NovelToon NovelToon

Suamiku Tajir & Arogan (Season 2)

BAB 1

Cristina Widjaja sudah berusia 3 tahun, balita tersebut begitu aktif. Ia sangat senang berlari kesana-kemari dan menghancurkan barang-barang yang ada di sekitarnya.

Bastian yang lebih dewasa dari usianya sangat kelelahan saat menjaga adiknya yang terus berlarian.

"Stop Cristin... jangan lari lagi...!!" teriak Bastian sambil mengejar adiknya.

Cristina justru berlari semakin kencang sambil.mengejek kakaknya.

"Cristin... stop it," teriak Bastian makin kesal.

Kali ini Cristina justru berlari ke arah halaman rumah mereka. Balita tersebut menjulurkan lidahnya pada kakaknya.

"ancap... ancap... acu..." teriak Cristin yang masih belum berbicara dengan lancar.

Bastian menghela nafas panjang, alih-alih berhenti justru adiknya minta di tangkap.

"Jika kau jatuh, mami justru akan memarahiku. Sudahlah... malas aku bermain denganmu," ucap Bastian.

Bastian memberengut seraya duduk di rumput taman tersebut. Sontak Cristina menghampiri kakaknya yang sedang berpura-pura marah padanya. Cristina mencium pipi Bastian.

Bastian menahan tawanya, melihat kakaknya yang masih bergeming, sontak Cristina menaiki tubuh kakaknya hingga keduanya berguling di rerumputan sambil tertawa.

Rafael dan Delia yang sedang di ruang keluarga terus memperhatikan kedua anak mereka lewat jendela kaca.

"Aku senang Tian bisa menjaga adiknya dengan baik," ucap Delia.

"Putra kita itu cerdas dan lebih dewasa dari usianya. Aku bahagia punya kalian, saat aku melihat Tian, aku seperti melihat diriku sendiri yang tampan," jawab Rafael.

"Ckckck... kau tetap saja narsis. Kau lupa jika usiamu semakin tua sayang."

"Hei... aku baru tiga puluh empat tahun. Aku masih mampu membuat anak anak lagi. Berapa kali dalam semalam pun aku masih kuat sayang, bukankah kau sudah membuktikannya," goda Rafael.

Wajah Delia merona, seketika wanita itu melemparkan bantal sofa pada suaminya yang selalu berpikiran kotor. Tapi yang dikatakan Rafael memang benar, mereka terkadang bisa melakukan hubungan suami istri hingga berkali-kali dalam satu malam.

"Jangan pernah mengatakan hal seperti itu di depan anak anak kita, kau harus memberi contoh baik untuk anak anak."

Rafael terkekeh seraya menarik istrinya mendekat, "aku bukan ayah yang buruk sayang, aku hanya berani mengatakannya padamu."

"Lepaskan aku, nanti anak anak masuk."

Rafael justru memerangkap tubuh Delia ke sofa lalu mencium bibirnya. Delia berusaha mendorong suaminya.

"Kau gila... anak anak..."

Rafael kembali membungkam mulut Delia dengan ciu man. Akhirnya Delia pun menyerah seraya membalas sentuhan suaminya.

"Kita harus berhenti sayang," pinta Delia.

Rafael menarik diri sambil menghela nafas panjang, "aku terus menginginkanmu sampai gila."

Delia terkekeh geli, "sayang, aku ingin bicara serius."

Rafael menyipitkan matanya, "apa kau sedang hamil lagi?"

"Ya Tuhan... pikiranmu."

Rafael terkekeh geli melihat kekesalan Delia.

"Apa kau ingin tas, sandal, berlian, pakaian?" tanya Rafael.

"Rafael Widjaja, kau menyebalkan sekali," gerutu Delia.

"Baiklah, maaf sayang. Katakan apa?"

Delia menarik nafasnya dalam-dalam, "aku rasa anak anak kita sudah bisa aku tinggalkan, aku berniat untuk kuliah lagi."

Rafael terkejut mendengarnya, "aku bukan melarangmu untuk melanjutkan pendidikan, tapi aku lebih senang kau menjadi ibu dari anak-anakku saja."

"Jadi bagimu aku hanya cocok menjadi ibu rumah tangga?"

Rafael menghela nafasnya, ia menarik tangan Delia seraya menggenggamnya, "bukan seperti itu Delia. Aku pikir kau tidak memikirkan masalah kuliah lagi, aku pikir..."

"Aku ingin punya gelar seperti para istri kolega bisnismu. Aku tidak ingin menjadi bahan ejekan karena hanya lulusan SMA. Aku ingin menunjukkan diri dengan bangga bahwa aku istrimu yang berpendidikan tinggi," potong Delia.

"Apa kau pernah diejek mereka? Siapa yang berani mengusik istriku?"

"Mengertilah maksudku, walaupun mereka tidak pernah secara terang-terangan mengejekku, tapi saat mereka bertanya aku lulusan apa, bagaimana menurutmu perasaanku?"

Rafael menatap kedua anaknya yang masih bercanda di taman.

"Lalu bagaimana dengan mereka?" tanya Rafael.

"Bukankah kita memperkerjakan pengasuh, papi dan mama juga senang menjaga cucu-cucunya."

"Delia, kita tidak bisa merepotkan papi dan mama. Usia mereka tidak muda lagi, bagaimana kau bisa berpikir untuk menyerahkan anak anak pada orang tua kita."

