“Kuy, AL! kita ke rumahnya si Anggun, katanya bakalan ada pesta perpisahan di sana sama satu Angkatan.”
Alister, sosok yang sedang merokok sambil menatap langit itu hanya menoleh pada teman temannya. Kali ini mereka sedang berkumpul di basecamp seperti biasanya.
“Bang Tio bilang kalau gak akan ada balapan mala mini, mending kita ke rumah si Anggun, mayan makan gratis, ketemu cewek cewek cantik satu Angkatan lagi. Emang cewek lu gak dateng?”
“Gak tau, gue gak aktifin hape,” jawab sosok Bernama lengkap Alister Kalingga Adhigana, si mantan narapidana ruangan BK dan incaran kebencian sang Ketua Osis yang selalu memarahinya hampir setiap hari. Pria dengan tinggi 180 cm itu punya kebiasaan yang selalu membuat Anggun; si mantan ketua osis sekolah selalu marah.
Mereka baru saja lulus pekan kemarin, dan hari ini Anggun selaku mantan Ketua Osis mengundang satu Angkatan ke rumahnya.
“Gilaa, diputusin baru tau rasa lu sama si Alika.”
“Bodo amat sih, gue gak cinta cinta amat sama dia.” Alister menyedot rokoknya dengan santai.
“Galau lu ya gak bisa bikin marah si Anggun,” ucap salah satu temannya Alister; Key.
“Lah, emang si Al suka sama si Anggun?” tanya yang lain.
Yang segera dijelaskan oleh Key, “Lah kan perusahaan Bokapnya si Anggun sama Bokapnya si Alister itu bersaing makannya dia seneng bikin si Anggun marah.”
“Lah, kok gue baru tau?”
“Kuy lah kita ke sana,” ucap Alister memotong pembicaraan teman temannya, dia segera naik pada motor Ninja hitam miliknya, memakai helm dan meninggalkan teman temannya yang masih bingung.
“Anjing banget ya, kita ditinggalin.”
Mereka bertiga segera menyusul Alister, hingga sampai di rumah Anggun yang besarnya seperti istana presiden. “Lebih gede dari punya lu, Al.”
Alister tertawa sinis. “Dia Cuma satu, gue banyak,” ucapnya membanggakan diri.
Bagian luar rumah seperti tidak ada apa apa. Namun saat terbuka, suara music langsung terdengar memenuhi telinga. Ada yang sibuk melakukan berbagai permainan, ada yang sibuk berjoged dengan DJ, ada juga yang menonton film ramai ramai.
“Gak asyik! Gak ada alcohol!” teriak Key mencoba menyamakan nada suara dengan music yang mendominasi. “Gue bawa ya?”
Alister tidak mendengarnya, dia melangkah untuk pergi ke arah dapur dan mengambil beberapa makanan di sana.
“Yeee! Si anjing!” teriak Key kesal.
Alister mengambil sebuah ice cream di sana, memakannya sambil melihat keadaan pesta yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Anggun adalah anak yang berbakti pada sekolah, disiplin dengan senyumannya yang mirip boneka chucky bagi Alister. Dia selalu berpakaian rapi dengan rambutnya yang memakai bando, lebih mirip dengan robot baginya.
Untuk pesta yang seperti ini, Alister sendiri kaget karena sebebas ini.
“Sayang! kok gak bilang mau ke sini?”
Alika; pacarnya Alister yang merupakan primadona di sekolah. Alias Alika ini saingannya Anggun dalam hal kecantikan. Yang membedakannya, Anggun juara kelas, Alika juara berdandan. Keduanya sama sama cantik, dan Alister menerima cinta Alika karena sosok ini menembaknya di depan banyak orang.
Bayangkan saja, di kantin perempuan Bernama lengkap Alika Laurina itu membawa bunga dan cincin untuk menjadikannya pacar. Kasihan jika di tolak.
“Sayang ih, kenapa gak bilang? Kenapa juga hape kamu gak aktif? aku khawatir tau, Sayang…..”
Alister hanya tersenyum tipis. “Mau ice cream?”
“Mau, suapin ya?”
“Dih.”
“Ayo suapin aku dong.”
Sebenarnya, Alister kasihan saja pada Alika, dia tidak benar benar mencintainya.
