Penulis : Pibi
--
*
Tubuh lentur itu menari di tengah dinginnya cuaca, mata berbinar, wajah berseri, bahagia. Skripsi telah usai, lepas sudah kegundahan segala isi hati.
Salsa, hanya duduk diam sesekali menggeleng, mengamati teman seperjuangannya yang sedang bersorak-ria, menghilangkan beban. Sementara gadis itu tak henti berputar-putar, sembari menunggu mendung menjatuhkan rintikan hujan.
Dirasa lelah, Aisyah menghampiri Salsa duduk di teras rumahnya.
"Pangeran aku kapan jemput, ya?" kelakarnya sambil memposikan diri di samping Salsa.
Sontak tawa Salsa berderai, "Kelamaan sendiri, halunya makin tinggi," balasnya menyindir.
Aisya mengerling malas, lantas melipat tangan di dada, "Doain yang terbaik kek, ini malah diledek."
Salsa mencubit kuat pipi sahabatnya, membuat Aisyah berteriak keras, "Banyakin istighfar, Syah!" Ditarik kembali tangannya.
Aisyah mengelus bagian wajah yang terasa panas, menatap tajam objek sadis di hadapannya, "Cih, kaya yang punya dosa cuma aku aja." sungutnya kesal.
--
*
Aisyah menyiram satu persatu bunga di taman secara telaten. Sudah menjadi rutinitas saat libur, ia pasti akan datang. Entah sekadar memeriksa tanaman atau melayani para pembeli.
Sementara karyawan lainnya, berlalu lalang membawa bunga berbagai jenis, lalu menatanya sedemikian rupa. Agar indah dipandang mata.
"Aisyah!" panggil Bunda dari kejauhan.
Aisyah menoleh, tersenyum lembut menyambut malaikat buminya. Ia berjalan pelan menghampiri sang bunda dan dua orang lelaki di sana.
"Tolong Bunda, ya, sayang," pinta wanita setengah baya saat Aisyah telah berdiri tepat dihadapan mereka.
Aisyah mengangguk tanpa protes.
"Ini Ahmad! Anak temen SMA Bunda," kata Bunda antusias memperkenalkan pria di sebelahnya. Lelaki berperawakan tampan dengan senyum menawan.
"Yang ini Yusuf, sepupunya." Tunjuk Bunda pada pria manis yang terlihat dingin. Terbukti dari tatapannya yang datar.
"Temenin mereka keliling, ya," sambungnya, sebelum pamit melanjutkan pekerjaan.
Ketiganya mengiyakan.
Seolah tak perlu memperkenalkan diri. Aisyah langsung mengajak mereka menyusuri taman, sedikit banyak ia menjelaskan bunga yang dilewati, walau kadang bingung sendiri. Namun, bukan masalah, karena celotehnya yang kadang absurd, justru mengundang tawa dua pria tersebut.
Mereka terhenti di bawah pohon rindang paling ujung, saat Ahmad merogoh celana jeansnya, mengeluarkan benda pipih yang sedari tadi berdering. Aisyah dan Yusuf pun bergeming.
"Maaf ... sebentar, ya." Ahmad mengangkat tangannya lalu melenggang pergi, menjauh dari jangkauan dua insan yang berdekatan, tapi saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Yusuf melangkah, mempersempit jarak, "Suka bunga apa?" tanyanya memecah keheningan.
Aisyah menoleh, sedikit terkejut melihat Yusuf terlalu dekat dengannya. Namun, ia segera menguasai diri.
"Em, entahlah, semuanya nampak cantik nan indah." Aisyah mengalihkan pandang ke sembarang arah. Takut-takut terlihat salah tingkah.
Yusuf mengulum senyum. "Ada yang lebih indah ... rona pipi kamu."
Refleks gadis itu menatap pria yang sekarang sedang ... senyum?
Sejenak Aisyah dibuat menganga, "manisnya," batinnya terpesona.
--
*
Rasa khawatir terus mengganggu, hati was-was, mewanti-wanti perasaan orangtuanya tengah duduk di ruang tamu, bersama pria yang mengenakan baju koko putih.
Samar-samar Aisyah mendengar lelaki itu melamarnya. Namun, tiba-tiba sunyi, mungkin ayah dan bundanya tengah terkejut.
"Apa yang membuatmu yakin atas putriku? Sedang katamu, kalian baru sekali bertemu," tanya Ayah kemudian.
Suasana yang tadi sempat mencekam, kini melegakan, bersamaan dengan senyum ayah mengembang.