"Kami tidak merasa repot Raf, kami justru senang," ucap Helena sambil melangkahkan kakinya masuk bersama Hartanto.

Kedatangan mereka tentu saja membuat Rafael dan Delia terkejut.

"Apa yang kalian bicarakan sampai tidak menyadari kedatangannya kami?" tanya Hartanto.

"Maaf... kami memang tidak mendengar kedatangan kalian," ucap Rafael.

Seketika Delia beranjak dari tempat duduknya lalu memeluk Helena. Bastian dan Cristina seketika masuk ke dalam saat mereka melihat kedatangan kakek dan neneknya. Keduanya langsung memeluk mereka dengan senang.

"Apa yang membuatmu berpikir jika kami kerepotan merawat cucu-cucu kami Raf, mereka justru sangat menggemaskan, kami belum terlalu tua hingga kesulitan," ucap Helena.

"Bukan seperti itu ma, hanya saja..."

"Mengapa tiba-tiba kalian membicarakan soal anak-anak?" sergah Hartanto.

Delia menatap suaminya ragu, ia tak bisa mengatakannya secara langsung pada mereka. Akhirnya Rafael lah yang mengatakan pembahasan mereka tadi.

"Ya Tuhan, kau bodoh jika melarang istrimu kuliah lagi. Apa yang dikatakan Delia memang benar, ia harus berdiri tanpa menundukkan kepalanya di depan kolega bisnismu. Papi sangat setuju jika Delia melanjutkan pendidikannya."

"Soal anak anak, serahkan padaku," sahut Helena.

Rafael menghela nafas panjang, "baiklah, jika kau sudah yakin, aku akan mendukungmu sayang."

Sontak Delia memeluk suaminya karena senang, ia lupa jika banyak mata di sana. Setelah sadar, Delia langsung melepaskan pelukannya membuat mereka semua terkekeh geli.

"Kalian pasti belum makan siang, biar aku menyiapkannya," ujar Delia.

"Kami memang merindukan masakanmu Delia," jawab Helena.

Delia tersenyum lebar, ia pun segera beranjak dari sana menuju dapur. Walaupun mereka memiliki banyak pelayan, namun Delia memang lebih suka memasak sendiri kecuali ia sedang sibuk dan tak sempat memasak. Helena ternyata mengikuti Delia untuk membantunya memasak.

*****

Makan siang pun akhirnya siap, mereka semua menuju ruang makan. Di saat yang lain memasukkan makanannya ke dalam mulut mereka, Cristina justru terus mengaduk-aduk piringnya hingga berantakan. Ia terus menolak suapan dari pengasuhnya.

Bastian yang kesal melihatnya sontak menatap tajam Cristina, "kau harus makan jika ingin cepat besar."

Cristina memberengut sambil menggelengkan kepalanya.

"Cristin, apa makanan tidak enak?" tanya Delia.

"A... mami... a..." jawab Cristina.

Delia terkekeh, putrinya ingin ia yang menyuapinya. Delia pun pindah tempat duduk untuk menggantikan pengasuhnya menyuapi Cristina.

"Dasar anak mami, manja..." celetuk Bastian.

"Bialin..." jawab Cristina.

"Manja... cengeng..." ejek Bastian.

"Ssstttt... bukankah mami pernah bilang, jangan bersuara jika sedang makan," kata Delia.

Seketika keduanya menurut dan diam. Yang lain hanya memperhatikan mereka sambil menahan tawanya.

Hidangan di atas meja nyaris habis, Rafael pun mulai berani berbicara setelah menyelesaikan makannya.

"Kami tadinya memang berniat berakhir pekan ke rumah papi dan mama, tapi ternyata kalian datang lebih dulu," ujar Rafael.

"Aku sudah bilang jika kalian yang akan datang, tapi papimu sangat tidak sabar untuk bertemu dengan cucu-cucunya," jawab Helena.

"Bukan hanya aku, kau pun sama kan?" goda Hartanto.

Helena terkekeh, "mereka sangat menggemaskan, bagaimana mungkin aku tidak merindukannya."

"Menggemaskan apanya? Cristin bahkan nyaris menghancurkan rumah ini, ia begitu aktif dan suka berlarian," kata Delia.

"Bukankah anak seusianya memang seperti itu Del," kata Hartanto.

"Tian tidak seperti itu saat kecil, entahlah kenapa Cristin sangat berbeda. Hampir semua vas dan guci kesayanganku hancur," gerutu Delia.

"Aku akan membelikannya lagi sayang," jawab Rafael.

"Bukan masalah itu, aku mengkhawatirkan putri kita. Aku takut ia terluka karena pecahan vas dan guci. Ia akan menjadi seorang gadis nantinya, aku tak ingin tubuhnya memiliki bekas luka."

"Zaman sekarang banyak operasi plastik."

"Terus saja kau seperti itu," gerutu Delia.

Hartanto dan Helena hanya bisa tertawa mendengar perdebatan mereka.

"Kapan Firdaus pulang?" tanya Rafael tiba-tiba.

"Ia sudah menyelesaikan kuliahnya, tapi ia belum ingin kembali," jawab Hartanto.

"Ia bilang tahun depan baru pulang Raf," sahut Helena.

"Suruh ia berhenti bermain-main, sudah saatnya ia membantu perusahaan. Seharusnya ia sudah mengerti soal bisnis," kata Rafael.

