"Trisya mari kita bercerai! Rasanya hubungan kita sama sekali tak berguna, aku tidak bisa menumbuhkan rasa cinta untukmu. Jadi menurutku akan lebih baik jika pernikahan ini di akhiri!"
Kata-kata itu bak sebuah pukulan telak di hati Trisya, sekuat apa pun dia berpegang pada pernikahan ini, jika hanya dia sendiri yang ingin bertahan itu hanya akan sia-sia.
"Baiklah, mungkin sejak dulu seharusnya kita sudah mengakhiri pernikahan semu ini. Mari kita bercerai." Ucap Trisya dengan bibir bergetar, matanya nampak berair dia berjuang menahan air matanya agar tidak luruh.
***
Trisya terbangun perlahan, lagi-lagi cuplikan dari kejadian yang di alaminya masuk kedalam mimpi, membuat hatinya selalu saja di dera rasa was-was, apa lagi kini dia hendak kembali membina hubungan yang baru, dalam sebuah mahligai pernikahan. Dengan orang baru yang sejatinya tak dia kenali dari sikap mau pun sifat.
Lagi-lagi orang tua angkatnya memilihkan suami untuk Trisya, dan Trisya juga harus selalu berlapang dada dan menerima setiap laki-laki yang di pilihkan orang tuanya.
"Pah, bisakah aku menolak?" Pernah sekali Trisya mengajukan pertanyaan itu, namun malah jawaban menyakitkan yang Ia dapatkan.
"Kamu, kami besarkan bukan hanya untuk menjadi pajangan, setidaknya kamu bisa membantu kami terhindar dari kemiskinan." Sakit, ulu hati Trisya bagai di sayat. Jadi inilah arti dari keberadaannya di keluarga ini, mereka mengadopsi Trisya untuk tabungan di masa depan.
Bahkan saat Bryant menceraikannya, keluarganya seolah tak peduli, mereka malah mencarikan pasangan baru untuk Trisya, dan di sinilah Ia. Berdandan bak putri raja, berhiaskan gaun mewah nan indah, dengan perhiasan yang berkilau. Namun sejatinya, tak satu pun menjadi miliknya. Trisya bak sebuah boneka yang di dandani agar terlihat menarik dan laku di jual.
'Trisya, bahkan air mata mu pun sudah tidak ada artinya, mengapa kau harus menangis? Kau bagi mereka hanya sebuah aset untuk diperjual belikan.' batin Trisya bergumam.
Seorang pria, bertubuh tegap berisi datang memasuki ruangan, dengan di apit dua pengawal di masing-masing kiri dan kanannya.
Dia adalah Seamus Brown seorang pengusaha sukses di bidang transportasi dan jasa pengiriman barang. Dia pria berusia sekitar empat puluh lima tahunan, dia seorang perjaka tua yang sulit menikah. Namun, tak banyak yang tahu alasan sebenarnya dia tidak menikah, namun anehnya saat melihat Trisya justru dia sendiri yang mengajukan lamaran terhadap keluarga Trisya.
"Selamat datang Tuan Seamus, silahkan duduk!" Ucap Diego ayah angkatnya Trisya beramah tamah.
"Terima kasih Tuan Diego, apa sekarang mungkin seharusnya aku memanggilmu Ayah mertua?" Dia terkekeh pelan, namun tatapan matanya mengarah pada Trisya yang duduk tak jauh dari Ibunya, Margaret.
"Haha, anda bisa saja Tuan Seamus, sebetulnya sebuah panggilan seperti itu bagi kami tidaklah penting, benarkan Diego?!" Margaret meminta pendapat suaminya.
"Tentu saja," jawab Diego mengiakan, "bagi orang terhormat seperti anda sebutan seperti itu tidak di wajibkan."
