Bersama dengan Nina, Abi bergegas menuju rumah Kevin. Dia baru saja mendapatkan kabar kalau kondisi Kevin kembali drop. Sahabatnya itu sejak dua tahun lalu mengidap penyakit jantung. Terjadi penyempitan pada arteri koronernya. Arteri koroner berfungsi memasok darah ke otot jantung. Penyempitan ini menyebabkan jantung tidak bisa memompa dengan baik, karena pasokan darah yang berkurang. Setahun lalu Kevin sempat terkena serangan jantung, beruntung nyawanya masih bisa diselamatkan.
Saat Abi tiba, di sana sudah datang saudara dan para sahabatnya yang membawa serta pasangannya. Nina langsung menemui Rindu, yang tengah menangis, ditemani oleh Nadia, Sekar, Adinda dan Rayi. Rindu takut sesuatu terjadi pada suaminya, tadi Kevin sempat tak sadarkan diri.
Ravin, Freya, Viren dan Alisha juga sudah berkumpul di rumah bersama dengan anak-anak mereka. Freya dan Alisha duduk bersama dengan Rindu, sedang Ravin dan Viren berada di kamar, menemani ayahnya yang tengah diperiksa oleh dokter keluarga. Abi langsung bergabung dengan Juna, Cakra, Jojo dan Anfa.
“Bagaimana keadaan Kevin?” tanya Abi begitu mendudukkan diri di sofa.
“Kevin harus segera dioperasi. Kita tunggu saja apa kata dokter Arif,” terang Juna.
“Mudah-mudahan saja kondisinya tidak parah,” ujarAbi.
“Aamiin..” sahut yang lain.
Juna langsung berdiri ketika melihat dokter Arif keluar dari kamar. Ravin ikut keluar mengantarkan dokter keluarga tersebut, sedang Viren memilih tetap berada di kamar. Dokter Arif mendekati para sahabat Kevin yang berkumpul di ruang tengah.
“Bagaimana keadaannya, dok?” tanya Juna.
“Besok pak Kevin harus ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Saya sarankan untuk melakukan tindakan operasi. Nanti biar dokter yang bersangkutan yang menerangkan, operasi yang bagaimana cocoknya. Saya merekomendasikan pak Kevin dibawa ke rumah sakit Ibnu Sina saja. Dokter spesialis jantungnya sudah sangat terpercaya, dan juga dokter bedah jantungnya tidak diragukan lagi kredibilitasnya.”
“Tapi kondisinya sekarang sudah tidak bahaya kan, dok?” tanya Cakra.
“Alhamdulillah, sudah baikan. Jangan lupa, besok pagi langsung bawa ke rumah sakit.”
“Baiklah, dok. Terima kasih,” ujar Juna.
“Sama-sama. Saya permisi dulu.”
Dokter berusia lima puluh tahunan itu meninggalkan kediaman Kevin setelah mengatakan apa yang perlu disampaikan. Juna beserta yang lain segera menuju kamar Kevin. Nampak di ranjang, Rindu sudah duduk di samping kanan Kevin. Di samping kirinya, Dayana, anak dari Freya dan Ravin duduk sambil memeluk lengan Kevin. Di antara para cucunya, Dayana memang yang paling dekat. Mungkin karena sejak dalam kandungan, anak itu sudah sangat manja pada kakeknya.
“Gimana, Vin? Sudah baikan?” tanya Juna dengan nada cemas.
“Alhamdulillah, udah mendingan.”
“Kamu jangan nunda operasi lagi. Kamu ngga lihat gimana istri, anak dan cucumu ketakutan,” lanjut Juna lagi. Dia kesal karena Kevin sulit sekali disuruh operasi.
“Emang kenapa sih kamu nunda-nunda operasi? Ini kan buat kesehatan jantungmu juga,” sambung Abi.
“Benar kata Abi. Jangan ditunda lagi,” sahut Cakra.
“Pokoknya besok masuk rumah sakit, langsung aja daftar operasi,” timpal Jojo.
“Iya, bang. Benar kata yang lain. Emang abang ngga mau lihat cucu-cucu kita nikah?”
Ucapan Anfa membuat yang lain terdiam. Kevin tampak terdiam, merenungi perkataan para sahabatnya. Andai saja mereka tahu apa alasan dirinya selalu menunda operasi.
“Pokoknya besok, apapun kata dokter turutin aja. Kalau kamu harus segera dioperasi, jangan ditunda lagi,” tegas Juna.
