Terik matahari siang ini sungguh menjengkelkan, sebuah motor berhenti di tepi jalan raya.
"Sial" Umpat lelaki muda dari helm full face nya, ban belakang bocor dan gasnya pun enggan ditarik sekedar melaju pelan. "Aarrrrgggghhh" Kesalnya, menendang ban yang tak berdosa.
Dengan nafas memburu mendorong motor gedenya yang cukup berat, "huuuuhhh bengkel koq tiba tiba menjauh. Mana temen temen kampret gue gak ada yang bisa di telepon. Mendadak budek" Masih setia mengumpat. "Brengs*ek" Tak perduli orang orang yang berlalu lalang. Mereka hanya melihat kemalangan tanpa berniat menolong. Dorong dorong dikit ngapa.
Bruuum BRUUUMMM TIIIN
"Kanlpot lo baru hah? BERISIK" Sungut pemuda itu.
Sebuah motor besar menghampiri nya, "eh bro Bin ngapain pakai di dorong segala tuh motor, luntur loh ganteng lo" Ucap seorang pemuda yang duduk nyaman di boncengan.
"Turun lo, dorongin motor gue. Gue telat" Menarik jaket pemuda bertubuh tinggi agar turun.
Eleh turun motor kan yaaak bukan turun ranjang, e la dalah.
"Eh eh eh kalem bro, gue ma Ardi mau bantuin lo koq" Ujar pemuda yang masih nyaman dengan stang motor.
"Iya nih si Bintang bener bener lo ya, gue sumpahin jatuh cinta sama ukhti ukhti" Ardi kini menimpali Rado. "Luntur dah ganteng lo, mana keringetan muka di tekuk kaya tiker pengajian" Cerocos Ardi kesal.
"Nih dorongin, gue naik bus ajah. Rado temenin Ardi, ntar motor gue dirongsok tuker kerupuk" Bintang malah pergi meninggalkan motornya bersama kedua sahabatnya.
"Teman lucknut lo Bintaaaaang" Ardi makin geram, Bintang malah lari melambaikan tangannya.
"Gue telepon Brian, suruh anter mobil pick up. Nanti tagihan kita lempar ke kampret Bintang" Saran Rado, mereka bertos ria tertawa terbahak di pinggir jalan.
Aduuuh babang babang ganteng ini kaya apa kali ketawa di pinggir jalan. MERESAHKAN!
Bintang berlari masuk ke halte, "aduuuh nih jembatan penyeberangan panjang bener dah, siapa yang bikin sih? Bikin..." Masih setia ngedumel mirip emak emak yang pusing karena bahan pokok naik. Ini mah Othor yah bang Bintang.
BRAAAAK
Bintang terkejut, entah apa di depan sana. Kecelakaan pesawat kah? Eh tapi pesawat jauh di sana. Berhenti sejenak di pinggir pagar jembatan, menikmati angin bercampur debu jalanan. Uh sangat tak indah.
Seorang gadis tengah berjongkok menepi, bahkan mepet pagar jembatan. Entah mengapa Bintang mendekat turut jongkok memunguti buku gadis itu. "Astaga bidadari" Gumam Bintang, matanya masih saja memandang lekat wajah gadis itu.
"Astaghfirullah" Ucap gadis itu gugup, sepersekian detik ia pun menatap wajah Bintang yang sedikit lusuh. Lusuh lah kan abis dorong motor, lah kalo dorong...
Meraba wajahnya mencari sesuatu disana "Astaghfirullah" Lirihnya. Segera memalingkan wajah dari laki laki dihadapannya. Mengikat tali cadar yang entah sejak kapan terlepas, "Alhamdulillah". Menundukkan wajahnya " Terimakasih sudah bantu ambil bukunya".
Bintang turut berdiri dengan tatapan mengunci pada gadis bercadar itu. "Iya nih si Bintang bener bener lo ya, gue sumpahin jatuh cinta sama ukhti ukhti" Ucapan Ardi beberapa menit lalu kembali berputar di kepalanya.
"Bidadari" Lirih Bintang, gadis itu mendengar jelas dengan kepala yang masih menunduk. Gadis itu sedang menunggu antrian bis, sama seperti Bintang.