"Kali pertama tertatap muka, ada desir di dada. Ingin memiliki Aisyah saat itu juga, tapi, segera saya seka. Lantas memilih mencari informasi tentangnya. Dan, berakhir di depan Anda." Sekali tarikan napas Yusuf menjelaskan, tak terlihat gugup sama sekali. Seakan tengah menunjukkan keseriusannya.
"Kamu benar-benar sudah yakin?" Bunda yang sedari tadi diam angkat bicara. Masih ragu.
Yusuf tersenyum, "Saya sudah istigharah. Lalu melangkah ke rumah ini dengan mudah. Tentunya atas izin Allah."
Sepasang suami-istri tersebut, tersenyum lagi. Sebentar ayah menatap kekasihnya, seperti meminta persetujan. Bunda pun mengangguk.
"Baiklah, Nak. Kami sangat menghargai niat baikmu. Tapi semua ini tetap Aisyah yang memutuskan, bukan?"
"Tentu saja, Pak."
Ayah beralih memandang istrinya, "Coba kamu panggilkan Aisyah."
"Iya."
Bunda melenggang pergi, meninggalkan dua lelaki yang entah akan membahas apalagi.
Mengetahui bunda mencarinya, Aisyah segera keluar dari persembunyian. Sorot mata berbinar jelas tergambarkan, dengan cepat merengkuh sang bunda.
Membuat wanita paruh baya itu nyaris jatuh, jika tidak segera menjaga keseimbangan. Bersyukur tidak tersungkur.
"Astaghfirullah, Syah! Hampir copot jantung Bunda!" Dipukulnya kepala putrinya.
"Bun ...."
"Kenapa?"
"Aku gak mau turun."
Bunda melerai pelukan, menatap penuh tanda tanya. Aisyah mengulurkan selembar amplop, segera diraihnya.
"Berikan ini untuk Yusuf. Jawabanku ada di dalamnya."
Bunda mengernyit bingung, "Kenapa tidak langsung bicara saja?"
Aisyah menggeleng, "Cukuplah pertemuan pertama sebagai penarik rasa. Kali keduanya, aku ingin di sampingnya, menemani Yusuf menjabat tangan Ayah."
--
*
Dariku ....
"Aisyah namaku, kita pernah bertemu, saban hari lalu. Kau membuat pipiku bersemu. Malu. Hanya ada perbincangan singkat, ditemani aroma wangi pekat, kita ... dekat.
Lalu kamu datang, tak diundang. Ke rumah. Menemui orangtuaku. Hal itu berhasil membuat mulut terbuka, kening berkerut, dan pipi merona.
Terbesit rasa takut saat kamu bertamu. Namun, setelah mendengar semuanya, ada rasa hangat menjalar dalam dada. Mungkin, bahagia.
Tak luput dari takdir Sang Maha Kuasa, aku menerima lamaranmu. Jangan ditanya bagaimana aku menulis semua kata, tentunya, dengan semburat di pipi."
Yusuf menggenggam kuat secarik kertas dalam genggaman. Jantung memompa lebih cepat dari biasanya. Paru-paru seakan kehilangan pasokan udara, tubuh terasa melayang di temani beberapa kupu-kupu berterbangan. Inilah bahagia yang sesungguhnya.
"Besok kami sekeluarga akan datang!"
--
*
Pengumuman, gue sedang berada di fase, "Ingin pergi, tapi telanjur sayang!"
Apaan si, Thor! Gue tembak baru tau rasa😅
--
*
"Sah!"
Seluruh tamu serentak memberi jawaban. Terlihat pengantin pria telah merasa lega setelah mengucapkan janji suci yang membuat hatinya bergetar. Lalu menangkup wajah Aisyah mencium keningnya penuh kelembutan. Kebahagian seakan tak ingin lepas dari kedua belah pihak keluarga. Semua tampak berbinar senang.
--
*
Seusai acara resepsi, Yusuf si pengantin perempuan lebih dulu menyuruh istrinya istirahat, ia tau Aisyah istrinya, sedari tadi menahan kantuk berat. Sementara ia lanjut mengobrol dengan abi dan ayah mertuanya. Berbagai nasehat cara menghadapi sifat perempuan, sesekali mereka serius lantas tiba-tiba tertawa.
"Perempuan itu dikit-dikit ngambek, ya, kan, Bun?" sindir Ayah saat melihat istrinya datang dengan membawa nampan diisi berbagai makanan.
