NovelToon NovelToon

The Pursuit Of Love

1| Takdir yang Sial

Matanya tertarik pada buku yang dipegangnya, mengalihkan perhatiannya dari keramaian di sekitarnya. Arka, seorang pria tampan, merasa percaya diri tanpa sadar Semua orang memandangnya dengan kagum, seolah-olah dia adalah pusat perhatian. Namun, pandangan iri terlihat jelas di wajah temannya yang duduk di samping, mencerminkan perasaan iri terhadap kehadirannya.

Tak seorang pun di antara mereka mengenal sifat sebenarnya yang melekat pada Arka. Di balik pesonanya yang memukau, Arka memiliki kecenderungan untuk mengabaikan segala hal yang berhubungan dengan masalah. Ia dengan sengaja menjauhi satu hal: wanita.

Bagi Arka, fokus mutlaknya terletak pada pendidikan yang tengah ditempuhnya. Bagi pemikirannya, wanita hanyalah sebuah potensi masalah yang bisa mengganggu konsentrasinya. Dengan itu, dia menjaga jarak agar tak terjebak dalam kisah yang mengalihkan perhatiannya dari tujuannya.

"Hari ini tidak ada kelas, jadi aku pulang dulu," gumam Arka sambil menutup bukunya dengan lembut.

Tatapannya kemudian beralih kepada kedua temannya yang duduk di sebelahnya. Terpancar keputusan tegas dalam pandang matanya, seolah-olah ia telah mempertimbangkan langkah ini dengan matang sebelumnya.

"Bagus," ujar Keanu sambil mengangguk. "Aku masih punya satu kelas lagi." Ia merasakan getaran keengganan dalam dirinya untuk masuk kelas. Tatapannya menerawang hampa, seolah-olah pikirannya sedang melayang jauh.

Keanu membaringkan kepalanya dengan lesu di atas meja. Ekspresi wajahnya mencerminkan rasa malas yang begitu menghinggapi, hampir seolah-olah meja itu sendiri menjadi tempat ia menyandarkan seluruh beban kepenatan dan ketidakberdayaannya.

Dengan penuh kepedulian, Gibran menepuk lembut punggung Keanu. "Semangatlah," katanya dengan senyuman hangat. Tatapannya penuh empati, seolah-olah ia bisa merasakan beban yang ada di pundak temannya itu.

"Aku juga berniat pulang." Perlahan, dia mengangkat tasnya sambil memandang sekitar ruangan, sepertinya merenungkan aktivitas yang belum selesai di hari ini.

Keanu merasa putus asa, wajahnya tertutupi oleh meja saat ia menenggelamkan wajahnya. Ekspresi kesal menghiasi wajahnya, dan dengan nada frustrasi, Keanu berbicara kepada mereka berdua.

"Baiklah," desah Keanu, suaranya penuh dengan kekecewaan. Ia meraihkan tangan ke arah mereka berdua, mengisyaratkan agar pergi. "Kalian pulang saja, aku harus masuk ke kelas." Dengan langkah tergesa, Keanu berdiri dari kursinya. Wajahnya masih mencerminkan raut kesal yang tak tersembunyi, seakan-akan frustrasi itu masih melekat di kulitnya.

Arka dan Gibran hanya bisa menahan tawa mengamati tingkah konyol Keanu. Di antara serentetan gelak tawa, mereka berdua mengalihkan pandangan satu sama lain dengan senyuman. Seperti tawa yang berpadu, mereka bertiga bergerak menuju pintu perpustakaan, meninggalkan suasana yang lebih ringan di belakang.

Langkah mantap membawa Arka menuju parkiran mobil. Dengan tangan yang terampil, ia membuka pintu kendaraan dan merasakan kenyamanan kursi mengemudi saat ia duduk. Pandangannya fokus menghadap kemudi, dan dengan gerakan otomatis, ia menyalakan mesin mobil. Seolah-olah kendaraan itu adalah perpanjangan dari dirinya sendiri, Arka siap melanjutkan perjalanannya.

Dering telepon terdengar nyaring, mengganggu keheningan di saku celana Arka. Dengan gerakan cepat, tangan Arka meraih telepon dan layar cahaya memancar di genggaman. Nama yang tertera membuatnya mengernyitkan kening, dan secara perlahan ekspresi wajahnya berubah.

Rasa kekesalan mulai merayap di dalam dirinya, menyebabkan detak jantungnya terasa semakin keras. Matanya menelusuri nama yang tertulis di layar: adiknya. Arka merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya, Arka sudah tahu persis apa yang akan ada di balik panggilan itu: permintaan untuk menjemput adiknya.

Arka memutuskan untuk mengabaikan panggilan tersebut, mengalihkan perhatiannya kembali pada situasi sekarang. Namun, deringan telepon itu tidak berhenti begitu saja. Raga, sang adik, terus menelepon tanpa henti.

Setiap nada dering tampaknya mengiris ke dalam kesunyian di dalam mobil. Meskipun telepon terus berdering, tidak ada tanggapan yang keluar dari Arka. Dia memilih untuk memeluk keputusannya dengan ketegasan, seolah-olah menutup pintu dunia luar untuk sementara waktu.

Sebuah pesan masuk muncul di layar telepon Arka, dari Raga. Pesan itu berbunyi, [Kak, tolong jemput aku di sekolah sekarang. Motorku mogok. Kalau kakak enggak jemput, aku akan mengadu ke mamah.] Pesan itu terbaca dengan jelas, dan maknanya terpancar dari kata-kata yang tertulis di layar.

Rasa kesal melanda Arka, seolah-olah ada api yang menyala di dalam dirinya. Selalu saja, dalam setiap situasi seperti ini, nama 'mamah' selalu menjadi senjata yang digunakan oleh adik-adiknya.

Seakan-akan nama itu memiliki kekuatan magis untuk membuatnya merasa terjebak dan tak berdaya. Perasaan itu melahirkan sebuah pemikiran yang menggelitik. adik selalu berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan menggunakan nama ibu sebagai alat tekan.

Jika Raga benar-benar melapor pada mamah, Arka tahu betul apa yang akan terjadi. Dia akan dihadapkan pada gelombang ceramah yang tak akan pernah berhenti, mungkin selama dua puluh empat jam penuh. Kepala Arka mendongak, seolah-olah dia bisa membayangkan momen itu di depan mata, lengkap dengan sentuhan nada serius dan ekspresi khawatir yang familiar dari mamah.

Di dalam mobil, Arka meraih ponsel yang terletak di dalam saku. Dengan gerakan yang fasih, dia membuka pesan baru dan mulai mengetik kata-kata. [Kakak, akan menjemputmu di depan gerbang sekolah.] Dengan mengirimkan pesan tersebut, Arka merasakan hembusan napas lega, seolah-olah ia telah menyelesaikan suatu tugas yang sulit.

Suara notifikasi menandakan pesan masuk dari Raga. Pesan itu berbunyi, [Terima kasih kakakku yang baik,] Pesan terbaca. Arka mengacak rambut.

Melempar ponselnya ke kursi sebelah mobilnya.

Arah kendaraannya ditujukan langsung menuju sekolah Raga, dan matanya tidak lepas dari jalanan. Dia mengekang kendaraan dengan kecepatan tinggi, berfokus pada setiap tikungan dan rintangan di depannya. Tanpa terasa, mobil meluncur. Namun, ketika mereka hampir mencapai pintu gerbang sekolah, pandangan mata Arka tiba-tiba tertuju pada sesuatu yang tak terduga di jalan. Dalam keadaan mendadak, dia menginjak rem dengan kuat, merasakan gesekan karet ban dengan aspal.

Suara benturan dari belakang menggetarkan kendaraan, seolah-olah waktu melambat sejenak. Arka merasakan guncangan dan mendengar suara gesekan logam, yang mengindikasikan bahwa ada dua kendaraan yang terlibat dalam tabrakan. Tangan Arka masih berpegangan erat pada kemudi, dan pandangannya beralih dengan cepat untuk mencari tahu apa yang terjadi di belakangnya.

Suara tabrakan itu seolah-olah terperangkap dalam jarak jauh bagi Arka, yang saat ini sedang tenggelam dalam upaya menjaga kendali dan mempertahankan perhatiannya terhadap situasi di depannya. Ia adalah tipe orang yang tidak ingin terganggu oleh masalah sekecil apa pun.

