NovelToon NovelToon

Penyesalan Suami : Pecah Seribu

Bab 1. Kejutan yang mengejutkan

"Kejutan...,"

Nafa masuk ke dalam ruangan Ravi sembari berteriak. Sengaja dia tak memberi tahu kedatangannya ke kantor karena ingin memberi kejutan untuknya. Namun senyum yang terukir sejak masih berada di parkiran, sirna seketika. Bersamaan dengan terjatuhnya tart dan buket bunga dari tangannya. Perlahan namun pasti, air matanya luruh. Menyaksikan dua manusia yang sedang bergelung mesra dia atas sofa ruang itu.

Seharusnya, malam itu adalah adalah malam yang paling membahagiakan untuk Nafa dan Ravi. Peringatan ulang tahun ke tiga pernikahan yang seharusnya menjadi malam indah penuh kenangan berubah menjadi malam kelam paling menyakitkan.

"Nafa!"

Ravi menoleh ke arah Nafa, menatapnya terkejut. Kemudian bangkit dari atas tubuh wanita setengah telanjang yang sedang bersamanya. Lalu memungut kemeja di atas lantai dan berdiri memunggungi nafa sambil memakainya.

"Kenapa ke sini?" Tanya Ravi sambil mengaitkan kancing kemeja hingga selesai. Suaranya dingin, seakan tidak terjadi apa-apa saat itu.

"Apa-apaan ini!" Nafa bertanya balik dengan suara bergetar. Bahkan kedua bola matanya masih penuh dengan genangan air mata. Namun dia segera menghapusnya dengan kasar.

Namun pertanyaan Nafa diabaikan. Ravi justru memungut pakaian milik wanita itu lalu melemparkannya tepat ke atas tubuh wanita itu. Berisyarat agar wanita itu segera memakainya.

"Mas, bisa kamu jelaskan?" Nafa mendekat pada Ravi, menatapnya kecewa. Perih, sungguh dia tak ingin percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Seperti yang kamu lihat!" Jawab Ravi sinis. Seolah tak merasa bersalah atas perbuatannya.

"Tega kamu! Apa salahku, sampai kamu melakukan perbuatan menjijikan seperti ini!" Nafa benar-benar kecewa. Tatapannya kini berubah tajam penuh amarah.

Namun, sekali lagi Ravi tak peduli. Dia justru berjalan menuju kursi kebesarannya lalu duduk dengan menyalakan sebatang rokok. Satu kali tiupan, asap putih mengepul di udara. Sehingga pandangan Nafa pada Ravi sedikit kabur karena tertutup asap.

Sementara wanita yang kini telah berpakaian lengkap itu berjalan ke arah Ravi. Kemudian duduk di armerst kursi kebesaran Ravi sambil merangkul mesra pundak Ravi. Membuat Nafa semakin menatap marah pada dua manusia yang ada di hadapannya.

"Mas, kamu bisa jelaskan arti semua ini?" Lagi, Nafa mempertanyakan perbuatan Ravi. Meskipun tahu arti dari perbuatan Ravi, tetap dia ingin mendengar sendiri penjelasan dari Ravi.

"Kamu ini bo doh atau tolol sih! Penjelasan apa lagi yang kamu inginkan!"

Namun jawaban itu justru keluar dari mulut Marsha. Sementara Ravi masih diam menikmati sebatang rokok dengan santai. Seolah dia sedang sendiri di dalam ruangan itu.

"Diam kamu! Aku tidak ada urusan dengan kamu!" Nafa memperingatkan Marsha dengan jari telunjuk terangkat menunjuk ke arah Marsha. Muak sekali rasanya melihat wanita ular seperti Marsha.

"Sekali lagi aku tanya sama kamu, Mas. Apa artinya semua ini?" Nafa menelan ludah perlahan. Berusaha menormalkan amarahnya. Mempersiapkan hati mendengar jawaban Ravi nantinya.

Namun hingga beberapa saat Ravi tak kunjung membuka mulut. Justeru masih sibuk menghisap rokok dengan santainya. Kemudian mematikan puntungnya dengan cara menekan di atas asbak hingga baranya benar-benar padam.

"Sudahlah, apalagi yang kamu inginkan. Semua sudah jelas bukan?" Lagi, Marsha menyela keheningan di antara Nafa dan Ravi.