Bunda mengerling malas sambil meletakkan cemilan lengkap dengan minumannya.
"Bener, Bun?" kelakar Yusuf menahan tawa.
Bunda berkacak pinggang, "Kamu mau tau ngambek yang sesungguhnya, Suf?" tanyanya meyakinan.
"Tentu."
Bunda menghela napas, beralih menatap tajam suaminya. "Malam ini Ratna ndak mau tidur sama Mas Rama!"
Setelah memberi pelajaran pada Rama, ia tersenyum puas, lalu melangkah kembali ke dapur menemani besannya. Sedang Rama menelan ludah susah payah, beda hal Yusuf dan Derald yang terus tertawa bahkan sampai terbahak.
--
*
"Yang ini bagus juga, Mbak," Tunjuk Ratna pada salah satu gambar gamis di ponselnya. Sari yang sependapat menggangguk.
"Atau Mbak punya pilihan lain?" lanjutnya mengulurkan benda pipih itu.
"Entahlah, Rat. Mbak gak ngerti fassion," alibinya sambil terkekeh pelan.
"Umi? Bunda? Belum mau tidur?" Suara lelaki terdengar, refleks dua wanita paruh baya itu menoleh, mendapati Yusuf berdiri tak jauh dari mereka.
"Bentar lagi," balas Umi tersenyum simpul.
"Emm, oke." Bingung harus bagaimana lagi, akhirnya Yusuf memilih melenggang pergi.
--
*
Membuka pintu kamar pelan, khawatir membangunkan seseorang, kemudian masuk dirasa aman. Matanya menyusuri setiap penjuru ruangan, tidak ada tanda-tanda Aisyah tidur di ranjang. Namun ada suara air dalam kamar mandi.
Pria itu memilih menyandarkan punggung di sofa, sungguh hari yang melelahkan. Badannya pegal-pegal sering kram di kaki membuatnya meringis tertahan.
Suara pintu terbuka lalu tertutup lagi, Aisyah keluar mengenakan gamis milik uminya.
Yusuf tersenyum lebar, "Duduk sini dulu." Yusuf menepuk sisi kosong sampingnya.
Aisyah melirik jam dinding sebentar lalu menggeleng. "Gak mau. Udah larut gini," ucapnya sambil berjalan lalu membaringkan diri di kasur.
Yusuf mengekor dan melakukan hal yang sama. Membuat mata Aisyah membulat sempurna.
"Kamu ngapain?" katanya terkejut.
"Tidur," singkat Yusuf seraya memejamkan mata.
Aisyah merubah posisi menjadi duduk, mengguncang bahu suaminya. "Mandi dulu sana!"
"Nanti rematik," kata Yusuf masih menutup mata.
"Gapapa!" Aisyah terus memaksa.
"Ha?" Yusuf membuka mata lantas ikut duduk juga.
"Eh!" kaget Aisyah menyadari mereka terlalu dekat. Ia segera membalikkan badan lalu tidur kembali, menarik selimut sampai menutupi seluruh badan, berharap desiran dalam dada akan segera mereda.
--
*
Sarapan pagi yang baru bagi Aisyah. Biasa hanya bertiga bersama orangtuanya. Namun, kali ini beda, suasana pun lebih ramai. Ada mertua dan adik kembar suaminya.
Sekarang bingung harus melakukan apa, sedangkan semua makanan telah tersedia di meja. Ia merasa malu sebagai menantu yang tak berguna. Bahkan shalat subuh saja hampir telat akibat gelisah semalaman.
"Pagi!" teriak si kembar menggema, membuat Aisyah sadar dari lamunan panjangnya. Segera ia berikan senyuman meski sedikit dipaksakan.
"Jangan berdiri aja, Kak. Ayo makan!" Antusias Tara dan Tari menarik lengan Aisyah, walau dirundung ragu ia hanya pasrah.
"Lho, emang udah mendingan?" heran Bunda saat melihat menantunya.
Dahi Aisyah berkerut, "Ha?"
Bunda mendekati Aisyah memegang keningnya, "Masih panas. Istirahat aja dulu, ya? Nanti Umi suruh Yusuf makan di kamar aja sama kamu."
Aisyah menurut, meski setengah bingung. Ketika di tangga menuju kamar, tak sengaja berpapasan dengan Yusuf, pria itu tersenyum hangat berhenti tepat di depannya.
"Aku mau bicara," ketusnya tanpa memandang Yusuf lantas melewati begitu saja.
Yusuf sempat heran, tapi tetap menuruti.
