Happy Reading ....
Seorang wanita duduk tertunduk dengan pakaian yang lusuh, kedua lengannya diikat rantai ke atas, wajahnya penuh lebam dan mengeluarkan bercak darah. Tubuhnya dipenuhi luka, ototnya yang terasa sakit dan keram, membuatnya sesekali mengerang kesakitan.
Suara batuk menggema di dalam ruangan gelap dan sunyi itu. Sudah tiga hari tanpa alasan yang jelas dia telah dikurung di dalam sana, tanpa air dan makanan.
“Air, air ...,” gumamnya lirih.
Sayup matanya menangkap kondisi ruangan, melirik ke kanan dan ke kiri. Redup, remang-remang, tidak ada pencahayaan yang jelas.
Seketika suara langkah kaki terdengar mendekat, terhenyak, wanita itu langsung membuka matanya lebar-lebar. Yang dia tahu, seseorang akan datang untuk menyiksanya lagi dan lagi.
Seorang pria bertubuh tegap berdiri menunduk ke arahnya, sorot matanya yang tajam disertai halis yang melengkung. Pria itu bersimpuh di depannya, meraih rahang penuh lebam itu dan menimbulkan rasa sakit yang parah.
Wanita itu meringis kesakitan.
“Yada Aurora, Itu namamu?” Pria dengan suara bariton itu bertanya.
Tidak ada jawaban apapun, yang terdengar hanya deru nafas yang terengah-engah antara menahan sakit pada wajahnya.
“Mereka menyiksamu dengan sangat baik,” ucapnya dengan seringai.
“Apakah ini sakit?” Jemarinya mencengkram kuat rahang lebam itu, membuatnya semakin merintih kesakitan.
“L-lepaskan aku!”
“Aku akan bertanya sekali lagi, dan kau harus menjawabnya. Apakah namamu Yada Aurora?”
Dia menelan salivanya susah payah,“Ya.”
Pria itu tersenyum simpul. “Bagus, wanita yang sangat penurut.”
Allard melepaskan cengkramannya pada wajah Yada, kemudian dia memerintahkan kepada bawahannya untuk melepaskan ikatan rantai pada wanita itu, dan talinya terlepas, tubuh Yada langsung ambruk ke atas lantai.
“Tuan, dia kehilangan kesadaran.”
“Obati lukanya, dan jangan biarkan dia mati.”
“Baik, Tuan.”
--
Jemarinya menyentuh meja kaca yang tertutup oleh debu, pandangannya sendu melihat sekeliling rumah sunyi tak berpenghuni. Pikirannya kalang kabut, dia hanya memiliki satu kata yaitu, terlambat.
“Yada?” panggilnya lantang.
“Yada?”
Langkah kaki gusar menelusuri setiap penjuru rumah, berlarian, menaiki setiap anak tangga.
“Yada?”
Dia membuka sebuah pintu, ruangan yang sudah sangat berantakan, tidak terdengar suara apapun selain deru nafas dan detak jantungnya. Dia melangkah menuju sebuah cermin di atas meja rias, membaca sebuah tulisan yang bertulis, 'Adikmu ada di tanganku.'
“DAMN!”
David mengepalkan jemarinya erat, kemudian menghantam cermin sampai pecah berserakan. Seandainya dia tidak terlambat, mungkin keluarganya tidak akan berakhir mengerikan.
***
Dendam di dalam hati Lord Allard Washington tidak akan pernah pudar, justru rasa dendam itu semakin menguat seiring berjalannya waktu. Bayang-bayang akan masalalu kelam terus menghantuinya, seolah terus berbisik jika dia harus membalaskan dendam kematian kedua orang tuanya.
Allard menghisap satu batang nikotin, mengeluarkan asap tepat di depan wajah wanita cantik yang bernama Yada Aurora. Jemarinya naik, menelusuri setiap inci wajah cantik dengan kulit putih mulus itu.
“Tentu saja, kau memiliki wajah yang cantik serta kulit yang bersih karena kau dibesarkan di keluarga yang kaya raya. Sementara aku, tubuhku penuh bekas luka yang mengerikan.”
Yada menatapnya dengan penuh amarah, di dalam hatinya bertanya-tanya darimana datangnya pria gila di hadapannya kini. Entah dendam apa yang sedang pria itu bicarakan.