Trisya mencengkram ujung gaun Salem selutut yang ia kenakan, tatapan Seamus membuat dia merasa tak nyaman. Meski dia seorang janda, namun dia masih suci. Dalam artian dia masih belum tersentuh sama sekali, selama dua bulan pernikahannya dengan Bryant tak sekali pun pria itu menyentuhnya. Bahkan saat Dia mengajukan perceraian pun Bryant tak mau menatap wajah Trisya. Mungkin karena pernikahan itu terjadi atas paksaan kedua orang tua mereka, jadi Bryant tak mau menerimanya.
Trisya dan Bryant nyaris tak pernah bertemu selama masa pernikahan mereka. Trisya selalu diam di kamarnya saat Bryant pulang, dan Bryant sendiri sibuk dengan dunianya sendiri, bekerja dan hangout bersama teman-tamannya, bermain di klub dan minum-minum sepanjang malam.
Saat dia pulang dia selalu mabuk berat dan mengatai Trisya banyak kata-kata kasar tanpa Ia sadari, membuat Trisya sakit hati dan memilih untuk menjalani hidup masing-masing, dia hanya akan keluar saat Bryant tak ada di rumah atau hanya sekedar membopongnya ke-kamar. Dan pada akhirnya Bryant sendiri yang ingin mengakhiri pernikahan yang tidak jelas arahnya ini.
Trisya beranjak dari tempat duduknya, "Mah, Pah, aku ijin ke-toilet dulu." Ujarnya berjalan setengah berlari.
Bruk...!!
Trisya menabrak seorang pria yang berjalan dari arah berlawanan dengannya, "ma-maafkan saya Tuan, sa-saya tidak sengaja." Trisya menunduk memberi hormat.
"Trisya, sedang apa kamu disini?" Tanya James teman dekat Bryant yang sering mengantarnya pulang.
Trisya mendongak menatap lawan bicaranya, "aku sedang ada urusan James, kalau begitu aku permisi dulu." Trisya langsung berlalu, dia tak ingin berada berlama-lama dengan Bryant. Sakit di hatinya acap kali muncul saat dia melihat wajah Bryant.
"Bro!" James menyikut perut Bryant yang diam terpaku menatap punggung Trisya yang perlahan menghilang di lorong menuju toilet.
"Dia Trisya, kan?" Tanyanya seolah tak percaya.
"Tentu saja, apa kau sudah lupa pada mantan Istrimu sendiri?" James terkekeh pelan.
"Bukannya aku lupa, tapi aku tidak mengenali wajahnya dengan jelas. Ternyata dia cukup cantik," James melongok mendengar ucapan Bryant.
"Hey Bro! Kemana saja matamu selama ini, dia memang cantik. Apa saat kalian tidur bersama kau tidak pernah melihat wajahnya," dia terkekeh tak percaya.
"Kami tidak pernah tidur bersama," ucap Bryant.
"Hah?! Kamu bercanda kan?!" James masih enggan percaya.
Bryant melempar tatapan kesal, "ayo bukankah kita akan minum sampai puas malam ini." Bryant mengalihkan perhatian, dia mengaitkan lengan di leher James.
"Tunggu, jelaskan dulu padaku." Pekiknya, dia berusaha melepas lengan Bryant dari lehernya.
Trisya, menatap wajahnya di cermin. Setelah bercerai, baru kali ini dia bertemu Bryant secara langsung, entah mengapa Trisya menangkap tatapan berbeda dari pria itu.
Trisya mencuci tangannya dan kembali merapikan penampilannya, dia lantas berjalan keluar dari toilet, tiba-tiba seseorang menarik lengannya membawanya ke sudut yang tak terjangkau oleh orang lain.
Mata Trisya melebar sempurna saat dia melihat siapa yang menekannya, "Tu-tuan Seamus, a-apa yang akan anda lakukan?"
"Aku sudah tidak tahan saat pertama kali melihatmu," ucapnya, matanya terfokus pada belahan dada Trisya, yang nampak menonjol dengan bentuk tak berubah masih seperti seorang gadis.