Dalam pikirannya, setiap hal yang tidak relevan dengan tujuannya hanya akan membuang-buang waktu dan energi yang berharga. Sebagai refleksi dari sikap itu, dia berusaha untuk tetap fokus pada apa yang harus dia lakukan, memandang jauh ke depan dan mengabaikan gangguan-gangguan yang mungkin menghambat perjalanannya.

Seorang gadis dengan seragam putih abu-abu langkah menuju ke arah mobil hitam. Ketukan tangannya pada jendela mobil tampak berisikan ketidakpuasan, karena kendaraan di depan telah merusak kecantikan mobil yang menjadi kebanggaannya. Pada awalnya, sopir Davira yang ingin mengungkapkan ketidakpuasannya kepada orang yang mengendarai mobil hitam.

Namun niat tersebut segera tahan oleh Davira. Dalam keputusannya yang tegas, dia merasa perlu untuk menangani situasi itu sendiri. Rasa marah dalam dirinya menggelegak, menginginkan dirinya untuk melepaskan amarah tersebut dengan menghadapi masalah ini secara langsung.

Tanpa merespons, Arka memilih untuk tetap duduk diam dengan sikap santai yang melekat padanya. Di sisi lain, Davira masih terus mengetuk kaca mobil Arka dengan antusias dan semangat yang tinggi, seakan-akan mencoba untuk membangkitkan perhatian Arka.

Meskipun suasana di luar mobil begitu riuh, Arka tetap mempertahankan ketenangannya, seolah-olah situasi di luar tidak memiliki pengaruh sama sekali pada dirinya.

Davira memiliki sifat yang kontras dengan Arka. Keberlawanan mereka tercermin dalam cara mereka berbicara dan berinteraksi. Davira tampil sangat frontal, tanpa ada keraguan dalam setiap kata yang terucap dari bibirnya, dan terkadang bahkan terkesan agresif.

Namun, semakin lama dia berada dalam situasi ini, semakin merasakan gejolak kesal. Dalam keadaan seperti ini, dia merasa bersyukur atas kelembutan Arka, yang tampaknya tidak ragu untuk mengekspresikan ketidaksenangan tanpa perlu melontarkan kata-kata kasar atau makian.

"Kamu keluar dari mobil!" teriak Davira dengan keras, suaranya memenuhi udara dengan amarah yang nyaring.

"Jangan hanya duduk diam di dalam mobil ini! Kamu harus Bertanggung jawab atas kerusakan di mobil saya. Keluarlah, kamu brengsek!" Namun, tidak ada tanggapan yang terdengar dari dalam mobil. Arka masih duduk diam, seakan-akan tidak tergoyahkan oleh serangan kata-kata yang terlontar padanya.

"Apa kamu tuli? Keluar dari situ!" Davira berteriak lebih keras lagi, suaranya memantul di sekitar lingkungan sekitarnya.

Orang-orang di sekitar tidak bisa mengabaikan teriakannya yang memecah keheningan, dan beberapa dari mereka bahkan menoleh ke arah Davira dengan pandangan kaget dan tertarik. Teriakan Davira memperlihatkan betapa tingginya emosinya, seolah-olah dia berusaha menunjukkan rasa marahnya kepada semua orang yang ada di sekitarnya.

Arka merasakan gendang telinganya hampir pecah akibat teriakan suara yang begitu keras. Dia mendengar teriakan gadis itu, yang tanpa henti mengetuk jendela mobilnya dengan semangat yang tak terbendung. Suara itu menusuk kedalam keheningan, meresap ke dalam telinga Arka seolah-olah menciptakan gema yang tak terhentikan di dalam dirinya.

Dengan alis yang sedikit berkerut, Arka mengisyaratkan kekacauan dalam pikirannya. Dia merasa tidak suka dengan situasi yang tengah berlangsung ini. Wajahnya memperlihatkan ekspresi ketidaknyamanan yang mendalam, seakan-akan dia tengah berhadapan dengan suatu yang tidak diinginkannya.

Dengan tetap mempertahankan kedamaian wajahnya, Arka mengambil teleponnya dengan hati-hati. Dia mulai mengetik pesan kepada Raga dengan gerakan jemari yang tenang.

[Kakak akan menjemputmu di minimarket yang berada di simpangan jalan.] Namun, meskipun pesan itu telah dikirim, tak ada tanggapan yang datang dari Raga, seolah-olah pesannya telah lenyap di dalam hampa. Keadaan itu meninggalkan Arka dengan perasaan yang tidak pasti, seakan-akan dia mengirim pesan ke dalam kegelapan yang tak berujung.

Tak terpengaruh oleh sumpah serapah yang terus dilontarkan oleh Davira, Arka langsung memulai mesin mobilnya. Dengan tegas, dia menggiring kendaraannya maju dengan kecepatan yang tinggi, seolah-olah mengabaikan segala gangguan yang datang dari luar. Tindakannya itu mengungkapkan ketegasannya, seakan-akan dia memutuskan untuk tidak membiarkan situasi ini menghambatnya lebih lama.

Arka menunggu di depan minimarket, menghabiskan waktu lima belas menit yang terasa agak lama. Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya Raga muncul dari kejauhan dan membuka pintu mobil bagian depan.

Ia memasuki mobil dengan ekspresi yang tidak Begitu jelas, seolah-olah masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Dengan sabuk pengaman terikat erat di tubuhnya, Raga duduk di kursi sebelah Arka. Mobil pun memulai perjalanannya menuju rumah.

Mobil Arka berhenti dengan halus di depan pagar rumah, mesin yang telah dimatikan menghasilkan keheningan yang khas. Raga segera melepaskan sabuk pengamannya dengan gerakan lembut, dan pandangan matanya kemudian terarah pada Arka.

"Kak, tidak mau masuk ke dalam dulu?" katanya dengan suara lembut yang ditujukan kepada Arka. Tampaknya Raga mencoba membawa suasana menjadi lebih santai setelah insiden sebelumnya.

"Lain kali saja. Masih banyak urusan yang harus Kakak selesaikan," ujar Arka dengan suara dingin, menyiratkan ketegasan dalam kata-katanya.

"Lebih baik kamu tidak meminta jemput lagi." Arka membuka pintu mobil, mengisyaratkan agar Raga segera turun. Namun, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak melontarkan kata-kata terakhir.

"Sampaikan salamku pada mamah, bilang aku akan mampir ke rumah saat nanti tidak terlalu sibuk." Kalimat terakhir itu terdengar lebih lunak, sebagai tanda bahwa di balik sikapnya yang tegas, masih terdapat rasa kepedulian terhadap adiknya.

"Iya, aku akan menyampaikannya pada mamah," kata Raga dengan suara halus, tangannya mulai membuka pintu mobil. Ia berdiri di depan mobil, tatapan matanya menatap Arka dengan penuh arti, seolah-olah ingin mengungkapkan sesuatu yang tidak bisa diutarakan dengan kata-kata.

"Kak, cepatlah cari pacar sebelum kamu menua!" Raga berkata dengan nada yang agak cerewet, lalu ia langsung membanting pintu mobil dengan kuat.

Ekspresinya terlihat campuran antara tegas dan penuh semangat, seakan-akan dia ingin mengekspresikan pendapatnya secara intens sebelum menghilang dari pandangan Kak Arka.

"Adik sialan!" Arka melepaskan teriakan yang keras dan tajam, suaranya terbawa angin dalam ekspresi kemarahan.

Namun, Raga hanya menanggapinya dengan tawa yang berkepanjangan, bergema di udara saat ia berjalan menuju rumah dengan langkah ringan. Tatapan mata mereka bertemu sejenak, dan meskipun diucapkan dengan emosi yang kuat, sepertinya mereka berdua tahu bahwa dalam dasarnya, itu hanyalah interaksi khas antara dua saudara.

Mobil meluncur dengan lancar menuju Apartemen Arka, menghabiskan waktu tiga puluh menit untuk mencapai tujuan. Setibanya di depan gedung, Arka turun dari mobil dengan langkah mantap dan menuju lift.

Setiap langkahnya mengisyaratkan kebiasaan dan kenyamanan dalam perjalanannya yang rutin. Sesampainya di dalam lift, dia menekan tombol lantai tempat apartemennya berada, membawa perasaan lega setelah melewati perjalanan yang padat dan bising sebelumnya.