“Aurora? Nama keluarga yang bagus,” ucap Allard dengan seringai. “Mungkin tidak lama nama itu akan terpajang disebuah batu nisan.”
Allard mendesis kecil. “Sepertinya tidak akan ada batu nisan, karena mayat kau dan keluargamu tidak akan pernah dimakamkan. Mungkin kau akan menjadi makanan anjing besok.” Dia tertawa lantang.
Mengerikan. Entah bagaimana bisa keluarga Aurora mengusik pria iblis seperti Allard Washington. Setiap kalimat yang diucapkannya seperti perisai nyata.
“Apa yang kau lihat, Yada? Kau tidak bisa menerima?”
Bahkan jika kau memiliki dendam dengan keluarga Aurora, kau telah salah karena memilihku sebagai bahan sandera, mereka tidak akan peduli. Batin Yada.
Yada tersenyum sinis. “Seperti sebuah lelucon anak-anak.”
Allard berkerut kening. Wanita yang tadi masih bisa menangis kesakitan, kini malah sombong di hadapannya.
“Kau serius? Lelucon?”
“Ya!”
Allard mendekatkan wajahnya pada Yada. “Apa maksudmu lelucon? Apakah ini lelucon?” Lengannya mencengkram erat lengan atas Yada yang dipenuhi oleh memar.
Yada menggigit lidahnya menahan rasa sakit, matanya nanar tertuju pada wajah sangar Allard.
Allard menyeringai. “Bagaimana mungkin kau bisa merubah sikapmu hanya dengan satu malam?”
Allard menarik tubuhnya menjauh. Beberapa pertanyaanya hanya dibalas dengan tatapan tajam dari Yada Aurora. Tidak ada suara tangis, rintihan, dan kaliat mengemis. Tidak menyenangkan.
Tidak perlu sering menyiksanya, atau dia akan cepat mati. Pikir Allard.
Dia mengambil satu paperbag lalu melemparkannya ke arah Yada. “Jam sembilan tepat, pergi ke ruang makan.”
Yada melihat paperbag itu.
“Pastikan penampilanmu tidak mengecewakanku!” ucap Allard yang kemudian berjalan pergi keluar ruangan.
Yada membuka mulut setelah memastikan pria itu sudah pergi, dan tetesan darah segar keluar dari sana. Itu luka di lidahnya akibat gigitan tadi.
Lenganku, tidak lebih sakit dari luka lama. Batinnya.
Dia beringsut turun dari ranjang, melihat ke luar jendela. Hutan, di luar hanya hutan yang dipenuhi oleh pepohonan rimbun. Jendela itu bahkan tidak bisa dibuka, seperti ruangan yang khusus dibuat untuk seorang tawanan.
Yada teringat masa sekecilnya dulu, di mana situasi yang sama juga terjadi. Sebelum dia terkenal menjadi nona muda keluarga Aurora, kejadian serupa juga pernah di alaminya.
Kenapa hidupku sangat sial? Jika seperti ini, masih perlukah aku dilahirkan?
Allard berada di dalam ruang baca bersama seorang pria. Pria yang ditugaskan untuk mencari beberapa informasi terkait keluarga Aurora.
“Mereka tidak merespon apapun?” tanya Allard.
“Ya, Tuan. Mereka sangat senyap.”
“Bahkan setelah kehilangan putri satu-satunya?”
Pria bernama Jasson itu terdiam.
“Haruskah aku memotong jari wanita itu sebagai tanda bukti jika dia sedang menjadi tawananku?”
“Oh ****!” Allard mengumpat kesal.
“Di mana keberadaan mereka sekarang?”
“Mereka sudah pergi tepat satu hari sebelum kau menyerang kediaman Aurora.”
Allard berkerut heran. “Informasinya bocor?” Dia menatap Jasson dengan tajam. “Cari pengkhianat itu! Kau harus mendapatkannya secepatnya!”
“Baik, Tuan.”
Tidak disangka, di dalam klan mafia dibawah perintahnya masih ada orang yang berani untuk melawannya. Padahal, kekejaman Allard sangat terkenal di seluruh klan mafia lainya. Mereka akan segan jika bertentangan dengannya. Tapi tikus mana yang dengan berani menyusup dan menjadi pengkhianat di dalam klannya.
Sialan!
Yada berlari ke dalam kamar mandi, bersimpuh di depan toilet dan memuntahkan isi perutnya. Darah. Ini muntahnya yang ke tiga kali hari ini. Luka dalamnnya ternyata sangat serius, dadanya terasa sangat sesak. Itu semua karena Yada tidak meminum obat yang telah disediakan.
