"Ibu kenapa kita masuk ke dalam rumah, Luna masih ingin main sama teman-teman," tanya Luna yang ternyata dia tidak mendengar ucapanku tadi.
"Luna main di dalam rumah sama Ibu saja ya Nak," jawabku sambil mendekat ke telinganya.
Luna hanya mengangguk tanda setuju, aku bersyukur Luna tidak mendengar ucapan ibu-ibu tadi. Di kampung itu aku termasuk orang lama, karena sejak menikah dengan Mas Niko aku memutuskan untuk menempati rumah peninggalan almarhum orang tuaku. Jadi disaat Mas Niko tidak memberi nafkah pun aku tidak terlalu bingung dengan sewa rumah.
***
Hingga suatu pagi setelah Luna selesai mandi dan akupun mulai bersiap berangkat ke rumah salah satu tetangga untuk bekerja. Luna tiba-tiba menolak untuk ikut dengan alasan hari ini dia ingin bermain dengan salah satu temannya yang ada di samping rumah. Karena hari itu pekerjaanku tidak terlalu banyak dan jaraknya juga tidak terlalu jauh aku pun mengizinkannya dan mengantar Luna ke tetangga samping rumah sekalian menitipkannya.
"Permisi, Bu saya mau mengantar Luna sekalian mau menitipkannya disini sebentar,katanya dia mau main sama Siska dan yang lain," ucapku kepada sang pemilik rumah.
"Oh iya Mbak Rani, Luna masuk sini Nak," jawab sang pemilik rumah dengan sabar.
"Luna tidak boleh nakal ya, jangan bertengkar dan tunggu Ibu disini sampai Ibu pulang kerja," ucapku sambil sedikit berteriak di telinga Luna.
Setelah mengantar Luna aku pun langsung berangkat ke tempat kerjaku hari ini. Waktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan hari ini aku pun bergegas pulang. Namun, alangkah terkejutnya aku saat sang pemilik rumah mengatakan jika Luna sudah pulang ke rumah sejak tadi.
"Luna," ucapku saat melihatnya duduk sambil menangis di depan pintu.
"Ibu!" teriak Luna sambil berlari memelukku.
"Kamu kenapa menangis disini, bukannya tadi Luna main sama teman-teman," tanyaku penasaran.
"Ibu kenapa mereka jahat kepada Luna, apa karena Luna tidak punya Ayah," tanyanya sambil menangis.
"Ya allah apa yang terjadi dengan Luna, kenapa dia bisa berpikiran seperti itu," batinku sambil memeluknya dengan erat.
"Ibu apa benar Luna adalah anak haram, anak haram itu apa sih Bu," tanya Luna sambil terus menangis di pelukanku.
Mendengar pertanyaan Luna aku langsung menangis. Semua kenangan kelam di masa lalu harus aku gali kembali. Luna yang masih ada di pelukanku terus menangis menanyakan siapa ayahnya yang sebenarnya.
"Kita masuk ke dalam rumah ya Nak," ucapku sambil menggandeng Luna masuk ke dalam rumah.
"Bu, apa benar Luna anak haram, sebenarnya anak haram itu apa sih," tanya Luna penasaran sambil mengusap air matanya.
"Luna, coba sekarang kamu jelaskan siapa yang bilang jika Luna adalah anak haram," tanyaku kepada putri kecilku sambil mengajaknya duduk di sofa.
"Tadi teman-teman bilang kalau Luna tidak punya Ayah, dan mereka bilang Luna tuli," jawab Luna dengan polosnya.
"Ya Allah kasihan kamu Nak, di usiamu yang sekecil ini kamu harus merasakan sakitnya di bully," batinku sambil mulai memangku Luna.
"Dengarkan ibu baik-baik, Ayah Luna saat ini ada di luar kota yang jauh sekali dia bekerja untuk mencari nafkah, Ayah juga sangat menyayangi Luna," jawabku sambil meneteskan air mata.