"Gue Bintang" Ia menyodorkan tangannya ke arah gadis itu dengan percaya diri. Matanya membelalak kala gadis itu hanya mengatupkan kedua tangan di depan dada, "maaf" Kini Bintang menarik lagi tangan nya. Malu? sudah pasti. Bukan Bintang namanya kalau tak punya stok percaya diri.
"Eh emm ngapain bidadari di halte bus? Apa nunggu Jaka Tarub?" Pertanyaan absurd dari mana sampai Bintang berani menanyakannya. Ah Bintang lo pikir ini jaman legenda, gak sekalian aja bis nya lo tendang, jadilah tangkupan bis. Ngacoo.. Begitulah kira kira isi kepala Bintang.
Bintang tampaknyan tak paham situasi, ia tetap mengunci pandangan pada gadis bercadar itu. Bidadari, tak perlulah tahu namanya, wajahnya yang tertutup cadar cukup mewakili keindahan sang Bidadari.
"Senyumnya gak usah di tahan" Celetuk Bintang sukses membuat si Bidadari kembali gugup. "Dari mata lo gue bisa lihat senyum lo, Bidadari" Tak tahukah Bintang Bidadari nya lagi dag dig dug . "So, siapa nama lo" Tanya nya lagi. Cukup penasaran rupanya si babang.
"Habiba" Lirihnya,
"Habintang?" Ujar Bintang dengan pede tingkat nasional. "Hehehe Kidding" imbuhnya gemas sendiri.
"Mau kemana Habintang?" Tanya nya lagi.
"Permisi. Assalamu'alaikum" Ucap lembut gadis bernama Habiba memasuki Bis yang sudah datang.
"Ya elah gue di kacangin" Bukannya jawab salam Bintang beringsut, turut mengekor Habiba.
KRIIING KRIIING
Suara ponselnya yang tak bisa diajak kompromi, "ah siapa kali ganggu Jaka Tarub ajah" Gerutunya. "Hallo" Ketus Bintang saat panggilan terhubung.
"Bintang dimana lo?" Tanya seorang yang terdengar kesal di ujung telepon.
"Lagi ngejar Bidadari gue. Suara telepon lo ganggu ajah. KAMPRET" Jujur Bintang. Tapi apakah yang di ujung sana percaya?
"Buahahahaha" Terdengar menjengkelkan.
Tuuuuuut...
**
BRAAAAK
Suara pintu terbuka paksa. "Bintang sehat lo?" Dengus seorang pemuda kesal.
"Aarrrrgggghhh" Mengacak acak rambut yang acak acakan, frustasi.
"Kenapa lo lecek amat? Muka apa kertas origami?" Celetuk pemuda satunya yang bernama Brian.
"Gue lagi ngejar Bidadari. Tapi gara gara telepon lo, ngilang deh tuh aakkkkh" Wajahnya tampak bersungut sungut. "Hari apa nih? Koq gue sial amat?" Kesalnya lagi.
"Lo gak ngitung pasaran lo kalo keluar rumah. Hahahah" Kini Ardi yang menyambar. "Itu kata nenek gue" Imbuh Ardi, nampaknya ia salah momen menertawai Bintang. atuuuuttt di caplok babang Bintang.
"Motor gue gimana?" Bintang menatap Ardi, layaknya singa lapar.
"Eh tuh mata biasa, copot ajah" Ardi tak kalah sengit.
"Motor dah ada di bengkel gue. Sans!" Bukan Ardi, tapi Brian yang memyambar. Brian melemapar sebuah kunci motor tepat di hadapan Bintang. "Pake motor adek gue dulu. Matic tapi" Imbuhnya.
"Ayo buru latihan! " Ujar Rado yang baru masuk studio. Roman romannya Rado ketinggalan di toilet. Eh!.
"Bad mood gue, kebayang wajah tuh cewek mulu" Bintang menenggelamkan wajahnya diatas meja. "Eh ini gara gara sumpah lo ya KAMPRET" Dengus Bintang ke arah Ardi. "Bidadarinya pake cadar, baju kelelawar" Lanjutnya dengan mata menerawang ke langit langit.