Lebih baik mati!
Bersambung ....
Happy Reading ....
David melangkah dengan cepat, masuk ke dalam ruang kaca dan menghampiri sepasang paruh paya yang tengah bersantai meminum teh hangat.
“Bagaimana mungkin kalian meninggalkannya sendiri seperti itu?” cercanya penuh emosi.
Margareth yang tak lain adalah ibunya kemudian menjawab, “Bukankah bagus menjadikannya sebagai umpan dan membuat orang tua mu selamat?”
“Umpan? Apa itu pantas?”
“Kenapa tidak?”
“Bukankah aku mengatakan untuk tidak pernah menyentuhnya lagi, atau aku tidak ingin menjadi pewaris klan ini!”
“David,” panggil Barrack Aurora dengan suara beratnya. “Jangan melawan ibumu lagi, pergilah.”
“Jika kau ingin menyelamatkannya, kau harus tetap menjadi pemimpin klan untuk melawan Allard Washington. Jika tidak, kau tidak akan bisa,” imbuh Barrack.
David mengendus kasar, melangkah pergi dengan penuh emosi.
Belasan tahun lalu tepatnya ketika David masih anak-anak, kedua orang tuanya tiba-tiba saja membawa seorang anak perempuan kecil datang ke rumah. Yada Aurora yang saat itu masih berusia empat tahun.
Sebelumnya David adalah anak tunggal keluarga Aurora, dan kehadiran Yada membuatnya merasa tidak kesepian. Dia sangat menyayanginya, menganggap Yada seperti adik.
Perlakuan Margareth dan Barrack terhadap Yada sangatlah berbeda, tidak seperti mereka memperlakukannya. Kedua orang tuanya itu kasar, bahkan suka membentaknya. Meskipun mereka tidak ragu untuk memberikan nama belakang kepada Yada, dan memamerkannya sebagai putri tunggal keluarga Aurora.
Semakin beranjak dewasa, David semakin tidak tahan melihat semua itu. Dan semenjak dirinya memegang kendali atas klan mafia Barrack, dia mulai mencari tahu asal Yada. Namun nihil, hasilnya tidak pernah ditemukan. Kenyataannya, David hanya tahu jika adik kesayangannya itu bukanlah adik kandungnya.
Satu bulan yang lalu, dia mendapatkan tugas untuk pergi ke luar negeri. Memberi pesan kepada kedua orang tuanya agar memperlakukan Yada dengan baik, karena jika tidak David akan melepaskan klan yang selama ini dia pimpin. Itu ancaman untuk Barrack dan Margareth. Tapi siapa sangka jika ancaman itu tidak berlaku, dia tetap kehilangan Yada yang mana dijadikan umpan untuk keselamatan kedua orang tuanya.
Kau di mana Yada?
Seseorang mengetuk pintu ruangannya dan masuk. Pria bertubuh tegap itu memberikan beberapa lembar dokument kepada David.
“Tuan, ini adalah daftar perusahaan di bawah pimpinan Allard Washington.”
David melirik kertas itu sekilat, mengembalikan kembali tatapannya kearah pria tersebut. “Bagaimana dengan Yada?”
“Belum ditemukan jejak nona, Tuan.”
David mengurut pangkal hidungnya pening. “Pergilah.”
“Baik, Tuan.”
___
Yada berdiri di depan cermin, melihat tubuhnya yang kotor serta luka memar di berbagai tempat. Dia tersenyum sinis. Tidak ada pukulan lagi semenjak pukulan terakhir yang diberikan oleh Barrack saat usianya tiga belas tahun, tapi kini justru luka baru diberikan oleh orang lain. Dua belas tahun hidupnya yang tanpa luka seperti telah disiapkan untuk hari ini.
Dia membuka perhelai kain yang menempel di tubuhnya, menyisakan tubuhnya yang kini sudah telanjang bulat. Perlahan Yada melangkah, masuk ke dalam bath up yang sudah terisi penuh air panas. Dia meringis kesakitan, seketika air berubah menjadi warna merah.
Yada menatap langit-langit kamar mandi, membayangkan kembali masa kecilnya yang kini samar-samar hilang.
“Mammi, apakah ini cantik?”
“Ini sangat cantik, Sayang.”