"Lalu apa benar kalau Luna ini tuli makanya Ibu bicaranya selalu teriak-teriak kepada Luna," tanya Luna sambil mengusap air mataku dengan tangan kecilnya.
"Tidak Nak, Luna hanya sakit biasa, Ibu janji suatu saat nanti kamu pasti bisa sembuh," jawabku sambil tersenyum.
Ibu mana yang tidak sedih mendengar pertanyaan sang putri tentang ayahnya dan kondisinya. Mungkin saat ini aku memang tidak bisa membahagiakan putriku. Namun, aku yakin suatu saat aku akan bisa membawa Luna berobat ke dokter.
“Sekarang Luna tidur siang ya Nak,” ucapku sambil menggendongnya ke arah kamar.
Setelah menidurkan Luna akupun bergegas menuju ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Hari ini aku mendapat upah lebih dari hasil mencuci baju dan pemilik rumah juga memintaku untuk membersihkan rumahnya. Jadi aku berinisiatif untuk membeli satu ekor ayam dan sayur untuk Luna hari ini.
Beberapa jam kemudian Luna terbangun dari tidurnya. Setelah mandi aku mengajaknya ke teras rumah untuk menyuapinya. Ini pertama kalinya Luna merasakan ayam goreng.
"Hari ini kita tidak makan telur lagi ya Bu," tanya Luna sambil melihat piring yang ada di tanganku.
"Iya, alhamdulillah hari ini ibu ada rejeki jadi bisa belikan Luna ayam," jawabku sambil menyuapi Luna.
"Ini apa Bu," tanya Luna sambil menunjuk ke paha ayam yang ada di piring.
“Ya Allah ternyata putri ku memang tidak mendengar apa yang aku ucapkan kepadanya, maafkan Ibu Nak," batinku sambil meneteskan air mata.
"Kok Ibu menangis, Luna nakal ya Bu," tanya Luna sambil mengusap air mataku.
"Tidak Nak, ayo makan lagi," jawabku sambil memasukkan sendok ke mulut Luna.
Malam harinya saat aku sedang menidurkan Luna aku merasakan sebuah penyesalan yang dalam di diriku. Aku mengusap rambut panjang hitam dan lebat gadis kecil di sampingku. Hingga tiba-tiba Luna menanyakan suatu pertanyaan yang membuatku terkejut.
"Ibu, Ayah itu seperti apa sih," tanya Luna sambil menoleh ke arahku yang tidur di sampingnya.
"Kenapa Luna bertanya seperti itu lagi Nak," tanyaku penasaran.
"Apa Bu," jawab Luna polos.
"Luna kenapa bertanya tentang Ayah lagi!" jawabku dengan sedikit berteriak.
"Luna ingin sekali bisa bertemu dengan Ayah, Luna kangen sama Ayah Bu," jawabnya dengan wajah sedih.
"Ayah Luna adalah seorang Ayah yang baik, dan bertanggung jawab," jawabku dengan suara sedikit keras.
"Lalu kenapa Ayah meninggalkan kita Bu, apa Ayah membenci kita," tanya Luna penasaran.
"Tidak Nak, Ayah tidak pernah membenci kita. Dia begitu sangat menyayangi kita, tapi saat ini ayah sedang bekerja di luar kota," jawabku sambil menahan air mata ku.
"Apa kita bisa bertemu dengan Ayah," tanya Luna sambil duduk.
"Sekarang kita tidur ya Sayang besok Ibu ceritakan lagi tentang Ayah Luna," jawabku sambil menidurkan Luna.
Malam ini aku tidak dapat tidur dengan nyenyak karena memikirkan apa yang diucapkan Luna. Sesaat aku mengingat tentang pertemuan pertamaku dengan mas Niko. Mas Niko adalah seorang pemilik hotel terkenal di Jakarta.
Saat itu aku yang bekerja sebagai juru masak di salah satu catering milik ibunya tidak sengaja bertemu dengannya saat sedang mengantar sebuah makanan di rumahnya. Saat itu aku tidak sengaja menabrak Mas Niko yang sedang berjalan terburu-buru. Sejak pertemuan itu aku dan suami ku sering bertemu dan dia pun sering menemui ku di catering.