“Tuh dengar apa kata kak Juna. Abang jangan nunda terus operasinya. Udah tua juga, masa masih takut masuk ruangan operasi.”
“Emang Kevin takut kenapa?” tanya Abi penasaran. Dia baru tahu kalau sahabatnya itu takut dengan ruang operasi.
“Dulu waktu bang Kevin masih SD kan pernah dioperasi amandel. Nah, begitu operasi mau dimulai, taunya dia bangun. Ngga tau kenapa obat biusnya ngga mempan. Pas dia buka mata, lihat dokter lagi pegang pisau bedah. Abang langsung teriak ketakutan, terus pingsan.”
Suasana hening sejenak begitu Rindu selesai menjelaskan. Mata Kevin membulat, sang istri dengan tenangnya membuka peristiwa memalukan tersebut. Tak lama berselang, gelak tawa langsung terdengar. Pria itu hanya mendengus kesal, sudah bisa memprediksi reaksi para sahabatnya.
“Hahaha.. kamu tahu dari mana Rin? Aku aja yang berteman puluhan tahun sama dia ngga tau,” tanya Juna sambil terus tertawa.
“Dari mama.”
“Ya ampun, pa. Jadi itu ternyata alasan papa selalu nunda-nunda operasi, karena takut sadar lagi abis dibius. Tenang aja, pa. Nanti aku wanti-wanti ke dokternya kasih dosis yang tepat,” ujar Ravin.
“Nanti aku juga minta ijin mama juga ikut ke dalam bentar deh, sampe papa tenang,” timpal Viren.
“Sekarang kamu istirahat aja, Vin.”
Usai mengatakan itu, Juna keluar dari kamar disusul oleh yang lainnya. Hanya Rindu dan Dayana saja yang masih bertahan di kamar. Para orang tua berkumpul di ruang tengah, sementara Ravin dan Viren memilih berkumpul di ruang makan bersama istri mereka.
“Firhan mana, bang?” tanya Viren pada Ravin. Firhan adalah anak kedua Ravin. Usianya 19 tahun dan masih kuliah mengambil jurusan perhotelan. Sepertinya Firhan mengikuti jejaknya bekerja di bidang perhotelan.
“Firhan lagi DW di hotel Arjuna. Katanya dia pengen ngerasain kaya gimana kerja di hotel.”
“Baguslah, udah mulai mandiri.”
“Alden gimana sekolahnya? Serius dia mau ambil jurusan hukum lulus sekolah nanti?”
“Serius, bang. Aku juga ngga tahu dapat ide dari mana itu anak mau ambil jurusan hukum.”
Alden adalah anak bungsunya. Dibanding saudara sepupunya yang kebanyakan mengambil manajemen, anak itu ingin kuliah di jurusan hukum. Saat ini Alden masih berada di bangku sekolah kelas 12.
“Kok jauh banget ya passionnya sama Vanila. Kalo Vanila pengen jadi chef,” celetuk Freya.
“Iya, kak. Beda anak, beda selera juga.”
“Ngga apa-apa. Yang penting mereka bertanggung jawab dengan pilihannya masing-masing,” ujar Ravin bijak.
“Kalau Dayana gimana kak?” tanya Alisha.
“Dayana kuliah ambil manajemen. Dia mau ikutin jejak opanya.”
“Akhirnya dari empat cucunya, ada juga yang mau ikutin jejak opanya,” tutup Viren yang disambut tawa lainnya.
Sementara itu di ruang tengah, perbincangan tak kalah seru juga tengah berlangsung. Mereka membicarakan rencana Kenzie yang akan menjalin kerjasama dengan Humanity Corp. Selain Kenzie, Ezra yang berencana membangun hotel dan resort mewah di Labuan Bajo, bermaksud menggaet Gala Corp sebagai partner bisnisnya. Reputasi Gala Corp di bidang perhotelan memang sudah tidak diragukan lagi.
“Selain dengan Humanity Corp. Kenzie juga mau menggaet Rakan Putra Group sebagai rekanan. Sudah dua tahun lalu, mereka memindahkan kantor pusatnya ke Bandung,” pungkas Abi.
“Pemilik Rakan Putra Group, Humanity Corp dan Gala Corp itu kabarnya bersahabat dekat,” sahut Cakra.
“Iya. Bukan sahabat lagi, sudah seperti saudara. Hubungan mereka tambah erat dengan pernikahan anak-anaknya. Ya ngga jauh seperti kitalah,” lanjut Juna.