“Jangan ganggu gue, Alika.”
“Ih, kamu mah jahat.”
Yang membuat Alister mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya. “Beli foundation baru sono, jangan keputihan.”
“Yeayyy! Makasih sayang!” dan dia langsung pergi meninggalkan Alister di sana.
****
Anggun adalah sosok yang lulus dari SMA dengan nilai paling bagus. Dia eorang primadona, bukan hanya cantik, Anggun juga menjuarai berbagai macam olimpiade. Apalagi sebelumnya dia menjabat sebagai ketua osis. Dia menjadi anak satu satunya yang membanggakan kedua orangtua.
Anggun dicintai semua orang, termasuk oleh orang yang dijodohkan dengannya. Namanya Deon, mereka dijodohkan lima bulan sebelumnya. Dan Anggun sangat bersyukur karena dia dijodohkan dengan kapten basket yang selama ini sangat dia cintai dalam diam. Ternyata, Deon juga mengagumi Anggun dan mencintainya dalam diam.
Kehidupan Anggun terasa begitu sempurna. Orangtua yang lengkap, penyayang dan juga kaya, kisah cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, Anggun punya masa depan yang cerah dengan banyak beasiswa yang datang padanya. Dia merasa kehidupannya sangat sempurna, tidak ada lagi yang perlu dia khawatirkan.
“Kamu mau kuliah dimana jadinya?”
“Di universitas no.1 di Indonesia dong.”
“Gak niat ke luar negara?”
Anggun menggeleng. “Orangtua masih belum bisa lepas gue, terlebih lagi Deon juga mau kuliah di sana.”
“Bucin!”
Anggun hanya tersenyum tanpa mengelak. Dirinya mengambil jurusan kedokteran, sementara Deon mengambil jurusan Ekonomi. “Nanti bisa bareng terus sama Deon. Ini masih rencana sih, tapi karena kalian temen aku, makanya aku kasih tau. Aku sama Deon mau tunangan kalau udah masuk tingkat dua. Karena dua belah keluarga udah ngerasa ini waktu yang tepat.”
“Waah, kalau perusahaan kamu sama perusahaannya Deon digabung, kalah dong perusahan bapaknya Alister.”
Seketika wajah Anggun berubah menjadi kesal. “Please, jangan bawa bawa dia ke dalam percakapan kita.”
Anggun membebaskan teman temannya yang lain untuk menjelajahi rumahnya; kecuali di lantai dua. Dia menghabiskan waktu dengan teman teman satu organisasinya untuk bercerita perihal pribadinya sampai Anggun membaur dengan semua orang, music semakin menjadi jadi.
Ini bukan type dirinya sekali, tapi Anggun mendapatkan saran ini dari sang Papah. Tidak papa melakukan pesta ini sebagai bentuk perpisahan pada mereka yang akan bekerja, yang akan kuliah, asalkan jangan ada **** dan alcohol. Namun, tanpa Anggun ketahui ada seseorang yang membawa Alkohol ke dalam pesta. Anggun yang tidak tau dan tidak bisa membedakan; karena warnanya jernih itu meminumnya.
“Akhhh! Ini apa sih?” teriaknya baru sadar saat sudah dia minum banyak. Anggun menciumnya aromanya. “Alkohol?”
“Eh, Anggun, sorry itu bukan buat konsumsi umum, Cuma buat kita doang,” ucapnya mengambil botol lucu dari dalam kulkas.
“Lu bawa alcohol? Kan gue bilang gak boleh!”
“Sorry, ini buat kit akita doang kok. Lagian gue di belakang sama yang lain,” ucap sosok yang kabur di mata Anggun, dia mulai pusing. Anggun berdecak kesal dan memutuskan untuk diam saja.
“Sayang kenapa?” tanya seseorang mendekat.
“Hmmm? Deon?”
“Kamu bau alcohol, kamu minum?”
“Tadi ada yang bawa tau, bukan salah aku. hiks, mereka gak dengerin aku,” ucap Anggun kesal.
“Yaudah kamu naik aja ke atas yuk, istirahat di sana.”
“Terus pesta ini gimana? kamu jadi pulang sekarang?”
