NovelToon NovelToon

Dikejar Malam Pertama

Mahar Ala Sultan

Malam pertama macam apakah yang diimpikan oleh pengantin baru?

Jika Lilla yang ditanya, dia akan menginginkan malam pertama romantis yang penuh dengan gairah, pelukan hangat, kecupan mesra, dan ucapan good morning ketika pagi menyapa.

Tentunya dilakukan oleh laki-laki yang dicintainya.

Akan tetapi, Lilla kecewa saat ternyata dia malah berjodoh dengan laki-laki yang tak pernah dibayangkan akan menikahinya.

Lalu, apakah malam pertama impiannya hanya akan menjadi angan yang tak akan pernah terwujud?

Tak ada yang tahu.

Namun, satu yang pasti. Lilla tak akan memberikan laki-laki itu malam pertama yang indah seperti bayangan di rongga kepalanya.

***

Dia bernama Satria. Laki-laki dengan perawakan tinggi bak oppa Korea. Mata sipit seperti turunan Cina. Body model roti sobek menggoda mirip orang Amerika. Mata cokelat kopi susu ciri khas orang lokal Sunda. Brewokan pula.

Semua terlihat perfect. Sangat pas dengan kondisinya yang terlahir dari kalangan orang kaya raya. Dia cukup terkenal daerah Betawi ini, sebab ayahnya yang berkumis tebal itu sering terlibat bisnis di sana.

Dan di daerah ini juga si playboy bisa mengenal kembang Betawi bernama Sarmilla. Perempuan yang baru lulus ujian masuk ke perguruan tinggi di Jakarta. Akrab dipanggil Lilla.

Oh, ya. Balik lagi ke pembahasan utama, tentang si cowok berfisik sempurna abis itu. Sangat Lilla sayangkan, kesempurnaan fisik Satria malah dipatahkan oleh perilaku jaharanya yang kerap kali membuat hati para kaum hawa menjerit.

Celup-celup langsung ditinggal! Nyelekit. Parah abis.

Laki-laki macam itu tak lain tak bukan adalah seorang playboy cap kadal. Sudah benar, kan jika Lilla menyematkan kata 'Playboy' padanya?

"Aduh, sial! Sial! Kenapa gue harus dijodohin sama itu manusia serigala, sih?! Enyak ama babeh gue tega bener, deh!" sungut Lilla di kamarnya. Dia mondar-mandir dengan perasaan gundah gulana, pasalnya di ruang tengah masih hadir calon bapak ibu mertua sekaligus calon suaminya.

Lilla memang keturunan asli betawi. Tapi terlahir dan dirawat di sana tak membuat aksen bicaranya persis macam kedua orang tuanya. Meski mereka pun tak terlalu betawi banget. Lilla kebawa gaul oleh teman-temannya di sekolah.

"Lilla, diem napa. Elu, tuh udah kayak induk itik yang lagi nyari anaknya aja, deh. Mondar-mandir kagak jelas."

Itu suara Nindy, teman satu frekuensi sekaligus tetangga sebelah yang tadi diam-diam masuk lewat pintu dapur belakang rumah.

Sengaja, ingin mengintip si Satria yang datang bawa sedan hitam sambil boyong emak bapaknya. Pakai bawa beberapa parcel seserahan segala. Jika begitu, siapa yang tak akan kepo?

"Terima dengan legowo. Serigalanya juga serigala ganteng membahana," tambah Nindy dengan nada setengah membisik nakal. Lalu ia terkekeh pendek.

Lilla alias Sarmilla ini mencebik kesal. Menatap garang pada gadis berkedok sahabat tapi julid ini dengan serius.

"Apa, sih?! Ini masalahnya gue dijodohin sama cowok playboy. Lu sendiri tahu itu cowok gimana nakalnya. Ogah banget sebenernya gue dijadiin bini dia. Ntar gue capek kayak babu di rumah, ngepel pas lagi hamil tua. Nah, dia malah asyik main-main di luar sana sama cewek-cewek bohai. Idih, najisin! Heh, Dy asal lu tahu aja, ya, seganteng-gantengnya manusia serigala, lu bakal digigit?! Tahu lu kalau udah digigit pasti gimana? Mati! Mati lu!"