Arka menekan enam angka pada panel pintu apartemen. Setelah pintu terbuka, ia memasuki ruangan yang masih terendam dalam kegelapan. Tidak berhenti di situ, Arka langsung menuju ke sakelar lampu yang terletak di sebelah pintu.

Dengan satu sentuhan, sinar lampu memenuhi ruangan, menyingkap kegelapan yang ada sebelumnya dan mengungkapkan tampilan familiar dari tempat yang ia sebut 'rumah'.

Arka berjalan dengan langkah tenang menuju dapur, suasana rumah yang akrab membuatnya merasa nyaman. Dengan gerakan otomatis, dia membuka pintu lemari dan mengambil sebuah gelas. Air mengalir dari keran dan mengisi gelas hIngga setengah penuh.

Arka meneguk air ke dalam mulut, sensasi segar menghilangkan rasa haus yang menyelinap perlahan. Setelah itu, Arka merasa puas dengan sensasi itu, menyadari betapa pentingnya sedikit minum untuk meremajakan tubuh setelah perjalanan yang melelahkan.

Arka berjalan melewati lorong - lorong kampus di pagi yang buta. Ada mata kuliah yang diambil pagi ini. Rasa kantuk masih dia rasakan. Apalagi kemarin dia tidur malam hanya untuk menyelesaikan tugas kampus.

Nilai Arka di kelas sangat tinggi.Tidak ada yang bisa menggalahkan kepintarannya. Banyak wanita yang tertarik sama dia. Tapi Arka tidak tertarik dengan yang namanya wanita. Semua wanita sama saja di mata Arka. Hanya akan mempersulit dia. Terikat dengan seorang wanita dia akan sulit bergerak.

Aturan-aturan yang dibuat wanita sangat merepotkan. Ingin barang harus dibelikan. Harus makan saja harus yang bayarin. Apalagi harus di antara jemput tiap hari.

Selain itu Arka juga punya trauma dengan wanita. keluarga terdekatnya sendiri yang membuat dia tidak mau berurusan dengan masalah wanita.

Traumanya juga sudah sembuh, tapinya dimasih menghindari dengan yang namanya wanita.

Pandangan wanita hanya melawan Arka. dia hanya mengabaikan tatapan yang memuja.

Arka sampai di kelas duduk bersebelahan dengan Gibran.

"Apakah kamu sudah mengerjakan tugas untuk hari ini?" Tanya Gibran.

"Sudah memang kenapa? Kamu belum mengerjakan?" Arka malah bertanya balik.

“Saya sudah mengerjakan. Hanya mau bertanya. Mana lagi si Keanu sebentar lagi dosen datang.” Gibran melirik ke arah pintu masuk.

"Kamu kaya tidak tahu saja sifat Keanu, paling dia telat lagi." Arka duduk dengan tenang di kursinya. Gibran melambai-lambai genit ke arah wanita yang ada disebelahnya.

Tapi wanita yang ada di sebelah Gibran, melirik ke satu orang yaitu Arka. Cowok yang terbilang sempurna. Arka pintar dalam belajar. Jago dalam bidang olahraga.

Saat dosen datang beberapa saat kemudian si keanu datang dengan badan penuh keringat.

Saat masuk dalam kelas Keanu diceramahi oleh dosen karena ini bukan yang pertama dia terlambat. Dengan baik hati dosen memberi keringanan. Kalau sekali lagi dia telat masuk ke mata kuliahnya, dengan berat hati Keanu tidak bisa masuk pelajarannya.

Mata kuliah sudah selesai semua mahasiswa berhamburan keluar dari kelas. Mereka bertiga memutuskan untuk pergi ke kantin. Duduk di bangku kosong yang ada di pojok kantin.

"Dasar dosen sialan diceramahi berlebihan sampai kuping aku panas." Keanu berbicara dengan nada yang kesal.

“Itu salah kamu sendiri kenapa telat. Jadinya kena omelan dosen,” kata Arka sambil membuka menu makanan yang tersedia di atas meja.

"Kamu mau makan apa cepat pilih nanti aku yang traktir. Gajianku sudah cair." Kata gibran

Seketika Keanu bersemangat dengan kata teraktiran yang di lontarkan oleh Gibran. Keanu menunjuk semua menu makanan yang ada.

"Kamu mau aku bangkrut semua makanan yang kamu sebutkan." Gibran meninggikan satu oktaf suaranya. Melihat kerakusan Keanu." Pilih dua menu saja plus satu minum"

"Pelit amat, dua menu saja tidak kenyang" Keanu terus menggerutu dan melirik Gibran dengan sinis. Arka hanya menggeleng melihat dua sahabatnya ini.

Semua pesanan yang mereka pesan datang. Arka makan dengan tenang di tempatnya. Wanita dari arah kanan berjalan menuju meja Arka membawa sebuah makanan di tangannya. Tiba-tiba dia duduk disebelah Keanu dan berhadapan langsung dengan Arka. Arka mengabaikan wanita itu.

"Aku boleh duduk di sini?" Dengan genitnya dia berbicara ke arah Arka.

“Kamu sudah duduk di situ masih saja minta izin,” Arka berbicara pelan sambil menatap sinis ke arah wanita tersebut. Mengapa wanita ini ada di sini. Merepotkan saja.

Gibran yang ada disebelah Arka hanya tersenyum menahan tawa.

Berbeda dengan Keanu yang menanggapinya dengan senang. "Boleh ko apa sih yang nggak boleh buat Via," Mata Keanu menatap Sylvia.

Arka langsung berdiri dari duduknya. "Ka mau ke mana?" Tanya Gibran melihat dia yang tiba-tiba berdiri.

"Mau balik. Masih banyak tugas yang harus aku kerjakan." Arka membuat seribu alasan untuk menghindar dari yang namanya wanita.

Berjalan menuju parkiran mobil. Tetapi wanita itu mengikutinya dari belakang. orang yang berusaha untuk mendekati Arka yang terbilang dingin di kalangan pria.

Sylvia menggunakan baju yang sangat terbuka. Baju tanpa lengan dan rok sebatas pahanya. Yang membuat pria lain memandangnya dengan genit. Tidak lupa dia menggunakan hak tinggi.

Dia mencoba menghadang Arka. Jarak sylvia sangat dekat dengan Arka. Dia mencoba menghindar sebisanya. Tetapi wanita ular ini mendekat lagi membuat Arka kesal sendiri. Apa mau wanita ini?.

"Tunggu dulu dong, ganteng, aku mau kenalan sama kamu." Tidak ada tanggapan dari Arka. Dia mulai berjalan lagi menuju mobilnya yang tidak jauh dari sini.

"Hei tunggu dulu." Sambil menyesuaikan jalan Arka.

Saat Arka membuka pintu mobil, sebuah tangan menutup pintunya kembali. Membuat Arka kesal dengan kelakuan wanita sialan ini. Dengan wajah dingin tanpa emosi dia memandang wanita itu.

Tangan Sylvia memegang tangan Arka dengan paksa. "Aku Sylvia panggil saja Via. Salam kenal," dengan senyum genit ke arah Arka.

Arka menepis tangannya dengan kasar. "Siapa yang mau kenalan sama tante - tante. Minggir dari mobil saya!" Sylvia mundur seketika. Arka membuka pintu dan langsung mengendarai mobilnya.

"Hem, menarik." Sylvia tersenyum keluar dari sudut bibirnya.

Arka masih melajukan mobilnya dengan santai. dia tidak langsung pulang ke apartemennya. Arka akan mengunjungi mamahnya. Sudah lama tidak mengunjungi rumah. dia mampir ke toko kue yang tidak jauh dari rumahnya. Arka tidak sengaja menginjak rem. Otomatis yang ada di belakang menabrak mobilnya.

Wanita berjalan menuju mobilnya. Mengetuk-ngetuk dengan kasar sudah dua kali dia mengalami hal ini. Davira masih mengingat plat nomor mobil yang kemarin mengerem mendadak.

Arka masih mengabaikan. Davira mengenali plat nomernya. Dia langsung berteriak, "Yah ! keluar kamu sudah merusak mobil saya dua kali."

