NovelToon NovelToon

Dewa Love You

Berburu Aprodhite

Hai kak, ini spin off dari Bad Boy in Love dan Musim Bercinta ya! Kuy move on dari Elang dan Nindya, karena kita akan berpetualang bersama Dewa!

Baiklah, mari kita tes kompas dulu! Perhatikan arah mata angin sebelum tersesat!

*

*

*

"Hai cantik … mau pulang bareng?"

Motor Dewa berhenti tepat di samping gadis seksi yang sedang berjalan gemulai keluar kampus. Merasa diabaikan, Dewa sengaja memajukan motornya, sedikit mencegat agar gadis itu memperhatikan dirinya.

"Terima kasih," jawab gadis itu ketus, menghindari motor yang hampir menghalangi langkahnya. Tanpa menoleh sedikitpun pada pemuda yang menyapanya.

Langkah kakinya tak berhenti. Bagi sang gadis, menanggapi pemuda sejenis Dewa tidak ada dalam daftar kegiatannya. Terlalu banyak yang seperti itu, hanya membuang-buang waktu saja jika dilayani.

"Vi, kamu lupa sama aku?" tanya Dewa. Gadis itu melewatinya tanpa menoleh, sungguh suatu penghinaan besar. Mau tidak mau Dewa harus bersikap sok dekat. Padahal, kenal saja belum.

Apa yang sedang dilakukan Dewa sekarang tak lebih dari sebuah misi taruhan. Dan kalah di depan bukanlah hal yang lucu, tapi memalukan.

Vivian menoleh sejenak, bukan pada orangnya, tapi pada motor gede yang dikendarai pemuda tersebut. Meski sudah dimodifikasi sedemikian rupa tapi Vivian mengenali plat nomor dan logo organisasi bergambar pemanjat tebing dalam stiker kecil yang menempel di salah satu body motor.

"Yang kamu pakai ini motor Elang?" tanya Vivian mengangkat wajah, mengamati pemuda jangkung yang tersenyum manis padanya.

Sial! Dewa mengumpati kakaknya dalam hati. Bagaimana tidak? Elang populer di kampus bukan hanya namanya saja, tapi sampai kendaraannya! Gila!

"Ehm … iya ini motor Elang, kamu mau pulang bareng aku?" Dengan suara serak seksi, Dewa kembali mencoba keberuntungannya. Barangkali kalau dia menjual nama kakaknya, Vivian bisa takluk padanya.

Siapa yang tidak ingin menang taruhan? Hadiahnya Dewa akan mendapatkan banyak uang untuk modifikasi motornya. Lebih keren lagi bisa kencan dengan bidadari kampus sebagai bonus perjuangan.

Bidadari? Bisa dibilang Vivian lebih cocok disebut Aphrodite, yang dalam mitologi Yunani adalah wanita yang memiliki pesona luar biasa untuk memikat pria.

Tidak ada yang menyangkal kebenaran itu, tak terkecuali Dewa. Vivian memiliki tubuh yang matang, padat dan menggoda, menonjol di bagian yang tepat. Pria akan berfantasi lebih dari sekedar kata gila pada keseksian hakiki tersebut.

Tanpa banyak bertanya, Vivian naik ke atas boncengan dengan seulas senyum centil. Entah apa yang direncanakannya terhadap pemuda yang mengendarai moge milik kekasihnya itu.

Ups! Itu kalau dia masih dianggap sebagai kekasih oleh Elang. Pemuda berwajah casanova itu mencampakkannya seperti barang yang sudah tidak lagi berguna setelah menikmati tubuhnya. Dasar bajingan!

"Mau langsung pulang apa makan dulu?" tanya Dewa setengah menegakkan badan agar Vivian yang ada di belakangnya bisa mendengar pertanyaannya dengan jelas.