--
*
"Ada apa?" tanya Yusuf lembut sembari menggenggam jemari istrinya.
Sementara Aisyah masih menutup mulut rapat-rapat, matanya mulai menghangat. Namun, cepat ia seka netranya.
Yusuf menghela napas, mempersempit jarak. Tangan terulur membimbing wajah Aisyah agar mau menatapnya.
"Kenapa?" Lagi ia bertanya. Aisyah bergeming, tapi lelehan air mata menetes perlahan.
Aisyah berdiri, menghapus cairan bening di pipi. Menghiraukan suaminya yang terus bertanya hal yang sama. Kemudian ke kasur lagi.
Yusuf menghela napas panjang, bingung dengan keadaan, ia pun tidak tau harus bagaimana. Istrinya malah tidur dan sama sekali tidak bercerita.
--
*
Memandang hampa pada wanita yang masih terlelap di sampingnya. Mata sembab dihiasi bibir pucat. Dari semalam istrinya enggan berbicara. Kadang tersenyum seolah menunjukkan dirinya baik-baik saja. Namun, Yusuf tak percaya, mata Aisyah tak bisa berbohong. Suasana hatinya terpapang jelas tengah gundah gulana.
Sebuah ketukan dari balik pintu membuatnya sedikit terperanjak.
"Suf ...," panggil Uminya pelan, tapi tetap tertangkap indera pendengaran.
Yusuf segera berdiri membuka knop pintu, terlihat umi tengah membawa nampan berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya dan segelas air putih.
Yusuf mengerutkan kening, seolah mengerti kebingungan anaknya, umi menjelaskan. "Buat istri kamu. Dari kemarin dia belum makan, kan?"
Yusuf mengangkat bahu tanda tak tahu.
"Ya Allah, Yusuf! Kemaren Umi keluar pengajian sampe pulang malam, semua makanan tetep utuh. Artinya apa cobak?"
Yusuf mengingat pasca kebisuan Aisyah, memang gadis itu sama sekali tak keluar dari kamar. Dan artinya ....
Yusuf memijat pangkal hidung, menyadari betapa tak becusnya menjadi seorang suami.
Tanpa menunggu dipersilahkan masuk, umi langsung menabrak sedikit tubuh anaknya, menerobos masuk kamar, meletakan nampan di atas nakas. Sebentar ia mengamati menantunya, lalu berbalik menatap putranya yang sedang mengamati mereka berdua.
"Apa gak dibawa ke rumah sakit aja, Suf?" tanya Umi seraya duduk di tepi ranjang, beralih menatap khawatir gadis yang berbaring menyamping.
"Jaga istri kamu baik-baik, Suf. Jangan sampai nanti dia membanding-bandingkan perlakuan kamu sama orangtuanya," lanjutnya lalu berdiri, berjalan mendekati Yusuf yang tampak merasa bersalah. Tanpa kata beliau meninggalkan putranya yang sibuk bergelut dengan pikiran yang kian berkecamuk.
--
*
Aisyah telah membaik, senyumnya pun kembali terbit menampilkan wajah berseri yang amat cantik.
Yusuf pulang, langsung tersenyum lebar memandang dua wanita tersayang sedang melipat baju diiringi tawa bahagia. Namun, hatinya masih penasaran dengan sikap Aisyah yang waktu itu tiba-tiba berubah.
"Lagi sibuk, ya?" tanyanya ikut duduk di karpet tepat samping Aisyah.
Aisyah mengangguk, tapi tangan tetap fokus pada lipatan kain.
"Saya capek, Syah!" adunya pada sang istri, tanpa meminta persetujuan menyenderkan kepalanya di punggung Aisyah.
Aisyah menegang seketika.
Umi mengangkat beberapa baju, langsung pergi tanpa pamit. Seakan memberi ruang pengantin baru untuk bermanja-ria.
"Ka-- kamu, gak malu sama Umi." Aisyah terbata seraya berupaya menjauh, tapi lebih dulu tangan Yusuf melingkari perutnya. Membuatnya tak nyaman dengan detak jantung yang terus menyentak.
"Enggak."
"Plis, lepas, ya?" mohon Aisyah penuh harap.
"Cerita dulu." tagih Yusuf masih di posisi yang sama.
"Tentang?"
"Kenapa tiba-tiba nangis dan diemin saya semaleman."
Diusapnya perlahan lengan sang suami, "Setelah itu, apa kamu mau nurutin permintaan aku?"