Mengetuk kaca mobilnya dengan penuh amarah. Davira tidak peduli dengan ke adaan sekitar. Dia terus berteriak sampai orang yang ada di dalam keluar.

Arka yang merasa terganggu dengan teriakannya. Arka keluar dari dalam mobil. "Bagus akhirnya kamu keluar juga," Davira melihat Arka dengan tatapan sebal dan juga marah besar.

Dia menenangkan diri agar tidak emosi. Memandang Arka yang berdiri tepat di hadapannya.

Dia memandang wajah tampannya. Ini tipenya Davira. Mata Davira tidak berketip.

Arka yang juga memandang dia dengan tatapan menghindar. Mencoba untuk semua ini cepat selesai.

Arka melampaikan tangannya di depan wajah Davira. "Hah ..." Dia tersadar, rencana awal dia akan protes.

Dia mengubah bicaranya dengan formal, "Anda harus membayar kerusakan yang terjadi. Membuat mobil kesayangan saya rusak seperti itu," Davira langsung menunjuk kerusakan yang ada pada mobilnya.

Arka bersikap biasa saja. "Terus?" Dia berbicara dengan nada datar.

"Dengan gampangnya anda mengatakan Terus. Ya anda harus ganti rugi," dia hanya memandangnya dengan tatapan tenang.

"Hei ! anda dengar tidak apa yang saya katakan!" Davira melambaikan tangannya ke depan muka Arka. Dia memegang tangan Davira dan langsung menghempaskannya ke bawah.

"Sakit Tau!" Davira mengelus tangan yang di hempaskan oleh Arka.

"Anda butuh uang berapa untuk memperbaikinya."Masih dengan suara yang dingin.

"Ini orang terbuat dari apa sih dinginnya sangat kaya es. Tidak ada ekspresinya" Davira berbicara dengan pelan.

"Tergantung dengan kerusakannya," ucap Davira santai.

"Mana ponsel anda." Dengan kaget dia mundur satu langkah.

"Buat apa?" Davira mulai bingung.

"Saya mau ganti mobil anda yang penyok itu," tangan Arka terulur meminta ponsel Davira.

Dia langsung memberikan ponsel ke arah Arka. Arka langsung mengetik nomer teleponnya di ponsel Davira dan menelepon nomornya sendiri.

"Ini nomor saya berapapun kerusakannya saya akan ganti. Kirim saja kuitansinya ke nomor ini," Davira menerima kembali ponselnya. Melihat nama yang tertera di teleponnya. Dia harus menyebut nama Arka.

"Terima kasih kalau begitu saya permisi dulu." Davira berbalik menuju mobilnya dan membuka pintu belakang.

Tetapi entah mengapa Arka memandang terus Davira. Fitur wajah Davira mengingat wajah seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Dia membuang ketertarikan jauh-jauh terhadap Davira.

Dia langsung menjalankan mobilnya ke toko kue yang tak jauh dari daerah sini.Berhenti sejenak untuk membelikan kue kesukaan mamahnya.

Sesampainya di rumah dia menekan bel, sambil membawa kue yang ada di tangan kanannya. Yang membuka pintu Raga. Saat pintu dibuka Arka langsung masuk ke dalam rumah. Rumah ini masih sama saat dia memutuskan untuk tinggal di apartemen. Arka meletakan kue di atas meja makan.

"Mah kak Arka datang," Raga langsung berteriak. Membuat gendang telinga rusak. Arka sepontan memukul kepala adiknya.

"Sakit tahu." Dia mengelus - elus kepalanya sendiri.

"Makanya jangan teriak. Sakit gendang telinga kakak." Arka melihat mamahnya berjalan turun dari arah tangga.

"Baru bertemu sudah ribut lagi." Mamanya hanya menggeleng melihat kelakuan anaknya.

"Ini mah, kepala Raga di pukul kakak." Dengan muka ke sakitan.

"Kamu tukang ngadu," kata Arka.

Arka langsung mencium tangan mamahnya.

"Bagaimana kuliahnya lancar?" Tanya mama.

"Iya lancar mah," dengan kata sopan. dia membedakan antara berbicara dengan orang lain dan berbicara dengan kedua orang tuannya.

"Mah harusnya mamah jangan tanya soal kuliahnya. tapi tanya kak sekarang udah punya pacar atau belum?" Dengan sigap dia mundur. Raga sudah tahu kalau kakaknya akan memukul kepalanya lagi.

"Adik saraf," sumpah serapah keluar dari mulut Arka.

"Sudah Raga jangan meledek kakakmu. Sana belajar, besok kan ada ulangan."

"Siap mamahku yang cantik." Raga berjalan menuju tangga.

Di tengah tangga dia berteriak "kak cepat cari pacar mamah sudah kebelet ingin punya mantu." Dia langsung berlari ke kamar sambil tertawa.

***

catatan :

chapter 2 sampai chapter 28 sedang ada perbaikan kata. karena kemarin ngerombak chapter ternyata tidak bisa dan menggulang upload lagi. jadinya masih belum di baca lagi dan di edit katannya.

2| Kilauan Agresif

Sudah dua minggu dari kejadian yang membuat mobilnya penyok. Davira yang sedang tidur di atas kasur. Memandang langit-langit kamar. Tangannya memegang ponsel. Dengan sekali tarik ia menarik ponsel. Mata Davira melihat nama yang tertera di ponsel.

"Arka." Davira menyebut nama itu dengan nada yang sangat pelan.

Davira mulai penasaran dengan sesosok pria yang bernama Arka. Sifat dinginnya membuat Davira ingin mendekati pria ini. Cuma Arka yang melihat dia dengan tatapan biasa saja. Tidak tertarik dengan penampilan Davira saat itu.

Tangannya mulai mengetik sebuah pesan. Ia mulai Agresif seperti semula.

[ Kita ketemuan. saya membahas tentang ganti rugi. Saya tunggu di perumahan tempat saya tinggal.] Davira menulis pesan alamat rumah, Langsung mengirim ke nomor Arka.

Ia bersiap-siap dengan memakai baju tanpa lengan dan celana jin sepaha. Tak lupa memakai sepatu kets hitam.Sekarang pukul dua siang. Tidak ada balasan dari Arka dan hanya pesannya dibaca sama dia. Davira berjalan menuju taman dekat rumahnya.

Davira duduk di kursi taman. Banyak pria yang sedang bermain bola. Bolanya menggelinding ke arah Davira yang sedang duduk. Pria itu berlari ke arah Davira. Mengambil bola sambil melirik Davira.

"hai. Kenalan dong namaku Rafa." Rafa mengulurkan tangannya kehadapan Davira. Ia membalas dengan senyuman.Tangannya menjabat tangan Rafa.

"Davira," kata Davira singkat. Lepas jabatan tangan mereka.

Teman Rafa teriak di ujung lapangan, " Rafa over bolanya ke sini. Malah modusnya sama cewek."

"Iya, cerewet lo pada." Teriak Rafa, berlari ke lapangan.

Davira masih duduk di bangku taman. Masih menunggu tapi Arka masih belum datang. Langit sudah mau mendung. Suara petir terdengar di sekitar taman. Ia melihat jam tangannya yang menunjuk pukul tiga sore.

Sosok pria memakai jaket menghampiri Davira. Yang dia tunggu akhirnya datang. Arka duduk di samping Davira. Saat ia ingin berbicara tentang ganti rugi mobilnya. Hujan turun dengan deras membasahi semua yang ada.

Mereka berdua berdiri. Arka memegang tangan Davira dan berlari menuju mobilnya yang diparkir tidak jauh dari taman.

Mereka berdua duduk di dalam mobil. Baju Davira basah, terlihat jelas pakaian dalamnya. Arka melirik sekilas ke arah Davira. Ia mengambil jaket yang ada di jok kursi penumpang menyerahkan ke Davira.

"Terima Kasih" kata Davira. Davira langsung memakai jaket Arka. Seleting ditarik sampai atas.

"Langsung ke topik pembicaraan." Kata Arka, dengan nada dingin.

Saat memberi kuitansi tangan Davira bergetar karena dingin. Davira berbicara, " itu yang harus anda bayar." Suara Davira bergetar.

Arka masih melihat Davira dengan lekat. Entah mengapa tertarik. Ingin melihatnya lagi dan lagi. Apa lagi yang kedua kalinya ia bertatapan langsung dengan Davira.