"Papi sudah memintanya seperti itu, tapi ia belum bersedia. Mungkin ia masih malu karena pernah membuat masalah."

"Aku sudah memaafkannya, jangan mengungkit masa lalu lagi. Apa ia tak ingin bertemu dengan keponakannya?"

"Mama pernah membahas soal Tian dan Cristin, tapi ia bilang belum saatnya. Selalu seperti itu hingga aku lelah membujuknya."

"Baiklah, biarkan saja. Kita tunggu saja sampai ia ingin kembali sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun."

Mereka pun mengangguk, semuanya meninggalkan ruang makan. Bastian dan Cristina kembali bermain sambil main kejar-kejaran.

Baru saja mereka ingin melanjutkan pembicaraan, suara tangisan Cristina terdengar sangat keras. Sontak pengasuh melihatnya dan berteriak saat melihat kaki Cristina berdarah begitu banyak.

"Tuan... nyonya..." teriak pengasuh tersebut.

Seketika mereka berlari ke arah suara. Delia nyaris pingsan saat melihat darah di lutut Cristina yang mengalir hampir memenuhi kaki kecilnya.

"Kenapa dengan kakinya?" teriak Rafael panik seraya menggendong Cristina yang terus menangis.

"Cristin jatuh, Tian tidak salah," jawab Bastian seraya ikut menangis dengan keras.

Rafael dan Delia segera berlari membawa putrinya menuju mobil mereka.

"Papi, mama... tolong jaga Tian. Aku dan Delia akan membawa Cristin ke rumah sakit," pinta Rafael.

Hartanto dan Helena pun menganggukkan kepalanya sambil menenangkan Bastian yang terus menangis.

Sepanjang perjalanan, Delia terus menutupi lutut putrinya dengan tisu. Namun darahnya masih juga tidak berhenti.

"Suamiku... cepatlah..." pinta Delia.

Rafael menganggukkan kepalanya seraya menambah kecepatan mobilnya.

"Ya Tuhan... Cristin tenanglah sayang," ucap Delia agar putrinya berhenti menangis.

Mereka akhirnya sampai di rumah sakit, Cristina segera dibawa ke ruangan UGD. Dokter mengatakan lukanya sangat lebar dan dalam, itulah kenapa darahnya sangat banyak. Mereka harus melakukan tindakan dengan menjahitnya.

Delia hanya bisa mengangguk sambil memeluk putrinya yang terus menangis dengan keras. Setelah mendapat perawatan, mereka pun akhirnya bisa pulang. Cristina tertidur karena kelelahan di pelukan Delia. Keduanya pun kembali ke rumah mereka.

Sepanjang perjalanan Delia justru menangis membuat Rafael terkejut.

"Sudah tidak apa-apa sayang, putri kita hanya terluka sedikit," kata Rafael.

"Sepertinya aku tidak boleh kuliah lagi. Aku harus menjaga mereka dengan baik, aku takut mereka terluka."

"Jangan berpikiran yang tidak-tidak, ini bukan salahmu. Cristin memang sangat aktif, pengasuh yang tidak menjaga mereka dengan baik."

Delia menatap perban di lutut putrinya, "apa lukanya akan berbekas?"

"Tadi dokter sudah memberikan obat yang terbaik, ada juga obat menghilangkan bekas luka yang harus dioleskan setelah lukanya sembuh. Tenangkan dirimu Delia."

Delia menghapus air matanya seraya menganggukkan kepalanya.

"Aku harap Cristin tidak akan terluka lagi," ucap Delia.

"Aku akan mencari pengasuh yang lebih baik lagi sayang, percayalah padaku."

"Terima kasih suamiku, kau selalu menjadi suami dan ayah yang hebat untuk kami."

Rafael mengelus kepala istrinya, "untuk itu berhentilah menangis," pintanya.

*****

Happy Reading All...

BAB 2

Seminggu kemudian...

Setelah kejadian jatuhnya Cristina, membuat Delia lebih memperhatikan putra putrinya. Bahkan benar kata Rafael, Cristina pasti akan berhenti berlari karena takut jatuh lagi. Cristina memang tidak berlari-larian lagi, tapi balita itu sering melemparkan barang barang yang ada di sekitarnya membuat pengasuh kembali kerepotan.

Pengasuh Cristina sebelumnya tidak diberhentikan atas permintaan Delia. Pengasuh itu berjanji akan lebih baik dalam bekerja agar kejadian sebelumnya tidak terjadi lagi. Namun Rafael tetap memaksa untuk mencari pengasuh tambahan.

Luka di lutut Cristina memang sudah sembuh total, tinggal sedikit lagi bekas jahitan yang masih terlihat di sana. Kali ini Bastian kembali mengeluh karena barang barang miliknya dihancurkan adiknya.

"Mami... Cristin nakal...!" teriak Bastian.

Seketika Delia menghampiri mereka. Dua pengasuhnya terlihat kerepotan untuk menghentikan tingkah nakalnya. Bastian menekuk wajahnya karena robot kesayangannya dipatahkan oleh Cristina.

"Oh ya ampun Cristin. Kau menghancurkan mainan kakakmu."

"Pindem ooo..." ucap Cristina.

"Ini bukan pinjam namanya, haisssss... menyebalkan sekali," gerutu Bastian.

"Mbak, bawa Cristina keluar," pinta Delia pada pengasuhan.

"Baik nyonya," jawab pengasuh seraya mengangkat tubuh mungil Cristina.