"Rani, apa kamu mau menikah denganku," tanya Mas Niko sambil menggenggam tanganku.
"Itu tidak mungkin Mas, aku hanya pegawai rendahan sedangkan kamu adalah pemilik sebuah hotel terkenal serta anak dari pengusaha sukses," jawabku sambil melepaskan pegangan tangan Mas Niko.
"Aku tidak peduli, Aku akan secepatnya berbicara pada orang tua ku tentang pernikahan kita," ucap Mas Niko sambil berusaha meyakinkan ku.
Keesokan harinya saat aku sedang sibuk dengan pekerjaanku di catering tiba-tiba Mas Niko datang dan langsung menarikku ke dalam mobilnya. Dia langsung melajukan mobilnya ke sebuah pusat perbelanjaan di pusat kota Jakarta. Mas Niko membelikan aku sebuah baju dan membawaku ke sebuah salon yang terkenal di pusat perbelanjaan itu.
"Kenapa kamu lakukan ini kepada ku Mas," tanya ku penasaran saat kami sudah di dalam mobil.
"Kamu akan tahu nanti, dan aku yakin kamu akan menyukainya," jawab Mas Niko sambil mulai menjalankan mobilnya.
Tidak beberapa lama kami pun tiba di sebuah rumah makan yang sangat mewah. Terlihat beberapa orang duduk di beberapa meja dengan menggunakan gaun dan jas yang begitu mahal. Ini adalah pengalaman pertama untukku masuk ke dalam rumah makan besar dan mewah.
"Selamat Nyonya, Tuan apa sudah pesan tempat malam ini," tanya seorang pelayan.
"Saya sudah pesan ruangan vvip untuk pertemuan keluarga atas nama Niko," jawab Mas Niko sambil tersenyum ramah.
"Baik silahkan Tuan, beberapa keluarga anda sudah menunggu di ruangan tersebut," jawab sang pelayan sambil berjalan mengantarkan kami.
"Mas, kenapa kita kesini makanan di sini pasti mahal, ayo kita pergi dari sini," bisikku kepada Mas Niko.
"Sudah ikuti saja langkah pelayan ini," jawab Rudi sambil tersenyum ke arahku.
Ruangan restoran yang begitu dingin membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Suara permainan biola dan piano membuat suasana restoran itu menjadi sangat romantis. Kami pun tiba di sebuah ruangan yang mewah, tapi ada sesuatu yang membuatku terkejut di tempat itu.
“Nyonya,” batinku saat melihat bos ku duduk di salah satu kursi.
“Selamat Malam!” teriak Niko hingga membuat seluruh orang yang ada di ruangan itu menoleh ke arah kami.
“Sebenarnya ada apa ini Mas,” tanyaku penasaran.
“Sudah kamu ikuti aku saja,” jawab Niko sambil menggandengku.
“Mama, Papa kenalkan ini Rani,” ucap Niko sambil memperkenalkan aku kepada orang tuanya.
"Kamu," ucap Nyonya Saras kaget.
"Malam Nyonya," sapa ku sambil tersenyum.
"Kenapa kamu disini, bukannya jam segini kamu masih ada pekerjaan," tanya Nyonya Saras sambil melihat jam di tangannya.
"Aduh, apa yang harus aku jawab sekarang," batinku sambil menunduk.
"Kenalkan ini Rani calon istri Niko," ucap Niko sambil tersenyum di hadapan orang tuanya.
"Apa! Apa kamu tidak salah pilih, dia ini karyawan rendahan di catering Mama," jawab Saras sambil berdiri.
"Memangnya kenapa kalau Rani ini karyawan di catering Mama!" bentak Niko kepada sang Mama.
"Lebih baik kita pulang dan selesaikan masalah ini di rumah," ucap Herman sambil menggandeng sang istri.