Bagi Dewa, mengantar pulang itu hal mudah. Vivian sudah ada di atas motornya, hanya tinggal melaju dan misi selesai. Tapi jelas kurang seru, karena pendekatannya pada gadis itu penuh maksud terselubung.

Ah, club motor yang baru saja diikutinya memiliki andil besar dalam petualangannya kali ini. Gara-gara ide ketua club, dia jadi harus bersaing ketat dengan tiga pemuda lain untuk mengejar Vivian.

Darah mudanya bergejolak saat tantangan diberikan, dan mereka berempat sepakat semua dilakukan hanya untuk senang-senang. Toh hadiahnya memang menggiurkan bagi bikers pemula seperti Dewa.

"Terserah kamu, tapi aku nggak mau makan berat!"

"Baiklah, kita nongkrong di coffee shop sebentar ya! Kamu pasti penasaran sama aku!" ujar Dewa percaya diri.

Cih, Vivian tidak begitu peduli dengan pemuda yang ada di depannya. Tapi meskipun begitu, tangannya tetap berpegangan seolah mereka adalah pasangan kekasih. Selama informasi akurat tentang Elang bisa Vivian dapatkan, memeluk Dewa dari belakang seperti itu bukankah hal yang memberatkan.

Lagi pula memanfaatkan mereka yang tertarik padanya salahnya dimana? Toh kecantikannya juga dimanfaatkan salah satu pemuda paling diminati di kampus hanya untuk melepaskan hormon lelaki yang dirasa kelebihan.

Dewa memilih tempat terbuka untuk mengobrol dengan Vivian. Kebetulan coffee shop juga sedang tidak ramai pengunjung, jadi mereka bebas memilih tempat duduk.

Satu poin dikantongi Dewa karena sudah berhasil mengajak Vivian ikut bersamanya. Artinya dia orang pertama dari beberapa pemuda yang ikut taruhan yang tidak ditolak Vivian mentah-mentah di hari pertama perburuan.

"Mau minum apa, Vi?" Dewa menyodorkan buku menu yang diberikan pelayan pada gadis yang memandanginya terang-terangan setelah mereka duduk berhadapan.

"Jus jeruk gula dikit …," ujar Vivian. Dia juga menyebutkan beberapa pesanan lainnya karena Dewa meminta sekalian dipilihkan.

"Dari mana kamu tau namaku? Kita sebelumnya nggak pernah kenal, kan? Kamu sudah berbohong dari sejak awal pertemuan!" Vivian langsung mencerca Dewa begitu pelayan meninggalkan meja mereka.

"Aku rasa kamu cukup terkenal di kampus, jadi wajar aja kalau orang yang nggak kamu kenal pun bisa tau nama kamu. Aku anak sipil semester empat, namaku Dewa!"

"Oke, karena kita hanya selisih satu tahun aku nggak mau panggil kamu dengan sebutan kak, kamu pasti sudah tau kalau aku masih semester dua," kata Vivian dengan nada setengah bertanya, setengahnya lagi hanya memberikan pernyataan.

Dewa mengangguk sembari tertawa kecil. "Itu lebih baik, aku juga risih dengan panggilan yang membuatku kelihatan lebih tua dari kamu!"

Entah bagaimana ceritanya dia bisa melewatkan sosok Vivian selama satu semester? Padahal Vivian sangat terkenal, masuk dalam jajaran primadona incaran kadal kampus.

Tentu saja Vivian lewat dari pantauannya, karena saat mahasiswa baru masuk kampus, Dewa sibuk dengan pacar cantiknya yang bernama Anggrek. Gadis yang akhirnya memutuskan hubungan dengannya karena alasan tidak bisa menahan cemburu.

"Kamu kok bisa bawa motor kak El?" tanya Vivian lebih lanjut setelah berbasa-basi ringan.

"Kami bertukar kendaraan untuk sementara! Kamu kenal ya sama Elang sampai hafal bener sama motornya?"