“Bolehkah aku memilikinya?”
“Tentu saja.”
“Tapi Mammi, kenapa di punggungku ada bekas coretan? Aku mencoba menghilangkannya saat mandi, tapi suster mengatakan ini tidak bisa hilang.”
“Itu bukan coretan, Sayang, itu adalah tanda jika kau adalah milik Mammi dan Daddy.”
Yada sangat ingat ketika seorang wanita muda dan cantik menceritakan dengan lembut asal muasal gambar di punggungnya. Dari ceritanya, Yada saat itu berusia dua tahun tapi malah harus menahan sakit jarum tinta yang menusuk kulitnya untuk membuat tanda keanggotaan. Kejam, tapi hal ini berjalan di dalam sebuah klan mafia.
“Mammi ....” rintihnya menahan rasa sakit di sekujur tubuh.
Yada mengingat, seharusnya dulu hidupnya baik-baik saja. Seorang wanita yang dipanggilnya Mammi adalah wanita yang bertutur kata lembut dan sangat baik hati. Seharusnya itu bukan Margareth yang dikenal sebagai Mamminya sekarang. Sayangnya, hanya kejadian masa kecil itu yang Yada ingat. Entah wanita di dalam ingatannya itu adalah Margareth entah bukan. Tapi yang jelas, Margareth tidak memiliki tanda di bagian punggungnya. Ingatan Yada seperti teka-teki yang harus dipecahkan sendiri olehnya.
Waktu sudah menunjukan jam makan malam, dan Yada ingat jika dirinya harus menemani pria gila itu makan. Menurutlah agar rasa sakitmu berkurang.
Dia membiarkan luka-lukanya membuka tanpa olesan obat dan balutan perban. Gaun cantik berwarna merah darah yang telah Allard siapkan menyatu dengan tubuh dan warna kulit putihnya yang seputih susu segar. Dia sangat cantik, di tambah make up natural dan beberapa perhiasan lainnya.
Yada Aurora. Memiliki nama belakang yang besar tidak membuat hidupmu baik-baik saja. Pikirnya.
Seorang pelayan masuk ke dalam kamarnya. Seperti dugaan, pasti seseorang akan memastikan jika dia sudah bersiap atau belum.
“Aku sudah siap. Ke mana aku harus pergi?”
“Silahkan ikutin saya, Nona.”
Ini adalah kali pertama Yada melihat seisi rumah yang telah mengurungnya selama beberapa hari. Hampir delapan puluh persen dinding rumah itu kaca, sehingga hutan lebat di luar sana dapat terlihat dari dalam rumah.
Kaki jenjangnya terus melangkah meskipun sedikit goyah karena menahan rasa sakit. Bahkan beberapa lukanya masih mengeluarkan darah segar.
Hentakan suara higheels yang dipakainya membuat Allard yang duduk di ruang makan menoleh ke arahnya seketika. Yada duduk tepat di sebelahnya.
“Apakah aku sedang makan bersama seorang Zombie? Kau sangat mengerikan.”
Yada berkedip, pandangannya lurus ke depan. Tidak memperhatikan ucapan Allard sama sekali. Sementara Allard menatapnya dengan tajam.
Allard memberikan isyarat untuk menghidangkan makan malam.
Dua porsi steak sapi di atas meja, dengan saus kacang almond sebagai pelengkap. Allard mengiris bagian miliknya, memakannya dengan nikmat. Sementara Yada hanya bergeming seperti patung.
“Aku alergi kacang,” kata Yada sebelum Allard bertanya.
Allard menatapnya, lalu meminta pelayan untuk mengganti piring makanan Yada.
Seharusnya ini adalah makanan terbaik yang dimakannya semenjak beberapa hari terakhir. Yada memakannya dengan suka rela. Tidak berpikir jika Allard akan menambahkan racun ke dalam makanan itu, karena posisinya sekarang adalah sandera untuk memeras keluarga Aurora.
Allard menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, sementara tatapannya terus saja tertuju pada luka di lengan Yada yang sejak tadi basah oleh tetesan darah.
Wanita ini, bukankah hanya seorang wanita manja di keluarga Aurora? Tapi kenapa pengendalian dirinya begitu besar.
Allard menyentuh luka itu, membuat Yada terhenyak dan menatap ke arahnya.
“Apakah ini sakit, Nona?” tanya Allard sengaja.
Bersambung ....