“Iya, mau jemput Mama di bandara. Masalah pesta, kan ada yang lain buat ngawasin, nanti aku bilang sama mereka. yuk, sekarang kamu istirahat aja.”
Anggun mengangguk dan membiarkan sang kekasih menggendong dan membawanya ke lantai dua. Deon menidurkannya di ranjang dan memberikannya kecupan di dahi. “Istirahat aja ya.”
“Pusing.”
“Iya, kamu gak terbiasa. Udah bobo-in aja.”
Anggun mengangguk dan memejamkan mata, semoga besok dia tidak lagi bau alcohol. Bisa bahaya jika kedua orangtuanya pulang dan mendapatinya seperti ini.
“Good night, Princess.”
*****
To be continue
Komentarnya?
“Anjing udah!” teriak Alister saat dia selalu saja kalah dalam permainan kartu hingga hukuman yang mengharuskannya minum alcohol.
“Sana, ambilin kita kue yang ada di dapurnya si Anggun, tadi kita liat.”
Hukuman untuknya karena kalah, Alister diam sejenak. Ini sudah diambang batas wajarnya untuk minum. Dia malah terdiam dan melamun, membuat yang lainnya menepuk bahu Alister. “Sana!”
Karena dia harus melakukannya, akhirnya Alister memaksakan diri untuk ke dalam dan mengambil kue yang diinginkan teman temannya. Sayangnya begitu masuk, suara music membuat telinganya sakit. Alister diam sejenak saat berada di dalam, dia menelan salivanya kasar dan ingin sekali membanting sound yang membuat telinganya terasa sakit.
“Shit,” umpatnya, matanya menangkap lantai dua yang terlihat begitu tenang.
Alister yang sedang mabuk itu melangkah ke sana dengan sempoyongan, dia menjelajahi korodor lantai dua dan tertawa melihat foto foto anggun saat masih kecil.
“Orang bawel,” ucapnya mengingat Anggun selalu menasehatinya selama tiga tahun dirinya sekolah SMA.
Mata Alister menatap pintu yang ada di ujung ruangan, dia menyipitkan matanya dan melangkah mendekat. Pintu berwarna pink itu menarik perhatiannya. sebelum Alister membukanya, pintu itu lebih dulu terbuka dan seseorang dari dalam sana keluar.
“Heh, si bawel ternnyata.”
Anggun menyipitkan matanya. “Sayangku udah pulang, ih aku kangen.” Ucapnya sambil memeluk Alister secara tiba tiba.
“See, semua akan jatuh pada gue pada akhirnya,” ucapnya yang benar benar merasa pusing sekarang.
“Sayang kenapa?”
“Pusing,” jawab Alister.
“Sayang kangen.” Anggun tiba tiba mencium bibir Alister kemudian menariknya ke dalam kamar tanpa memberi kesempatan sosok pria itu untuk bicara. “Sayang sini kangen kangenan.”
“Montok,” ucap Alister sambil terkekeh dan menindih Anggun di atas ranjang.
Hingga akhirnya hanya menyisakan kata kata…
“Hnghhh… sakit… enak….”
“Arrgghhh! Gila!””
“Lagi lagi! Mau di atas!”
*****
“Rumah udah diberesin katanya,” ucap Eva; Mamanya Anggun, dia tengah bicara pada sang suami. wisnu menoleh sebelum akhirnya mengangguk. “Mau pulang sekarang atau kapan?”
“Sekarang aja, ada kerjaan. Perusahaannya Kertawijaya sekarang Kerjasama sama orang German, kita gak boleh ketinggalan.”
“Lah, kita juga lakuin hal yang sama dong, Pah. Nanti Mama bantu.”
Keduanya sengaja pergi ke sebuah penginapan mewah untuk memberikan ruang pada anak mereka yang akan mengadakan pesta semalaman di rumah. Siang hari, mereka baru pulang ke mansion yang ukurannya layak istana presiden.
“Bi, Anggun kemana?”
“Di kamarnya belum bangun, Bu. Sepertinya semalam Non Anggun gak tidur, makanya saya buka karena kasihan.”
“Oh iya gak papa, semuanya aman kan semalam?”
“Sepertinya aman, Bu, tidak ada alcohol ataupun hal hal aneh. Satpam sering keliling dan berjaga.”