“Aku pernah dua atau tiga kali bertemu dengan Irzal Ramadhan. Dia pebisnis yang hebat, humble dan sekarang menurun pada anaknya, Elang,” Abi mengenang pertemuannya beberapa tahun silam dengan Irzal, sebelum pria itu dipanggil Sang Maha Kuasa.
“Dokter Regan dan Ega juga sudah berpulang. Sekarang hanya tinggal anak-anaknya saja yang mengurus semua.”
“Keturunan mereka anak yang hebat. Di usia muda, mereka langsung diberi tanggung jawab besar. Aku dengar sepak terjang Elang, di usia muda dia berhasil membuat Humanity Corp menjadi salah satu perusahaan terbaik di Asia.”
“Rakan Putra Group sekarang Rakan yang pegang kendali. Dokter Reyhan sepertinya lebih fokus pada karirnya sebagai dokter bedah,” Cakra yang sedari tadi diam, kini mulai menimbrung.
“Namanya memang disesuaikan dengan nama anaknya atau nama anaknya disesuaikan dengan nama perusahaan?” timpal Jojo.
“Kabarnya, anak pertama dokter Regan namanya Rakan. Tapi anaknya meninggal saat masih kecil. Waktu dokter Regan mengambil alih perusahaan itu, dia menggantinya dengan nama Rakan Putra, sesuai nama anaknya. Dan dokter Reyhan menamakan anak sulungnya sama seperti almarhum kakaknya.”
“Oh seperti itu.”
Jojo hanya menganggukkan kepalanya saja. Dulu dia lebih banyak tinggal di Singapura, jadi tidak tahu menahu asal usul Rakan Putra Group. Saat itu Blue Sky dan Metro East sendiri baru berkembang, di saat Rakan Putra Group yang dulunya bernama Five Star Group sudah Berjaya di bawah kepemimpinan Beni Sasongko.
“Kabarnya Arsy coas di rumah sakit Ibnu Sina,” seru Juna.
“Iya. Sudah jalan setahun lebih, sekarang dia dirolling ke bagian IGD sampai masa coasnya selesai.”
“Arsy rencananya mau lanjut ambil spesialis?” tanya Juna.
“Rencananya begitu. Tapi dia masih bingung mau ambil apa.”
“Lebih baik ambil spesialis penyakit dalam. Biar ada yang memeriksa kita kalau ada yang sakit.”
“Sekarang juga dia sudah bisa periksa kalian. Farzan sebentar lagi lulus. Apa dia mau coas di Ibnu Sina juga?” tanya Abi pada Jojo. Cucu Jojo, anak pertama dari Barra sama seperti Arsy kuliah di kedokteran.
“Sepertinya begitu.”
“Ibnu Sina itu rumah sakit yang tidak perlu diragukan lagi. Standarnya sudah internasional dan banyak dijadikan rujukan dari luar kota bahkan terkenal pula di Asia Tenggara,” jelas Abi.
“Kabarnya keluarga besar Ramadhan yang menjadi pemegang sahamnya. Dokter Reyhan juga bekerja di sana. Tapi anehnya dia tidak mau terlibat langsung dalam kepemimpinan manajamen,” tutur Anfa.
“Mengurus Rakan Putra Group saja sudah cukup merepotkan. Apalagi dengan mengurus rumah sakit.”
Semua membenarkan apa yang dikatakan Cakra. Perbincangan terus berlangsung, bahkan mereka berandai-andai kalau cucu-cucunya akan melebarkan sayap, menikah di luar lingkaran mereka. Mungkin saja ada yang menyangkut dengan cucu-cucu dari keluarga besar Ramadhan.
🌸🌸🌸
Hai readers tercinta, mamake kembali nih dengan lanjutan kisah generasi Hikmat. Kali ini mereka akan kolaborasi dengan generasi Ramadhan. Ikuti terus ya kisah mereka. Semoga kalian suka🙏
Mobil yang dikemudikan Irzal berhenti di depan kediaman orang tuanya. Pria itu masuk ke dalam rumah seraya mengucapkan salam. Hanya asisten rumah tangganya saja yang menjawab salamnya. Sang ayah biasanya berada di ruang kerja pribadinya, dan bundanya sudah pasti menemani.
