Suasana sangat meriah meskipun acara resepsi itu hanya dihadiri tidak lebih dari seratus undangan.
Sesuai dengan permintaan kedua mempelai pengantin, mereka memang sengaja tidak mengundang banyak orang. Hanya ada beberapa kolega bisnis, teman-teman sesama dokter, dan juga beberapa teman sosialita Mama Iren.
Devan dan Renata tersenyum bahagia. Apalagi, saat mereka melihat kedatangan Aldrian yang menggandeng kekasihnya.
Bahagia bercampur malu karena mereka sebenarnya memang sengaja tidak mengundang Aldrian. Renata melarang Aldrian hadir karena dia takut orang yang tidak ingin ditemuinya pun ikut hadir di acara pernikahannya.
Renata belum siap bertemu dengan orang itu. Begitupun dengan Devan yang tidak ingin Renata bertemu dengannya. Entah kenapa, seperti ada ketakutan yang dirasakan oleh sepasang pengantin itu seandainya pria itu datang.
"Aku ingin menikahi Vanya bulan depan, karena itu aku datang ke pernikahanmu walaupun tidak diundang." Aldrian mencibir ke arah sepasang pengantin itu.
Devan dan Renata tersenyum lebar menangapi sindiran Aldrian.
"Aku tidak menyangka kalau akhirnya kamu menikah juga." Devan menepuk bahu Aldrian.
Pria penyuka kebebasan yang sudah bertahun-tahun tinggal serumah dengan kekasihnya tanpa pernikahan.
"Kalau tidak ada Aldrian junior yang nyasar masuk ke rahimnya juga dia nggak bakalan mau nikah sama aku." Aldrian menatap ke arah Vanya yang terlihat merona mendengar ucapannya. Namun, detik berikutnya pria itu meringis saat jari sang kekasih dengan gemas mendarat di pinggangnya.
Devan dan Renata tertawa melihat Aldrian meringis kesakitan. Renata menggeleng pelan melihat tingkah Aldrian. Sahabat baik yang telah menganggapnya sebagai adik itu memang terkadang sangat menyebalkan.
"Apa kamu benar-benar tidak mengundangnya?" Aldrian menatap ke arah Devan dan Renata.
Aldrian tahu, Renata mungkin keberatan bertemu dengan Bima, tetapi, Devan? Memangnya dia tidak ingin bertemu dengan Bima dan berterima kasih pada lelaki itu karena dulu telah memberinya kesempatan untuk bersama Renata?
Kepergian Renata keluar negeri memang atas keinginan wanita itu. Akan tetapi, saat itu Bima juga dengan berbesar hati memilih menyerahkan Renata pada Devan, harusnya Devan berterima kasih bukan?
"Aku–aku tidak ingin Renata bertemu dengan Bima," ucap Devan dengan jujur membuat Aldrian terkejut.
"Tapi kenapa, Dev?" Aldrian menatap Devan yang terlihat menghela napas panjang.
"Maafkan aku. Aku hanya tidak ingin Renata bertemu dengannya."
"Iya, aku tahu. Tapi kenapa? Jangan bilang kamu tidak mempercayai Renata, terus kamu jadikan itu sebagai alasan untuk tidak mengundang Bima." Aldrian menatap dengan penuh selidik.
Menurut Aldrian, biar bagaimanapun, Bima adalah sahabat Devan. Apalagi, mereka bertiga pernah benar-benar dekat. Begitupun dengan Renata. Wanita itu adalah mantan istri Bima. Jadi, seharusnya mereka mengundang Bima bukan? Toh! Mereka saat ini sudah sama-sama punya pasangan.
"Sebenarnya bukan salah Devan. Aku yang salah karena aku memang belum siap bertemu dengannya. Aku–"
"Sudah, Sayang, tidak perlu dilanjutkan. Sebaiknya kita fokus dengan acara kita saja," potong Devan.
Ini adalah hari bahagianya dengan Renata. Ia tidak mau, di hari bahagia mereka, wanita yang sangat dicintainya itu merasa tertekan.
Melihat interaksi mempelai pengantin, Aldrian hanya bisa bernapas panjang. Merasa tidak enak karena dirinya terkesan memaksa Devan dan Renata.