Ealaaaah dikira langit langit nya punya mata batin kali. Adanya lampu bohlam remang remang.
"Buahahahah" Koor mereka serempak, termasuk Rado yang tak terlalu paham. Sing penting ngguyu gaesss.
"Itu gamis Bin. Yakin lo ngejar tuh cewek, punya bekel ilmu lo?" Kini giliran Reno yang bersuara. Memicingkan matanya menatap sendu wajah Bintang.
"Lah kan gue sarjana Ren, masa ilmunya kurang? Mau nyanyi ayok, mau ngacak ngacak motor ayok" Jelas Bintang dengan tingkat kepedean sekala nasional yang mendarah daging.
Reno menggeleng "cih", mendengus kesal. " Lo sarjana Bisnis, lah kalo cewek geto ya minimal ustadz Bin. Sarjana koq b*go" Reno berdiri, melempar bantal kursi yang entah kapan masuk ke studio.
Di kasih bantal, biar kalo nyanyi ngantuk punya sandaran bang. Azeeek azeeek...
Mereka semua diam, melihat wajah sendu Bintang. Hanya saling melirik, geleng geleng tak paham.
"Idiiih geli gue Bin, sekalinya jatuh cinta mlehoy gini" Celetuk Ardi, auto kepalanya bergetar kena keplak Brian. "Apaaan seh lo?" Sungut Ardi pada Brian. Brian hanya menunjuk Bintang dengan ekor matanya. Kesal juga dengan kelakuan Ardi.
"Ya elah tinggal lo temuin dia lagi, di tempat tadi lo ketemu. Sarjana koq b*go" Celetuk Ardi. Bintang menatap Ardi dengan tatapan yang hanya Bintang dan Allah yang tahu.
Cup
"Najis Bintang, lo ya" Ardi mengusap kening nya yang mendapat kecupan mesra Bintang.
"Latihan latihan ayo semangat" Seru Bintang dengan senyum mengembang. "Nanananana" Senandung sang vokalis.
Akhirnya mereka latihan dengan lancar, aman terkendali. Meski harus nambah durasi latihan karena sang vokalis patah hati sebelum jatuh cinta.
"Tunggu gue Bidadari"...
"Soreeee cantiiik..." Bintang menjatuhkan tubuhnya di samping gadis muda, "buset itu bibir maju semeter" Mencubit gemas kedua pipi tirus gadis itu. Bibir nya bisa buat jaga jarak aman covid. Uppsss!
"Bundaaaaa" Pekikan gadis itu sontak membuat Bintang menutup kedua telinganya. "Abang bundaaa minta di jewer" Imbuhnya menunjuk Bintang kala wanita yang dipanggil Bunda menghampiri, menatap keduanya. Bintang hanya nyengir kuda menunjukkan gigi yang tak terlalu rapi, kecoklatan karena kafein dan seringnya ngisep nikotin.
Untung coklat yah bukan kuning, kalo kuning banyakan apa tuh...
Bintang berdiri memeluk wanita yang telah melahirkan dan membesarkan nya, "sayaaang bundaaa" Selorohnya manjalita. "Auw auuuwww bundaaa sakiiit" Cicitnya menahan perih di daun telinga.
"Bagusss yaaah kelayapan seminggu baru balik, bunda nikahin kamu sama Indah" Gemas bunda Sara sambil terus menarik telinga putra nya yang tak dibanggakan.
CUP
"Ehmm bundaa Bintang kangen tahu, koq sambutannya jeweran kan atiiit" Lebay Bintang setelah mengecup pipi sang bunda yang terawat. Tangan kanannya mengepal ke arah Tari adik satu satunya.
Mentari ia adik perempuan Bintang, biasa di sapa Tari. Usianya masih 19 tahun, hanya berjarak 4 tahun dari Bintang. Bikin nama anak nggak mau ribet ya, satu Bintang satu mentari, anak ke tiga Bulan. Dan untung cuma dua bersaudara, he.
Bunda Sara mendorong tubuh putranya yang semakin gagah, "anak nakal, badboy koq manjah" Ketus bunda Sara. Bintang cengar cengir menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Panuan kamu garuk garuk" Seloroh bunda.