Di rumah ini hanya dirinya saja yang tinggal bersama orang tua. Kakak tertuanya, Aslan telah menikah dan dikaruniai dua orang anak. Aslan sudah tinggal terpisah sejak menikah. Kakak keduanya, Yumna juga sudah menikah dan dikaruniai dua orang anak. Dia juga tinggal terpisah di rumah yang sudah disiapkan sang suami.
Kini hanya tinggal dirinya di rumah ini menemani kedua orang tuanya. Setelah menikah nanti, dia akan tetap di rumah ini, meneruskan tugas ayahnya mengurus rumah warisan sang kakek. Irzal berjalan menuju lantai dua, di mana kamarnya berada. Sebenarnya Elang sudah menawari untuk tinggal di lantai tiga, tempat dulu Elang dan Azkia tinggal saat Irzal dan Poppy masih hidup. Namun Irzal menolaknya, dia akan menempati lantai tiga jika sudah memiliki pasangan tetap atau istri.
Usai membersihkan diri, Irzal kembali ke lantai bawah. Dia menuju dapur untuk mengambil minuman dingin. Kemudian melangkahkan kaki menuju ruang kenangan. Ruangan ini adalah ruangan favorit yang ada di rumahnya. Di ruangan ini terdapat dokumentasi keluarganya, dari mulai foto sampai video. Irzal biasa menghabiskan waktu di sini jika tengah merindukan kakek neneknya atau untuk melepas kepenatan.
Foto besar para uyutnya langsung terlihat ketika Irzal membuka pintu. Foto abi, umi, nenek Dewi dan kakek Surya terpajang di dinding yang menghadap pintu. Kemudian di sisi lain terdapat foto keluarga besar Ramadhan. Ada umi, Irzal, Poppy, Rena, Fahri, Dimas dan Sisil. Selain mereka ada juga anak umi yang lain, Regan, Sarah, Ega, Alea, Adit, Debby, Nino dan Kalila. Walau tidak ada hubungan darah, tetapi umi sangat menyayangi mereka.
Dari semua orang yang ada di foto tersebut, hanya Rena dan Dimas yang masih tersisa. Lainnya sudah berpulang ke Rahmatullah. Irzal lahir beberapa jam setelah nenek dan kakeknya meninggal dunia, selain Rena dan Dimas, satu-satunya anak umi yang diingatnya adalah Ega. Kakek Ega adalah orang yang ceria, dia selalu bisa membuatnya tersenyum dan tertawa. Ega banyak bercerita tentang kakek dan neneknya. Bagaimana mereka terhubung dengan Regan dan dirinya.
Irzal merebahkan tubuhnya di sofa bed yang ada di sana. Tubuhnya terasa begitu lelah. Setelah memantau jalannya leadership training yang diadakan kantornya, Irzal langsung ke rumah sakit, membawa temannya yang mengalami kecelakaan. Di tengah lamunannya, dia dikejutkan dengan suara pintu terbuka. Daffa, adik sepupunya masuk ke dalam dan langsung menghempaskan bokong ke sampingnya. Daffa adalah anak dari Ayunda dan Reyhan. Ayunda adalah adik ayahnya, sedang Reyhan anak bungsu Regan.
“Gimana keadaan Syamsul?” tanya Irzal.
“Syamsul siapa? Oh teman abang yang tadi kecelakaan?”
“Hmm..”
“Operasinya sukses, kondisinya juga stabil tapi masih dalam pemantauan. Dia masih dirawat di ruang ICU.”
“Syukurlah. Apa keluarganya sudah ada yang datang?”
“Kayanya udah, ngga tau orang tua atau pamannya. Itu ceritanya gimana sih, bang? Kok bisa ada bambu nancep di perutnya. Dia berantem atau gimana?”
“Bukan. Jadi tadi di jalan ada kecelakaan tunggal. Truk yang bawa bambu nabrak pohon. Saking kencangnya benturan, beberapa bambu ada yang lepas. Nah posisi Syamsul itu ada di belakang truk. Salah satu bambu yang lepas jatuh ke aspal dan potongan bambu mental kena perutnya.”
Daffa bergidik ngeri membayangkan peristiwa tersebut. Musibah memang tidak tahu kapan datangnya. Walau pun berhati-hati saat berkendara di jalan, tapi bisa saja orang lain ceroboh dan menyebabkan kita terkena imbasnya, seperti yang terjadi pada Syamsul.
“Abang emang lagi jalan sama dia atau gimana?”
“Gue lagi di sekitaran situ pas kejadian. Begitu dengar ada kecelakaan, langsung samperin TKP, ternyata korbannya teman gue. Kasihan, mana bininya lagi hamil.”