"Tu-tuan kita masih belum menikah, jadi tolong jangan bersikap begini." Trisya berusaha menghindar, namun dia tak bisa berbuat apa-apa karena lengannya di tekan oleh laki-laki itu, Seamus mulai mencium ceruk leher Trisya memaksanya menuruti apa yang Ia mau.
"Dasar bajingan!" Bhuk... Tiba-tiba tubuh Seamus di tarik seseorang dan di hajar seketika, membuat dia jatuh tersungkur ke lantai.
"Astaga!" Pekik Trisya.
"Kau sudah gila, kau berani memukulku?!" Seamus bangkit dengan wajah garang.
"Mengapa tidak, kau sudah berani bertindak kurang ajar di depan umum. Kau baik-baik saja Trisya?" Bryant memberi perhatian.
Trisya hanya mendelik, dia berjalan mendekat pada Seamus, "anda baik-baik saja Tuan Sam? Mari saya bantu anda berdiri." Trisya membantu Seamus bangkit kembali.
"Kau kenal dia?"
"Tidak!" Trisya mendelik pada Bryant.
Sam tersenyum smirk merasa puas dengan jawaban Trisya, "kau dengar calon Istriku tidak mengenalmu, dasar pecundang!" Seamus melingkarkan lengan di pinggang Trisya menandakan kepemilikan.
"Calon Istri?" Bryant nampak terkejut, dia menuntut jawaban pada Trisya.
"Benar, Trisya adalah calon Istriku. Bulan depan kami akan melangsungkan pernikahan, benar kan sayang." Sam mencium lengan Trisya meminta dukungan. Trisya membuang muka, namun dia tetap menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, selamat. Maaf, aku sudah salah faham, aku pikir Trisya akan di lecehkan, jika aku tahu kalian adalah pasangan aku tidak akan menggangu." Ucap Bryant dengan tangan mengepal kuat, entah mengapa hatinya saat ini merasa terbakar.
"Tidak masalah, tapi kau harus mengganti rugi untuk pengobatan wajahku yang lebam ini."
"Baiklah, berapa yang kau inginkan?"
"Sepuluh juta!" jawabnya.
"Kau gila, sepuluh juta hanya untuk luka yang tidak seberapa ini. Kau ingin memeras-ku," Bryant meninggikan suara, emosinya sedikit tersulut.
"Ganti rugi itu tidak seberapa di banding dengan luka yang ku dapatkan, juga kau telah mengganggu waktu berhargaku bersama calon Istriku, tercinta." Sam, mencium ujung rambut Trisya, membuat gadis itu melengos ke arah lain.
"Baiklah, aku akan mengirimkan uangnya ke akun-mu, sekarang aku tidak membawa uang cash." Bryant memberikan kartu namanya pada Sam, dia malas berlama-lama berada satu ruangan dengan Trisya dan kekasihnya, yang menurutnya lebih pantas menjadi pamannya.
Trisya melepaskan diri dari cengkeraman Sam, pria itu hanya tersenyum sebagai balasan.
"Dia mantan suamimu kan?" tubuh Trisya mengejang, matanya membola seketika. Diluar dugaan Sam ternyata tahu masa lalunya.
"A-anda sudah tahu bahwa saya sudah pernah menikah." Trisya menunduk takut.
"Kau pikir aku orang bodoh, aku tahu semuanya aku tidak akan sembarangan memilih wanita untuk aku nikahi." Ujarnya, sembari merapikan Jas yang Ia kenakan.
"Kalau begitu apa anda akan membatalkan pernikahan kita, karena saya sudah pernah menikah?" Trisya melontarkan pertanyaan itu berharap jawaban Sam sama seperti yang Ia harapkan.
"Tidak, kenapa aku harus membatalkan pernikahan kita. Justru, aku semakin tertarik untuk menikahi-mu setelah aku melihat siapa mantan suamimu." Ucapnya penuh misteri.