PLAAAK
"MANDI! BAU" Titah Bunda sembari memukul lengan putranya.
"Abang bauuuk" Mentari turut membenarkan, menutup hidungnya. "Wleeeek" Menggoda sang kakak dengan menjulurkan lidah.
"Hemm,, bunda cuma sayang sama Mentari. Bahkan Bintang kan yang menemani bunda di gelapnya malam" Seloroh Bintang, berlari ke kamarnya. Eitz jangan lupakan tangannya yang mengacak rambut coklat nya Mentari.
"Abaaaaang!" Sudah pasti suara Mentari yang memekakan gendang telinga. Bahkan jangkrik pun turut menutup telinganya. Biarlah meski jangkrik jauh di sawah sana.
"Mentari! Bisa di kondisikan suaranya?" Bunda pun nampak kesal dengan putrinya ini. Mentari mencebikkan bibirnya yang sexy.
"Bunda memang yah, selalu belain abang" Ucapnya, berlalu pergi ke kamarnya. Bunda geleng geleng, merasa heran dengan kelakuan abang dan adek ini. "Bocah, sudah pada tua masih ajah kolokan. Bunda cariin jodoh juga kalian" Gumam bunda gemas sendiri. Lebih tepatnya kesal.
"Siapa yang di cariin jodoh bun?"
**
Bintang merebahkan tubuhnya di kasur empuk yang seminggu tak iya tiduri. Di pakai tidur maksudnya jangan travelling itu... Matanya menatap langit langit kamar bercat abu abu muda, memejamkan mata yang lelah, beserta kantuk yang menyerang.
BRAK BRAK BRAK
"Abang, mandi buru. Di panggil ayah di ruang keluarga" Siapa lagi kalau bukan Mentari yang dengan baru barunya menggedor gedor pintu kamar sang kakak. Di dalam kamar Bintang mendengus kesal, hampir saja tertidur dan... GAGAL.
"Mentariiii ini bukan hutan yaaa" Bukan Bintang, tapi bunda Sara yang turut berteriak dari lantai bawah. Nahlo bundanya ajah suka teriak teriak kaya di hutan, hihihi.
Bintang segera bangkit dan membersihkan diri di kamar mandi. "Nanananana" Bersenandung layaknya penyanyi kamar mandi. Masih suka nyanyi di kamar mandi mau ngejar ukhti ukhti, aduh Bintang ngerti gak kalo itu hukumnya makruh?
Segar nya! Bintang kini berdiri di depan cermin, menatap bayangnya dengan rambut berantakan. Pria muda itu celingak celinguk bahkan memutari tubuhnya, mencari sosok lain dalam pantulan cermin. Kira kira babang Bintang lihat apa hayooo...
Tap tap tap
Langkah kaki mendekat, "hemmm, Mentari mah gak lihat" Ujar Mentari mengagetkan kedua orang tuanya yang tengah menonton acara Televisi. Duduk bersandar manjah di lengan sang ayah.
"Ya elah anak gadis" Bunda Sara, menggeleng pelan dengan kelakuan bungsunya.
Mentari makin beringsut memeluk tubuh ayah "Cie bunda cemburu tuh yah" Goda Mentari melirik lirik manja sang Bunda yang tepat di samping ayahnya. Jadi posisinya itu ayah di tengah di apit Bunda dan Mentari.
Ayah membalas pelukan Mentari, mengecup sayang pucuk kepala putrinya. "Hekhemm bunda emang posesif" Ujarnya. "Auwww bundaaaa" Pekik ayah kemudian, mendapat cubitan penuh cinta dari sang istri tersayang dan satu satunya.
"Ayah, jangan nakal ih. Nanti suruh tidur di sofa loh" Cicit Mentari pelan di telinga ayahnya. Seketika netra sang ayah membulat, menahan tawa karena ucapan putrinya.
"Mana ada bunda kaya geto" Kesal bunda, menatap jengah dengan kelakuan ayah dan anaknya. "Bundaaaa.. Muach" Bintang mengecup pipi sang bunda penuh sayang. Duduk di sofa single samping bundanya. "Aku mau pamit yah bunda" Imbuhnya mendapat tatapan tajam dari bundanya.