Bah! Belum apa-apa imajinasinya sudah separah ini. Bagaimana nanti bila sudah sah jadi istri Satria?

"Terus gimana? Kan, perjodohannya udah lu setujui. Sekarang tinggal terima kasih-eh, terima nasib maksudnya. Ibarat kata mau manis mau pait, telen aja," ujar Nindy. Dan hal itu sama sekali tak membantunya yang sedang gundah gulana.

"Yeee, gue terima juga kepaksa karena enyak babeh ngancem segala bakal cabut kuliah gue. Hidih, kalau bukan karena demi pendidikan, gue nggak bakal nerima itu lamaran!"

Mendadak Lilla lemas. Duduk di samping Nindy.

"Tapi bener kata lu, Dy. Mau manis atau pait, gue mesti jalani. Toh, gue sendiri yang mengiyakan."

Kontan perempuan dengan rambut sebahu itu diusap punggungnya sebagai tanda penyemangat. Nindy tersenyum getir.

"Semoga aja elu itu pawangnya Satria, La. Jadi, dia bakal tobat jadi playboy," doa Nindy.

"Ebuset! Malah doain begitu. Mampuslah kalau dijabah!"

Nindy malah terkekeh. Dia ini memang sahabat paling nyeleneh dan suka banget lihat Lilla menderita. Sampai-sampai Lilla berpikir apakah Nindy ini sungguh temannya yang tulus atau musuh dalam selimut, sih?

"Lilla, sini ...."

Seketika Nindy berhenti tertawa ketika enyak Lilla muncul di balik pintu. Manggil.

"Lu begimane, sih? Katanya mau bikinin kopi, malah kabur kemari. Jadinya enyak yang bikin! Sampe bilang elu mendadak mules demi bisa menjaga harga diri keluarga. Gawat kalau mereka nyangka elu kabur! Asem lu jadi anak malah kagak ada akhlak. Orang lagi diskusi pernikahan, malah kabur ke kamar! Buruan keluar!"

What?! Menjaga harha diri keluarga macam apaan dibilang mendadak mules?! Lilla kontan bermuka merah jambu. Matilah! Kesan pertama di hadapan calon mertua sudah nggak ada harga dirinya.

"Ya Allah, Nyak. Apa kata camerku nanti. Masa bilang Lilla mules segala. Ntar disangka berak beneran gimana. Malu, dah. Sekarang udah nggak ada muka buat menghadapi mereka. Nggak sekalian aja bilang mencret, Nyak?"

Lilla merengek seperti bocah. Mukanya keruh macam air comberan. Dia benar-benar menolak nimbrung lagi ke perkumpulan dua keluarga itu.

"Alah, apa salahnya emang kalau orang mules? Semua orang pernah ngalamin. Udah, lu percaya sama enyak ini. Nggak bakal ada yang bikin elu malu. Dahlah, ayo gasss ...."

"E-eh, tunggu, Nyak. Apanya yang di-gas?"

"Elu gassin kawin sama entu serigala. Rawwrrr!" timbrung Nindy yang akhirnya mendapat pelototan ngeri dari Lilla.

Eh, dia mah terkekeh santai. Biasa, teman sejati memang begini, kan? Tertawa di atas derita teman, tapi tulus menganggap teman. Bukan palsu yang bertopeng lapis-lapis. Mirip kue wafer. Masih mending wafer manis. Ini malah pait bak empedu.

Fuih~

"Udeh ayo ke sana, ke ruang tengah. Kita, kan mau bahas mahar sama mereka. Ingat, ya, gosah nanggung kalau minta mahar. Gedong apartemen sekalian ama sertifikatnya. Mobil, motor balap, apa kek. Tielevisi sekalian sama perabotan lainnya. Terus—"

"Ihh, Nyak! Mau minta mahar nikah apa mau ngerampok, sih? Gini amat. Ntar kalau mereka bilang nggak mampu gimane? Terus si Bang-Sat batalin lamarannya gimane? Tamat riwayat Lilla. Ntar dicap matre dan ditandai emak-emak sedunia. Mana ada nanti yang mau ngawinin Lilla!"