Trisya, menghela napas berat. Kedatangan Bryant semakin memperburuk kehidupannya, tentu saja siapa yang tidak kenal dengan keluarga Maverick keluarga yang cukup terkenal di kota Ini.
"Meski saya seorang janda sekali pun?" tambah Trisya.
"Memangnya kenapa, aku juga bukannya seorang perjaka. Usiaku juga sudah kepala empat."
'Jika kau sadar kau sudah kepala empat, kenapa kau tidak tahu malu dan mau menikahi wanita se-usiaku.' Keluh Trisya dalam hati.
"Sudahlah ayo kita kembali, orang tuamu pasti sudah menunggu kita."
......................
Trisya dan kedua orang tua angkatnya kini telah kembali ke-rumah, kedatangan mereka di sambut Alena anak kandung Diego dan Margaret.
"Mamah, Papah!" teriaknya senang. Alena Adalah anak kandung pasangan Diego dan Margaret, dia gadis berusia sepuluh tahun, dia cukup dekat dengan Trisya.
"Kak Trisya cantik banget, dari mana Kak? Ko gak ngajak aku?" keluhnya dengan wajah mematut.
"Kami ada urusan yang hanya bisa di hadiri orang dewasa, sayang. Jadi kamu gak boleh ikut." Margaret mengusap lembut kepala Alena.
"Pokonya, aku gak mau tahu, lain kali kalian harus ngajak aku Ikut serta, kalau enggak, aku gak mau makan." Alena merajuk.
"Iya, nanti Kak Trisya ajak Lena jalan-jalan ya. Sekarang udah malem, Lena bobok yuk, Kakak akan bacakan cerita." Tutur Trisya lembut, dia sangat menyayangi Alena seperti adik kandungnya sendiri.
Selepas mengganti pakaiannya, Trisya keluar menuju kamar Alena, di tengah perjalanan dia bertemu Margaret yang tengah menyandar ke dinding sembari menyesap sebatang rokok yang di apit di kedua jemarinya, "Bagaimana menurutmu Tuan Sam?" tanyanya.
"Dia sepertinya orang yang baik," jawab Trisya.
"Apa kau menyukainya?" Margaret kembali melempar pertanyaan.
"Apa jika aku mengatakan kalau aku tidak menyukainya, aku bisa menolak pernikahan ini?" Trisya membalas pertanyaan dengan pertanyaan.
"Kau tidak akan berani."
Trisya mendengus kasar, "maka aku tidak perlu menjawabnya." Dia berlalu, terdengar suara Margaret mengutuknya dari belakang, namun kata-kata seperti itu sudah tak asing di telinga Trisya, biarlah asalkan mereka tak berani melakukan kekerasan pisik semua itu tak dihiraukannya.
Klek...
Trisya membuka pintu kamar Alena, tampak gadis kecil itu sudah menunggunya sambil memeluk boneka beruang berwarna merah muda, "cerita apa yang Lena ingin Kakak bacakan?" tanya Trisya sembari memilah buku di lemari.
"Putri Salju, Kak!" ujarnya mengutarakan keinginannya.
Trisya mengangguk mengiakan.
Selepas menemani Alena hingga tertidur, Trisya kembali ke-kamarnya.
......................
Di tempat lain, Bryant, dia tengah menyesap gelas berisi wine di tangannya. Dia berdiri di depan dinding kaca menatap kosong suasana malam.
"Apa kau tidak ingin memanggil para wanita untuk menemanimu?" tanya James melirik ke arah Bryant.
"Tidak!" Jawabnya tegas.
James sendiri di temani dua orang wanita, di masing-masing kiri dan kanannya, ada yang memijatnya dan ada juga yang terus mengisi gelasnya dengan minuman.
"Kau masih memikirkan mantan Istrimu itu?" cibir James.
Bryant enggan menjawab, dia masih berdiri di posisi yang sama.