"Baru juga pulang, si abang iiih. Ajakin Tari ngapa bang" Celetuk Mentari, bunda pun memberi tatapan tak kalah tajam dari yang Bintang dapat.
Bunda Sara nih khas emak emak, ketika mulut tak sanggup berbicara maka tatapan mata yang bersuara. Begitulah.
Ayah Hendra mengurai pelukan sang putri, menegakkan tubuhnya. "Bintang ayah mau bicara. PENTING!" Tegas dan berwibawa. Bintang hanya mengangguk tanpa beruara.
"Bintang, kalo kamu jarang pulang gini. Ayah jodohin kamu sama anak temen ayah" Ujar ayah. Entah serius atau hanya menggertak. Mentari tampak terkejut, lain dengan Bunda yang biasa ajah apa lagi si babang yang cuek kaya bebek.
"Bintang sudah punya calon yah" Dengan percaya diri yang memang unlimited, Bintang menjawab santai.
"WHAT??? Beneran nih bang, koq mau sih sama abang?" Bukan Mentari namanya kalo tak menyela, menggoda Bintang. Idiiih Mentari nih suka bener kalo ngomong.
Bintang tersenyum menaik turunkan alisnya, Mentari mencebik sebal. Terus gimana dengan ayah sama bundanya?. Mereka hanya menghembuskan nafas kasar sembari geleng geleng, pusing dengan kelakuan kedua anaknya. Sabar yah ayah bunda, orang sabar ketinggalan.
"Tari Stop yah, ayah mau bicara ma bang Bintang. Nih!" Ayah Hendra memberikan toples camilan pada Mentari agar ia diam dan tak menyela.
"Idih ayah nyuap aku" Lirih Mentari. Dengan senang hati menerima toples camilan, mengedipkan satu mata ke arah Bintang yang sedang menahan tawanya.
"Kenapa yah?" Bintang penasaran juga, melihat keseriusan di wajah ayahnya.
"Bang" Meraup udara banyak agar tetap konsentrasi, "Kemarin ada tawuran di dekat jembatan ujung kampus abang... " Ucapan ayah Hendra menggantung.
"Aku nggak ngikut yah, bukan geng aku itu. Gak level tawuran yah. Levelnya satu lawan satu" Serobot Bintang menirukan gaya crish John. Ini sebenarnya Bintang vokalis apa pemain tinju seh?
"Bintaaaang" Bunda Sara memperingatkan, menggeleng pelan memberi kode agar tak menyela.
Muaaachhh
"Bunda makin cantik, gemesin kalo lagi geleng geleng sambil kedip kedip. Kaya barbie" Bintang malah menggoda sang bunda, Mentari menahan tawanya dengan mulut penuh.
Babang Bintang out of the box banget yah, muka ayahnya sudah kesal menahan tawa tapi gengsi.
"Bintang ayah serius" Tegas ayah Hendra kembali.
"Aku juga serius yah" Nada suara Bintang mulai tak ramah. Mendengus kesal, ayahnya sulit sekali percaya kalo dia gak suka tawuran. Tapi lebih dari itu, eh!
"Oke ayah percaya... " Mengalah juga akhirnya ayah Hendra, bagaimanapun ia mampu melihat kejujuran dari air muka putranya yang nakal. "Tapi, bawa calon kamu kesini" Imbuh sang ayah membuat bola mata Bintang hampir meloncat masuk ke toples Mentari.
Bintang menelan salivanya, tersenyum canggung "aku baru ketemu sekali yah, hehehe" Masih mempertahankan ekspresi tak bersalahnya.
PLAAAK
"Bunda iiiih, senengnya loh KDRT" keluh Bintang semanja mungkin, beberapa detik lalu mendapat tabokan sayang dari bundanya.
"Oke ayah kasih waktu dua bulan, kalo kamu gak bawa calon kamu itu... Siap siap ayah jodohkan" Putus ayah Hendra tak terbantahkan. Mentari masih setia menahan tawa melihat mimik khawatir sang kakak.