Eva menghela napasnya lega. “Siapin makan siang ya, Bi.”
“Baik, Bu.”
Sambil menunggu makan siang siap, mereka duduk dulu sambil membicarakan perihal perusahaan rival yang kini selangkah lebih maju dari mereka.
“Gak bisa dibiarin, Pah, masa iya kita kalah.”
“Gak akan, kita juga bakalan launching produk baru.”
“Hmm, menurut Papah, Anggun harus dilibatin gak sih? Dia udah gede dan mau kuliah, mumpung belum masuk kuliahnya, kenapa kita gak minta dia buat pindah jurusan?”
“Jangan, kasian dia mau jadi dokter. biarin aja, nanti kita ajak dia pelan pelan. Anggun itu lagi semangat semangatnya buat bisa jadi dokter.”
Eva akhirnya mengalah pada sang suami. hampir satu jam membahas, sang pembantu datang, “Bu, makanannya sudah siap.”
“Mama bangunin Anggun dulu ya, Pah. Kasian takut perutnya sakit nanti.”
Kemudian Eva melangkah untuk membangunkan putri semata wayangnya. Dia tau sang anak pasti kelelahan karena semalam, tapi dia sendiri tidak ingin Anggun sakit karenanya.
Ketika pintu terbuka.
“Nak, bangun dulu yuk. Kamu be— ya tuhan,” gumam Eva kemudian limbung dan tidak sengaja menyenggol vas saat dirinya terjatuh.
Suara itu menimbulkan dua orang dalam selimut bergerak gelisah, dan Wisnu langsung melangkah menuju sang istri. “Ma, kamu kenapa?” sambil berlari menyusul ke kamar putri mereka.
“Ma, kamu itu kenapa?” focus Wisnu terpaku pada sang istri yang terduduk dengan tubuh bergetar.
“Pah,” ucapnya menunjuk ke arah ranjang. Dimana Wisnu sendiri langsung membulatkan matanya.
“APA YANG KALIAN PERBUAT?!”
Teriakan itu membuat Alister bangun sepenuhnya. Baru juga dia membuka mata, Alister ditarik paksa menjauh dari ranjang dan langsung dipukuli membabi buta oleh Wisnu.
“Mama,” ucap Anggun ketakutan, dia memeluk dirinya sendiri oleh selimut. Dia tidak tau apa yang terjadi. dan tangisan Anggun menyebabkan Alister semakin dipukul, Eva sendiri langsung mendekati anaknya dan memeluknya dengan erat
“Gak papa, Sayang. Mama di sini, gak papa.”
****
Alister sudah babak belur, Wisnu semakin geram saat mengetahui kalau Alister adalah anak dari seorang Kertawijaya Adhigana; merupakan saingan dalam bisnisnya.
“Anak anda telah melakukan hal yang tidak terpuji pada anak saya. Saya ke sini hanya meminta anda untuk membawanya pulang dan bersiap jika dipanggil ke kantor polisi.”
Kertawijaya dengan remehnya tertawa. “Jika anak saya memang memperkosa putri anda, pasti akan ada perlawanan, akan ada bekas paksaan pada putri anda, atau tidak akan pernah ada noda kissmark pada leher anak saya. Maka dari itu saya menginginkan CCTV dari kamar anak anda.”
“Kamar anak saya tidak dipasangi CCTV.”
“Bagaimana dengan bagian koridornya?”
Wisnu terdiam, dia tidak bisa mengelak pada pria di depannya itu. Hingga akhirnya dia meminta sang satpam membawakan rekaman ke sana. dan ketika rekaman diputar, Wisnu kaget melihat anaknya yang mencium lebih dulu dan bahkan menarik Alister untuk masuk ke dalam kamar.
“Lihat, anak saya tidak sepenuhnya bersalah. Kejadian ini murni karena suka sama suka.”
Wisnu memejamkan matanya, dia malu dan juga merasa gagal menjadi seorang Ayah. Matanya berpaling sesaat dengan air mata mengenang, tidak percaya jika anaknya melakukan hal seperti ini. “Saya menginginkan pertanggung jawaban. Meskipun mereka melakukannya atas dasar suka sama suka, Alister harus bertanggung jawab karena dia yang pertama kali menyentuh putri saya. Bahkan ada bercak darah di sprei.”