“Oh udah nikah?”
“Udah. Nikah enam bulan lalu, sekarang istrinya lagi hamil dua bulan.”
“Berarti udah laku ya dia, ngga kaya abang gue yang masih jomblo,” Daffa melirik pada Irzal.
“Biasa aja lihatnya. Sendirinya juga jomblo,” Irzal menoyor kepala Daffa.
“Gue jomblo karena pilihan hidup. Abang tau sendiri, yang mau sama gue tuh bejibun. Kalo disuruh ngantri, bisa sepanjang jalan layang Cikapayang. Tinggal tunjuk jari doang, gue bisa dapet pasangan.”
“Lebay.”
“Bukan lebay, emang kenyataan. Emang abang, kaga laku-laku. Makanya tuh muka jangan jutek-jutek napa. Lemesin dikit pake minyak jelantah hahaha…”
Irzal tak menanggapi ucapan adik sepupunya itu. Dia menyambar gelas yang ada di meja kemudian meneguknya sampai habis.
“Gue masih muda. Noh bang Rakan yang udah tuaan juga masih jomblo.”
“Tapi seenggaknya bang Rakan udah punya track record ama cewek. Beda ama abang, dari brojol sampe segede ini jomblo mulu.”
“BTW bang Rakan belum ada niatan cari pengganti Shafa? Masih belum move on atau gimana?”
“Bisa jadi sih, bang. Kan mba Shafa meninggal di pelukan bang Rakan, kebayang dong sedihnya. Walau udah ikhlas, tapi kayanya masih kebayang-bayang aja. Apalagi mba Shafa itu kan perfect lah di mata bang Rakan. Susah cari penggantinya.”
“Coba cariin cewek buat bang Rakan dari salah satu koleksi fans lo.”
“Ck.. gue sih ngga khawatir soal bang Rakan. Dia kan ramah, murah senyum, ngga kaya abang noh, sebelas dua belas sama bang Aqeel. Tapi masih mending bang Aqeel yang udah punya orang yang siap dilamar. Nah abang..”
“Ribet banget lo ngurusin hidup gue. Urus aja hidup lo sendiri.”
Suasana hening sejenak ketika keduanya fokus pada ponselnya. Baik Irzal maupun Daffa, sama-sama menerima pesan dari grup chat tempat kerjanya masing-masing. Setelah membalas pesan dari Arsy, Daffa kembali mengganggu kakak sepupunya.
“Eh bang, tau ngga coas yang tadi abang bentak siapa?”
“Siapa emang?”
“Namanya Arsyana. Masa sih abang ngga tau. Kan abang lagi ada proyek bareng sama Das Archipel, yang CEO nya Kenan Mahendra Hikmat.”
“Terus?”
“Nah Arsy itu keponakannya om Kenan. Bapaknya yang megang Metro East, Kenzie Nagendra.”
“Gue cuma butuh informasi soal perusahaannya, bukan silsilah keluarganya. Lagian emang kenapa?”
“Abang jangan bentak-bentak anak orang sembarangan. Kalau bapaknya dengar bisa ngamuk, apalagi kakeknya.”
“Orang cewek dongo gitu, pantes lah dibentak juga. Disuruh tekan luka malah diem aja. Udah tau darah terus ngalir dari luka Syamsul.”
“Namanya juga baru di IGD, bang. Dia baru dirolling seminggu yang lalu. Dia itu pinter, bang. Teman seangkatannya baru mulai coas, nah dia bentar lagi juga beres. Empat bulanan lagi lah. Gue juga dulu suka dibentak sama bang Aqeel pas baru masuk IGD. Tekanan di IGD tuh lebih besar,” tutur Daffa panjang lebar, namun Irzal terlihat tak acuh.
“Cewek buas gitu ngga cocok jadi dokter.”
“Dia buas sama cowok nyebelin kaya abang, hahaha…”
Irzal bangun dari duduknya sambil membawa gelasnya yang sudah kosong. Dia keluar dari ruangan lalu menuju dapur. Lebih baik mencari minuman dingin lagi, dari pada mendengar ocehan adik sepupunya.
🍁🍁🍁
Dengan membawa bingkisan berupa buah-buahan dan kue, Irzal memasuki gedung rumah sakit. Dia berniat mengunjungi Syamsul. Daffa mengabarkan kalau kondisi Syamsul membaik dan sekarang sudah dipindahkan ke ruang perawatan.