"Ayolah Bro! Kau sendiri yang mencampakkannya, biarkan dia menjalani hidupnya, untuk apa kau terus memikirkannya, mari kita bersenang-senang seperti biasa." James menenggak habis cairan di gelasnya.
"Kau sajalah, aku sedang tidak mood." Bryant malah meninggalkan James yang terus meneriakinya memintanya kembali.
Mobil Bryant berhenti di parkiran apartemen, tempat dulu dia dan Trisya tinggal. Apartemen yang sengaja dia beli agar Trisya tak harus tinggal di rumah pribadinya. Dia memasuki loby apartemen dan menunjukan kartu identitas pada penjaga, setelah itu Ia pun naik mengunakan lift menuju lantai atas tempat kamarnya berada.
Gelap, sunyi, senyap, menyambut kedatangan Bryant kala Ia memasuki ruangan tersebut, dia menyalakan lampu untuk menerangi pandangannya. Meski rumah ini sudah beberapa bulan tak di tempati, namun masih nampak terawat dengan baik, karena petugas kebersihan selalu datang secara berkala untuk membersikan rumah ini.
Bryant mengedarkan pandangan, dia melangkah menuju kamar yang dulu Trisya tinggali. Hal pertama yang Ia lihat adalah foto pernikahannya dengan Trisya, wanita itu tampak tersenyum sedang Bryant sendiri menatap ke arah lain.
'Apa yang aku rasakan ini?'
Ada sebuah getaran di hati Bryant, 'Apa aku jatuh hati padanya? Tidak, sepertinya itu tidak mungkin, sebelumnya aku bahkan tidak ingin melihat wajahnya.'
Bryant menepis semua pikiran yang timbul di otaknya, mana mungkin dia bisa jatuh cinta pada sosok Trisya, yang bahkan tak memiliki keistimewaan dalam segi mana pun, hanya saja memang dia cukup cantik saat tadi mereka bertemu.
Seharusnya aku tidak pernah jatuh cinta, cinta lebih memabukan di banding dengan sebotol wine. _ Bryant Maverick
...----------------...
'Aku benci dengan perasaan yang tiba-tiba hadir tanpa di minta. Aku benci pada diriku yang memutuskan perpisahan tanpa berpikir lebih dulu, Aku benci karena aku menyukai kamu yang sekarang.'
Bryant menyesap sebatang rokok sembari menatap hiruk pikuk kendaraan yang nampak dari lantai 15 apartemen tempat yang Ia pijak sekarang.
Entah mengapa rasa Rokok yang Ia sesap pun tak seperti biasanya, terasa pahit dan membuat dia terbatuk. Sial! otaknya selau mengarah pada Trisya, ingin rasanya Bryant bertemu kembali dengan sang mantan Istri yang entah sejak kapan menjadi tampak begitu cantik.
Bryant menginjak puntung rokok yang hanya tinggal seruas jari.
'Trisya, sepertinya aku telah jatuh cinta padamu.'
...----------------...
Trisya sudah duduk di depan meja rias dengan gaun putih panjang, dengan bagian atas yang hanya mencapai dada.
Rambutnya di sanggul dengan mahkota kecil di atasnya, serta jaring transparant yang ikut di pasang pula sebagai ciri khas seorang pengantin.
Trisya, menghela napas berat, saat ini adalah waktu terakhir dirinya melajang, setelah pernikahan ini dia harus mengabdi pada dia yang menjadi suaminya. Walau hati menolak, namun diri tak bisa mengatakan tidak.
'Kuatkan hatimu Trisya, mungkin ini memang sudah nasib yang digariskan Tuhan untukmu.'
Kriet...
Seseorang memasuki kamar rias Trisya, seorang pria bertubuh tinggi dengan penutup kepala. Trisya dapat melihat pantulan itu dari cermin di hadapannya.
"Siapa kamu?!" tanyanya sontak berdiri sambil menatap orang itu.