Awalnya balita itu berontak tapi akhirnya ia menurut juga dan keluar dari kamar Bastian. Delia berjongkok di depan putranya.

"Mami akan membelikannya lagi yang baru, berhentilah cemberut seperti itu sayang."

Bastian menganggukkan kepalanya, Delia pun memeluk putranya dengan lembut.

"Kau pasti lelah menjaga adikmu, apakah mami harus mengurungkan niat untuk kuliah lagi?"

"Jangan mami, Tian sama sekali tidak lelah. Tian pasti akan menjaga Cristin dengan baik."

"Maafkan mami sayang."

"Mami tidak salah, seharusnya Tian mengalah pada Cristin."

"Ya Tuhan... kau memiliki pemikiran yang dewasa. Mami sangat menyayangimu Tian."

Bastian memeluk ibunya lebih erat, "Tian juga sangat menyayangi mami."

"Tian... apa kau tahu, nanti pasti mami akan jarang menemani kalian bermain lagi."

Bastian mengangguk.

"Apa kau tidak keberatan?"

"Tentu saja tidak, selama itu bisa membuat mami bahagia, aku akan mendukungnya."

Seketika Delia mengecup pipi putranya membuat Bastian terkekeh geli.

"Hm... kalian tidak mengajak papi tertawa," ujar Rafael masuk ke dalam kamar Bastian sambil menggendong Cristina.

Seketika Delia dan Bastian terkejut melihat kedatangan Rafael. Bastian bangun lalu memeluk ayahnya.

"Kau sudah pulang," ucap Delia.

"Ada apa sayang?"

Delia menunjukkan mainan Bastian yang hancur berantakan, "lihatlah ulah putrimu, aku berusaha menghibur putra kita."

Rafael menghela nafas panjang, "Cristin... kau nakal lagi?"

"No... papi..." jawab Cristina.

Rafael dan Delia hanya tertawa karena mereka tak mungkin memarahi putrinya.

Rafael membungkukkan tubuhnya mendekati telinga Bastian. Sontak Bastian lompat kegirangan seraya berlari keluar.

"Jangan lari Tian, kau bisa jatuh," teriak Delia, "apa yang kau bisikkan?" tanyanya pada Rafael.

Rafael menyeringai, "aku bilang ada hadiah untuknya di dalam mobil."

"Astaga, pantas saja. Kau terlalu memanjakan mereka."

"Aku juga memanjakanmu sayang," ucap Rafael seraya mengambil sebuah kotak perhiasan dari saku celananya, "bukalah..."

"Lagi? Toko perhiasan bisa pindah ke rumah ini jika kau terus melakukannya."

"Bukalah..."

Delia pun membuka kotak tersebut, wanita itu terbelalak lebar saat melihat sebuah kunci mobil di dalamnya.

"Kau mulai kuliah besok, kau harus membawa mobil sendiri," ucap Rafael.

Sontak Delia tertawa, "kau ingin aku kuliah atau menabrak orang Raf. Aku masih belum mahir mengemudi."

Rafael ikut tertawa, "ambil hadiahnya dulu, jika ada waktu luang belajarlah mengemudi."

"Kau tidak bisa mengantar jemputku ya?"

"Bukannya aku tak ingin sayang, kau kan tahu pekerjaanku sekarang bagaimana. Aku juga sering ke luar negeri. Aku tak ingin kau naik kendaraan umum, kau bisa bawa mobil sendiri."

"Aku bisa meminta sopir untuk mengantar jemputku. Aku benar benar tidak nyaman mengendarai mobil sendiri."

"Jadilah istri Rafael Widjaja yang memakai fasilitas yang ada. Kau terlalu hidup sederhana sebagai nyonya muda Widjaja."

Delia tak bisa berdebat lagi dengan suaminya, Bastian kembali dengan membawa beberapa kantong plastik yang berisi mainan.

"Cristin... ini milikmu," ucap Bastian.

Rafael menurunkan Cristina dari gendongannya, kedua anak mereka langsung membongkar isi mainan itu dengan senang. Keduanya kembali bermain bersama, sedangkan Rafael dan Delia meninggalkan mereka di kamarnya sambil menyuruh pengasuhnya kembali menjaga mereka.

Delia pun bersama Rafael keluar rumah untuk melihat mobil baru yang dihadiahkan untuk Delia. Tapi akhirnya Delia tetap menolaknya, ia tak suka membayangkan mengendarai mobil di tengah kemacetan jalanan ibukota. Dengan perdebatan yang cukup lama, Rafael tetap kalah dari istrinya. Walaupun Delia tak ingin mengendarai mobilnya sendiri, tapi mobil tersebut tetap menjadi hadiah untuk Delia. Rafael berharap suatu saat istrinya mau mengendarainya.

*****

Malam semakin larut, akhirnya kedua anak mereka tertidur. Delia kembali ke kamarnya dan mendapati suaminya justru masih sibuk dengan laptopnya.

"Tak bisakah kau berhenti jika sudah sampai di rumah?" tanya Delia.

Rafael mendongakkan kepalanya, "sebentar lagi sayang."

Delia menghela nafasnya, "terus saja seperti itu dan jangan pedulikan aku," gerutunya.

Rafael menutup laptopnya, pria itu pun beranjak dari tempat duduknya seraya menghampiri istrinya.

"Jangan marah, tapi masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sayang."