"Ya pasti kenal, orang satu jurusan, aku penyuka motor gede dan secara kebetulan kak El pernah nganterin aku pulang!"

Sial! Ternyata Vivian sudah pernah naik motor yang dipakainya bersama Elang. Dia benar-benar tidak update dengan gadis-gadis kakaknya. Alasannya klise saja, sebagai adik yang baik, Dewa memang tidak suka ikut campur urusan Elang.

Dewa berpikir sejenak setelah mendengar penuturan Vivian. Ada sedikit keraguan untuk melanjutkan mendekati si Aprodhite. Bisa jadi, gadis di depannya adalah salah satu koleksi Elang!

Tapi … kakaknya yang brengsek itu sekarang sedang fokus dengan satu wanita, satu wanita saja yaitu dosen pembimbingnya. Jadi, sepertinya Vivian bukan siapa-siapanya Elang. Semoga saja.

Misal nanti fakta berbicara lain mengenai gadis itu, Dewa tinggal menjelaskan pada Elang kalau dia sedang terlibat taruhan. Tidak ada maksud untuk menikung apalagi merebut Vivian dari kuasa kakaknya. Masalah selesai.

"Oh jadi gitu ceritanya!" Dewa manggut-manggut dengan seulas senyum manis.

"Iya, dulu cowokku juga pakai moge, kamu sedikit mengingatkanku padanya," tukas Vivian sumringah.

Mata Vivian tak berhenti memperhatikan wajah Dewa, mencari korelasi yang mungkin ada di gurat-gurat antara dua anak manusia. Vivian ingin mencoba menebak apakah Dewa dan Elang bersaudara.

Elang dan Dewa sama sekali tidak memiliki kemiripan. Baik warna kulit maupun bentuk wajah. Elang tampan sebagai atlet panjat dinding dengan pesona casanova, sementara Dewa … tampan dengan pesona bikers berwajah innocent.

Meski tampilannya berantakan ala bad boy, tapi wajah polosnya yang seolah tanpa dosa tidak bisa dibuang dari sosok Dewa. Cute yang menggemaskan, itu yang banyak dibicarakan para gadis saat menggunjingnya di belakang.

"Alasan itu yang menyebabkan kamu suka naik moge?" tebak Dewa.

"Hm." Vivian mengangguk, "Kamu ikut mapala juga kayak kak El?"

"Nggak," jawab Dewa cepat.

"Trus kamu bisa barter kendaraan gimana ceritanya? Hal begitu bisa dilakukan kalau kalian memiliki persahabatan yang dekat atau ada hubungan saudara, kan? Setau aku temen-temen deket kak El itu anak-anak mapala!"

Dewa tidak mungkin berkelit, bohong satu kali masih bisa dimaafkan, tapi kalau terus berbohong … Vivian tidak akan percaya padanya. Endingnya dia tidak akan pernah bisa mendapatkan gadis itu.

Dan … Dewa harus kalah taruhan? No! Never!

"Aku adiknya Elang, dia itu kakakku!"

***

Semulus Paha Aprodhite

Vivian memasang senyum paling memikat saat mendengar pengakuan Dewa. Sepertinya cupid memang sedang berpihak padanya. Buktinya, jalan menuju Elang selalu saja ada di depannya. Bukankah itu artinya mereka sebenarnya ditakdirkan bersama?

"Masa sih? Kok aku nggak pernah tau ya kalau kak El punya adik?" tanya Vivian dengan kerlingan menggoda. Dia merasa mendapatkan banyak keberuntungan hari ini, bagai bebek beranak sembilan.

"Kamu pernah tanya sama mas Elang?"

"Idih sekarang manggilnya pake mas …?" Vivian mencebik lucu.

Dewa nyengir, "Kebiasaan di rumah manggilnya gitu!"

"Aku emang nggak pernah tanya soal pribadi sih, salahku juga!" Vivian mengaduk-aduk minumannya sambil tidak berhenti memperhatikan Dewa. "Gimana kabar mas Elang?"