Nafa semakin berang, menatap tajam ke arah Marsha. "Pergi kamu wanita murahan! Jauh-jauh dari suamiku! Jangan pernah kamu menyentuhnya, pergi!" Lalu menarik tangan Marsha agar menjauh dari Ravi.

"Apa-apaan sih!" Marsha menghempaskan cengkraman tangan Nafa dari lengannya dengan tatapan tak suka.

"Dasar wanita bia dap! Sudah berbuat salah masih pura-pura suci! Pergi kamu! Pergi!"

Nafa berteriak dengan nada penuh emosional. Dadanya pun terasa sesak karena amarah yang masih sebisa mungkin di tahan.

"Seharusnya, kamu yang pergi! Nggak sadar diri banget sih!" Ucap Marsha balas berteriak. Tatapannya pun tak kalah tajam.

"Ka ...."

"Cukup! Hentikan!" Akhirnya Ravi berdiri menghentikan kalimat Nafa, memisahkan perang mulut antara dua wanita itu.

"Dengar Nafa, nggak perlu aku perjelas lagi."

"Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?" Air mata Nafa semakin deras membanjiri kedua pipinya. Adakah kesalahannya hingga membuat Ravi tega berkhianat di belakangnya.

"Kenapa kamu bilang?" Ravi menatap Nafa dengan dahi berkerut. "Bukankah kamu yang memulai? Dan yang aku lakukan ini, karena perbuatan kamu di belakangku!" Ravi berteriak marah pada Nafa sambil menatapnya tajam.

"Memangnya apa yang aku lakukan di belakangmu?"

"Jangan pura-pura bo doh! Dengar ya, aku bukan orang lemah yang akan diam saja mengetahui kelakuan kamu di belakangku!"

Nafa masih bertanya-tanya, kesalahan apa yang dia lakukan hingga Ravi membalasnya dengan pengkhianatan.

"Sungguh, aku tidak tahu, Mas. Jelaskan padaku apa yang membuatmu sangat marah padaku?"

Ravi menarik laci meja kerjanya lalu melempar beberapa lembar foto tepat ke wajah Nafa. Hingga membuat foto itu berhamburan dan jatuh ke lantai.

Nafa berjongkok mengambil salah satu foto yang paling dekat dengannya saat itu. Sedetik kemudian matanya membelalak terkejut menatap gambar hitam putih yang di ambil dari kamera cctv. Tidak terlalu jelas memang, tapi cukup membuat Nafa paham bahwa wanita dalam foto itu adalah dirinya yang sedang beradu panas dengan seorang laki-laki di atas ranjang.

"Masih berani mengelak kamu?" Tidak ada lagi suara lembut penuh cinta yang keluar dari mulut Ravi.

"A-apa ini, Mas?" Tanya Nafa dengan suara bergetar. Sungguh dia tak mengerti kenapa wajah wanita dalam foto itu bisa mirip seperti dirinya.

"Seharusnya aku yang tanya! Apa itu!" Namun Rafi justru membentak sambil menunjuk kearah foto yang ada di tangan Nafa.

"Ini bukan aku, Mas. Aku nggak pernah melakukan hal seperti ini!" Nafa memberi penjelasan. Tapi sepertinya Ravi sama sekali tak percaya padanya. Terbukti dengan senyum sinis yang terukir di bibirnya.

"Dasar, wanita pembohong!" Gumam Ravi sembari berdiri.

"Mas, sungguh. Aku tidak pernah melakukan itu. Dan orang yang ada di foto ini bukan aku!" Sekali lagi Nafa berusaha memberi penjelasan. Bahwa bukan dirinya yang ada dalam foto itu.

"Wanita murah an! Sudah ketangkap basah masih berani mengelak! Benar-benar tidak tahu malu. Nyesel aku mungut kamu jadi istri aku!" Ravi mendecih menghina Nafa. Seolah Nafa adalah benda menjijikan yang sama sekali tidak berharga yang dipungut dari tempat pembuangan sampah.

"Mas, aku benar-benar tidak tahu, dan aku tidak pernah melakukan hal menjijikan seperti yang kamu lakukan dengan wanita ini." Nafa tak tahan lagi untuk memaki. Bukannya mengakui kesalahannya, tapi Ravi justeru mencari kesalahan yang sama sekali tidak pernah dia lakukan.

"Kurang ajar, kamu!" Teriak Ravi penuh amarah. Bersamaan dengan suara tamparan keras di sebelah pipi Nafa. Hingga membuat kepala Nafa menoleh sebab kerasnya tamparan.