"Lanjutkan saja, aku ingin tidur."

Seketika Rafael memeluk istrinya dari belakang.

"Aku minta maaf, apa kau benar benar sudah siap kuliah besok?" tanya Rafael mengalihkan pembicaraan.

Delia menganggukkan kepalanya, "aku akan memulai dari semester kedua."

"Jangan memaksakan diri jika kau lelah."

"Saat sudah ingin mulai, aku justru semakin berat meninggalkan anak anak. Akankah mereka baik baik saja?"

"Bukankah kau yang bilang kalau ada papi dan mama yang akan menjaga mereka juga."

"Mungkin pikiranku terlalu berlebihan."

Rafael membalikkan tubuh Delia, "sayang, kemungkinan aku juga akan sering meninggalkan anak anak. Aku akan mengurus properti di luar negeri, dan itu mengharuskan aku untuk pergi."

"Mengapa kau baru mengatakannya sekarang?"

"Apa bedanya?"

"Jika kau mengatakannya sebelum aku daftar kuliah lagi, aku mungkin akan mengurungkan niatku untuk..."

"Itulah kenapa aku tak mengatakannya lebih awal, karena kau pasti berpikir untuk mengalah. Tetaplah lanjutkan yang sudah kita rencanakan," sergah Rafael, "Delia, lusa aku akan berangkat ke China, tapi aku tak tahu harus berapa lama di sana," imbuhnya.

Seketika Delia melepaskan dirinya, "kau bahkan ingin meninggalkan kami secepat itu."

"Ada sedikit masalah, seharusnya aku pergi bulan depan. Tolong mengertilah sayang..."

Delia beranjak dari sana, seketika Rafael menahan tangannya. Delia dengan kesal menepiskan tangan suaminya.

"Kau berubah, kau tidak mengutamakan aku lagi. Jika kita sama sama sibuk, bagaimana dengan anak kita. Kau membuatku semakin merasa bersalah," ujar Delia kesal.

"Justru aku seperti ini karena mengutamakanmu di atas segalanya. Aku tak ingin..."

"Kau kembali egois, kau bersikap arogan hingga mengambil keputusan yang menurutmu benar," sergah Delia.

"Delia... bukan seperti itu."

"Berhentilah, aku tidak ingin berdebat lagi."

Delia pun naik ke atas ranjangnya. Rafael menarik nafasnya dalam-dalam, pria itu membuka kemejanya lalu menggantinya dengan piyama tidurnya. Pria itu tak bisa melanjutkan pekerjaannya sebelum bisa merayu istrinya yang sedang marah.

Rafael ikut naik ke atas ranjang, pria itu langsung memeluk Delia dari belakang.

"Maaf..." ucap Rafael.

Delia terus bergeming.

Rafael justru menyingkirkan rambut istrinya lalu mulai menelusuri lehernya dengan bibir. Bulu kuduk Delia mulai meremang mendapat sentuhan itu.

"Istriku, maaf..."

Delia masih bergeming. Rafael tak bisa menahan dirinya lagi, pria itu sontak membalikkan tubuh Delia dan langsung menghujani kecupan demi kecupan di wajahnya. Hasr@t mereka kembali tersulut, dan malam yang panas pun kembali dilakukan bersama. Rafael tersenyum penuh kemenangan karena berhasil membujuk istrinya dan justru mendapatkan bonus yang memuaskan hasr@tnya.

*****

Keesokan harinya...

Delia bersiap-siap untuk kuliah, namun wanita itu menggerutu karena lehernya dipenuhi bekas percint@an mereka semalam. Rafael justru terkekeh geli membuat Delia semakin kesal. Delia membubuhku bedak untuk menutupinya, lalu ia mencari pakaian berkerah sanghai.

Setelah keduanya selesai bersiap-siap, keduanya segera menuju ruang makan. Bastian ternyata sudah berangkat lebih dulu ke sekolahnya, sedangkan Cristina masih tidur di kamarnya.

"Aku akan mengantarmu ke kampus, tapi kau pulang dengan sopir nanti," kata Rafael.

"Bukankah kau ada rapat pagi ini, nanti kau bisa terlambat."

"Tidak apa-apa, aku sudah menyuruh Jodhi untuk menundanya sampai aku tiba."

"Aku jadi takut, karena sudah tak ada sahabatku lagi. Aku tak yakin bisa mendapatkan teman di kampus."

"Kau pasti bisa segera mendapatkan teman di sana, kau masih cantik seperti dulu. Kau tidak terlihat seperti ibu beranak dua sayang. Tapi kau harus tetap bisa memilih teman, bagaimanapun kau adalah istri Rafael Widjaja."

"Iya, kau cerewet sekali suamiku."

"Aku hanya tak ingin kau terluka sayang. Baiklah, ayo kita berangkat," ajak Rafael.

Delia menganggukkan kepalanya, mereka pun segera berangkat menuju kampus Delia. Sesampainya di kampus, Rafael mencium kening istrinya.

"Kabari aku jika sudah selesai, jika aku bisa akan menjemputmu. Jika tidak, tunggulah sampai sopir tiba."

"Tentu suamiku, kau berhati-hatilah saat menuju perusahaan."

Delia pun keluar dari mobilnya seraya menuju ke ruang kelasnya.

*****

Universitas yang sudah lama tidak ia datangi akhirnya ada di depannya. Delia pun segera masuk ke ruang kelas yang sempat ia tinggalkan sebelumnya. Terasa asing karena ruangan itu tentu saja sudah berubah.