"Huss! Lu itu ngomong saring napa, La! Bang-sat, bang-sat! Sembarangan lu! Emang gue ngajarin elu sompral begini?!"

"Dih, sapa yang sompral? Orang dia namanya Satria. Ya, Lilla cuma manggil Abang gitu, kan. Biar kesannya lebih sopan. Tapi karena kepanjangan, ya panggil Bang-Sat."

PLETAK! Akhirnya kena getok tangan enyak.

"Aduh, sakit, Nyak!" rintihnya merana.

"Heh, lu! Iya namanya Satria dan elu emang wajib manggil sopan. Tapi nggak pake disingkat juga kali! Eh, dia dengar pasti ngadat sama elu! Awas aja kalau panggil dia begitu. Enyak tarik bibir lu, terus iket pake karet. Nyaho lu! Udah ayo!"

"Ih, bentar Nyak. Lilla mau ke sana. Tapi janji jangan bahas mahar serba sultan. Malu lah!"

"Udah, wajar aja kalau minta mahar mah. Soal sanggup apa kagak urusan belakang. Pokok lu nurut aja, deh apa kata orang tua. Mereka nggak bakal miskin cuma diminta mahar begitu, mah!"

Elah dalah. Mampus beneran Lilla. Dia tak akan sanggup menghadapi mereka jika orang tuanya sungguh akan minta mahar super wow itu.

Nindy kian terpingkal-pingkal saja mendengar ocehan ibu dan anak itu. Dia sampai menutup mulutnya dengan bantal, saking takutnya kebablasan tertawa gahar. Bahaya.

Keputusan Final

Sukses! Mahar ala sultan pun jadi. Memang tidak semua, apartemen yang dimintakan dengan lantang oleh Lilla tak disanggupi, tetapi orang tua Satria bersedia memberikan mobil, emas batangan, intan berlian, dan akan menanggung semua biaya pernikahan tanpa campur tangan dari keluarganya.

Mampus!

Lilla awalnya berpikir Satria dan kelurganya akan ilfeel kalau dia menuruti enyaknya yang gila harta itu. Namun, ternyata perkiraannya meleset jauh. Jauh sekali sampai teropong tak sanggup melihatnya.

Kini, dia hanya bisa menyesali apa yang sudah dia minta itu. Lilla gigit jari.

Satria si hidung belang tersenyum genit kepada Lilla. Gadis itu malah membalasnya dengan wajah kesal yang merah padam. Tak tahan ingin sekali menangis sekarang. Hidungnya bahkan sampai kembang kempis saking kesalnya.

“Alhamdulillah. Jadi setuju, ya? Kalau begitu sekarang bagaimana kalau kita tentukan tanggal pernikahannya saja. Bagaimana?”

PRAAAK!

Gelas di meja jatuh tersenggol tangan Lilla yang berguncang hebat. Itu berisi kopi suguhan untuk Satria, tapi malah ikut tumpah setelah wadahnya hancur di lantai.

Semua orang begitu kaget, tapi Lilla tak peduli. Dia hanya tenggelam dalam kemarahannya saja.

"Maaf, permisi. Mendadak sakit sekali kepala saya," ucap Lilla dengan muka basah keringat dingin.

"Heh, meu kemana lu?!" bisik babehnya dengan dahi mengerut. "Tanggalnya belum ditentuin! Udah mau pergi-pergi aja lu!"

Perut Lillah serasa sembelit kalau lama-lama berdiri di depan muka Satria. Dia melengos. "Atur-atur aja. Lilla ikut."

Dengan muka setengah murka setengah ingin menangis, Lilla beranjak dari duduknya. Kemudian ngacir ke kamarnya lagi.

Percakapan penting itu kembali terjeda. Semua mata memandang kepergian Lilla yang tiba-tiba.