Nafa menatap Ravi pias. Ini bukanlah Ravi suaminya, Ravi tidak akan pernah berbuat kasar padanya. Perasaannya mengatakan bahwa saat ini Ravi sedang sedang dikuasai oleh orang lain.

"Mas, sumpah demi apapun. Aku tidak pernah berbuat seperti itu. Dan yang ada di dalam foto itu, bukan aku." Meski sia-sia, Nafa berusaha menyakinkan Ravi bahwa bukan dirinya yang yang ada dalam foto itu.

"Cukup! Aku sudah muak mendengar ocehan mu! Pergi kamu dari hadapanku wanita murahan!" Ravi menunjuk kearah pintu keluar dengan wajah merah padam. "Jangan pernah kamu tampakkan wajahmu dihadapanku. Aku benar-benar jijik melihat wanita mu rahhan sepertimu. Pergi!" Imbuhnya dengan berteriak kemudian berbalik membelakangi Nafa sambil menyisir rambutnya ke belakang.

Nafa hanya bisa menangis, sekeras apapun dia membela dirinya tetap Ravi tidak akan pernah percaya. Apalagi saat ini Ravi sedang di kuasai amarah. Dengan langkah gontai, Nafa berbalik dan melangkah pergi.

"Oh ya, satu lagi! Aku akan mengirimkan surat perceraian kita!" Ucap Ravi sambil berbalik menghadap Nafa. Membuat langkah Nafa seketika berhenti, kemudian memejamkan mata tanpa berbalik. Meski hatinya sangat ingin melihat kesungguhan di wajah Ravi atas ucapannya.

Bab 2. Tunggulah sampai kembali

"Ngapain kamu ke sini!" Ravi melirik sekilas ke arah pintu ruangannya. Kemudian menutup berkas yang saat itu sedang dia periksa. Kedatangan Marsha, membuat mood bekerjanya menghilang. Dia pun segera berkemas dan bersiap pulang ke rumah.

"Jahat banget sih," Marsha merajuk manja sambil berjalan mendekat ke arah Ravi. Kemudian bersandar di sisi meja dan berhadapan langsung dengan Ravi.

Namun, Ravi tetap memasang wajah dingin dan sama sekali tak peduli dengan kehadiran Marsha. Selesai membereskan barang-barangnya, dia bangkit lalu menyampirkan jas di lengan kiri. Sementara tangan kanannya menenteng tas kerja yang berisi laptop. Kemudian melangkah pergi mengabaikan Marsha.

"Kamu akan sangat berterimakasih saat mengetahui kelakuan istri kamu di belakangmu." Teriak Marsha, yang berhasil menghentikan langkah Ravi seketika. Kemudian berbalik dan mendekat pada Ravi yang masih berdiri di depan pintu.

"Aku tuh, kasihan banget sama kamu. Laki-laki sebaik dan setampan kamu, di khianati oleh istri sendiri." Marsha memutari tubuh Ravi sambil berucap dengan nada mengejek.

"Apa maksud kamu!" Tanya Ravi dengan mata menatap tajam. Suaranya sedikit meninggi karena mulai terpancing dengan ucapan Marsha.

Marsha menghela napas berat kemudian mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas selempangnya untuk diberikan pada Ravi.

Ravi memandang Marsha sekilas, kemudian mengambil amplop dari tangan Marsha dan membukanya. Sedetik kemudian, wajahnya berubah memerah. Sementara rahangnya bergerak-gerak menahan amarah.

"Darimana kamu dapat foto ini!" Tanyanya dengan nada penuh emosional.

"Nggak penting darimana aku dapat foto itu. Yang penting, apa yang harus kamu lakukan pada dua orang dalam foto itu." Jawab Marsha sembari tersenyum licik.

"Istri pungut yang kamu cintai itu, ternyata tak ubahnya seperti wanita murahan. Ck, ck. Ravi, Ravi. Kasian banget kamu." Marsha justru memojokkan Ravi. Sehingga Ravi benar-benar terpancing amarah. Terlihat jelas dari raut wajah Ravi yang berubah merah padam.

"Kalau jadi kamu, aku akan membalas perbuatannya dengan cara melakukan hal yang sama." Lanjut Marsha dengan tersenyum sinis. Kemudian menghadap Ravi sembari tersenyum licik. "Supaya dia juga merasakan sakit hati yang sama seperti yang kamu rasakan." Kemudian mengalungkan sebelah tangannya dileher Ravi. Sementara tangan yang lain bermain-main di dada Ravi. Perlahan namun pasti tangannya membuka kancing teratas kemeja Ravi.