Mendengar hal tersebut, Yusuf mendongak, menatap intens Aisyah, "Pasti, Syah. Apapun mau kamu selagi saya bisa kenapa enggak."
Aisyah menggigit bibirnya, berusaha menutupi rasa gugup. "Aku pengen kita punya rumah sendiri."
--
*
Kalo gak ngefeel salahin aja mood aku 😌
Next?
--
*
Terngiang permintaan istrinya, bukan tak ingin atau tidak mampu membeli sebuah rumah. Namun yang jadi masalah adalah uminya. Bagaimana reaksi wanita itu nanti, Yusuf masih ingat jelas betapa antusias beliau menyambut Aisyah.
"Kamu gak bangunin aku," kesal Aisyah baru bangun dari tidurnya. Lalu duduk di tepi ranjang sambil menggosok mata berulang-ulang.
Menoleh, Yusuf berusaha tersenyum tenang menutupi keterkejutannya. "Sini geh, Syah!" mintanya menepuk bagian sajadah yang kosong.
Segera Aisyah menghampiri sang suami dengan sesekali menguap, lalu duduk di sajadah yang sama. Berhadapan.
Yusuf sedikit memajukan badan membuat keduanya tak ada jarak, diraihnya kepala Aisyah pelan, lantas mengecup keningnya lama. Aisyah yang tak mengerti hanya diam menikmati desiran hangat menjalar, hingga mencetak semburat merah di pipi.
Tangan Yusuf beralih mengacak rambut Aisyah yang memang sudah berantakkan. Ia tersenyum lebar menatap rona yang membuatnya makin jatuh cinta.
"Kenapa sih? Kok aneh gitu?" Mata Aisyah menyipit, menangkap kejanggalan.
Yusuf menggeleng. "Kamu tau?" ucapnya kemudian. Aisyah mengendikkan bahu.
"Saya lagi bimbang, tapi setelah melihat rona pipi kamu hawa panasnya hilang," sambungnya sembari merapikan helaian rambut Aisyah yang menempel di pipi dan sekitar leher.
Aisyah memutar bola mata malas, sontak tawa Yusuf berderai.
"Wisuda kapan?" Yusuf mengubah topik pembicaraan.
"Belum tau. Tapi nanti siang aku ke kampus."
"Siang?" ulang suaminya.
Aisyah mengangguk.
--
*
Suasana yang dirindukan, taman. Ditemani bunga-bunga bermekaran seolah menggambarkan isi hatinya. Mata menyusuri beberapa bangku di sana, tapi temannya itu tak kunjung datang juga. Belum lagi terik sang surya membuat pelipisnya berkeringat, dikibas-kibaskan tangan tepat depan wajah berharap gerah sedikit berkurang.
"Aisyahkuuu!" teriak seseorang dari kejauhan. Yang dipanggil menyipatkan mata memastikan siapa orang tersebut. Detik berikutnya berbinar senang, lantas berlari memeluk erat Salsa.
"Gimana semalem?" goda Salsa dengan sesekali tertawa.
Sontak cubitan kencang yang ia dapat, Aisyah tersenyum puas, "Otak tolong dikondisikan!" sungutnya kesal.
Salsa mengusap perutnya yang terasa sakit, "Jahat banget!"
Tawa Aisyah berderai menikmati mimik wajah sahabatnya yang tengah menahan nyeri.
"Maaf, ya, cans!"
Salsa mengerling malas, "Untung sayang, kalo gak udah dibuang."
Aisyah hanya tekekeh geli, "Makan, yuk. Teraktir jangan?"
Tersenyum puas, Salsa menarik lengan Aisyah menuju kantin.
--
*
Deras air mata mengalir. Sari masih terisak dalam dekapan Yazis, suaminya. Ada sesak yang kembali menyeruak, padahal baru saja seolah dunia berpihak. Tangan Yazis tak henti mengusap punggung istrinya yang semakin bergetar.
Yazis melerai pelukan lalu menarik dagu Sari menatapnya lekat manik mata sembab istrinya seraya tersenyum menenangkan.
"Meskipun tak seatap, bukan berarti kita dan mereka tak bisa lagi saling bertatap."
Sari menggeleng dengan tangis yang kian menjadi, hidupnya terasa hampa saat Yasiz menyampaikan permintaan putra dan menantunya.
"Memang berat, tapi keadaan memaksa kita harus tetap kuat." Dibenamkan lagi kepala Sari di dadanya.
"Tapi, Ratna menitipkan Aisyah pada kita, Bi. Jika perpindahan itu terjadi, bisa saja mereka anggap putrinya tak diperlakukan dengan baik di sini."