“Tidak masalah, atur saja pernikahan mereka,” jawab Kertawijaya dengan santai.
Alister diam di mobil sang Ayah, sementara Anggun di kamar bersama dengan sang Mama. Sementara Wisnu duduk bicara dengan Kertawijaya dengan asisten masing-masing dari mereka yang berdiri tepat di samping keduanya.
“Pernikahannya harus dilakukan secara besar, Anggun satu satunya anak kami.”
Kertawijaya terkekeh. “Untuk pencitraan? Tidak masalah. Katakan hal itu pada asisten saya.”
Sang asisten mengeluarkan sebuah kartu nama dan menyimpannya di meja. “Satu minggu pertama ini, Tuan saya sibuk. Pernikahan bisa dilakukan di minggu kedua.”
Yang langsung diterima oleh asistennya Wisnu. “Akan saya hubungi secepatnya.”
“Sudah selesai bukan?” tanya Kertawijaya. “Tidak ada unsur pemaksaan di sini. Mereka akan menikah. Dan selesai.” dia menatap jam tangannya. “Kita bicara lagi di lain waktu sebagai besan.”
Setelah kepergian Kertawijaya, Wisnu meminta sang asisten meninggalkannya sendirian. Sosok itu menangis karena merasa gagal menjaga dan mendidik putrinya. Padahal dirinya sudah mempersiapkan semuanya, bahkan jodoh untuk Anggun.
Namun Wisnu sadar, tidak seharusnya Anggun bersama dengan Deon dengan keadaan yang sudah pernah tidur dengan laki laki lain. Wisnu akan sangat malu jika keluarga Deon menerima Anggun yang ternyata hanyalah buah busuk. Meski cantik dari luar, dalamnya sudah rusak. Apalagi yang mereka tau kalau Anggun adalah anak yang baik baik.
Selesai dengan tangisannya, Wisnu melangkah menuju kamar sang putri. Dia menarik napasnya dalam dan melihat Anggun yang tengah menangis dalam pelukan sang Mama. Dia kecewa, bagaimana bisa sang anak melakukan hal itu?
“Pah, bagaimana?”
Wisnu mengambil duduk di bibir ranjang. “Anggun akan menikah dengan Alister, dan akan memutuskan perjodohan dengan Deon.”
“Apa? Anggun korban di sini, Pah. Dia tidak tau apapun,” ucap Eva pada suaminya.
“Tidak, Anggun tau itu.” Kini tatapannya beralih pada sang putri. “Papah kecewa sama kamu. Dan sekarang kamu harus menanggung akibatnya. Papah akan lebih malu jika menyerahkan kamu pada keluarga Deon dengan keadaan yang rusak seperti ini.”
“Anggun gak rusak, Pah!” Eva kembali marah.
“Anggun yang pertama kali menggoda dan menarik anak itu ke dalam kamar.”
Anggun hanya bisa menggelengkan air matanya yang mengenang di pelupuk mata. Ini mimpi buruk, dia ingin bangun dari mimpi dan kejadian gila ini.
****
To be continue
Komentarnya?
“Anggun gak mau nikah sama Alister, Ma.”
Eva selaku Mama dari Anggun hanya diam, jujur saja dia sendiri kecewa pada anak satu satunya yang telah dia rawat dan dia besarkan dengan baik. Karena pada kenyataannya, Anggun telah melakukan hal yang tidak pernah ada di dalam bayangannya.
“Ma, hiks….. biarin Anggun ngomong sama Deon…”
“Gak boleh, Deon udah ngomong sama Papah kamu. Kita udah fiks gak ada hubungan apa apa lagi. Lebih baik, kamu focus sama kehidupan kamu selanjutnya.”
“Tapi… biarin Anggun buat ngomong dulu sama Deon, Ma… tolong…”
“Gak boleh, gak bisa. Nanti malah gak baik buat kamunya,” ucap Eva tetap pada pendiriannya.
“Terus, Mama itu ngapain itu masukin baju baju aku.. hiks….”
“Gak ada, Cuma lagi persiapan buat kamu pergi aja sama Alister.”
“Kok Mama ngomongnya gitu?” anggun makin menangis sejadi jadinya. Namun, Eva tidak terlalu menanggapinya karena dia memiliki luka sendiri.