***

Nafa, nama itu terus berputar-putar di kepala Ravi. Hatinya tak ingin percaya, tapi akal dan logikanya seolah mati melihat gambar telanjang Nafa dengan seorang laki-laki di sebuah kamar hotel.

Dia tak menyangka Nafa gadis lugu yang dikenalnya lima tahun lalu tega berkhianat di belakangnya. Tak ingin terus diliputi rasa bimbang, Ravi menyewa seseorang untuk menyelidiki keaslian gambar tersebut. Juga menyelidiki siapa laki-laki yang bersama Nafa dalam foto itu.

Di hari ketiga penyelidikan, Ravi bertemu dengan Rian, orang suruhannya. Membahas, tentang keaslian gambar tersebut. Serta biodata laki-laki yang ada dalam gambar tersebut.

Ravi menatap Rian serius. Memasang telinga tajam agar tidak ada satupun informasi yang terlewat dari telinganya.

"Apa!" Pekik Ravi dengan mata membelalak terkejut mendengar penjelasan Rian. Saat ini mereka sedang duduk berhadapan di sebuah kafe tak jauh dari kantor Ravi.

"Iya, benar. Laki-laki adalah pengusaha muda yang tersandung kasus pornografi lima tahun silam." Ujar Rian menerangkan.

Ravi diam tampak berpikir. Lima tahun lalu, adalah pertemuan pertamanya dengan Nafa. Apa mungkin, sebelum mengenalnya Nafa pernah menjalin hubungan dengan laki-laki di dalam foto itu?

"Lalu, bagaimana dengan keaslian gambarnya?" Tanya Ravi memastikan lagi.

"Dari informasi dan bukti yang saya dapatkan, pose dalam foto itu sama persis dengan pose skandal lima tahun lalu." Rian menunjukkan bukti gambar yang dia dapat di layar laptopnya.

"Jadi menurut kamu, foto itu di rekayasa?" Ravi menatap Rian serius.

Rian pun mengangguk. Kemudian memutar laptop menghadap ke arahnya. Sedetik kemudian menghadapkan kembali pada Ravi.

"Ini adalah wanita yang terlibat skandal dengan laki-laki itu. Anda bisa membedakan siluet tubuhnya."

Ravi menatap layar laptop Rian dengan alis bertaut. Benar kata Rian, seharusnya dia bisa mengenali dari perbedaan siluet tubuh.

"Baiklah, terimakasih infonya." Ucap Ravi sambil mengangguk sopan. "Tetap selidiki, jika ada informasi baru segera hubungi." Imbuh Ravi, mengakhiri pertemuannya dengan Rian.

Setelah bertemu dengan Rian, Ravi langsung melajukan mobil untuk kembali ke rumah. Untuk memastikan lagi gambar beserta siluet tubuh seperti yang Rian katakan.

Sesampainya di rumah, Ravi justeru mendengar suara obrolan dari kamar ibunya. Penasaran, Ravi berjalan pelan menguping obrolan antara Marsha dan ibunya.

"Jadi, maksud kamu rencana kita berhasil?" Marini, ibu Ravi menatap Marsha dengan mata berbinar. Kemudian langsung memeluk Marsha sesaat setelah Marsha mengangguk.

"Tante janji kan, Ravi akan segera menikahkan Marsha dengan Ravi?" Kini Marsha menatap Marini penuh harap.

"Tante akan pastikan Ravi menikah denganmu. Kamu tenang saja." Marini menyakinkan Marsha untuk tidak mengkhawatirkan pernikahannya dengan Ravi.

"Tapi, benar 'kan Ravi sudah menceraikan wanita itu?" Namun Marini bertanya balik. Pandangannya menatap Marsha serius.

"Beneran, Tan. Aku denger sendiri."

"Terus, wanita gimana reaksinya?" Mata Mariani melebar tak sabar menunggu jawaban Marsha.

"Mau bagaimana lagi ... nangis lah." Marsha tersenyum puas. Begitupun dengan marini.

"Bagus, tante seneng banget. Akhirnya Ravi berpisah dengan wanita itu. Sekarang tinggal bagaimana kita benar-benar memisahkan mereka. Kalau perlu kita kirim wanita itu keluar negeri." Ujar Marini mulai menyusun rencana. "Tapi ingat! Jangan sampai Ravi tahu soal ini!" Imbuhnya mengingatkan.