"Niko Papa tunggu kamu di rumah," ucap Herman sambil menoleh ke arah Niko.
Sejak saat itu hukuman Niko dan orang tuanya menjadi renggang karena Niko tetap memilihku daripada orang tuanya. Hingga suatu hari Niko membawa ku ke rumah orang tuanya dan menggatakan jika dia akan menikahiku dalam waktu dekat. Hingga membuat sang papa memberi dua pilihan kepada Niko.
"Jika kamu bersikeras menikah dengan perempuan ini Papa akan mencoret nama mu sebagai ahli waris tunggal keluarga kita serta seluruh hotel atas namamu akan papa hapus," ucap herman sambil bertola pinggang.
"Maaf Pa, aku akan tetap menikah dengan Rani apapun yang terjadi," jawab Niko sambil menggandeng tangan ku keluar dari rumah ini.
"Niko! Selama kamu masih berhubungan dengan peremuan miskin itu jangan pernah injakkan kakimu di rumah ini," teriak Herman saat melihat kami berjala keluar.
"Apa yang harus kita lakukan Pa," tanya Saras kepada sang suami.
"Kamu tenang saja, aku yakin Niko akan kembali pulang karena aku paham betul dia tidak akan bisa hidup susah," jawab Herman dengan percaya diri.
Kami pun melangsungkan pernikahan dengan sederhana tanpa dihadiri oleh orang tua dan keluarga besar Mas Niko. Setelah menikah aku dan Mas Niko memutuskan untuk tinggal di sebuah kampung yang jauh dari hiru pikuk kota. Mas Niko saat itu hanya bekerja sebagai seorang kuli panggul disebuah agen beras milik Juragan Basir.
Pernikahan kami berjalan sangat bahagia, Mas Niko juga tidak pernah mengeluh dengan lelah dan kerasnya pekerjaannya saat ini. Hingga suatu hari tepat di dua tahun pernikahan kami Mas Niko mulai berbuat kasar, seolah dia menyesal dengan keputusannya untuk menikah denganku. Aku yang saat itu sedang menggandung Luna sering mendapat perlakuan kasar baik secara Fisik ataupun secara ucapan.
“Ayah!” teriak Luna hingga mengagetkan ku yang sedang melamun di sampingnya.
“Astaghfirulllah, Luna kenapa Sayang,” ucapku sambil memeluknya yang terduduk di tempat tidur.
“Luna mimpi Ayah pulang kerumah lalu pergi lagi,” jawabnya sambil menangis.
“Ya Allah sedalam itukah rindu putriku kepada Ayahnya,” batinku sambil terus memeluk Luna dengan erat.
“Ibu ayo kita ketempat kerja Ayah,” ucap Luna sambil menatap ke arahku.
“Iya nanti kalau Ibu sudah ada rejeki kita ke Ayah, sekarang kita tidur lagi ya,” ucapku sambil membaringkan Luna di tempat tidur.
“Mas Niko, aku harus mencarimu kemana Mas,” batinku sambil membelai rambut Luna.
Beberapa bulan kemudian akupun menyewakan rumah peninggalan orang tuaku. Rencananya uang itu aku gunakan untuk menyewa sebuah rumah kecil di Kota sambil mencari keberadaan suamiku. Untuk menghidupi kebutuhan hidup kami selama di kota aku membuka sebuah warung nasi sederhana dengan menggunakan sisa uang yang aku miliki.
“Ibu, Luna pergi mengaji dengan teman-teman ya!” teriak Luna sambil berlari menuju ke sebuah masjid.
“Iya, hati-hati Nak!” jawabku sambil berteriak.
Sejak tinggal di Kota Luna mempunyai banyak teman yang sangat baik kepadanya. Bahkan mereka tidak pernah mengejek kondisi Luna yang mempunyai pendengaran kurang jelas. Warung nasi ku juga cukup ramai, bahkan hampir setiap hari aku bisa menghabiskan 5kg beras untuk berjualan.