“Ma….”
“Tidur, kamu harus tidur karena sebentar lagi kamu akan menikah. Jangan bergadang.” Kemudian sosok itu menghilang di balik pintu. Meninggalkan Anggun dengan suara pintu terkunci seperti biasanya. Dia hanya diam sendirian di dalam kamar seperti biasanya. Hanya menangis di sana dan tidak memiliki ponsel sama sekali untuk menghubungi teman temannya.
Yang Anggun tau, kalau undangan pernikahan antara dirinya dan Alister sudah di sebar. Kenyataannya, memang akan ada pesta pernikahan yang besar diadakan oleh dua keluarga yang sering bersaing itu. Anggun tidak tahu bagaimana respon teman temannya nanti, Anggun tidak tahu bagaimana pendapat Deon.
Karena kenyataan bahwa Anggun hanya bisa berdiam diri di dalam kamar, makananpun diantarkan. Dia tidak bias menghubungi siapapun, bahkan teman temannya. Sampai perihal perkuliahan pun, dirinya tidak bias mengetahui sejauh mana tahapan yang harus dia tempuh dikarenakan sang Mama selalu saja berkata, “Jangan khwatir, perkuliahan kamu aman aman saja.”
Dan itu dikatakannya dengan wajah yang datar yang mana membuat Anggun semakin yakin kalau kehidupannya tidak akan berjalan seperti sebelumnya.
Pria yang dicintainya, pergi dalam hidupnya, menyisakan ruang kosong yang sesak. Meninggalkan sejuta angan yang memang tidak akan pernah dirasakannya. Dia tidak akan pernah bisa hidup dengan pria yang dicintainya, dia tidak akan pernah bisa menggapai semua itu.
Hancur, bahkan Anggun tidak akan pernah tau lagi kehidupannnya di masa mendatang.
Karena pada kenyataannya, sekarang ini Anggun tengah terdiam membisu menatap ruangannya sendiri. Alister, pria yang menidurinya itu entah pergi kemana. Sejjak dimana dia dipukuli oleh Papahnya, Alister belum juga menampakan batang hidungnya.
Waktu berjalan begitu cepat, hingga Anggun semakin merasakan sesak di dada dikarenakan dirinya di bawa ke sebuah hotel mewah dan didandani dengan cantiknya. Dengan dirinya memakai gaun pengantin seperti ini, membuat air matanya menetes.
“Jangan menangis seperti itu, ini hari bahagiamu. Tersenyumlah dan jangan membuat kami malu.”
Begitu kata Mamanya, begitu dingin hinngga dirinya tidak bias lagi mendapatkan pelukan hangat, manja manja dari sang Mama seperti biasanya. Sakit sekali, Anggun merasa terasingkan di keluarganya sendiri, dia bahkan tidak bias mengatakan apapun lagi. Dikarenakan hal yang terjadi sebelumnya.
“Udah siap?” Tanya sang Papah yang masuk ke dalam ruangan.
Tidak pernah terfikirkan kalau keluarganya akan sedingin ini, tidak terfikir bahwa pernikahannya akan seperti ini. Dia hanya bias diam, tidak bias mengatakan apapun.
“Ayo,” ucap sang Papah mengulurkan tangannya.
“Paaa….”
Papanya menatap dengan manik yang tajam pada sang anak. “Iya, Papa tau ini karena kecelakaan. Tapi Papa tetap kecewa sama kamu. Biarin dulu kecewa kami mereda. setelah pernikahan nanti, kamu sama Alister bakalan tinggal satu rumah. biaya hidup kamu juga akan ditanggung sama dia. Dia harus bisa bertanggung jawab.”
“Papa buang aku?” air mata anggun menetes. “Papa buang aku? Tapi ini bukan salah aku, Pa.”
“Ayo, saatnya kamu pergi, Anggun.” Memalingkan wajahnya.
Anggun hanya bias menurut, saat dirinya dibawa keluar ruangan. Dimana ada sebuah pintu besar di depannya, kemudian terbuka dan menampilkan ballroom yang dipenuhi banyak orang.