Happy Reading ....
“Apakah ini sakit?”
Yada menatap Allard dengan nanar, menggertakan gigi menahan rasa sakit di bagian lengannya. Pertanyaan apa itu, apakah ini sakit? Tentu saja sakit! Dan Allard malah semakin mencengkram erat lengan Yada selagi wanita cantik itu tidak berbicara apa-apa.
“Sakit?” tanya Allard lagi.
Yada menelan salivanya. “Ya.”
Allard tersenyum lalu melepaskan cengkeramannya pada lengan Yada. Kemudian sorang pelayan memberinya sapu tangan untuk membersihkan darah pada telapak tangannya.
“Pastikan darahmu tidak berceceran lagi dan menganggu nafsu makanku, Yada,” kata Allard.
Yada mengalihkan pandangannya dengan angkuh. Wajah pucatnya kentara, dia kehilangan banyak darah entah itu pada luka di bagian tubuh, atau muntah darahnya yang terjadi berulang kali. Pandangannya menjadi buram, tubuh rampingnya seketika ambruk di atas meja makan.
Allard menatapnya dengan dingin, mengangkat sebelah halisnya.
“Bawa dia masuk dan obati lukanya, panggil Yoland datang,” perintah Allard.
“Baik, Tuan.”
Allard Washington berada di ruangannya, dan Yoland datang setelah selesai memeriksa kondisi wanita itu.
“Bagaimana?” tanya Allard.
“Tidak akan mati, hanya kehilangan sedikit darah.”
“Baguslah.”
Yoland adalah dokter pribadi keluarganya, itu adalah posisi turun temurun keluarga Yoland yang sejak dulu menjadi anggota klan Washington.
Pria berusia tiga puluh tahun itu memiliki wajah yang tampan, tubuh atletis, dan jabatan yang tinggi di rumah sakit miliknya sendiri. Banyak wanita yang ingin duduk di sampingnya. Namun nasibnya sama seperti Allard, hidup hanya untuk mengabdi pada klan. Memiliki keluarga bukan urusan nomor satu.
“Bagaimana kau akan mengurusnya?”
“Potong jari manisnya, aku akan mengirim itu kepada klan Aurora,” kata Allard bengis.
Yoland menatapnya dengan dingin. “Haruskah memotong jarinya?”
“Kenapa?”
“Bukankah Aurora akan mengamuk nanti?”
“Itu yang seharusnya terjadi. Aku akan meratakan klan itu agar rencana balas dendam ku selama puluhan tahun tercapai.”
“Mereka terlalu lambat bertindak, berpikir jika aku tidak akan berani menyakiti putri keluarganya hanya karena takut menyinggung seluruh klan,” imbuh Allard. “Tidak ada yang aku takutkan di dunia ini, bahkan kematian sekalipun. Asalkan balas dendam ku tercapai, semuanya tidak akan sia-sia.”
Yoland berpikir. Ambisi Allard untuk membalaskan dendam kematian orang tuanya sangat besar, sampai-sampai dia rela menjerumuskan klannya sendiri ke dalam jurang. Tapi Yoland tidak akan membiarkan klan WS hancur dengan ketidak sabaran Allard menjalankan rencana balas dendamnya.
“Aku akan membuatkan satu jari palsu menggunakan DNA nya,” ucap Yoland.
Allard menatapnya. “Lakukan dengan baik.”
Setelah berbincang dengan Yoland, Allard pergi melihat kondisi Yada. Wanita lemah yang terbaring di atas ranjang dengan jarum infus menancap di punggung telapak tangannya. Allard berdiri dan menatapnya dengan tajam.
“Apakah keluargamu tuli dan buta? Kenapa sampai sekarang mereka belum bertindak apapun untuk menyelamatkanmu?”
Di bawah matanya yang tertutup, pikiran Yada tersadar dan mendengar ucapan Allard. Ingin sekali dia menjawab, jika usaha Allard menyiksanya itu hanya sia-sia, keluarga Aurora tidak akan peduli sama sekali.
“Kau juga, kau hanya wanita manja yang dibesarkan dengan harta, masih saja angkuh seolah bisa menahan rasa sakit pada lukamu.” Allard berdecih meremehkan. “Nyatanya kau tidak sekuat itu.”