"Rumah kamu dekat sini?" Tanya Arka. Ada nada khawatir dari nada bicara Arka. tapi dia seperti tidak tertarik dengan masalah saat ini.

“Iya,” jawab Davira, masih dengan suara yang bergetar.

"Aku antar sampai rumah," Ucap Arka, dia memdengar perubahan nada suara Davira tadi, Davira memberi tau alamat rumahnya.

Saat sampai di gerbang rumah. Davira menatap ke Arka sekali lagi.

"Mau mampir dulu ke dalam? Baju kamu basah juga. Sambil menghangatkan diri di dalam," bujuk Davira. Awalnya Arka menolak, dengan paksaan dari Davira ia menerima tawarannya.

Arka sudah duduk di ruang tamu. Matanya melihat-lihat ke penjuru ruangan. Davira yang masih berdiri di depannya membuatnya salah fokus. Tidak biasanya ia melanggar seperti ini.

"Tunggu dulu di sini aku mau ambil baju Ayahku. Mungkin saja muat buat kamu." Ia berjalan menghilang dari pandangan Arka.

Arka mengacak rambut sendiri. Hatinya berdebar, Ada apa dengannya?

Beberapa menit kemudian Davira datang membawa baju. Menyerahkan bajunya ke Arah Arka. Ia mengganti baju di kamar mandi. Bajunya pas melekat di badan Arka.

Ia duduk di ruang tamu dan samping ada Davira yang masih menggunakan jaketnya. Davira belum mengganti baju. Arka tidak terlalu tertarik atau mengabaikan Davira. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kamu tidak ganti baju," Ucap Arka dengan suara yang dingin membuat Davira merasa penasaran.

"Tidak nanti saja." Kata Davira, memandang Arka dengan lekat.Tapi Arka mengabaikan tatapan Davira.

"Aku langsung pulang saja. Makasih bajunya nanti aku balik kan" saat Arka hendak berdir, Davira memegang tangan Arka .

"Tunggu dulu." katanya sambil memegang tangan Arka dengan erat. Posisi mereka masih duduk di sofa.

Tatapan mereka bertemu. Seketika Arka melihat ke arah lain. Dengan cepat Davira mengecup bibir Arka dengan lekat. Arka kaget apa yang dilakukan wanita ini. Matanya membulat dengan sempurna.

Permain Davira yang mendominasi membuat Arka membalas ciuman Davira. Dia seorang pria siapa yang tidak tahan dengan pancingan seperti itu. Ia mulai mengikuti permainan wanita ini. Arka mulai sadar apa yang dilakukannya salah.

Arka mendorong bahu Davira ke belakang. Sontak membuat Davira mematung di tempat.

"Kenapa?" Itu yang keluar dari mulut Davira. Dengan gerakan cepat Arka berdiri.

Tanpa berkata-kata Arka keluar dari rumah Davira.

"Hei ... Tunggu dulu!" ia berdiri juga berlari mengejar Arka yang sudah masuk ke dalam mobil.

Tanpa mempedulikan teriakan Davira. Dia menyalakan mobil dan meninggalkan rumah Davira. Ia hanya melihat mobil Arka yang mulai tidak terlihat dari pandangannya.

***

Arka berjalan dengan gusar menuju kelas. Lelah yang ia rasakan saat ini. Badannya terasa berat untuk digerakan. Hangat badan tidak membuat Arka bolos kuliah.  Ia menggunakan masker menutupi hidung dan mulutnya.

"Woy ..." Gibran merangkul sahabatnya itu. Tangannya terlepas dan berjalan mundur sambil melihat ke arah Arka.

"Kenapa ka sakit?" Ia berjalan di samping Arka.

"Siapa yang sakit?" Keanu menyambung ke dalam pembicaraan mereka berdua.

"Kapan kamu sampainya?. Nyambung aja kaya Hantu. Serem banget auranya mistis" Gibran menjauh dari Keanu.

"Sarap lo Gib. Tidak ada Hantu secakep aku."

"Itu si Arka yang sakit." Gibran menunjuk ke arah Arka.

"Oh. Sayang Arka sakit. Sakitnya di mana?" Keanu memegang dahi Arka. Ia berniat menjahili Arka. Ia menepis tangan Keanu yang menempel di dahinya.

"Sarap. Sayang-Sayang geli dengarnya." Keanu dan Gibran tertawa melihat Arka yang marah setengah mati.

Selesai mata kuliah hari ini. Dia menyempatkan diri ke perpustakaan untuk mengumpulkan bahan mata kuliah. Keadaan badan yang tidak sedang baik ia memutuskan untuk tidak berlama-lama di perpustakaan.

"Gib, Aku balik duluan." Tangannya mengangkat ke atas tidak ada suara dari Gibran. Ia masih serius melihat buku yang ada di depannya.

Ia mengendarai mobil sampai apartemen. Menekan enam digit angkat dan langsung membuka pintu. Kepala terasa pusing. Pandangan hampir memudar. Ia berjalan menuju sofa dan merebahkan diri. Menutup mata. Pusing masih terasa apa lagi dengan suhu panas meningkat.

Harusnya kemarin langsung minum obat bukan langsung mengerjakan kerjaan kampus.

Ada suara bel dari arah pintu. Mau berdiri dari duduknya saja susah. Apa lagi untuk membuka pintu. Dengan tubuh sempoyongan memegang benda yang ada di sekitarnya. Ia membuka pintu apartemennya.

Tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang datang ke apartemennya. Wanita itu langsung masuk meletakan obat yang ia beli di apotek. Arka langsung menutup pintu tanpa bertanya kepada wanita itu.

Ia membopong Arka masuk ke dalam kamar. Merebahkan badannya di atas kasur. Ia ke dapur mencari wadah dan handuk untuk mengompres. Tidak ada penolakan dari Arka. Ia hanya menurut.

Tangan yang mungil menempelkan handuk di dahi Arka. Mata Arka sudah menutup rapat. Beberapa kali ia mengompres pakai air hangat. Arka tidur dengan pulas. Panasnya mulai menurun. Berjalan ke dapur lagi untuk membuat bubur instan yang dia beli di supermarket. Menyajikan di mangkok.

Mengambil nampan dan meletakan mangkok yang berisi bubur disebelahnya air putih dan juga obat. Membawanya ke kamar Arka. Arka masih tidur dengan pulas. Ia mengguncangkan tubuh Arka. Ia bangun dengan muka bingungnya. Kenapa Davira ada di apartemennya.

Arka duduk menyandarkan punggungnya. Badannya sudah mendingan. Panas tubuhnya juga sudah turun. Tatapannya masih dengan wanita itu. Ia baru dua kali bertemu dengannya. Kenapa dia tau apartemennya?.

"Kamu tau dari mana apartemenku?" Berkata dingin yang matanya yang tidak lepas dari pandangan ke arah Davira.

"Nanti saja menanyakan itu kamu harus makan dulu dan juga minum obat." Davira mengambil mangkok yang ia letakan di atas meja. Tangannya mengambil sendok dan mulai menyendok bubur.

Ia berniat menyuapi Arka tapi tangan Arka menahan.

"Aku bisa makan sendiri," dengan nada datar. Dia mengambil sendok dan memasukan ke dalam mulut.

Bukan namanya Davira hanya menyerah di sini. Ia malah semakin tertarik dengan pria yang ada di hadapannya. Semakin ia pernasaran semakin Davira mendekatinya.

Bubur sudah habis dan obatnya juga sudah di minum. Arka melirik ke arah Davira.

"Makasih, kamu boleh pulang sekarang," dengan suara yang serak. Davira masih di tempatnya. Masih duduk tenang di kursi. Mata Davira masih memandang Arka.

"Sekarang sudah jam dua aku boleh tinggal malam ini?" Ia memelas.

"Tidak baik wanita berada di apartemen pria. Apa lagi di sini cuma ada kita berdua."

"Tidak baik lagi kalau aku pulang malam sendirian. Lebih baik menginap di sini," kata Davira meminta perkataannya di kabulkan.

"Tidak," katanya dingin. Seketika muka Davira cemberut. "Biar aku antar kamu pulang." Dia berdiri dari tempat tidur. Berjalan dan mengambil kunci mobil.

Dengan berat hati Davira mengekorinya dari belakang. Masuk kedalam mobil Arka menyalakan mesin mobilnya.