"Ha ha ha. Maklum, anak gadis mau nikah suka tegang. Kali dia begitu, Pak, Bu. Mohon dimaklum, ya." Babeh Lilla mengumbar tawa hambarnya, malu atas kelakuan anag gadisnya itu.

Tapi apalah daya. Sudah takdir dia memiliki anak langka macam Sarmilla. Ya, sudah, terima saja. Yang penting anaknya baik, dia tahu sendiri bagaimana nurutnya anak itu.

"Tidak apa-apa. Yang penting Lilla sudah setuju dan menerima lamaran anak saya. Nah, bagaimana kalau pernikahan dilakukan lebih cepat saja. Tiga minggu lagi, bagaimana?"

Waduh! Lilla yang diam-diam nguping di balik pintu kamarnya meringis. Yah ... namanya juga rumah petak yang tak luas. Bukan pula rumah berdinding kedap suara. Jadi, obrolan orang di tengah rumah masih jelas terdengar dari sana.

Lilla syok berat mendengarnya. Tiga minggu? Astaganaga! Dia mana siap dipinang buaya rawa secepat itu.

Baju pun diremas kuat-kuat. Ah, percuma! Lah, wong tanggal pernikahan sudah diputuskan. Kesal pun rasanya hanya buang-buang tenaga dalam.

Akhirnya Lilla cuma bisa membuang napasnya pasrah. Menatap langit kamarnya sambil merintih, "Tolong jaga diri ini ya Allah. Jauhkan playboy cap kadal itu di malam pertama nanti dariku."

Bah! Belum apa-apa sudah memikirkan malam pertama. Dasar Lilla. Karenanya, Nindy malah semakin gencar menggoda.

"Ciee ... selamat, La. Tiga minggu lagi belah duren." Dia cekikikan bagai mbak kunti lagi kesemsem abang genderuwo. Haih, tambah pening kepala Lilla.

"Ini pula, si Nindy masih aja goda-godain! Orang hati gue lagi panas bak dibakar api asmara, eh api kemarahan maksudnya. Malah ... ish, udahlah! Ngeselin lu! Lama-lama gue sumpal juga, tuh mulut! Heran, dah punya temen model begini. Mau gue iket kali ya terus gue ceburin ke dalam sumur basah!"

Nindy malah tergelak gahar. Aduh, dia pakai acara lupa segala bahwa di tengah rumah masih ada keluarga Satria. Mereka yang mendengar tawa Nindy pun mengukir senyum, sebab mengira tawa itu adalah suara Lilla.

"Tuh, kan Mam. Lilla sampai ketawa-ketawa seperti orang gila setelah fix akan menikah denganku," kata Satria sambil membenarkan kerah pakaiannya, juga sambil menaik-turunkan alis kepala.

Kedua orang tuanya percaya, malah ikut tertawa. Namun, tidak dengan kedua orang tua Lilla. Mereka tahu suara itu adalah suara Nindy.

"Biarin mereka mikir itu si Lilla, Beh. Yang penting mereka bahagia," bisik enyak Lilla.

Pasutri ini malah saling bisik, terkekeh kecil.

Sementara Lilla yang jadi korban salah sangka kini sedang mengejar-ngejar Nindy. Mau menimpuknya memakai bantal.

"Kurang asem! Sini lu!"

Dasar. Dua perempuan ini sudah macam bocah kecil saja.

***

Langit malam telah terlewati dengan perasaan gundah gulana. Setelah pagi hari menyapa, Lilla bangkit dari ranjangnya dengan lesu. Daripada hanya bengong sambil memikirkan calon suaminya, lebih manfaat waktu dihabiskan dengan berkegiatan.

Cuci piring. Akhirnya kegiatan inilah yang dilakukannya.

"Oh, no!" Sambil cuci piring, Lilla melamun. Kepikiran Bang-Sat yang sebentar lagi akan mempersunting dirinya.

Untung saja dia tak sampai memecahkan piring cuciannya gara-gara otak dipenuhi oleh wajah si playboy cap kadal itu.