Sementara itu di IGD, Arsy baru saja mendapatkan kabar kalau sebentar lagi Kevin akan masuk ruang operasi. Akhirnya setelah melalui bujukan panjang kali lebar, pria itu memberanikan diri untuk dioperasi. Setelah tekanan darah dan kondisi lainnya normal, Kevin sudah diperbolehkan masuk ke ruang operasi. Rencananya sahabat dari kakeknya itu akan menjalani operasi bypass.
Dengan tergesa, Arsy meninggalkan ruang IGD. Dia menuju lift yang ada di lobi rumah sakit. Karena tak memperhatikan jalan, tidak sengaja gadis itu menabrak Irzal, hingga barang yang dibawanya terjatuh.
“Aduh.. maaf.. maaf..” ujar Arsy seraya membantu mengambilkan barang-barang yang terjatuh.
“Punya mata ngga sih!!” bentak Irzal.
Arsy segera berdiri setelah mengambilkan barang yang terjatuh. Dia terkejut melihat pria yang baru saja membentaknya adalah pria yang kemarin di IGD. Sontak emosinya langsung naik. Dengan kasar diserahkannya barang yang terjatuh ke tangan Irzal.
“Bukan aku ngga punya mata. Tapi kamu itu kaya makhluk astral yang keliatan. Dasar tukang ngomel!!”
“Apa kamu bilang?”
“Tukang ngomel! Budeg ya!! Itu kuping apa cantelan wajan?”
Rahang Irzal mengeras mendengar ucapan Arsy. Pria itu menatap tajam pada gadis yang wajahnya mirip artis Korea. Dan Arsy pun membalas tatapannya tak kalah tajam. Netra keduanya seperti mengeluarkan kilatan cahaya disertai aliran listrik.
🍁🍁🍁
**Masih pagi jangan ribut. Awas jangan kelewatan bencinya ya, tar kaya Tili ke Adrian😜
Biar lebih lengkap menghalunya, nih mamake kasih visualnya. Sekali lagi, ini visual versi diriku, yg ngga suka, silahkan cari visual lain yang lebih cocok🙏
Arsy, jangan tertipu dengan wajah cantiknya. Doi galak aslinya🤭**
Irzal, turunan beruang kutub ini seneng banget bikin orang emoji.
Rahang Irzal mengeras mendengar ucapan Arsy. Pria itu menatap tajam pada gadis yang wajahnya mirip artis Korea. Dan Arsy pun membalas tatapannya tak kalah tajam. Netra keduanya seperti mengeluarkan kilatan cahaya disertai aliran listrik.
“Arsy..”
Acara pandang-pandangan yang jauh dari kata mesra itu berakhir ketika terdengar sebuah suara memanggil gadis tersebut. Arsy menolehkan kepalanya, dan ternyata sang paman yang memanggil. Arsy bergegas menghampiri Kenan.
“Kenapa sayang?” tanya Kenan seraya membelai puncak kepala keponakannya.
“Itu ada cowok nyebelin. Amit-amit deh.”
“Siapa?”
“Tuh,” Arsy menunjuk dengan dagunya. Mata Kenan langsung tertuju pada Irzal yang sedang merapihkan barang bawaannya. Pria itu kemudian melangkah ke arah mereka, tujuannya adalah lift yang ada di belakang Kenan.
“Irzal..” sapa Kenan.
“Oh om Kenan,” Irzal segera menyalami Kenan. Salah satu rekan bisnis Humanity Corp.
“Sedang apa di sini?” tanya Kenan seraya melihat bingkisan di tangan Irzal.
“Menjenguk teman saya, om. Kemarin dia kecelakaan. Om sendiri sedang apa?”
“Mau melihat om Kevin. Hari ini dia menjalani operasi bypass.”
Irzal hanya manggut-manggut saja. Dia tidak kenal Kevin, mungkin saja ayahnya kenal. Kevin pasti bagian dari keluarga Hikmat juga.
“Oh ya, kenalkan ini keponakan om, Arsy. Arsy, kenalkan ini Irzal, dia salah satu rekan bisnis daddy,” lanjut Kenan. Semua anak Kenzie memang memanggil Kenan dengan sebutan daddy.