"Pakai sabuk pengamanmu kalau terjadi apa-apa aku yang kena imbasnya." Dia mencondongkan tubuhnya ke arah Davira. Menarik sabuk pengaman memasang di samping tempat duduk.

Ia melajukan mobil menuju rumah Davira. Tidak ada percakapan antara Davira dan Arka di dalam mobil. Setiap Davira bertanya atau bicara ke Arka tidak pernah menanggapi. Membuat dia kesal sendiri.

Mobilnya berhenti di depan pagar rumahnya. Rumah Davira gelap belum sempat ia nyalakan tadi sore. Mata Arka melihat ke arah luar. Davira membuka sabuk pengaman dan hendak membuka pintu mobil. Sebuah tangan menghentikan tangan Davira yang hendak membuka pintu.

"Di rumah tidak ada siapa-siapa?" Pertanyaan itu yang keluar dari mulut Arka.

"Iya, emang kenapa?" Kata Davira tenang.

Davira mau membuka pintunya lagi tapi tangan itu masih menahannya.

"Aku sudah biasa ditinggal sendirian. Jangan memasang muka kaya gitu." Sambil melepaskan tangan Arka.

Arka langsung mengunci mobilnya dari dalam.

"Ko dikunci?" Protes Davira. Bukanya Arka sendiri yang mau dia pulang.

"Lebih baik kamu tinggal di apartemenku dari pada di rumah yang tidak ada siapa-siapa. Itu lebih berbahaya."

Davira hanya bisa tersenyum. Memandang Arka yang mengkhawatirkan. Kadang-kadang dia marah dengan kedua orang tuanya yang tidak selalu ada di rumah.

Tapi kali ini dia berterima kasih karena orang tuanya lagi keluar kota.

Davira tinggal di apartemen Arka tapi hanya sampai besok pagi. Jam lima pagi ia sudah diantar Arka menuju rumahnya. Pukul setengah tujuh ia harus berangkat sekolah apa lagi dia masih kelas dua sma

Pak ujang datang menyalakan mobil untuk mengantar Davira sampai ke sekolah.  Pak ujang sering pulang pergi tidak menginap di rumah Davira. Sedangkan pembantunya kemarin baru pulang kampung. Mama sama papahnya lagi pergi keluar kota karena urusan bisnis.

Sesampainya di sekolah. Davira berjalan melewati lorong sekolah.

"Woy!" Sasha mengagetkan Davira dari belakang. Dengan refleks ia memukul kepala Sasha.

"Sakit tau." Ia mengusap kepalanya sendiri.

"Makanya jangan coba-coba ngagetin aku lagi." Mereka berdua berjalan menuju kelas.

Di pintu kelas sudah ada si Raga menyender di pintu kelas.

"Lagi apa kamu Ga? Lagi jadi penunggu kelas?" Kata Davira sinis.

"Lagi menunggu kamu," candanya. Davira yang mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Raga merasa merinding sendiri.

"Bercanda kali. Jangan dibawa serius," katanya sambil tertawa.

Davira yang masih merinding dengan kata-kata Raga ia langsung masuk dengan Sasha. Raga mengikutinya dari belakang.

"Jauh-jauh dari aku. Bisa-bisa aku ikutan sarap kaya kamu." Ia mencoba menjauh dari Raga.

Tapi ke isengan Raga tidak berhenti. Ia terus mengikuti Davira dari belakang. Sampe bel pertama berbunyi.

3| Gelombang Emosi yang Tak Terkendali

Selama ini, dia hanya tersenyum sendiri saat melihat foto Arka. Dia mengambil fotonya ketika Arka sakit. Tanpa sepengetahuan Arka. Davira masih melihat foto Arka.

Sasha menatapnya dengan rasa ingin tahu. Apa yang Davira lihat?

"Lagi liat apa sih kamu? Gambar aneh ya?" Sasha mencoba menebak. Rasa penasaran muncul saat Sasha meihat  wajah Davira.

"Tidak boleh lihat. kamu tidak perlu tau." Dia masih tersenyum melihat foto Arka.

"Kamu pelit." Sambil membuang muka. Ia beranjak dari kursi untuk membeli makan.

"Mau ke mana kamu? Ngambek? segitu aja marah."

"Bukan marah tapi lapar. Perut yang bersuara, perut ini harus diisi." Sasha menepuk perutnya yang kosong.

"Beli aku makan juga. Nasi goreng." Pinta Davira.

"Siap." Jawab Sasha.

Ia masih memandangi foto Arka. Tidak ada kebosanan. Padahal dia selalu diabaikan oleh Arka. Tapi Arka adalah sosok yang sempurna untuk dijadikan pacar.

Ponsel Davira ada yang menarik dari belakang. Sontak membuat Davira melihat ke arah belakang. Raga memegang ponselnya.

"Foto apa yang kamu lihat sampai tersenyum seperti itu?" Raga masih memegang ponsel Davira.

Davira ingin mengambil ponsel yang dipegang tangan Raga.

"Bentar dulu kenapa. Buru-buru banget. Bikin aku penasaran." Ungkap Raga sambil menjauhkan Ponsel dari jarak yang tidak bisa digapai Davira.

"Kembalikan Raga." Ucap Davira.

"Tidak mau! aku tau foto porno ya? Lo suka yang begituan?" Raga mendelik curiga.

"Enak aja, aku anak baik-baik." Tegas Davira, dia menyangkal pertanyaan Raga.

"Anak baik-baik?" Sambil menggaruk kepalanya, "perasaan kamu sering ke ruang bk karena kamu berulah terus."

"Gak enak kalau nggak ganggu orang. Rasanya gatal di tangan." Ungkap Davira.

"Sini kembalikan ponselku." Raga secepat kilat, dia melihat foto di ponsel Davira. Betapa terkejutnya dia saat melihat foto kakaknya di ponsel Davira. Dia melihat foto sebelumnya dan itu masih sama dengan foto kakak Arka.

"Kembalikan." ia mencoba merebut dari Raga tapi dia mundur mencoba menghindari dari Davira.

"Dari mana kamu mendapatkan foto ini?" Dia mencoba mengklasifikasi. Raga tahu foto itu diambil di apartemen Arka.

"Hem ..." ia menghentikan pembicaraan sejenak, "kamu pengen tau banget sih!. kembalikan ponselku. Jangan melihat fotonya lagi."

"Aku hanya mau tanya, kamu dapat foto ini dari mana? kamu kenal kakakku?" Tanya Raga.

"Hah, kakakmu?" Dia tertawa terbahak-bahak. Semua orang mulai melihat ke arah Davira yang tertawa terbahak-bahak. "Apakah kamu bermimpi? Jika kamu bermimpi, jangan tinggi, nanti kamu akan jatuh." Ledek Davira ke arah Raga.

"Aku tanya. Malah di ledekin." Kata Raga.

"Kamu lihat fotonya bandingkan sama muka mu jauh banget. masa Arka kakak kamu? Mimpi!" Ucap Davira.

"Kamu tidak percaya?" Tanya Raga.

"Ya, aku tidak percaya," dia menyilangkan tangan di depan dada.

Raga mengambil telepon di celananya. Buka galeri foto. Mencari foto keluarga yang tidak sengaja dia simpan di ponselnya.

"Di Sini." dia langsung melihat foto keluarganya.

"Apa ..." Dia membuka mulutnya melihat foto Raga. "Kamu mengedit fotonya?" Tanya Davira.

"Foto ini asli, tidak diedit." Tegas Raga.

"Tidak ada kemiripan antara kamu dan Arka." Mengembalikan ponsel, "jauh berbeda." Davira tekankan setiap kata.

"Kamu sebaiknya tidak dekat dengan kakakku. Dia sangat dingin secara pribadi. Satu hal lagi, dia membutuhkan calon istri, bukan pacar." Raga mencoba menjelaskan.

"Apa sih kamu! melarangku untuk tidak berada di dekat Arka sama sekali." Dia mengambil ponselnya dari Raga. Davira duduk memperhatikan Sasha membawa makanannya.

"Lagi membicarakan apa sih." Sasha langsung duduk di depan Davira.

"Tidak lagi berbicara apa-apa. Tidak penting juga." Ia makan nasi gorengnya. Raga duduk di sebelah Sasha.