"Siap komandan" Bintang berdiri memberi hormat pada ayahnya layaknya seorang prajurit.
'Bidadari gue, senengnya mondar mandir di kepala. Eh malah berani beraninya nongol di kaca' pikiran Bintang melambung kaya balon udara.
"Senyum senyum ndiri. Rumah Sakit Jiwa penuh bang!" Seloroh Mentari menarik ingatan Bintang agar tetap waras di jalan yang benar.
Bintang melirik bundanya yang turut menertawakan nya "gak papa asal bunda bahagia" Cicitnya seolah olah sangat teraniaya. "Bundaaa..." Ujar Bintang lembut penuh permohonan.
"Kalo bunda gak ngijinin, juga bakal pergi kan?" Potong Bunda Sara penuh sindiran, hafal dengan kelakuan sang putra.
Bintang menengadahkan tangan ke hadapan bundanya "minta duit bun... " Tersenyum manis.
"Buaahhahahaah, abang malu maluin tahu gak" Nyaring kali ketawa Mentari, puas meledek kakaknya.
"Tuh denger adek bang"
Malam ini Bintang tak jadi pergi, tak mendapat izin sama sekali dari sang bunda. Ayahnya pun melarang keras ia keluar rumah malam ini.
Berdiri di balkon kamar, menatap langit malam yang mendung "di langit mana ada Bintang! Nah Bintangnya ajah lagi ngejogrog disini" Tersenyum dengan kalimat yang beberapa detik lalu meluncur bebas.
Sebotol minuman ringan dan sebatang rokok menemani. Kepulan asap rokok berpadu dengan semilir angin mendatangkan senyuman kegelisahan. "Aduuh gimana gue nemuin bidadari ya" Gumamnya. "Belum tentu juga dia mau sama gue" Nah ini bukan Bintang, kemana rasa percaya diri akutnya itu pergi? Mungkin menguap bersama asap rokok dari mulutnya. Ah!
Meninggalkan balkon dengan menyisakan pintu yang sedikit terbuka, membiarkan angin malam menyaksikan kegelisahannya. "Aaakhhh sial...Habibaaaa" Teriaknya kesal, nafasnya memburu menatap lekat bayang wajah ayu di balik cadar. "Menggoda" desisnya. Nah kan ketutup cadar ajah menggoda gimana ketutup yang lain.. aiisssh.
Angin sampaikan padanya bahwa aku cinta dia, lagu yang cocok kali untuk perasaan Bintang. "Aduuuh kenapa nih langit langit kamar malah muncul Habiba seh. SIAL, kalo ketemu gue c*pok beneran tuh" Mulai frustasi dengan bayangan gadis bercadar di halte bus. "SIAL" umpatnya menendang selimut. Salah apa coba si selimut kena tendang Bintang, gak sekalian ranjangnya di tendang? Huh!
Tuuut tuuutt tuuut
"Halo Bin" Sahut seorang di ujung panggilan.
"Do, bantuin gue! " Todong Bintang tanpa basa basi. " Gambarin nih bidadari yang ganggu penglihatan gue" Imbuhnya ngegas.
"Lah ke dokter mata peak" Ketus Rado
"Buru! Gue kasih ciri cirinya!" Masih ngegas dengan rasa penasaran dan berharap.
"Jangan halu ya Bin... Ntar mikirin 21+ ajah lo yah!" Rado mulai memancing emosi Bintang.
Bintang meminta Rado membuat sketsa wajah Habiba, sungguh habiba mengganggu si babang. Pikirannya terganggu, awas jangan sampai jiwanya terganggu bang.
TRING
Suara pesan masuk dari aplikasi chat hijaunya, dengan tergesa Bintang membuka ponselnya. Pesan Rado yang ia tunggu tunggu akhirnya datang juga. "Ah kampret sih Rado" Kesal Bintang tak mendapatkan gambar yang ia harapkan. "M*nyet".
Hahaha ternyata babang Bintang mendapat gambar penghuni rimba, kan mirip mirip bangsa kita itu. Eitzz.