Pria itu mendekat, membuat Trisya memekik ketakutan, namun saat dia hendak berteriak, mulutnya di bekap seketika.
Emph...Emph...
Dia meronta, namun semakin lama pergerakannya semakin melemah, pandangan Trisya memudar seiring kesadarannya yang perlahan menghilang.
Aroma wangi tertangkap Indra penciuman Trisya, kesadarannya perlahan pulih. Dia beranjak duduk, pandangannya menelaah sekitar, tempat ini tampak familiar, cat serta perabotan dan yang pasti foto yang terpajang di dinding kamar.
Ini adalah apartemen tempat dia dan Bryant tinggal dulu.
"Kenapa aku bisa berada disini?" Trisya menatap pakaian yang Ia kenakan, "benar seharusnya aku menikah dengan Tuan Sam hari ini. Berarti ini bukan mimpi," gumamnya pelan.
"Kenapa sudah bangun, ayo tidur lagi." Suara itu muncul dari balkon, suara yang tak asing di rungu Trisya.
"Kenapa aku bisa disini?" tanya Trisya dengan tatapan sengit. Bryant masuk dengan botol minuman di tangannya, dia nampak mabuk berat.
"Kau berjalan dan tidak sengaja menyasar kemari, jadi aku membukakan pintu dan menyuruhmu tidur." Gumamnya kata-katanya sama sekali tidak menjawab apa pun, Trisya yakin dia di culik, tapi entah mengapa dia bisa berakhir di apartemen Bryant.
Trisya mendengus kasar, dia hendak beranjak turun dari ranjang, namun Bryant tiba-tiba mendekat dan mencondongkan tubuhnya, hingga jarak antara wajah Trisya dan Bryant hanya berjarak beberapa Inci. Bau alkohol menguar, menusuk hidung Trisya, pria ini benar-benar pemabuk berat.
"Minggir! Aku harus segera kembali, hari ini adalah acara pernikahanku," Trisya mendorong tubuh Bryant, namun dia tetap bergeming.
"Kau tidak boleh pergi!" Ucapnya.
"Kau tidak punya hak melarang-ku pergi, minggir!" Ucap Trisya setengah membentak.
Bryant mendorong tubuh Trisya hingga wanita itu jatuh terlentang di atas ranjang, Bryant menindihnya dan mengunci pergerakannya, "Lepaskan aku Bryant! Apa kau sudah gila?!" cicit Trisya, berusaha meronta sekuat tenaga.
"Kalau kau setuju untuk tidak pergi, maka aku akan melepaskanmu." Ujarnya, tatapannya sayu namun tajam.
"Aku harus pergi ke acara pernikahanku Bryant, calon suamiku pasti sudah menungguku." Trisya bersikukuh.
"Kau tidak boleh menikah dengan siapa pun, kecuali denganku." Ucapnya penuh penekanan.
Trisya tertawa sinis, "kau lupa, atau kau sudah tidak waras? Kau yang mencampakkan aku Bryant, kau yang ingin bercerai denganku, kau yang ingin berpisah dariku. Kau bilang, aku gadis jelek yang tidak menarik, aku bahkan bukan kriteria-mu dari ujung rambut sampai ujung kaki semuanya tidak ada yang menarik. Bahkan para wanita di rumah bordil pun jauh lebih menggairahkan di banding aku, itu yang kau katakan!"
Mulut Bryant seketika bungkam, dia tidak ingat kapan dia mengatakan hal menyakitkan itu pada Trisya, tapi sungguh itu bukanlah di sengaja, mungkin saat itu dia sedang tidak sadar karena mabuk.
"Jadi ku mohon menjauh-lah dari hidupku, kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, oke!" Jelas Trisya dengan nada kesal.
"Aku tidak ingat kapan aku mengatakan itu padamu, tapi sekarang aku ingin kembali rujuk denganmu, ayo kita mulai lagi pernikahan kita dari awal, kali ini aku janji aku tidak akan memperlakukanmu dengan buruk, aku akan berusaha menjadi suami yang baik." Kata-kata yang keluar dari mulut Bryant membuat Trisya terkejut, pria ini benar-benar sudah tidak waras.