"Maafkan aku. Seharusnya aku tidak perlu ikut campur. Ini adalah hari acara kalian, hari bahagia kalian. Semoga kalian berdua bahagia. Aku akan selalu mendoakan kalian berdua." Aldrian menatap Devan dan Renata bergantian. Sepasang pengantin itu tersenyum sambil mengangguk bersamaan.
Sementara itu, tidak jauh dari tempat mereka berdiri, sepasang mata sedang memperhatikan interaksi mereka berempat.
Apa kamu benar-benar sudah melupakan aku, Ren? Sampai-sampai kamu tak mengizinkan aku datang di hari bahagiamu?
Pria itu menatap kedua mempelai pengantin yang tersenyum bahagia. Sang pria yang berprofesi sebagai dokter itu terlihat sangat tampan. Sementara, pengantin wanitanya tampak begitu cantik dengan baju pengantin yang membalut tubuh indahnya.
Seharusnya aku yang berada di sana, Ren? Bukan dia.
BERSAMBUNG ....
Halo kesayangan ... akhirnya Author bisa update juga season duanya.
Yuk, ikuti kelanjutannya. Jangan lupa like, komentar, vote dan juga hadiahnya ya ❤❤️❤️
Bima menatap kebahagiaan sepasang pengantin itu dari kejauhan. Netranya juga tidak beralih pada Aldrian yang terlihat tertawa di sana.
"Kamu mengundang Aldrian dan Vanya, tapi kamu tidak mengundangku. Bahkan setelah beberapa tahun berlalu, kamu masih begitu membenciku, Ren?" batin Bima. Telapak tangannya bergerak mengusap bagian dadanya yang terasa sesak.
Rasa sakit menghantam sudut hatinya. Bahkan setelah sekian lama, rasa sakit itu masih terasa sama. Cinta dalam hatinya masih saja tidak berubah meskipun saat ini sudah ada perempuan lain yang menggantikan posisi Renata sebagai istrinya.
Bima masih tidak berkedip menatap Renata yang saat ini sedang tertawa bahagia. Senyumnya terus mengembang. Apalagi, saat para tamu undangan satu persatu mendekatinya untuk mengucapkan selamat pada sepasang mempelai pengantin itu.
Tanpa terasa, kedua mata Bima berembun. Rasanya, ia tidak rela membiarkan wanita itu bersama orang lain, meskipun orang itu adalah Devan. Sahabat baik yang dulu memang Bima percayakan untuk menjaga Renata saat perempuan itu lebih memilih berobat ke luar negeri.
Bima tahu, Devan sangat mencintai mantan istrinya itu. Dulu, Devan tidak berani melangkah jauh karena laki-laki itu merasa tidak enak dengan dirinya. Namun, seiring berjalannya waktu dan seringnya pertemuan mereka membuat laki-laki itu akhirnya berhasil menaklukkan Renata.
"Akhirnya kamu berhasil mengambil dia dariku, Dev," lirih Bima. Netranya kembali menatap Renata yang terlihat begitu cantik. Senyum yang terpancar pada wajah cantiknya membuktikan kalau perempuan itu terlihat sangat bahagia.
Menyadari itu, Bima hanya menghela napas panjang. Merasakan rasa sakit yang perlahan mencabik-cabik relung hatinya yang paling dalam.
Bima mengusap air mata yang mengalir tanpa ia sadari. Seperti biasanya, setiap kali berhubungan dengan Renata, dirinya pasti akan berubah menjadi cengeng. Topeng datar dan dingin yang setiap kali ia pamerkan di luar sana, tidak berlaku jika itu sudah berurusan dengan Renata.
Bima menatap sekali lagi ke arah wanita yang sangat dicintainya itu.
"Semoga kamu bahagia," lirih Bima sambil kembali mengusap pipinya yang basah. Lelaki itu kemudian pergi meninggalkan tempat itu dengan rasa sakit yang terus saja berdenyut di hatinya.
Tidak disangka, kedatangannya ke Pulau Dewata ternyata memberikan kejutan untuknya. Bima sungguh tidak menyangka kalau dirinya menginap di hotel yang disewa Renata dan Devan untuk menggelar acara resepsi pernikahan mereka.
Hari ini, Bima baru saja tiba di Bali. Ada beberapa pekerjaan yang mengharuskan Bima datang ke kota yang biasa juga disebut Pulau seribu pura itu.
Beberapa saat yang lalu Bima melihat Adrian dan Vania melangkah terburu-buru. Merasa penasaran dan ingin memberikan kejutan pada sepupunya itu, Bima kemudian mengikuti langkah Aldrian dan Vanya.