"Pasti!" Marsha mengangguk sambil mengangkat kedua jempol tangannya.

Brak!

Ravi menggebrak pintu kamar ibunya. Hingga pintu kamar itu menghantam sisi tembok. Membuat Marini dan Marsha seketika terjingkat kaget.

"Jadi semua ini rencana kalian!" Ravi berteriak dengan nada penuh emosional. Wajahnya pun merah padam. Sampai-sampai urat di lehernya terlihat jelas.

"R-Ravi, kamu sudah pulang?" Marini berdiri menatap Ravi gugup. Wajahnya pun memucat.

"Jawab! Mama yang merencanakan semuanya!" Lagi Ravi berteriak. Sampai hati Marini melakukan hal se licik itu padanya.

"Kamu salah paham, Sayang ... mana mungkin Mama melakukan itu," Marini mengelak.

"Jangan bohong! Aku dengar semuanya!" Ravi menatap marah pada ibunya. "Kenapa, Ma? Kenapa mama tega melakukannya!"

"Ravi, mama tidak melakukan apa-apa! Memang benar, Nafa buka wanita yang baik untuk kamu."

"Iya, Vi. Mama kamu benar." Timpal Marsha membenarkan ucapan Marini.

"Dan kamu! Benar kata Nafa, kamu wanita licik!" Kini Ravi beralih menatap Marsha, dengan satu telunjuk terangkat menunjuk ke arah Marsha.

"Ravi! Kenapa kamu berkata seperti itu? Marsha wanita baik-baik. Yang licik itu istri kamu." Marini membela Marsha dengan balik menjelekkan Nafa.

"Aku akan buat perhitungan dengan kalian. Tunggu saja!" Ancam Ravi kemudian pergi.

***

Dari rumah, Ravi langsung melajukan mobilnya untuk mencari Nafa. Selama perjalanan Ravi terus berusaha menghubungi nomor Nafa. Namun, tidak tersambung. Dia benar-benar menyesal karena percaya begitu saja pada hasutan Marsha. Ravi mulai frustasi karena tak bisa menghubungi Nafa. Kemudi mobil pun tak luput dari luapan emaosinya. Kemudian Ravi memutuskan pergi kerumah sewa Ika, satu-satunya sahabat Nafa di kenalnya.

"Maaf bukannya aku nggak mau ngasih tau. Tapi aku sudah berjanji untuk tidak mengatakan pada siapapun."

Seperti itulah jawaban Ika, saat Ravi datang kerumahnya dan bertanya tentang keberadaan Nafa saat ini. Dia sudah berjanji pada Nafa untuk tidak mengatakan keberatannya pada siapapun, terutama pada Ravi.

"Tolonglah, ada masalah yang harus aku selesaikan dengan Nafa." Ravi memohon agar Ika mau memberi tau dimana Nafa berada.

"Sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak bisa mengatakannya." Namun Ika tetap pada pendiriannya, tak mau membuka mulut. Tak mau mengingkari janji pada sahabatnya.

"Aku mohon Ik, bantu aku. Aku tak tau lagi harus mencari Nafa kemana," Ravi mulai frustasi.

"Kalau aku jadi Nafa, aku juga akan melakukan hal yang sama. Dia sangat kecewa, kepercayaan yang di bangun selama lima tahun sirna hanya karena sebuah gambar yang belum terbukti kebenarannya." Ika menyindir Ravi menyayangkan sikap gegabah Ravi.

"Itulah, bodohnya aku. Aku menyesal karena lebih percaya pada gambar daripada istriku sendiri."

"Menyesal pun sudah terlambat, Vi. Nafa sudah pergi, dia hanya akan kembali setelah benar-benar bisa melupakanmu." Beritahu Ika, tapi tetap saja tidak mau memberi tahu dimana Nafa berada.

"Kemana dia pergi?" Tanya Ravi dengan tatapan pias.

"Maaf, aku tidak bisa mengatakan. Tunggulah sampai dia kembali."

Bab 3. Sandiwara

Siang itu, matahari sedang terik-teriknya. Cuaca pun sangat mendukung untuk melakukan penerbangan. Nafa menghela nafas panjang dengan mata terpejam sesaat setelah selesai mengaitkankan sabuk pengaman di pinggangnya. Kemudian membukanya perlahan, ketika merasakan badan pesawat mulai bergerak.