TRING
Dengan malas Bintang kembali membuka pesan Rado " Yes HAHAHAHA AKHIRNYA" Girang Bintang melompat lompat di kasur empuknya. Aduh! Dah mirip bocil ajah seh babang. Huuh!
Tuuuut
"Halo Bin, apa lagi?" Sungut Rado
"Thanks bro, besok gue traktir cilok" Seloroh Bintang, tak memperdulikan Rado yang cengo dengan traktiran nya.
"Cilok satu gerobak" Ketus Rado
"Lo yang ngabisin sendiri" Melongo gak tuh sih Rado ngabisin cilok segerobak. Lah gimana kalo sama gerobaknya plus abang abang ciloknya. Amazing Amazing Rado.
Tuttt
Dengan tidak sopannya Bintang mematikan sambungan teleponnya, Mungkin Rado sedang koprol di ujung sana saking kesalnya dengan kelakuan gebleg Bintang. Atau mungkin sedang menjambak jambak rambut kucingnya yang sudah melahirkan. Entahlah yang penting dia tersenyum berbunga bunga dengan gambar bidadari nya.
Bintang memandangi galeri teleponya, beruntung melihat wajah yang Habiba sembunyikan di balik cadarnya. "Digambar ajah cantiknya gak ada obat, lah kemarin itu yang asli lebih cantik" Gumamnya memvisualisasikan bidadarinya. "Ah! Pasti lebih cetar saat di pelaminan" Kikik Bintang mencium gambar di ponselnya.
Tapi ngomong ngomong bidadari nya itu bakal di pelaminan sama siapa bang? Ih pede!
**
BRAK BRAK BRAK
Paham dong ini kelakuan siapa? Yang pagi pagi gedor gedor pintu kamar Bintang. Mentari sudah rapi dengan setelan celana jeans yang menggantung diatas mata kaki, kaos oversize hitam, rambut kuncir kuda berponi dan jangan lupakan sneaker biru muda yang melekat pas di kakinya.
"Abang bangun! Anterin aku ke kampus. Disuruh ayah!" Teriak Mentari, sambil terus mengetuk pintu kamar.
CEKLEK
Sontak Mentari menutup hidungnya dengan kedua tangan "abang jorok pake banget seh, nguap gak ditutup. BAUKK!" kesalnya pada kakak satu satunya yang malah mencium pipinya sedikit meninggalkan rasa basah. "Bundaaaa" Berlari menjauh menyusul sang bunda di meja makan.
Kemana ayah Hendra? Jangan tanyakan ayah Hendra, beliau sudah berangkat ke kantornya.
"Aduuuh! Tari jangan berisik" Bunda meletakkan telunjuknya di ujung bibir. "BINTAAAANG, antar Tari ke kampus!" Mentari menutup kedua telinganya. Suara bundanya memekakan telinga.
"Jangan kaya di hutan bunda" Ingat Mentari, dengan kelakuan sang bunda yang suka berteriak-teriak seperti dirinya.
Mana ada ibu seperti anaknya. Mentari, yang ada anak seperti ibunya. Paham dong kelakuan Mentari yang suka teriak nurun dari siapa? Upppss!
"Pagiii everybody" Senyum mengbembang Bintang menyapa kedua wanita yang paling ia sayangi.
Cup
Tak lupa kecupan di pipi sang bunda "pagi bunda sa... "
"Sarapan buruan, anter tuh ke kampus" Potong Bunda Sara, menunjuk Mentari dengan dagunya.
Maksud Bintang itu 'bunda sayang' malah jadi 'sarapan' uh, sudahlah! Dan Ini bunda pagi pagi kenapa kali? Gak dapet jatah mungkin semalam... Pagi pagi sudah naik darah. Lah mending naik level.
**
"Bang, nih motor siapa? Motor abang di jual ya?" Heran Mentari melihat motor matic yang abangnya pakai.
CETEK
Sentilan manjalita mendarat di kening Mentari, "adik gak ada akhlak" Ketus Bintang. "Pakai" Menyodorkan helm ke Mentari. Mentari masih saja mengusap keningnya yang terasa sakit, mencebik kesal.
Fungsi poni ngapain nangkiring di jidat, gak bisa ngalangin serangan Bintang. Lah itukan poni yak, dipikir tameng perang.