Dengan perasaan enggan Arsy mengulurkan tangannya pada Irzal. Pria itu tak langsung membalas uluran tangannya. Irzal memandangi saja tangan Arsy yang masih menggantung, seakan tengah meneliti apakah ada kuman atau bakteri berbahaya di sana. Lalu barulah dia membalas uluran tangan Arsy. Namun hanya menempelkan telapak tangan saja sebentar tanpa menjabatnya.
Arsy karuan bertambah keki. Kalau bisa ingin langsung diberi tendangan kungfu shaolin saja pria di depannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu segera masuk ke dalam lift. Kenan dan Irzal menyusul masuk dan berdiri mengapit sang gadis. Arsy merapatkan tubuhnya pada Kenan, lalu memeluk lengan pamannya itu.
“Kamu ngapain nempel-nempel gini kaya ulet bulu,” goda Kenan.
“Aku ngga mau deket-deket tuh cowok gila, takut keturalan rabies,” bisik Arsy tapi masih bisa tertangkap oleh Irzal.
“Hahahaha…” Kenan tak dapat menahan tawanya.
Lift berhenti di lantai empat, Kenan dan Arsy bersiap untuk keluar. Kenan melihat pada Irzal sebentar sebelum keluar.
“Duluan, Zal..”
“Silahkan om. Hati-hati om, nanti badannya gatal-gatal,” balas Irzal.
Arsy yang semakin kesal dengan sikap dan kata-kata Irzal, hendak melabraknya, namun Kenan dengan cepat menyeret keponakannya itu keluar dari lift.
“Dasar cowok rese!” teriak Arsy begitu keluar dari lift sambil menatap dengan wajah garangnya. Irzal membalas tatapan Arsy tanpa berkedip, lengkap dengan ekspresi dinginnya.
“Arsy.. udah,” Kenan mencoba menenangkan keponakannya ini.
“Dia itu rese banget, dad. Nyebelin abis, kemarin dia maki-maki aku di IGD katanya aku ngga becus kerja. Pengen kurobek aja tuh mulutnya,” ujar Arsy berapi-api.
“Kenapa Sy?” Arsy langsung terdiam begitu mendengar suara sang ayah.
“Arsy habis ketemu musuh bebuyutan. Coba deh abang nasehatin, jangan marah-marah terus. Tar jadi musuh di atas kasur kan berabe, hahaha..”
Dengan santai Kenan meninggalkan sang keponakan yang tengah menatapnya kesal. Kenzie menghampiri putri satu-satunya. Sambil merangkul gadis itu, dia berjalan menuju ruang tunggu operasi. Di sana semua Kevin sudah berkumpul, termasuk kedua orang tuanya. Arsy langsung mendudukkan diri di samping Abi.
“Kakek..” panggil Arsy lalu langsung memeluk lengan Abi.
“Kenapa?”
“Pulau Rinca masih kosong kan? Aku mau kirim orang ke sana.”
“Siapa?”
“Orang rese, mulutnya nyebelin, kalo ngomong bikin naik darah.”
“Kaya elo dong hahaha…” celetuk Zar yang langsung dibalas pelototan adik kembarnya.
“Siapa maksud kamu?” tanya Abi seraya mengusap puncak kepala cucunya.
“Irzal, pa. Anaknya Elang Ramadhan,” jawab Kenan.
“Irzal yang lagi garap proyek kerjasama denganmu?”
“Iya, pa.”
“Loh anak baik itu. Selain pintar, baik, sering membantu sesama, bertanggung jawab dan yang penting soleh. Semua kualifikasi sebagai menantu ada di dia.”
“Dih.. baik apaan. Yang ada tuh mulut udah kaya mercon.”
“Ya cocok ama elo. Mercon ketemu bon cabe hahaha…” Zar kembali tergelak.
“Sudah.. sudah.. sudah..”
Abi langsung melerai cucu kembarnya. Kalau dibiarkan, maka perdebatan tidak akan pernah berakhir. Arsy yang mudah tersulut emosinya, dan Zar yang senang mengganggu adik kembarnya.
“Sy.. kira-kira operasi berapa lama?” tanya Zar.
“Antara 3 sampe 6 jam. Tergantung kondisi pasien juga. Karena opa udah tua, proses operasinya mungkin agak lama.”
“Kalau gitu aku ke kampus dulu, kek. Ambil tugas aja. Abis itu aku ke sini lagi,” Zar meminta ijin pada sang kakek.
“Iya, boleh Zar.”
“Papa sama mama juga istirahat dulu di kamar. Aku udah booking kamar buat kalian istirahat. Buat ayah, papi, pipi sama papaJo juga,” Kenzie melihat pada ayahnya.