Delia menatap teman teman sekelasnya, tak ada satupun yang ia kenali. Wanita itu sontak duduk di kursi paling ujung, ia membuka bukunya dan tak memperhatikan sekelilingnya sambil menunggu dosen datang.

"Hai... Bolehkah aku duduk di sebelahmu?" tanya seorang pria.

Delia mendongakkan kepalanya dan melihat seorang pria tampan berdiri di sampingnya.

"Duduk saja," jawab Delia datar lalu kembali membaca bukunya.

Pria itu pun duduk di samping Delia, "aku tidak pernah melihatmu sebelumnya, apa kau mahasiswi baru?"

Delia menganggukkan kepalanya.

"Aku Daniel, siapa namamu?"

"Aku Delia, ibu dari dua orang anak," celetuknya.

Daniel terkekeh, "kau sedang berbohong ya, mana mungkin wanita cantik sepertimu sudah berkeluarga."

Delia menutup bukunya, "nama suamiku Rafael Widjaja, seharusnya kau tahu siapa pria itu. Jika kau semakin penasaran, kau bisa membuka majalah atau berita di internet tentang kami."

Daniel justru tertawa semakin keras, "entah kenapa aku sangat suka wanita yang jujur dan berterus terang sepertimu. Semoga kita bisa berteman Delia," katanya sambil mengulurkan tangannya.

Delia menatap tangan Daniel.

"Apa aku bisa berteman dengan seorang pria? Jika Rafael tahu, ia pasti akan marah besar. Tapi untuk saat ini aku masih belum memiliki teman," pikir Delia.

Delia pun akhirnya menyambut uluran tangan Daniel. Pria itu ingin mengajak Delia berbicara lagi, tapi dosen justru masuk ke kelas. Sontak mereka terdiam dan mulai mengikuti materi yang diajarkan tersebut. Tapi Daniel lebih suka menatap wajah cantik Delia dari pada papan yang ada di depan.

"Bisakah kau memperhatikan dosennya Daniel?" celetuk Delia.

Daniel menahan tawanya, "aku kira kau tak tahu sedang aku perhatikan, aku hanya heran bagaimana bisa wanita cantik sepertimu sudah memiliki dua orang anak. Suamimu benar benar sangat beruntung," bisiknya.

"Jika kau terus menggangguku, lebih baik kau pindah tempat duduk saja."

Daniel tertawa, ia lupa jika dosen masih ada.

"Hei... kau... Daniel... jika tidak mau mengikuti materiku, silahkan keluar," teriak dosen.

Sontak Delia tertawa karena Daniel dimarahi oleh dosen.

Daniel memperhatikan wajah Delia saat tertawa, pria itu terkejut karena Delia semakin cantik.

"Ya Tuhan pak, bagaimana mungkin aku keluar kelas jika ada bidadari di sampingku," jawab Daniel.

Sontak semua yang ada di kelas tersebut tertawa dengan keras membuat dosen menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Berhentilah bercanda Daniel, kau bisa benar benar diusir dari kelas," bisik Delia.

"Aku tak kuat melihat wajahmu saat tertawa, jadi berhentilah melakukannya atau aku akan menciummu."

Seketika Delia menginjak kaki Daniel.

"Kau akan mati jika berani menyentuhku," ancam Delia.

"Aku rela mati jika yang membunuhku wanita cantik sepertimu."

Delia hanya menghela nafas panjang, ia tak ingin menanggapi ucapan Daniel lagi dari pada benar benar membuat dosen marah. Jam kuliah pun akhirnya selesai, Daniel sontak langsung mengajak Delia makan.

"Ayo kita makan Del," ajak Daniel.

"Tidak, terima kasih," jawab Delia.

"Oh ayolah, tadi aku bercanda agar kita semakin akrab. Kita bisa jadi teman kan?" tanya Daniel.

"Aku akan mempertimbangkannya."

"Galak sekali, tapi aku benar benar hanya bercanda tadi. Aku memang suka sekali menggoda teman temanku, memang seperti inilah aku."

"Oh."

Hanya itulah jawaban Delia membuat Daniel semakin penasaran.

"Kita berteman?" tanya Daniel.

"Ya Tuhan... ia cerewet sekali. Jika aku menolaknya, pasti ia terus merengek seperti ini," pikir Delia.

"Baiklah kita berteman, tapi aku tak ingin makan. Jadi pergilah sendiri," jawab Delia.

"Kali ini aku tidak akan memaksamu, tapi selanjutnya karena kita sudah menjadi teman, kau harus ikut aku."

Delia menghela nafas panjang, ia pun menganggukkan kepalanya.

*****

Kuliah hari ini pun selesai, Delia segera menghubungi Rafael tapi suaminya tak mengangkat teleponnya. Wanita itu segera menghubungi sopir, ternyata sopirnya sedang menjemput Bastian dan Cristina di rumah besar Widjaja.

Terpaksa Delia menunggu taksi di sana, namun sebuah mobil mewah berwarna putih mendekatinya. Kaca mobil dibuka dan sosok Daniel lah yang ada di sana.

"Kau mau pulang Del? Bagaimana jika aku antar," ujar Daniel.

"Tidak terima kasih Dan."

"Kau menunggu jemputan?"

"Aku menunggu taksi."