Bima sengaja mengikuti mereka diam-diam. Pria itu ingin tahu apa yang dilakukan oleh Aldrian. Pasalnya, sebelum berangkat ke Bali, Bima sudah menelepon Aldrian. Ia bermaksud mengajak pria itu pergi bersamanya. Hanya saja, Bima tidak mengatakan pada Aldrian kalau dirinya ingin mengajak saudara sepupunya itu untuk pergi ke Bali bersama-sama.
Saat itu, Aldrian beralasan tidak bisa ikut dengannya karena dia ingin menghadiri pesta pernikahan kolega bisnisnya. Tidak disangka, ternyata, Bima melihat Aldrian di hotel yang sama di mana dirinya menginap saat ini.
Rencana ingin memberi kejutan pada Aldrian, eh! Ternyata dirinya sendiri yang mendapatkan kejutan. Kejutan yang membuat hatinya patah seketika.
Bima melangkah gontai menuju kamarnya. Rencananya tadi, ia ingin membeli makanan di luar untuk makan malam. Namun, sekarang dirinya sudah tidak berselera.
Bima sampai di kamarnya. Seorang wanita cantik menyambutnya dengan senyum mengembang pada wajahnya.
"Surprise!"
Bima menatap perempuan itu dengan wajah terkejut.
"Kamu beneran datang?" Bima menyambut wanita berambut panjang itu ke dalam pelukannya.
"Aku merindukanmu, karena itu aku langsung kemari saat kamu mengatakan menginap di sini." Karina menatap sang suami yang terlihat lelah.
"Sepertinya kamu sangat lelah." Karina mempererat pelukannya.
"Hmm."
"Maafkan aku karena aku, kamu jadi bekerja keras seperti ini."
Bima tersenyum kecil mendengar ucapan Karina.
Karina, wanita cantik yang selalu menemani hari-harinya dan memuaskan setiap malam panjangnya. Namun, kehadirannya ternyata tidak bisa menggantikan posisi Renata dalam hatinya.
Maafkan aku, Karin, karena selama ini aku hanya menjadikanmu sebagai–
"Bima, aku ingin berbulan madu di sini."
BERSAMBUNG ....
"Bulan madu? Ditengah pekerjaanku yang padat seperti ini?" Bima menatap Karina tak percaya.
"Bukan bulan madu yang sebenarnya. Aku hanya ingin menemanimu saat kamu lelah begini." Karina memeluk pria itu dengan erat. Ia tahu, ada kemarahan dalam nada bicaranya.
"Sebaiknya sekarang kamu mandi dulu. Aku akan memesan makan malam untuk kita." Karina melepaskan pelukannya. Menatap wajah lelah lelaki yang sudah hampir setahun ini menjadi suaminya.
Bima terdiam. Laki-laki itu mengecup sekilas kening istrinya kemudian berlalu pergi dari hadapan perempuan itu.
"Ternyata, kehadirannya tetap tidak bisa membuatmu berpaling dari wanita itu, Bim. Sebesar itu cintamu padanya sampai-sampai kamu tidak punya celah sedikitpun untuk masuk ke dalam hatimu." Karina mengusap perutnya yang sudah terlihat membuncit sambil menatap punggung Bima.
Buliran air bening menetes di pipinya. Namun, dengan segera wanita itu mengusapnya.
"Kamu yang sendiri yang memilihnya, Karin. Mencintai lelaki itu adalah pilihanmu meskipun kamu sangat tahu kalau dia tidak akan pernah mencintaimu," ucap Karina tersenyum getir.
Bayangan saat lelaki yang telah menjadi suaminya itu mengatakan sebuah kejujuran tentang perempuan dalam foto itu, kembali terlintas. Masih jelas dalam ingatan Karina, bagaimana lelaki itu dengan tegas mengatakan kalau dia hanya mencintai wanita itu. Tidak ada yang lain meskipun saat ini ada perempuan lain yang berhak memilikinya.
Karina menarik napas panjang saat rasa sakit mengalir ke ruang hatinya yang paling dalam.
Seandainya saja aku bisa melindungi hatiku untuk tidak jatuh cinta padanya, mungkin aku tidak akan hancur seperti ini.