"Nah sekarang kamu yang ikutan manggil mas! Kamu kan satu jurusan, pasti tau kabarnya tanpa aku beritahu," jawab Dewa enteng.

Vivian menjelaskan, "Kayaknya dia sibuk sama penelitian! Semedi di laboratorium tiap hari, kalau nggak gitu ya ke lapangan ambil data. Jarang ketemu sih sekarang, nggak kayak dulu."

"Ngomong-ngomong kamu nemenin makan siang begini ada yang marah nggak?" tanya Dewa. Sekaligus memastikan kalau Vivian tidak sedang terlibat hubungan dengan kakaknya. Bersaing dengan pemuda lain tidak begitu masalah bagi Dewa, tapi jika bersaing dengan Elang bisa dibilang suatu kemustahilan.

Vivian mengernyit, "Maksudnya?"

"Pacar … maksudku pacar kamu!" Dewa menaikkan alis bergantian, menahan tawa jenakanya.

"Oh itu, aku lagi sendiri. Kalau ada pacar ngapain aku pulang bareng kamu?"

Dewa tersenyum lebar, "Bisa aja doi lagi nggak bisa jemput, kan? Lagi sibuk maksudnya!"

"Kamu nggak percaya?"

"Bukan begitu, Vi! Kamu terlalu cantik untuk nggak punya pacar …!" Dewa memasang sedikit jebakan untuk mendapatkan kepastian.

"Aku tadi belum bilang kalau aku baru putus?"

Dewa meringis, "Aku cuma memastikan nggak ada yang nyegat aku pulang setelah makan siang bareng kamu!"

Vivian tertawa renyah, tidak tersinggung. Dia memang sengaja memakan umpan Dewa agar bisa masuk dalam jebakan.

"Aman, Wa!"

Obrolan berlanjut sampai satu jam berikutnya, membahas hal-hal ringan seputar kampus dan kegiatan masing-masing. Dengan janji bahwa mereka akan bertemu lagi untuk menghabiskan waktu bersama.

Ah, jalan Dewa mendekati Vivian ternyata selancar jalan tol, semulus paha si Aprodhite. Nama kakaknya menjadi magnet tersendiri bagi Vivian untuk mau menerima tawaran kencannya. Jackpot. Hadiah uang taruhan ada di tangannya. Modifikasi gratis di bengkel ketua club ada di depan mata. Dewa bahkan sudah membayangkan knalpot racing mahal untuk mogenya, ups … moge kakaknya.

Memacari Vivian dalam rentang waktu tiga bulan sudah kelihatan jalannya. Dan jika syarat itu terpenuhi, kemenangannya benar-benar dianggap sah. Dewa sudah tidak sabar menggenapi tiga bulannya dengan banyak berkencan dengan Vivian, tiga kawannya yang terlibat taruhan tidak akan Dewa berikan kesempatan.

Selain itu, Vivian adalah bonus kemenangan dan bonus harus benar-benar dinikmati sebelum masing-masing menunjukkan rasa bosan. Astaga!

Dewa pulang ke rumah setelah mengantar Vivian. Tidak mampir kemana-mana lagi karena jadwalnya lumayan padat di hari Sabtu. Sore ini dia memiliki tugas yang diembankan Elang padanya, yaitu menemani Mayra malam mingguan.

Aneh memang, Mayra adalah wanita yang diharapkan akan mendampingi Elang di masa depan, atau mudahnya sebut saja cewek itu adalah calon kakak ipar bagi Dewa. Namun, kakaknya yang super playboy itu dengan sintingnya berbagi tugas dengannya untuk menjaga Mayra. Menjaga dalam arti yang sesungguhnya. Hanya menjaga tanpa melakukan apa-apa.

Kadang Dewa tak habis pikir kenapa Elang bersikap demikian baik dan protektif pada Mayra, tanpa mau repot memacarinya. Elang justru sibuk dengan gadis-gadis lain meski Mayralah yang paling setia menunggunya.