"Lilla! Lilla! Eh, elu dipanggilin malah pura-pura nggak denger segala!" Enyak tiba-tiba datang sambil ngomel di belakang punggung, mengegetkan Lilla.

"Astagfirullah, apa sih Nyak?" Lilla terperanjat. Lagi-lagi untung sekali dia sampai tak memecahkan piring.

"Itu si Noah udah di depan, tuh. Nanyain lu. Katanya kalian ada janji ke perpustakaan besar."

Seketika Lilla berhenti kala nama cowok satu ini disebut.

"Eh, iya ya ampun! Lupa. Lilla pergi dulu, ya, Nyak. Soal urusan piring entar aja lanjut lagi."

Lilla pergi begitu saja usai melepas sarung tangan karet yang membungkus tangannya, lalu lari ke kamar untuk bersiap.

"E-eh! Itu bocah kebiasaan! Kalau lagi ngerjain tugas rumah suka main kabur segala!" omel enyaknya.

**

Noah, sosok sahabat dekatnya yang tinggal di RT sebelah. Pemilik paras tampan yang sebenarnya sudah lama memendam suka pada si Lilla. Sayangnya keberanian Noah untuk mengungkap isi hatinya ciut.

Alhasil, selama belasan tahun bersama, mereka hanya ada di atas jalinan persahabatan saja. Dan Noah sama sekali belum tahu tentang perjodohan antara Lilla dan Satria.

Entah akan sehancur apa hatinya ketika dia mengetahui tentang hal itu nanti.

Semringah wajah Noah kala melihat perempuan yang ia tahu adalah jomlo itu berlari sambil menenteng helm di sebelah lengannya. Berlari ke arahnya.

"Ditelepon nggak ada nyaut." Noah protes setibanya Lilla.

"Sorry. Lagi bakti sama orang tua tadi itu. Nginem di dapur," katanya membalas kalimat Noah.

Tanpa menunggu diinstruksikan naik, Lilla langsung nangkring di jok belakang motor gede Noah. Dia menepuk bahunya. "Let's go! Takut keburu siang. Nanti gue ada mata kuliah jam sembilan."

"Iya ...."

Keduanya berangkat dengan semangat. Sampai di depan perpustakaan umum di jantung kota. Namun, semangat Lilla yang membara itu kontan luntur ketika tiba-tiba saja matanya tertusuk pemandangan tak mengenakan.

"Bang-Sat? Ngapain dia di ... oh oh oh ternyata si playboy cap kadal itu memang lagi meranin perannya di sini, toh."

Lilla komat-kamit bergumam setelah melihat Satria yang boleh disebut sebagai calon suaminya itu sedang menggoda cewek sintal di kafe sebelah perpustakaan.

"Bukan maen emang cowok satu itu. Udah punya calon bini pun masih gatel!"

Noah mengikuti pandangan Lilla mengarah. "Liatin siapa, La?"

"Itu, tuh si playboy cap kadal!"

Satria si Pengganggu

Lilla sungguh benci pada lelaki jahara itu. Tapi dia merasa terbakar kala sang calon suami menggoda wanita sintal di kafe itu. Wanita yang diduga adalah pelayan kafe.

Ngeri! Lilla merasa gila, kenapa pula dia harus merasa begitu? Cinta saja tidak. Kenapa harus ada acara bakar membakar hati?

“La, itu, kan bang Satria. Bukan hal aneh, kan kalau dia playboy? Apa masalahnya? Dada lu sampe naik turun, udah kayak roaler coaster mode lambat aja.” Noah terkekeh pendek.

Lilla berdecak. Meniup poni yang terasa menghalangi pandangan mata. Dia segera membuang jauh perasaan yang dikata terbakar itu sejauh-jauhnya.

“Lu mau tahu masalahnya apa? Bentar lagi gue dikawinin sama itu makhluk! Hhh! Ngeselin. Malu banget gue punya calon suami model begitu.”

Cetaaar!

Sekaran guntur menyala di atas kepala Noah.

Apa? Dikawinin? Sebentar, otak Noah sedang mecerna kalimat itu baik-baik. Dia takut salah paham dengan pemikirannya sendiri dan salah arti. Tapi ....