Karina memejamkan mata sambil terus mengusap perutnya yang terasa lapar. Ia baru ingat, kalau dirinya belum memakan apapun semenjak sampai di Bali.
Karina berniat memberikan kejutan untuk suaminya karena mendatanginya ke Bali. Namun, saat dirinya ingin memberikan kejutan, perempuan itu justru terkejut saat melihat Bima yang sedang berdiri dan terlihat sangat sedih.
Merasa penasaran, Karina dengan diam-diam mencari tahu tanpa memperlihatkan dirinya pada Bima yang saat itu sebenarnya hanya berjarak beberapa meter saja darinya. Namun, karena lelaki itu fokus menatap ke objek yang sedang diperhatikannya, Bima sama sekali tidak menyadari kalau Karina berada di sekitarnya.
Pandangan Karina tertuju pada sepasang pengantin yang terlihat sangat bahagia. Mereka berdua tertawa. Bukan hanya sepasang pengantin itu, tetapi Karina juga melihat Aldrian berada di sana.
Sekilas tidak ada yang aneh. Ruangan itu adalah ruangan yang sedang dipakai untuk resepsi pernikahan. Sampai akhirnya Karina menyadari siapa perempuan yang mengenakan gaun pengantin itu.
Karina menatap Bima dari persembunyiannya. Laki-laki itu terlihat mengusap air matanya sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat itu.
Karina kembali menatap pengantin perempuan itu sebelum akhirnya pergi menyusul langkah Bima. Wanita itu melangkah cepat mendahului Bima yang sama sekali tidak melihatnya.
Bermodal kunci cadangan yang ia dapatkan dari petugas hotel, Karina akhirnya terburu-buru masuk ke dalam kamar hotel yang sudah dipesan oleh suaminya. Beruntung, sebelum pergi, Bima sudah mengatakan pada petugas hotel untuk memberikan kunci cadangan jika seseorang mencarinya.
Sepertinya, lelaki itu sudah menduga kalau dirinya akan datang menyusul ke Bali.
Karina memesan beberapa menu makanan lewat ponselnya. Perempuan itu kemudian beranjak mendekati lemari pakaian. Ia ingin menyiapkan pakaian untuk Bima. Seperti kebiasaannya di rumah, perempuan itu akan menyiapkan segala keperluan suaminya saat pria itu sedang berada di kamar mandi.
Karina menyunggingkan senyum saat Bima keluar dari kamar mandi. Dengan lembut, wanita itu mengajak Bima duduk di tepi ranjang.
Karina mengambil handuk dari tangan Bima, kemudian mulai mengeringkan rambut pria itu dengan pelan. Bima yang diperlakukan dengan baik oleh Karina seperti biasanya hanya terdiam.
Lelaki itu berkali-kali menarik napas panjang untuk menetralkan perasaannya yang campur aduk. Hatinya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Seandainya saja tidak ada Karina saat ini, ia pasti sudah meluapkan rasa sakit hati dan kemarahan yang saat ini sedang ia rasakan.
Bima mengusap pelan perut Karina yang mulai membuncit. Hatinya merasa sakit saat rasa bersalah mulai menguasai.
Bima tidak mencintai Karina. Tetapi, perempuan itu saat ini sedang mengandung darah dagingnya. Tangan Bima melingkar pada pinggang Karina. Laki-laki itu kemudian merapatkan tubuh istrinya agar menempel padanya.
Bayangan bagaimana dirinya memperlakukan Renata pada awal pernikahan mereka hanya karena dirinya tidak mencintai wanita yang menjadi wasiat ibunya itu kembali terlintas.
Bima masih sangat ingat bagaimana ia begitu jahat memperlakukan wanita itu. Wanita yang akhirnya membuatnya jatuh cinta sampai saat ini.
Perbuatannya pada wanita itu, meninggalkan beribu-ribu penyesalan sampai hari ini.
Bima, jangan melakukan hal yang sama seperti yang pernah kamu lakukan pada Renata. Ingat! Penyesalan itu selalu datang terlambat.
Dalam hati, Bima mengucapkan berkali-kali maaf pada perempuan yang saat ini sedang mengandung anaknya tetapi, tidak pernah ia tempatkan di dalam hatinya.
"Karin, apa kamu benar-benar ingin berbulan madu di sini?"
BERSAMBUNG ....
PERHATIAN!
Akan ada banyak bawang di cerita ini. Jadi, kalian semua bersiaplah!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!