"Nanti aku kasih tau. Kalau Raga sudah tidak ada," ia mengetik pesan ke ponsel sasha.

Sasha pulang ke rumah karena ada urusan yang harus ia selesaikan. Mereka berdua masih berada di kantin sekolah.

"Kenapa harus kakakku yang kamu incar?" Raga langsung ke topik pembicaraan.

"Incar?" Ia mengerut dahi, "emang kakak kamu hewan. tidak lah, aku tidak mengincar kakak kamu."

"Terus apa maksudnya kamu menyimpan foto kak Arka?"

"Hem, bisa dibilang cinta pertama."

"Kamu gila? kak Arka umurnya dua puluh dua tahun."

"Kalau dua puluh dua tahun emang kenapa? Bedanya juga lima tahun."

"Aku yang tidak mau. Punya kakak ipar kaya kamu. Apa lagi mainnya pakai fisik." ia memegang kepalanya yang sering di pukul Davira.

"Nanti apa kabar dengan kakakku kalau bener pacaran sama kamu." Ujar Raga.

"Jangan khawatir, aku akan baik pada kakakmu. Lain halnya denganmu, yang pikirannya selalu ingin mengerjai orang." Jawab Davira.

"Tetap saja, aku tidak mau. Aku merinding hanya dengan memikirkanmu dan kakak Arka." Dia segera melihat bulu kuduk tangannya berdiri. "Liat bulu kuduk tanganku langsung bediri semua"

"Aku tetap mendekati kakakmu. Aku akan pulang dulu." Dia berjalan keluar dari sekolah.

Mobil jemputan belum datang. Dia sedang menunggu di halte bus dekat sekolah. Tapi Pak Ujang belum datang. Akhirnya, Pak Ujang datang. Butuh waktu tiga puluh menit baginya untuk menunggu Pak Ujang.

Dia membuka pintu belakang. “Maaf Non, saya telat jemput. Di persimpangan jalan ada demo, jadi lama jemput Nona,” kata Pak Ujang.

"Tidak apa-apa Pak. Yang penting Pak Ujang jemput Davira." Ucap Davira

“Pak, ke toko buku sebentar. Ada buku yang mau Vira beli,” matanya menatap telepon. Mengetik pesan ke Sasha buku apa yang harus dia beli.

"Baik Non." Pak Ujang menyalakan mobil menuju toko buku.

***

Angin berhembus kencang ke arah pria yang sedang membaca buku. Sesekali rambutnya bergerak mengikuti angin. Tapi matanya masih terfokus pada buku yang dia pegang.

Dia berada di belakang kampus yang jarang diketahui oleh para siswa di sini. Dia sering berada di tempat ini untuk membaca buku. Lingkungan tidak bising seperti di tempat lain.

Tempat ini juga tidak terlalu buruk untuk tempat rahasianya. Ngobrol atau hang out bareng temen selalu ada disini.

Ponselnya berdering di sakunya. Dia fokus pada buku, langsung terganggu oleh dering ponselnya. Dia dengan malas mengangkat telepon Keanu.

"Halo," suara malas keluar dari suaranya. Apalagi saat dia sedang fokus pada buku dia tidak ingin diganggu.

"Ada apa? Kau mengganggu Keanu!" Keluh Arka.

"Maaf. Ada yang mau ketemu sama kamu? Aku tunggu di kantin." Ucap Keanu.

"Siapa?" Dia masih membolak-balik halaman buku.

"Kamu akan tahu nanti. Cepat kemari!" Keanu mencoba memaksa Arka untuk datang.

"Tidak, terima kasih. Hari ini aku tidak bisa diganggu!" Tegas Arka.

"Tidak asik banget. Ini orang mau ketemu sama kamu malah diabaikan. Bertemu sebentar saja." Dia terus membujuk. Pasti jawabannya tetap tidak.

"Ya sudah aku ke sana. Cuma sebentarkan?" Untuk beberapa alasan, pikiran Arka terlintas dengan seorang wanita bernama Davira.

"Iya sebentar," kata Keanu tegas. Arka menutup telepon. Tutup buku dan masukkan ke dalam tas.

Ia berjalan menuju kantin. Melalui lorong kampus. Taman belakang ke kantin harus memakan waktu lima belas menit. Itu cukup jauh tapi tempat itu lebih nyaman untuk Arka. Tidak ada kebisingan orang-orang.

Dari kejauhan, Arka melihat temannya duduk di meja pojok. Seorang wanita duduk membelakangi. Dia hanya bisa melihat punggungnya. Dengan langkah santai ia mendekati Keanu.

Keanu hanya melambai tangan ke arah Arka. Gibran duduk di samping wanita tersebut. Ia juga tidak tau siapa wanita tersebut. Saat Arka duduk di sebelas Keanu. Seketika raut muka Arka berubah tidak suka.

Dia ingin beranjak pergi. Arka berdiri dari duduk. Saat ingin melangkah pergi tangannya ditahan sama Keanu.

"Duduk dulu kenapa? Dia hanya ingin kenalan sama kamu." Keanu melepaskan tangannya. Ia melihat raut muka Arka berubah seketika. Ke tidak sukaan tampak jelas di wajahnya.

"Aku ada urusan mendadak," alasanya.

"Kamu selalu menghindar kalau urusan tentang wanita. Kenalan doang ko." Arka terpaksa untuk duduk.

Ia melihat senyuman kemenangan di mata wanita tersebut. Kalau usaha kenalan dengannya berjalan dengan lancar. Tidak sia-sia ia mendekati Keanu untuk bisa berkenalan dengan Arka. Yang banyak disukai akan ketampanannya.

Senyuman itu tidak luput dari wanita tersebut. Yang membuat Arka jijik sendiri. Matanya memandang terus ke arahnya. Pakaian yang dia pakai tidak sesuai dengan keadaan. Kalau sekarang wanita ini sedang di kampus bukan diacara pernikahan. Dia mau kuliah atau menjadi penyanyi dangdut. Memakai baju serba mini seperti kekurangan bahan.

Mukanya juga di dempul seperti badut ancol. Cantik sih cantik tapi liat kondisi dan situasi yang ada. Arka membuka ponselnya pura-pura menyibukkan diri.

"Hei, kita ketemu lagi," ia berusaha genit ke arah Arka. Ia terus memandang Arka tanpa berkedip.

"Hm." Dengan gamblang ia tidak tertarik dengan wanita di depannya.

"Aku Sylvia. Bisa panggil Via" ia mengulurkan tangan.

"Oh, Arka," ia berbicara dengan dingin. sekilas ia melihat tangan Sylvia yang mengulur ke arahnya. Ia mengabaikannya.

"Oh iya ada tempat baru dibuka. Tempat makan. Katanya tempatnya bagus buat berkumpul sama teman. Kita ke sana yu?" Kata Sylvia.

"Boleh, Hari minggu kita bisa ke sana," kata Keanu antusias. Apa lagi ia suka sama Sylvia.

"Aku tidak bisa, sudah ada janji sama nyokap," kata gibran.

"Kalau kamu gimana? Bisakan ka?" Dia mengajak, tidak berharap lebih kalau Arka akan ikut. Keanu akan senang kalau Arka tidak ikut otomatis ia akan berduaan dengan Sylvia.

Sylvia harap-harap cemas dan juga menantikan jalan-jalan berdua dengan Arka.

"Tidak bisa. Aku tidak biasa keluar hari minggu." Tetap saja ia masih fokus dengan ponselnya.

Ada rasa kecewa di wajah Sylvia. Rencana untuk pergi bareng Arka harus di buang jauh-jauh.

Deringan ponsel terdengar dari arah Arka. Ia mengangkat teleponnya.

"Hallo," bernada lembut. Dahi Keanu langsung berkerut. Apa dia salah dengar?

"Kak masih di kampus ?" Tanya mamahnya.

"Siapa ka?" Tanya Keanu. dia penasaran.

"Pacar." Nada bicara Arka sangat lembut saat menyebut kata pacar.

ponselnya masih menempel di telinga Arka.

"Kak ini mamah bukan pacar. Kamu bercanda ya? Mamah tanya malah dibercandain." Ucap Mamahnya kesal dengan jawaban Arka.

"Ia aku dengar. Aku Masih di kampus." Ucap Arka.