"Taksi di jam seperti ini sangat sulit, karena banyak yang memesannya. Ayolah, biar aku antar saja."

"Hm... baiklah..."

Delia pun masuk ke dalam mobil Daniel, keduanya segera meninggalkan kampus mereka.

 

*****

Happy Reading All...

BAB 3

Delia terus terdiam, terasa sangat canggung karena berada di mobil pria yang baru saja ia kenal. Entah kenapa ia langsung setuju saat Daniel ingin mengantarnya pulang. Karena terasa canggung, Delia pun mengambil ponselnya dan segera menghubungi sopir kembali. Ternyata sopirnya belum membawa pulang anak anaknya karena keduanya masih tidak mau pulang.

"Ada apa?" tanya Daniel.

"Bolehkah aku merepotkanmu?"

"Tentu saja, katakan saja Del."

"Sepertinya rumah mertuaku lebih dekat dari sini, bisakah kau mengantarku kesana saja? Anak anakku masih belum mau pulang, aku harus membujuk mereka."

"Oh tentu saja, tunjukkan saja jalannya padaku."

"Terima kasih Dan."

"Tak perlu berterima kasih, kita sekarang teman."

Delia hanya tersenyum, Daniel pun mengantarkan Delia ke rumah besar Widjaja dengan arahan jalan dari wanita itu. Keduanya akhirnya sampai juga, Daniel berhenti tepat di depan gerbang tinggi rumah mewah itu.

"Ini rumah mertuamu?" tanya Daniel.

"Benar, terima kasih untuk tumpangannya Dan."

"Berhentilah berterima kasih padaku."

Delia menyeringai, "kau hati hati di jalan, sampai jumpa besok."

"Sampai jumpa besok," jawab Daniel.

Delia pun keluar dari mobil Daniel, wanita itu segera masuk ke rumah besar Widjaja tanpa menoleh lagi ke belakang.

*****

Di halaman rumah tersebut, sopirnya sedang duduk di taman. Melihat kedatangan Delia, sontak ia sangat terkejut.

"Nyonya kesini," ucap pak Didi.

"Aku harus membujuk anak anak pak," jawab Delia.

"Jika tahu den Tian dan non Cristin tidak mau pulang, pasti bapak menjemput nyonya terlebih dahulu."

"Tidak apa apa, aku masuk," ucap Delia seraya masuk ke rumah tersebut.

Bastian dan Cristina sedang asyik bermain bersama kakeknya, sedangkan Helena sedang melangkahkan kakinya sambil membawa camilan. Wanita itu terkejut saat melihat Delia datang.

"Delia, dengan siapa kau kesini?" tanya Helena.

"Sendiri ma, katanya mereka tak mau pulang, jadi aku datang untuk membujuk keduanya."

"Haisssss... mereka menginap pun kami tidak keberatan."

"Aku tidak ingin merepotkan kalian."

"Apa kau naik taksi?"

Delia menggelengkan kepalanya, "kebetulan teman menawarkan tumpangan."

"Kau sudah punya teman, pria atau wanita?"

Delia menyeringai, "pria ma."

"Hm... hati hati, jangan sampai Rafael salah paham."

"Aku sudah punya dua orang anak, ia pun tahu itu."

"Kau masih sangat cantik, tidak terlihat seperti ibu dua anak."

Delia terkekeh, "lihatlah mereka, aku datang pun tidak menyadarinya."

Helena tertawa, "keduanya terlalu asyik main dengan kakeknya."

"Baiklah, biarkan saja sampai mereka puas. Ma... bolehkah aku ke kamar Rafael, sepertinya aku lelah dan ingin tidur," pinta Delia.

"Tentu saja boleh, tapi apa kau sudah makan?"

"Aku lebih ingin tidur daripada makan."

"Baiklah, kau beristirahat saja. Biarkan anak anakmu puas bermain dulu dengan kakeknya."

Delia menganggukkan kepalanya seraya melangkahkan kakinya menuju kamar Rafael sebelumnya.

******

Rafael menghela nafas panjang, terjadi masalah perusahaan hingga ia baru selesai rapat. Pria itu segera masuk ke kantornya, ia segera mengambil ponselnya yang tertinggal. Ia terkejut saat melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Delia.

Rafael pun segera menghubungi istrinya, namun tak ada jawaban. Pria itu segera menghubungi rumahnya, tapi pelayan yang menjawab dan memberitahu jika Delia dan anak anak masih belum pulang, begitu juga dengan sopirnya.

"Sudah selarut ini, mengapa mereka belum pulang?" pikir Rafael seraya menghubungi rumah besar Widjaja.

Helena yang mengangkat teleponnya, wanita itu memberitahu jika Delia dan anak anaknya memang masih di rumah mereka. Namun ketiganya sedang tidur sekarang, Helena tak tega membangunkan mereka.

"Tolong katakan pada pak Didi agar ia pulang saja ke rumah, biar aku yang menjemput mereka," pinta Rafael.

"Baiklah, akan mama sampaikan. Hati hatilah di jalan Raf."

"Baik ma, terima kasih," jawab Rafael seraya menutup teleponnya.

Rafael segera mengambil jas dan kunci mobilnya, pria itu segera meninggalkan perusahaan untuk menjemput istri dan anaknya.

*****

Sesampainya di rumah besar Widjaja, Rafael segera masuk ke rumah. Hanya ada Helena di ruangan keluarga, sedangkan Hartanto sudah tidur lebih dulu.