"Udahlah. Ngeselin kalau dibahas. Mendingan buru-buru masuk, yuk. Ngabisin banyak waktu aja."

Lilla segera menarik baju Noah sebelum dirinya selesai mencerna kalimat yang Lilla kata benerapa detik lalu.

***

Detik demi detik terlewati begitu cepat, sampai akhirnya jarum jam hampir menunjukkan pukul sembilan. Noah dan Lilla segera berangkat ke kampus untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang mehasiswa dan mahasiswi. Yaitu belajar.

Namun, Noah masih melamun, kepikiran dengan pengakuan Lilla yang tak disangka-sangka olehnya.

Bagai tersambar petir di siang bolong. Pucuk cintanya yang baru tumbuh itu langsung dipatahkan setelah mengetahui kabar lamaran Satria pada Lilla.

Saat di perpustakaan, Lilla menceritakannya dengan perasaan yang sangat menunjukkan kekecewaan besarnya.

'Aku bahkan belum sempat mengutarakan perasaanku padamu, La. Kamu malah mau diambil orang. Diambilnya sama playboy kadal itu pula. Hati siapa yang akan rela?'

Noah terus melamun sambil mengemudikan motor gedenya. Sampai dia tak sadar motor berjalan masuk ke kawasan bangunan konstruksi.

Dan ....

“Noah! Awas, lu! Itu di depan ada pa—”

“WADUH!” Ucapan Lilla terhenti saat Noah tersadar dan malah berteriak kencang.

"E-eh! Eh! Eeeee ...." Akhirnya Lilla ikut-ikutan menjerit, mengalihkan pandangan mata para pekerja konstruksi itu.

"Noah! Gila lu! Beloook! Balik ke jalaaan!"

Terlambat! Sekuat apa pun Lilla berteriak bak orang kesetanan meminta Noah mengendalikan motornya, hal itu tak membuat Noah bisa melakukannya.

Para pekerja konstruksi kabur begitu melihat motor Noah melaju cukup kencang ke arah mereka.

"Noaaaah!"

Kedua makhluk ini nyungsep akhirnya dalam pasir berbatu kerikil.

"Aduh! Sakit!"

"La, lu nggak apa-apa?!" Susah payah Noah membangunkan Lilla yang sedang memegangi pinggangnya.

"Apanya yang enggak apa-apa?! Mata lu picek apa?! Pinggang gur sakit, nih ...." Lilla merengek. Hampir menangis.

Semua gara-gara Noah tak konsentrasi. Musibah ini pun akhirnya terjadi. Untung, yang tergores hanya motor si Noah saja. Setelah merasa sudah baikan, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan dengan saling menyalahkan.

***

Mentari berangsur naik lebih tinggi. Membuat kulit kepala Lilla terbakar rasanya. Dia sedang nongki dengan tiga sahabat perempuannya di tempat kuliah yang bernama, Diah, Bulan, dan Fitri.

"Si Noah tumben nggak ngintilin lu, La?" Diah tetiba menanyakannya. Karena memang tumben. Biasanya cowok satu itu tak pernah ketinggalan ke mana-mana. Sudah macam bodyguard Lilla saja.

"Dia lagi banyak tugas katanya. Tadi udah gue chat, malah nyuruh pergi duluan." Enteng Lilla menjawab. Tanpa dia tahu hati cowok yang sudah setia menjaga hatinya bertahun-tahun itu sedang hancur porak-poranda.

Gara-gara dia.

"Rajin amat. Ini juga tumben," timbrung Fitri.

"Halah biarin ajalah. Sesekali kita nongkrongnya tanpa dia. Kan, enak bisa ngobrolin cogan dengan bebasnya. Ha ha ha ...." Bulan memotong ucapan.

Duh, obrolan para cewek-cewek ini memang agak gila. Yang dibicarakan tak jauh-jauh dari roti sobek cogan dan ketampanan para kakak-kakak tingkat yang ada di sini. Yang populer di kampus.