"Maaf, aku tidak bisa!" Tolak Trisya sambil membuang muka.
"Kenapa, apa kurangnya aku? Aku kaya, tampan dan mapan. Kau ingin apa dariku, katakan, aku akan berusaha memenuhinya."
"Aku tidak ingin apa-apa, aku hanya ingin kehidupan yang jauh darimu, aku benci padamu Bryant!" ucap Trisya datar.
Bryant semakin menekan Trisya dengan tubuhnya, kali ini dia mulai mencumbu leher wanita itu.
"Apa yang kau lakukan, lepaskan aku, keparat!" Rutuk Trisya sambil terus meronta, dia benci di sentuh oleh pria yang sering bergonta-ganti wanita ini, perasaan jijik itu muncul kala bayangan Bryant yang tengah bermain dengan wanita lain muncul di otaknya.
"Lepaskan aku, dasar pria gila!" Trisya terus mendorong tubuh Bryant agar terlepas dari tubuhnya, namun bukannya terlepas dia malah semakin menekannya, tubuh Bryant yang dua kali lipat lebih besar membuat dia leluasa menindih tubuh mungil Trisya, yang hanya berbobot empat puluh lima kilo gram.
Semakin lama Bryant semakin liar, dia menjelajah ceruk leher Trisya dengan bibirnya, meninggalkan bekas-bekas cap kepemilikan di setiap yang Ia lewati. Walau mulutnya terus menolak, namun tidak dengan tubuhnya, tubuh Trisya seolah merespon setiap perlakuan Bryant padanya, membuat lenguhan pelan keluar dari bibirnya.
Rasa aneh muncul di benak Trisya, 'Tidak, apa yang kau pikirkan Trisya, kau tidak bisa memberikan dirimu pada pria sialan ini. Sadarlah Trisya, kau harus menolak!' batinnya bergumam.
Tanpa Ia sadari, kini Bryant telah menanggalkan seluruh pakaiannya dan beralih menarik pakaian Trisya dengan paksa.
"Tidak! Kau tidak bisa melakukan ini padaku!" teriaknya sambil terus mempertahankan pakaiannya agar tidak lepas dari tubuhnya.
Bryant tak menghiraukan perkataan Trisya, dia bahkan merobek seluruh pakaian Trisya hingga kini tubuh Trisya tak tertutup sehelai kain pun.
"Kau benar-benar keterlaluan Bryant! Sampai mati pun, aku tidak akan pernah memaafkan mu." Air mata Trisya luruh seketika, dia memejamkan mata kala tubuh bagian bawahnya di masuki secara paksa oleh benda keras milik Bryant.
Sakit dan perih dua kata itu yang bisa Trisya simpulkan. Miliknya yang masih sempit dan belum terjamah itu, di paksa di masuki tanpa ijinnya.
"Sialan kau Bryant, aku mengutuk-mu kau akan menjadi pria Impoten, seumur hidupmu!" Teriak Trisya dia tak terima dengan perlakuan Bryant terhadapnya.
Namun, Bryant tak menghiraukan perkataan Trisya, dia tetap fokus pada kegiatannya, dia mulai dengan gerakan memompa perlahan, erangan mulai muncul dari bibir Trisya, namun diiringi pekikan dan protes karena rasa sakit yang dia rasakan.
"Tahan sedikit, nanti juga rasanya akan berubah. Sekarang nikmati saja permainannya, jangan terus melawan, jika kau terus melawan rasanya akan semakin menyakitkan."
'Sial, aku tidak bisa melawan, apa aku hanya bisa menerima perlakuannya padaku? Aku benci diriku yang seperti ini, aku benci diriku yang menikmati sentuhan dan permainan pria sialan ini.'
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!