Kurang lebih 17 jam penerbangan, akhirnya pesawat yang di tumpangi Nafa, mendarat dengan selamat di tanah air. Nafa menoleh ke samping, menatap suasana tenang tanah air yang sudah lima tahun di tinggalkan melalui jendela pesawat. Perasaan lega dan gelisah bercampur aduk dalam hati.

Lega karena akan bertemu dengan keluarga yang sangat dirindukan. Tapi gelisah, ketika teringat akan kejadian lima tahun lalu yang membuat hatinya hancur dan kecewa. Hingga akhirnya membuat dia memutuskan untuk pergi jauh.

"Selamat datang kembali, Nafa." Bisiknya pada diri sendiri. Satu helaan nafas berat mengiringi langkahnya menjejakkan kaki kembali ke tanah air. Perlahan namun pasti, kakinya melangkah hingga keluar dari pintu kedatangan.

Senyum di bibirnya langsung terbit saat lambaian tangan dari keluarga yang dirindukan menyapanya dengan senyum bahagia. Namun sedetik kemudian senyumnya sirna, saat wajah yang paling ingin dia hindari justru berada bersama dengan anggota keluarganya.

Ravi Mahardika, nama yang sebisa mungkin ingin dihapus dari ingatan dan juga hatinya kini justru tersenyum menatapnya. Namun dia berusaha mengabaikan kehadiran laki-laki itu di tengah-tengah anggota keluarganya.

Sebuah pelukan hangat dari ibunya mendamaikan hati yang kosong bercampur kesal kala itu. Lalu beralih pada pelukan hangat penuh nasihat dari sang ayah yang langsung berhasil mendamaikan hatinya. Selorohan ringan penuh candaan terlontar dari bibir Nabil, adiknya memutuskan pelukannya dari tubuh ayah.

"Mba Nafa, lupa sama mas Ravi?" Nabil, memandangnya dengan senyum menggoda.

Nafa, melirik kearah Ravi sebentar kemudian kembali mengarahkan pandangannya pada Nabil sambil tersenyum kaku. Sementara, laki-laki yang dimaksud hanya tersenyum dan menatap Nafa tanpa berkedip.

"Ayo, Mba sapa dulu mas Ravi." Lagi, Nabil menggodanya.

Terpaksa Nafa meraih tangan Ravi lalu mencium punggung tangannya. Namun, tanpa di duga Ravi justeru langsung meraih Nafa kedalam pelukannya.

"Aku merindukanmu," Ravi berbisik di telinga Nafa.

Cepat-cepat Nafa mendorong tubuh Ravi agar menjauh darinya.

"Bu, aku lapar. Ibu sudah masak pesananku 'kan?" Nafa mengalihkan perhatian semua orang dengan membahas makanan. Kini sebelah tangannya mengusap-usap perut menunjukkan bahwa dia benar-benar merasa lapar.

"Tidak ada yang terlewat. Semua, ibu sudah masak kan untuk kamu." Jawab ibu sembari tersenyum.

Nafa bernapas lega, setidaknya dia bisa mengalihkan perhatian semua orang darinya dan Ravi. Dia juga bersyukur, karena keluarganya tidak mengetahui hubungan yang sebenarnya dengan Ravi.

"Sini barangnya, biar aku masukkan ke mobil." Ravi mengambil alih koper dari tangan Nafa.

Namun, Nafa justeru menggenggam gagang koper erat. "Tidak usah, terimakasih. Aku bisa sendiri."

Membuat semua orang menatapnya dengan dahi berkerut bingung.

"Emm ... maksudnya, biar aku yang bawa. Mas, Ravi yang buka bagasi mobilnya," cepat-cepat Nafa membetulkan kalimatnya. Kemudian tersenyum pada semua orang termasuk Ravi. Biarlah dia bersandiwara dihadapan keluarganya. Dia tak ingin melihat keluarganya bersedih karena mengetahui hubungannya dengan Ravi.

***

"Apa-apaan ini!" Todong Nafa, saat Ravi masuk ke dalam kamarnya. Selama menikah hubungan Ravi dan keluarganya memang sudah dekat. Tapi tidak seharusnya, Ravi berpura-pura menunjukkan kemesraan bersamanya di depan anggota keluarga. Sungguh, sangat muak rasanya.