"Eh asem lu. Tapi ada benernya, sih. Jadi enggak risih, ya. Lu tahu nggak ada kating ganteng banget. Baru liat hari ini. Kayaknya dia anak pindahan gitu, deh."

"Oh, ya?"

Lagi asyik-asyiknya ngobrol santai, lebih ke ghibahin cowok ganteng membahana, tiba-tiba Lilla tersedak air karena melihat penampakan Satria di ujung jalan sana.

"Uhukk! Uhuuuk!"

Satria keluar dari mobil hitamnya dengan bergaya. Halah, biasa itu hanya tebar pesona biar dia menjadi pusat perhatian orang-orang, apalagi wanita.

"Anjir, ngapain si Bang-Sat jalan ke arah sini? Tunggu! Lebih tepatnya dia lagi ngapain?! Dari mana dia tahu gue ada di sini?! Ish!" Lilla serasa sesak napas dadakan. Membuang muka, menutupnya dengan tas selempang yang dia bawa.

Tak terbesit sedikit pun bahwa enyak dan babehnya yang memberitahu di mana lokasi Lilla berada.

"Mampus! Kalau dia ke sini buat datangin gue! Alamat temen-temen tahu, dong kalau gue mau dipersunting ini buaya!" guman Lilla cemas.

"Heh, elu kenapa, La? Kok, ngumpet?" tanya Dia setelah menyadari bahwa Lilla bertingkah aneh.

"Sssht! Jangan berisik. Nanti gue ketahuan."

"Ketahuan apa, sih?"

"Hisssh, dahlah nggak usah tahu!" Lilla bangkit dari duduknya, tapi saat ia menarik tas selempang dari wajahnya, sosok Satria yang gagah menawan sudah berdiri tegap di depannya.

Alamak! Matilah! Wajah Lilla beku seketika, sementara teman-temannya kini malah terpesona oleh si buaya rawa ini.

"Halo, Sayang. Boleh minta waktunya sebentar? Aku akan membawa kamu ke super mall. Kita belanja buat bahan seserahan. Ayolah, pasti menyenangkan," ujarnya dengan suara berat yang begitu memabukkan wanita-wanita.

Semuanya menjerit. Dih, yang diajak siapa, yang kegirangan siapa. Lilla ilfeel bukan main.

"Sayang matamu peang! Ogah banget! Nggak liat ini lagi ngapain?" Wajah Lilla sudah bak kepiting rebus. Merah merona. Malu sebab menjadi pusat perhatian semua orang.

Banyak wanita-wanita terpesona, bahkan kelepek-kelepek macam ayam kena sembelih. Ck. Ck. Lilla saja tunangannya biasa saja, malah banyak ilfeel-nya.

"La, siapa ini? Kenapa nggak pernah cerita kalau kenal cowok seganteng membahana ini?" Fitri menarik-narik pakaian Lilla tanpa mengalihkan pandangan dari wajag ganteng Satria.

"Terima kasih untuk pujiannya, saya Satria, calon suami Lilla."

Hah?! Semua yang mendengarnya percaya tak percaya. Dia? Cowok ganteng itu adalah calon suami Lilla yang terkenal jomlo akut di kampus? Wah! Berita besar ini. Semua orang mulai membuat gosip terpanas. Tak lupa dengan foto Lilla dan si tampan yang dijadikan bukti gosipan mereka.

"La, beneran?!" Tiga sahabatnya bertanya seakan tak percaya, mengguncang tubuh Lilla.

What?! Lilla hanya membisu, menatap lelaki itu dengan tak suka.

Ajigile, si Satria memang kurang ajar! Lilla sampai dibuat tak bisa berkata-kata sekarang.

"Come on, Baby. Lama banget, sih kamu."

Satria mendekatinya, kontan Lilla mengelak. Menepis tangannya yang hendak meraihnya

"No! No! Mau ngapainnn?!"

"Kita shopping. Ayo ...."

"Nggak mau! Aaaaargh!"

Lilla kabur dari tempatnya, tapi Satria garcep, langsung menangkap tubuh Lilla dan menggendong paksa ke dalam mobil mewahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!