“Ibu!” teriak Luna sambil berlari ke arahku yang sibuk dengan para pembeli.
“Iya Sayang ada apa,” tanyaku sambil terus melayani beberapa tamu yang ingin makan di warungku.
“Tadi Luna hampir saja keserempet mobil om kaya,” ucap Luna hingga membuatku terkejut.
“Ya Allah, tapi Luna tidak apa-apa ‘kan coba beritahu Ibu mana yang sakit,” jawabku sambil memutar badan Luna dan mengecek apa ada luka di badannya.
“Untungnya om itu baik Bu, Luna diajak ke minimarket dan dibelikan banyak makanan, kawan-kawan juga dberikan banyak makanan oleh om itu,” ucap Luna yang ternyata tidak mendengar pertanyaanku.
“Luna, Ibu tanya apa ada yang terluka di badan Luna,” tanyaku sambil sedikit berteriak.
“Tidak Bu,” ucapnya sambil memutar-mutarkan badannya.
“Kalau begitu sekarang Luna masuk ke rumah dan ganti baju ya,” jawabku sambil berteriak.
Sejak kejadian Luna sering sekali menceritakan tentang laki-laki yang dia panggil dengan sebutan Om baik. Luna juga bercerita bahwa laki-laki itu adalah orang kaya dan sangat tampan. Mereka hampir setiap hari bertemu di masjid tempat Luna mengaji.
“Luna, lain kali kalau Om baik datang jangan mau dikasih apa-apa ya Nak,” ucapku sambil berteriak dan memegang pundaknya.
“Memang kenapa Bu, Om itu ‘kan baik,” tanya Luna penasaran.
“Nak, kita tiidak boleh meminta apapun dari orang lain, apalagi orang yang tidak kita kenal,” jawabku sambil memangku putri kecil ku.
“Tapi ‘kan Luna nggak minta, Om itu sendiri yang memberikannya untuk Luna,” jawab Luna polos.
“Ya sudah sekarang kita istirahat, hari sudah malam,” ucapku sambil menggandeng Luna ke arah kamar.
Sepanjang perjalanan ke kamar Luna terus saja menceritakan tentang kebaikan laki-laki yang dia sebut sebagai Om baik. Seorang laki-laki yang dia kenal saat sebuah mobil hampir menyerempetnya. Aku yang merasa penasaran dengan sosok Om baik idaman Luna berniat untuk mencari tahu siapa laki-laki itu sebenarnya.
***
Keesokan harinya aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Namun, hari ini aku berniat untuk tidak membuka warung makan ku. Aku berniat untuk mencari tahu siapa laki-laki yang Luna panggil sebagai Om baik.
Setelah menyeesaikan semua pekerjaan rumahku, aku pun bergegas menuju ke masjid tempat Luna belajar mengaji. Hampir 1 jam aku menunggu kedatangan laki-laki itu. Namun, tidak juga ada tanda-tanda kedatangannya.
“Sepertinya laki-laki itu tidak akan datang hari ini,” batinku ku sambil berdiri dari tempat duduk ku dan melihat sekeliling halaman masjid.
Jam menunjukkan pukul 5 sore, aku yang sudah merasa lelah langsung berdiri dan memutuskan untuk pulang. terlihat beberapa anak-anak mulai keluar dari masjid tersebut. Namun, saat aku akan meninggalkan tempat tersebut terdengar suara seorang laki-laki mmanggil nama Putriku.
“Luna!” teriak laki-laki itu.
“Om Baik,” ucap Luna sambil berlari ke arah laki-laki itu dan memeluknya.
Seketika aku menoleh ke arah suara teriakkan Luna. Namun, sayangnya aku tidak dapat melihat wajah laki-laki itu. Aku yang saat itu sengaja sembunyi di samping masjid membuatku susah untuk melihat wajah sang laki-laki tersebut.
“Siapa Laki-laki itu, dan apa tujuannya terus menemui Luna,” ucapku sambil menatap Luna yang sedang memeluk laki-laki tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!