Menghela napas, Yasiz pun bingung kenapa tiba-tiba anaknya meminta izin membeli rumah untuk mereka berdua. Padahal seluruh keluarga telah sepakat bahwa Aisyah akan menemani Sari memulihkan traumanya.
--
*
Bergeming, mendengar suara sesegukan wanita dalam kamar, ingin masuk. Namun, takut dikira tak ada sopan, tapi hatinya penasaran mengapa sampai menangis sesedih itu.
Pintu terbuka lebar, Aisyah yang tadi hendak mengetuk langsung terhenti dengan tangan menggantung di udara.
"Masuk aja," kata Abi seolah mengerti raut wajah menantunya. Lalu menggeser badan memberi ruang agar Aisyah bisa leluasa menemui seseorang di dalam.
"Umi ...," panggil Aisyah lembut, ketika melihat bahu mertuanya yang naik turun.
Melirik sebentar kemudian membuang muka. Walau tahu semua yang terjadi bukanlah salah Aisyah sepenuhnya. Namun, tetap saja ia sakit seakan dipermainkan seperti sekarang.
"Udah berkemas?" tanya Umi dengan nada dingin.
Aisyah menelan ludah susah payah, membeku di tempat. Ada sesak yang menghimpit dada.
Hening
--
*
[Bunda ....] Klik. Pesan langsung terkirim.
Lantas membenamkan wajah di bantal, pikiran Aisyah kalang kabut, harus bagaimana ia setelah kejadian sore tadi.
"Saya pulang!" seru Yusuf tersenyum lebar sambil menutup pintu kembali.
Aisyah mengangkat kepalanya, menghela napas sebentar, sebelum memandang suaminya.
"Larut banget?" tanya Aisyah setelah melihat arloji di tangannya yang ternyata sudah pukul sebelas.
Yusuf menggulung kemeja sampai siku dan melonggarkan dasi, "Maaf, ya. Tadi selesai rapat langsung ngecek beberapa berkas dulu," jelasnya.
"Gapapa. Yaudah sana mandi." Aisyah berdiri berniat menyiapkan pakaian untuk suaminya.
--
*
Esok paginya umi terserang demam, hingga merasa berat untuk sekadar bangun dari ranjang. Aisyah menatap bingung abi, ingin membantu mengurus umi, tapi makan malam kemarin saja wanita itu seperti tak sudi melihatnya.
Menarik napas, Aisyah mendekati abi yang terlihat sibuk mengobrak-abrik sebuah kotak, "Nyari apa, Bi?" tanyanya, berhasil membuat lelaki paruh baya itu mendongak.
"Obat demam untuk Umimu." Ditunjukkanya selempeng obat dalam genggaman.
"Boleh aku yang ngasih?" Ragu Aisyah berkata. Lalu memalingkan wajah ke arah lain.
"Boleh sekali, Nak."
Bahu Aisyah menurun, lega seketika, ia mengambil alih obat tersebut lalu berlari ke kamar sang umi.
--
*
Aisyah membenahi posisinya duduk di samping Yusuf, sedangkan sang suami fokus menatap depan dan setelah mobil melintasi jalan raya pun pria itu tetap diam.
"Kenapa Umi bisa masuk rumah sakit?" tanyanya memecah keheningan, tapi mata tak lepas dari jalanan.
"Aku juga gak tau, pas mau kasih obat. Umi udah pingsan di lantai," jawab Aisyah seadanya.
Hening
Aisyah turun mobil lebih dulu, sedikit menahan kesal melihat tingkah Yusuf yang sungguh menyebalkan.
"Tunggu!"
Mendengar suara Yusuf, Aisyah menghentikan langkah, cepat wanita itu menengok ke belakang.
Jarak mereka berdekatan. Saling pandang dalam diam. Sejenak Yusuf menghela napas gusar, "Apa harus pindah?" lirihnya pelan, khawatir menyakiti perasaan Aisyah.
Sepasang mata Aisyah mulai berkaca-kaca, "Terserah!" balasnya, lantas berlari masuk ke rumah seraya mengusap dada menahan sesuatu yang ingin meledak.
Ia berhak marah, bukan?
--
*
Salam Author manis sejagat raya, biarlah pede ini merajalela, agar dunia tahu siapa yang telah berhasil membuang rasa, yang jelas sia-sia.
AKU MERDEKA 😎
Komen next atau lanjut doang gue tinju🙄
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!