Fokusnya terbagi, di sana ada teman temannya yang menatapnya dengan kaget seolah tidak percaya kalau dirinya menikahi sang berandalan sekolah, ada juga Deon; pria yang dicintainya itu menatapnya dengan nanar dan penuh dengan rasa sakit. Hingga akhirnya, tatapan Anggun terpaku pada calon suaminya yang sudah menunggu di sana, diam di altar dengan wajah yang tersenyum tipis.
Anggun membencinya.
***
Dalam pesta pernikahan itu, dihadiri banyak sekali petinggi perusahaan, juga teman temannya. Deon? Anggun tidak lagi melihat pria itu.
Ketika tangannya hendak dipegang Alister, Anggun langsung menepisnya. “Gak usah pegang pegang.”
“Seenggaknya di hadapan kolega orangtua, kita harus keliatan baik. Jangan bikin orangtua malu.”
Anggun memalingkan wajahnya, banyak kolega yang datang padanya memberi selamat. Dua keluarga dengan dua perusahaan besar menjadikan pesta ini begitu megah. Bahkan, ketika teman teman anggun datang untuk memberi selamat, mereka tidak punya waktu menanyakan penjelasan.
Begitu beres rangkaian acara pernikahan, Anggun langsung mengedarkan pandangannya mencari keberadaan orangtuanya, dia kembali masuk ke ruangan tunggu tadi. “Mbak, lihat orangtua saya nggak?” pada sang penata rias.
“Udah pada pulang, Neng. Kenapa?”
“Kok aku ditinggal?” matanya berkaca kaca.
“Anggun.” Seseorang memanggilnya dari belakang.
Oh, itu dia si pria badjingan yang Anggun benci. “Lu ikut sama gue, ayok pulang.”
“Gue gak mau pulang sama lu.”
“Barang barang lu udah ada di mobil gue. Cepetan.”
“Gak mau, gue mau pulang ke rumah orangtua gue.”
Alister mengangkat bahunya. “Yaudah, nanti lu palingan di usir. Terus lu bingung harus pulang ke mana. Hujan juga diluar.” Alister yang sudah berganti pakaian itu meraih jaketnya yang ada di sofa. “Gue balik duluan kalau gitu.”
Anggun tau sikap kedua orangtuanya, apalagi setelah kejadian ini. mereka tidak akan menerima.
“Cepetan, ini kesempatan terakhir gue. Mau ikut gak?”
Anggun menyerah, dia melangkah menuju Alister yang menunggu di sana.
***
Anggun dibawa ke sebuah apartemen yang ada di pusat kota. Benar kata Alister, barang barangnya sudah ada di bagasi. Kedua orangtuanya membuangnya. Saat Anggun menelpon dan mengirim pesan saja, tidak diangkat sama sekali.
Tidak ada percakapan diantara keduanya, hanya keheningan yang melanda. “Gue gak mau kita tidur satu ranjang,” ucap Anggun.
“Hmmm.” Alister membawakan kopernya. Dan melangkah lebih dulu. “Anggun, bantuin bawa tas satu. Gue pegel.”
“Gue benci sama lu.”
“Oke, sekarang bawa koper lu.”
“Gak mau, lu harus tanggung jawab. Seenggaknya bawain koper gue,” ucapnya berapi api, sungguh membenci pria ini.
“Bawain koper doang ya ampun, ini punya lu.”
“Gak mau. Lu aja yang bawain.”
Alister menghela napas dan terus melangkah. Ternyata, apartemen biasa yang mereka tempati. Hanya memiliki dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu dan ruang keluarga yang menyatu, ditambah lagi dapur. Anggun bertanya tanya kenapa mereka tidak tinggal di penthouse?
Ini sama persis dengan apartemen di drama korea.
Alister menyimpan koper itu di kamar Anggun. “Istirahat, jangan ganggu gue.” Pria itu juga melangkah ke kamarnya, tidak mempedulikan Anggun di sana.
Perempuan berusia 17 tahun itu berkaca kaaca. Harusnya tahun ini jadi tahun keemasannya. Dia bisa lulus SMA di usia lebih muda, diterima di fakultas kedokteran dan memiliki tunangan yang dia cintai.
Tapi lihat, dia berakhir bersama Alister. “Hiks…. Mama… hiks…”
***
To be continue
Komentarnya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!