"Sebelum pulang ke apartemen mampir dulu ke rumah. Mamah baru masak makanan kesukaan kamu." Ucap Mamah.

"Iya nanti ka mampir," ia langsung menutup telepon.

"Aku balik duluan. Pacarku lagi menunggu di rumah nanti dia marah lagi." Bergegas untuk berdiri.

"Kapan kamu punya pacar. Ko aku tidak tau?" Kata Keanu.

"Emang kalau aku punya pacar harus bilang sama kamu?" Ia beranjak dari kursi.

"Kamu tau Gibran kalau Arka punya pacar?" Tanya Keanu.

"Aku juga tidak tau. Ajaib banget Arka punya pacar. Good luck semoga langgeng." Ia mendoakan semoga sahabatnya itu tidak jomblo lagi.

"Sip," sekilah ia melihat muka Sylvia yang terang-terangan kalau ia tidak suka Arka punya pacar.

"Kalau begitu aku duluan," ia berjalan meninggalkan mereka. Mengendarai mobil menuju rumahnya.

Tapi Sylvia tidak akan diam semudah itu. Ia tau kalau Arka sudah punya pacar. Hal itu masih dapat direbut. Ia akan terus mendekati Arka bagaimanapun caranya. Buka namanya Sylvia kalau ia gampang menyerah.

Setiap hari ia mendekati Arka dengan ke genitnya. Sekian kalinya Arka mencoba menghindar Dari Sylvia Tapi usaha itu sia-sia. Keanu malah tidak membantu sama sekali.

Ia merasa akrab Dengan Arka. Membuat wanita yang mengagumi Arka jijik melihat Tingkah laku Sylvia. Ia merasa jengkel dengan kelakuan Sylvia selalu dekat terus seperti perangko.

Arka sudah bisa tenang kalau sudah di apartemennya. Sudah tidak ada mengganggunya lagi. Sering kali ia tidak ingin berangkat kuliah. Mengingat kalau Sylvia ada di sana.

Keanu malah seneng banget kalau Sylvia dekat dengannya. Apa lagi dia bisa sekalian pendekatan.

Arka mencoba menjauh. Ia sering banget menghabiskan waktunya di taman belakang. Menghindari yang namanya tante genit. Yang selalu menempel terus sama dia.

"Keanu, Arka ke mana sih?" Sylvia Sedari tadi ada di kelasnya Keanu.

"Tidak tau. Aku sudah telepon tapi Tidak diangkat sama dia," Keanu berhenti sejenak "kamu tau tidak Gibran?" Sambil ke arah Gibran.

Gibran hanya mengangkat bahunya. Kalau ia tidak tau ke beradaan Arka. Tapi sebenarnya Gibran tau di mana Arka. Ia tidak akan ngasih tau si Sylvia. Apa lagi Sylvia terus mendekati Arka.

Apa lagi Arka minta tolong ke dia. Kalau ada yang bertanya Arka di mana, bilang aja tidak tau. Gibran hanya mengangguk. Dia tau kalau sahabatnya yang satu ini paling tidak suka berdekatan dengan wanita. Itu sudah ada di kamusnya sejak dulu. Kalau wanita itu hanya merepotkan dan itu terbukti. Contohnya aja Sylvia.

"Dari pada kamu cari Arka mendingan sama Aku aja," dengan percaya diri Keanu berkata seperti itu.

"Kalau begitu aku balik kelas aja." Dia mengabaikan perkataan Keanu. Sylvia meninggalkan kelasnya Keanu.

"Sabar aja ya bro. Da hirup mah perih." Sambil menepuk-nepuk punggung Keanu.

"Kamu benar tidak tau Arka di mana?" Ia melirik curiga ke arah Gibran.

"Barusan aku bohong," ia mengaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Kampret kamu. Jadinya sayangku pergi." Kesal Keanu.

"Manggil sayang? jadian aja belum. Sylvia aja sukanya sama si Arka." Celetuk Gibran.

"Hati seseorang bisa aja berubah." Ucap Keanu.

"Berubah jadi apa superman atau spiderman?" Kata Gibran.

"Berubah ke hatiku lah." Dia jengkel dengan lelucon anehnya itu.

"Dibercandain kaya segitu aja sensitif banget. Lagi dapet ya? Biasanya kamu yang suka di ledekkin" Canda Gibran.

"Dapet? emang aku cewek. sekali-kali aku jaim boleh dong," ia hanya tertawa. Gibran hanya merinding mendengar ketawa Keanu.

"Kalau aku berubah mendadak malah merinding. Liat tangan aku merinding." Tangannya terulur ke arah Keanu.

"Emang aku ke sambet setan!"

"Iya setan." Gibran hanya bisa tertawa. Sampe jam kuliah mau di mulai. Saat itu Arka datang ke kelas mata kuliah Pak Aldi.

***

Lelah di setiap hari selalu ada Sylvia. Mendekat ke arah dia dengan genit. Merasa jengkel dengan kelakuannya. Bisa tidak dekat dengannya. Ada satu wanita lagi yang selalu meneror dengan pesan yang masuk ke ponselnya.

Sering Arka abaikan tapi dia terus mengajanya bertemu. Alasannya hanya untuk berbicara dengan Arka secara langsung. Tidak bagus menyampaikan sesuatu melalu telepon.

Kepalanya penat hanya dengan gangguan ini. Biasanya hidupnya tenang. Sekarang tidak bisa tenang. Tidurpun tidak tenang. Masuk kampus kaya masuk ke sarang harimau. Bertemu tante ganjen. Dia sering menggunakan baju mini. Serba pendek.

Membuatku jengah apa dia tidak kedinginan dengan baju seperti itu. Apa lagi di kota N sedang musim hujan. Suhu kota N sedang menurun membuat setiap hari selalu dingin.

Apa lagi mamah sudah menanyakan 'kapan kamu membawa pacar ke rumah'. Selalu seperti itu.

Menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Lelah yang Arka rasakan. Keanu malah tidak mendukung sama sekali. Ia selalu mendekatkan dia dengan Sylvia. Untungnya Gibran bisa membantu menjauhkan Sylvia.

Sebelum kuliah Arka suka berada di taman belakang. Dia tau kalau Sylvia akan ke kelas. Keanu malah sering menelepon. Ia mengatakan kalau Sylvia ada di kelas. Keanu menyuruhnya ke kelas. Persetanan dengan perkataan Keanu. Tidak ada niatan untuk ke kelas sekarang!.

Deringan ponsel terdengar dari dalam celana. Arka melihat nama yang tertera di ponselnya. Davira. Nama itu yang selalu mengganggunya. Beberapa hari ini.

Arka mengabaikan telepon dari Davira. Mengambil bantal menutup kepalaku dengan bantal. Deringan ponsel itu masih terdengar nyaring. Kapan aku akan terbebas dengan wanita sialan itu. Mengganggu.

Dengan malas dia mengambil ponsel yang ada di kasur. Mengangkatnya dengan rasa malas mendengar suara yang ada di ujung sana.

[ Hallo, ] dengan malas aku menjawab teleponnya.

[ Kau masih ingat denganku? Seminggu yang lalu kau merusak mobilku. ] Ucap Davira.

[ Hm. ] Malas, itu yang dia rasakan, [ iya aku ingat. ] Jawab Arka.

[ Bisa kita bertemu? ] Tanya Davira.

Apa maunya wanita ini. Mau bertemu lagi.

[ Aku hanya ingin bicara tentang mobil yang kemarin, ] kata Davira tegas.

Bukanya kemarin sudah dia bayar. Apa lagi maunya?. Apa lagi kemarin dia menciumnya. membuat hatinya sedikit goyah.

[ Mobil kemarin sudah saya bayar, ] kata Arka menjelaskan. kalau dia bertemu dengannya membuat hati terdalam Arka sedikit goyah.

[ Ya sudah dibayar. Aku hanya ingin bicara. Sebentar tidak akan lama. ] Desak Davira.Dia ingin sekali bertemu dengan Arka.

[ Oke. Di mana? ] Tanya Arka.

[ Aku kirim alamatnya lewat pesan, ] Arka langsung mematikan ponsel. Sial ketemu wanita itu lagi.

Sepulang dari kampus aku langsung ke alamat yang sudah dikasih sama Davira. Di cafe daerah yang terkenal di kota N.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!