Awalnya tidak ada yang mau mengikuti saran Kenzie. Tapi kemudian mereka mau juga, setelah Arsy dan Dayana ikut membujuk. Kenzie langsung mengantarkan para orang tua itu menuju lantai teratas gedung rumah sakit ini. Di sana kamar VIP yang dipesan Kenzie, sudah disiapkan pihak rumah sakit.
Di ruang tunggu operasi, hanya tersisa Kenan, Ravin, Freya, Viren, Alisha, Arsy dan Dayana. Arsy berpindah tempat ke samping adik sepupunya. Dayana memilih absen kuliah demi menunggui opanya menjalani operasi.
“Sy.. lo tau ngga siapa dokter yang operasi opa?” Dayana membuka percakapan.
“Ehmm… kalo ngga salah dokter Rafa.”
“Masih muda ya? Tadi gue lihat, pas dia masuk ruang operasi.”
“Kalau buat ukuran dokter spesialis bedah jantung, iya.. masih muda. Kalau ngga salah umurnya 30 apa 31 tahun.”
“Emang bagus? Ngga ada dokter senior gitu?”
“We jangan salah. Dokter Rafa itu termasuk salah satu dokter bedah jantung terbaik di sini. Sebenarnya dia ditawarin kerja di rumah sakit di Singapura, tapi ditolak. Padahal dari gaji besar di sana pastinya.”
“Oh gitu. Jadi aman ya, opa dioperasi sama dia?”
“In Syaa Allah. Dan satu lagi..” Arsy sengaja menggantung kalimatnya, agar Dayana penasaran.
“Apa?”
“Dokter Rafa itu ganteng hihihi..”
“Masa? Tadi dia pake masker, jadinya ngga tau mukanya gimana.”
“Nanti aja lihat kalo ngga percaya. Banyak dokter sama suster yang ngeceng doi.”
“Jangan-jangan termasuk elo.”
“Sembarangan. Ketuaan kalo buat gue. Kalo gue senangnya yang masih mudaan dikit lah.”
“Siapa? Ayo ngaku.”
“Ada deh… ngga akan gue kasih tau tar lo ikutan naksir, hahaha..”
“Dih.. gaje lo.”
Arsy hanya tertawa saja melihat reaksi kesal Dayana. Senyumnya mengembang begitu mengingat dokter yang sudah menawan hatinya semenjak dirinya menjadi coas di sini. Tapi kemudian senyumnya hilang begitu bayangan Irzal melintas. Pria menyebalkan yang selalu membuatnya kesal.
🌸🌸🌸
Mobil yang dikendarai Zar berbelok memasuki pelataran parkir kampus, tempatnya menimba ilmu selama ini. Setelah menyelesaikan studi S1, dia langsung melanjutkan ke jenjang S2, dengan mengambil jurusan yang sama, manajemen bisnis. Sambil melanjutkan kuliah, Zar juga mulai diperbantukan di perusahaan. Pemuda itu merintis karir sebagai asisten manajer di divisi marketing.
Zar melepas kacamata hitamnya lalu menaruhnya ke dashboard. Setelah mematikan mesin dan melepaskan sabuk pengaman, dia turun dari mobil. Sambil berjalan, dia mengarahkan remote ke bodi mobil untuk menguncinya. Dengan langkah santai pemuda itu berjalan menuju gedung fakultas.
BRUK
Di depan gedung, tanpa sengaja Zar bertabrakan dengan seorang gadis. Dia langsung berinisiatif mengambilkan barang-barang gadis itu yang terjatuh lalu mengembalikan pada sang empu. Tak lupa sebuah senyuman manis dilemparkan pemuda itu. Setelah menerima barangnya yang terjatuh dari Zar, gadis itu langsung berlalu seraya mengucapkan terima kasih dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar.
Zar memutar kepalanya, mengikuti pergerakan gadis itu. Gadis yang cantik, itu yang ada di benak Zar. Sayang, sang gadis sama sekali tak bereaksi apapun ketika bertemu dengannya. Dan hal tersebut sukses membuatnya penasaran. Biasanya tidak ada gadis di kampus ini yang mengabaikannya jika berpapasan seperti tadi.
Siapa tuh cewek? Cantik juga.. Tipe jinak-jinak merpati nih..
🌸🌸🌸
Siapa Zar? Tumben mau ngejar cewek, biasanya dikejar cewek, kok tebolak sekarang???
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!