"Ma... dimana mereka?" tanya Rafael.

"Di kamarmu Raf," jawab Helena.

Rafael segera menuju kamarnya, di sanalah pemandangan yang luar biasa terlihat. Delia tidur sambil memeluk kedua anak anak mereka. Rafael tersenyum lebar seraya menghampiri mereka.

"Sayang, bangun... ini sudah malam, lebih baik kita pulang sekarang," ujar Rafael pelan.

Delia bergumam tidak jelas, namun wanita itu tidak juga bangun. Akhirnya Rafael mengguncang tubuhnya hingga Delia pun akhirnya terbangun.

"Ya Tuhan, jam berapa ini? Bagaimana kau bisa kesini?" tanya Delia terkejut.

"Sudah jam 9 malam sayang, aku kemari karena terkejut kalian belum pulang."

"Astaga, maaf... aku ketiduran. Saat ingin bangun tadi, justru anak anak minta ditidurkan."

"Tak apa. Lebih baik kita bawa mereka pulang sekarang."

Delia menganggukkan kepalanya. Rafael segera menggendong Bastian, sedangkan Delia menggendong Cristina. Mereka pun keluar dari kamar.

"Apa kau sudah makan?" tanya Rafael.

Delia menggelengkan kepalanya, "bagaimana denganmu?"

Rafael pun menggelengkan kepalanya, "haruskah kita mampir ke restoran?"

"Lebih baik pulang saja, kasian anak anak. Aku akan meminta pelayan untuk menyiapkan makan malam kita."

"Baiklah."

Mereka menemui Helena seraya berpamitan untuk pulang ke rumah mereka. Helena berkali-kali meminta mereka untuk menginap saja, tapi keduanya menolak. Akhirnya Helena pun menyetujuinya. Rafael merebahkan Bastian di belakang, sedangkan Delia memangku putrinya di depan. Rafael pun segera mengendarai mobilnya.

"Aku minta maaf karena tidak mengangkat teleponmu, aku rapat dari siang dan baru selesai malam ini," ujar Rafael.

"Terjadi masalah?" tanya Delia.

"Ini yang aku katakan tentang pekerjaan di China. Kau pulang dengan sopir kan?"

Delia menggelengkan kepalanya, "aku menghubungi pak Didi, ternyata ia sedang menuju rumah papi. Aku tak ingin merepotkannya."

"Maaf sayang, seharusnya aku yang menghubungi pak Didi untuk menjemputmu. Tapi ponselku malah tertinggal di kantorku. Lalu kau naik taksi?"

"Tadinya ingin memesan taksi, lalu seorang teman menawariku tumpangan. Karena ia memaksanya, aku jadi tidak enak. Aku pun akhirnya pulang dengannya. Lalu aku menghubungi pak Didi, katanya anak anak tidak mau pulang. Jadi aku langsung ke rumah papi."

"Teman? Hanya dalam satu hari kau sudah punya teman? Bukankah kau bilang sebelumnya takut karena tidak punya teman."

Delia menyeringai, "aku juga tak menyangka."

"Siapa namanya?"

"Daniel."

"Daniel? Maksudmu teman yang mengantarmu itu seorang pria?"

Delia menganggukkan kepalanya.

"Kau pulang dengan seorang pria, sementara kau sudah menikah?" celetuk Rafael dengan suara keras.

"Ya Tuhan, kecilkan suaramu. Kau bisa membangunkan anak anak Raf. Daniel tahu jika aku sudah punya suami dan anak. Kami hanya berteman saja."

Rafael menggertakkan giginya, rasa cemburunya tiba tiba memuncak.

"Jangan kau lakukan itu lagi Delia. Mana mungkin seorang pria ingin berteman dan mengantarmu pulang jika tidak ada maksud lain."

"Mengapa kau mulai melarangku berteman? Kau menuduh orang lain yang tidak tidak."

"Ya Tuhan... sejak kapan ada seorang pria dan wanita hanya ingin berteman?"

"Kau mulai mencurigaiku?"

"Bukan kau, tapi pria itu."

"Kau keterlaluan, kau mencurigai orang yang ingin berteman denganku. Baik pria atau wanita, apa salahnya jika berteman. Aku tidak akan melebihi batasanku, karena aku sudah punya kalian," jawab Delia mulai mengeraskan suaranya.

"Jika aku melarangmu, seharusnya kau mengikutiku. Aku suamimu Delia, aku tak suka kau berteman dengan seorang pria," bentak Rafael.

"Kau membentakku," ujar Delia terkejut.

Ini pertama kalinya Rafael berbicara keras dengannya. Rafael menggenggam setir mobilnya dengan erat. Ia tak bermaksud untuk membentak Delia, tapi kecemburuannya benar benar memuncak hingga ia sulit mengendalikan diri.

"Papi... mami... kalian kenapa?" tanya Bastian mengejutkan keduanya.

"Oh ya Tuhan, maaf sayang. Kami tidak apa apa, tidurlah lagi. Sebentar lagi kita sampai," ujar Delia.

Bastian mengangguk, anak itu akhirnya memejamkan matanya lagi. Delia menatap Rafael dengan tajam agar mereka menghentikan perdebatannya.

"Kita harus bicara setelah sampai rumah," ucap Rafael.

Delia hanya bergeming karena takut membangunkan anak anaknya lagi.

*****

Happy Reading All...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!