Seharusnya Yada yang meremehkannya seperti itu. Nyatanya Allard telah tertipu dengan tipu daya yang tadi dia lakukan. Yada hanya sedikit pusing dan pandangannya menjadi buram, hanya saja dia tidak benar-benar kehilangan kesadarannya. Dia juga sadar ketika Yoland datang untuk memeriksa.
“Kau harus cepat bangun, berikan manfaat untukku. Jangan terlalu lama menjadi tidak berguna. Buatlah seluruh klanmu itu bergerak,” kata Allard sebelum akhirnya pergi ke luar ruangan.
Yada membuka matanya, melihat beberapa luka yang telah di balut perban dan jarum infus yang melekat pada punggung telapak tangan.
Usahamu hanya akan sia-sia. Pikir Yada.
***
Perusahaan perhiasan di bawah tanggung jawab Yada sedang tidak baik-baik saja karena perusahaan pesaing baru saja meluncurkan produk terbaru. Perusahaan itu tidak stabil karena pemimpinnya hilang tidak ada kabar.
David yang mendengar kabar tersebut langsung pergi mengurus semua hal di sana, memastikan jika aset berharga milik adiknya tidak mengalami kehancuran. Ini adalah bisnis favorit Yada, David sengaja memberikannya sebagai hadiah ulang tahun Yada yang ke dua puluh tiga tahun.
“Urus ini dengan baik, pastikan produk baru muncul dalam kurun waktu satu bulan,” perintah David.
“Ada apa dengan Nona Yada, Tuan? Kenapa beliau tidak datang dalam waktu yang lama?” tanya seorang petinggi perusahaan lainya.
“Dia baik-baik saja, hanya kesehatannya menurun dan membutuhkan waktu istirahat. Kalian harus membantunya mengurus perusahaan,” jawab David.
“Tapi untuk meluncurkan produk baru dalam waktu satu bulan sangatlah mustahil.”
“Kerjakan saja seperti yang aku katakan. Jika mengharuskan kalian bekerja lembur, maka berlemburlah. Aku akan memberikan kalian bonus, dan menaikan gajih kalian lima belas persen.”
Semua orang berdecak kagum dengan ucapan kakak dari bigbosnya itu. Kenaikan gajih lima belas persen sangat menguntungkan bagi mereka. Dan setelah ucapan David, mereka semua tidak berani mengeluh lagi.
Setelah selesai mengurus kekacauan di perusahaan Yada, David kembali ke perusahaan inti miliknya. Di perjalanan, asistennya tidak lupa untuk mengingatkan David perihal semua yang telah David janjikan di perusahaan tadi.
“Bukankah kenaikan gajih di saat perusahaan tidak stabil malah akan membuat hutang perusahaan semakin besar? Bagaimana dengan pemegang saham lainya? Akankah mereka setuju?”
“Itu urusanku. Jika perlu, beli semua saham milik mereka, pastikan nama adikku yang memilikinya.”
“Baik, Tuan.”
Allard sedang berada di dalam sebuah club malam, tepatnya di dalam privateroom. Dia membaca beberapa berkas yang ada di atas meja seraya menyesap redwine miliknya.
“Beli saham milik pria itu, pastikan kau lebih cepat mendapatkannya.”
“Baik, Tuan.”
Tidak hanya ingin membalaskan dendam dengan menyiksa Yada, tapi Allard juga menginginkan satu-persatu aset kekayaan yang dimiliki oleh keluarga Aurora. Dia ingin menyiksa keluarga itu hingga titik darah penghabisan. Membuat mereka berada di titik terendah kehidupan. Menjadi gelandangan tanpa rumah, harta, dan dukungan.
Aku akan mengambil alih semuanya. Properti bahkan seluruh anggota klan!
___
Yada bangun dari tidurnya, mencabut jarum infus dengan wajah datarnya seolah tidak merasakan sakit sedikitpun. Dia beringsut turun dari ranjang, melihat paperbag yang tersimpan rapih di atas sebuah meja.
Gaun berwarna merah darah lagi.
Sepertinya, setiap malam Allard akan memintanya untuk memakai gaun merah dan menjadikannya teman makan malam. Selera pria itu sangat aneh.
Seketika pandangan Yada terhenti pada sebuah kotak dengan kalung cantik di dalamnya. Yada sangat ingat, kalung itu di desain olehnya dan di buat hanya dua oleh perusahaannya. Satu kalung Yada simpan pribadi, dan hanya satu yang dijual di pasaran.
Jadi Allard yang membelinya?
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!