"Apa?" Namun Ravi justeru pura-pura tidak tahu. Dan malah berjalan kearah kasur lalu berbaring.

"Yang kamu lakukan sejak siang tadi! Juga yang kamu lakukan di meja makan." Nafa memperjelas maksudnya. Kesal, sebab dia pun juga harus mengikuti sandiwara Ravi di hadapan anggota keluarganya.

"Aku lelah, Sayang. Seharian ini belum sempat istirahat. Berbaringlah kita bahas itu besok pagi." Jawab Ravi dengan mata terpejam. Tak ingin Nafa memperpanjang masalah. Biarlah seperti itu dulu, asal dia bisa tetap berada bersama Nafa.

Nafa mulai geram, kemudian berjalan ke arah kasur dan menarik tangan Ravi. "Keluar kamu dari kamarku." Ucapannya dengan nada membentak. Berusaha membangun Ravi dari pembaringan. Namun, tenaganya tak dapat menggerakkan tubuh Ravi sedikitpun.

"Kenapa aku harus keluar? Kamar istriku kamarku juga 'kan?" Ravi tak bergerak sedikitpun. Justru malah membetulkan letak bantal di kepalanya.

"Istri? Siapa yang kamu bilang istri?" Nafa tersenyum sinis. Tidak bisa dipercaya, setelah memaki dan bahkan menghinanya, Ravi masih berani menyebutnya istri. Bahkan sampai saat ini luka hati yang dibuat Ravi masih terasa menyakitkan.

"Tentu saja kamu, siapa lagi." Mata Ravi terpejam. Meski bibirnya menyunggingkan seulas senyum.

"Bukankah kamu sudah menceraikan aku? Lantas siapa yang kamu sebut istri?" Nafa kembali mengingatkan kata cerai yang pernah Ravi ucapkan dulu padanya. Sungguh dia akan sangat jika surat cerai itu benar-benar ada. Tapi hingga lima tahun menunggu, nyatanya tidak pernah ada surat cerai dari Ravi.

"Aku sudah lupa!" Sahut Ravi cepat sambil membetulkan letak selimut dan berbalik membelakangi Nafa. Posisi tidurnya berubah miring memeluk guling.

"Jangan buat kesabaranku habis. Keluarlah dari kamarku!" Pekik Nafa, menarik selimut dari tubuh Ravi.

Tapi tidak ada jawaban dari Ravi justeru terdengar suara dengkuran halus dari mulut Ravi. Nafa benar-benar kesal dibuatnya. Kemudian membalikkan tubuh Ravi menjadi terlentang.

Namun justru Ravi 'lah, yang berhasil menarik Nafa hingga terjatuh diatas tubuhnya. Nafa tidak suka dengan posisinya saat ini. Sebisa mungkin dia bangkit, tapi Ravi justeru semakin erat mendekap Nafa.

Tak kalah akal, Nafa memukul dada dan pundak Ravi hingga si empunya memekik kesakitan.

"Apa-apaan sih!" Ravi yang sudah sempat tertidur membuka paksa kedua matanya. Dan kini kepalanya justeru terasa pening.

"Keluar! Pulang lah ke rumahmu." Nafa segera bangkit, saat kaitan tangan Ravi terasa mengendur.

"Ini juga rumahku! Salahkah, kalau aku tidur di rumahku?" Sambil memijat sebelah kepalanya, Ravi duduk dari pembaringan.

"Cukup Ravi! Hentikan! Aku tidak tahu sandiwara apa yang sedang kamu mainkan. Kamu boleh melakukan apapun padaku, tapi tidak pada keluargaku. Mereka tidak tahu apapun tentang kita."

"Sebelum mereka tahu, biarkan aku memperbaiki hubungan kita,"

"Sebelum kesabaranku benar-benar habis, pergilah dari sini!" Teriak Nafa dengan suara yang tertahan. Rumahnya bukan rumah mewah yang kedap suara. Dia harus berhati-hati jika tidak ingin pertengkarannya terdengar oleh kedua orang tuanya.

"Biarkan aku tidur di sini malam ini. Jika tidak, aku akan memberi tahu tentang hubungan kita yang sebenarnya pada Ayah dan ibu." Ancam Ravi. Hanya itulah yang bisa dia lakukan untuk bisa tetap bersama Nafa.

Tidak, Nafa tidak menginginkan itu terjadi. Pada akhirnya dia mengalah dan membiarkan Ravi tidur di dalam kamarnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!