"Buru naik!" Titah Bintang. Mentari pun sudah duduk nyaman dalam boncengan sang kakak.
"Abaaang, bawanya jangan ngebut ngebut juga kali. Aku kan belum kawin" Mentari makin memeluk erat Bintang.
Ciiiiit
"Abaaang!" Mentari makin dibuat kesal oleh kelakuan abangnya. gimana gak kesel, sudah cetar cantik malah ciuman sama helm.
"Tuh mulut kalo ngemeng bisa bener gak? Kuliah selesein dulu baru mikirin kawin" Gadis itu langsung menutup mulutnya, tatapan tajam abangnya benar benar membuatnya ngilu. Terlebih bunda tidak ada diantara mereka.
"Maaf bang, salah ngomong" Jujur Mentari, "ayo bang jalan" Mengusap lengan Bintang berharap abangnya melupakan ucapannya.
Mentari nih jago bunda, beraninya kalo ada bunda nya doang. Duh duh duh...
Lima belas menit kemudian mereka sampai di kampus Mentari. Mentari tersenyum manis mencoba menghilangkan kekesalan sang kakak.
"Gak perlu senyum senyum" Ketus Bintang menampilkan wajah datar tak bersahabat. Eh bersaudara.
"Makasih ya bang" Ujar Mentari, hendak membalikkan badannya.
Cup
Sebuah ciuman permintaan maaf sebelum benar benar membalikkan badan dan melangkah masuk ke dalam kampus. "Maaf yah bang" Ujarnya lirih "bye baaang muach" Benar benar kabur dari tatapan abangnya, melambai tangan memberi ciuman jarak jauh.
Buset tuh sii Mentari kagak mikir apa? Di tempat umum main nyosor nyosor ajah persis kaya bebek di comberan. Eitz daah! Apa kata cacing cacing disana coba.
Sepasang mata di balik kerumunan para mahasiswi menyaksikan jelas keadaan s*sor menyosor, lebih tepatnya s*sor di s*sor antara abang dan adek. Mata yang melihat tanpa telinga yang mendengar akan terasa ambigu dengan perasaan tercubit menggelitik.
Bintang masih berdiri angkuh bersandar pada motor matic pinjamannya, 'hadeuh dah gede main cium cium di tempat umum. Sengaja emang biar gak ada mahasiswi yang klepek klepek' begitulah kira kira isi otak kepedean tingkat nasional Bintang. Kronis dan tak ada obat.
"Bang Bintaaang" Sosok gadis mungil berdiri di depannya dengan senyum terukir sempurna. "Bang Bin itu loh ganteng bener tak ada lawaaan" Imbuhnya membuat Bintang jengah.
"Gak Mentari gak lo, sukanya bikin abang naik ke puncak" Ujar Bintang memasang wajah geram.
"Puncak kenikmatan bang? Hahaha" Celetuk gadis seumuran adiknya, Mentari.
PLETAK
Sebuah gantungan kunci motor mendarat manis sempurna di kening gadis itu "Bang Biiin sakiiitt tauk!" rengeknya mengusap kening yang memerah.
"Hadeuh Shanum mulut lo sama Mentari di sekolahin dulu dah, balik ke TK" Gadis bernama Shanum itu cengengesan. "Sana masuk abang mau balik" Mengusir Shanum adalah jalan terbaik.
"Bang di suruh ke rumah sama papa" Ujar Shanum masih dengan senyumannya. "Di suruh lamar Shanum katanya bang" Imbuhnya sukses membuat Bintang menahan amarah. "Daaah ABAAANG" Shanum memilih mundur alon alon kemudian berlari kencang sebelum wajah Bintang yang merah padam berubah biru keunguan. Ah! Kan gak lucu ya. Ini kan Bintang bukan dewa Krisna.
Dan jangan lupakan sepasang mata yang masih setia melirik memperhatikan interaksi Bintang bersama dua gadis berbeda secara bergantian di depan kampus.
Ngomong ngomong ini sepasang mata siapa? Mata manusia, mata kucing atau mata.. Makhluk goib?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!