"Kamu udah telepon Mayra?" tanya Elang begitu Dewa melintas di depan kamarnya.

"Udah, nanti aku jemput habis magrib!"

"Oh oke, sini kunci motornya, aku mau keluar bentar lagi!"

Dewa menjawab cengengesan, "Mas Elang pakai mobil aja, aku masih butuh motornya buat nanti malam!"

"Bukannya kamu mau keluar sama Mayra? Dia nggak nyaman naik motor, Wa!"

"Aku mau ajak dia kopdar sama anak bikers. Kami udah sepakat dari minggu kemarin, dia nggak keberatan sama sekali naik motor!"

"Kamu mau ngajak Mayra nongkrong di pinggir jalan?" tanya Elang skeptis.

"Plus night ride keliling kota nanti!" sahut Dewa santai.

"Wa, masuk angin nanti anak orang! Jangan bawa Mayra untuk kegiatan berbahaya!" pesan Elang dengan raut keberatan.

"Tenang, aman … aman! Nggak ada yang namanya kebut-kebutan, anak club semua penganut safety riding (berperilaku aman dan nyaman saat berkendara) kalau di jalan! Kami bukan sekumpulan ngabers!" (milenial yang berkendara ugal-ugalan di jalan raya dan bahkan berujung kecelakaan).

"Wa, masalahnya Mayra belum pernah, dia nggak ada pengalaman naik motor! Kamu tau kan, Mayra itu tuan putri di rumahnya!"

Dewa menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal, "Mbak Mayra sudah oke mau ikut aku, Mas! Kalau nggak percaya tanya aja sama dia!"

Kalau memang tidak memiliki rasa percaya pada orang lain, kenapa cewek wasiat mamanya itu tidak dijaga sendiri? Dewa benar-benar merasa kalau kakaknya sangat egois dan pengatur jika itu soal Mayra. Menyebalkan!

Sialnya, Elang terlalu baik padanya sebagai kakak, meskipun mereka bukan saudara seibu sebapak. Balas budi dengan membantu menjaga Mayra adalah bentuk ucapan terima kasih Dewa atas fasilitas yang didapatkannya di rumah besar itu. Ibunya yang dinikahi papa Elang sungguh beruntung, karena Dewa sebagai anak ikut merasakan kasih sayang tak jauh beda dengan Elang.

Lucunya lagi, meski Elang sudah melabuhkan cintanya pada sang dosen pembimbing penelitian dan sibuk kencan, tapi tidak pernah melepaskan Mayra untuk orang lain. Seolah kakaknya itu tidak ikhlas jika Mayra jatuh ke tangan pria lain.

Dewa pernah menggoda kakaknya kalau dia dan Mayra bisa saja memiliki ketertarikan karena sering bersama, dan sepertinya Elang tidak keberatan jika hal itu sampai terjadi. Mungkin kakaknya lebih percaya Mayra bersama Dewa daripada jatuh ke tangan pria brengsek di luar sana. Yah, setidaknya Elang serakah pada gadis cantik bukan untuk dirinya sendiri.

Tapi sayangnya wanita bernama Mayra itu terlalu cinta pada kakaknya. Bahkan masih tetap menunggu Elang selama tujuh tahun meski itu adalah hal yang sia-sia. Mayra mau saja melihat bagaimana kakaknya berganti-ganti pacar di depannya tanpa bisa memprotes apalagi pergi meninggalkan sang casanova.

Naif sekali! Maksudnya kasihan sekali ….

"Oh, ya udah. Hati-hati nanti, jangan diantar terlalu malam!" Elang menanggapi tanpa melihat sedikitpun pada adiknya.

"Iya beres. Aku usahain jam dua belas sudah di rumah!"

Elang menoleh ke arah adiknya yang masih berdiri di depan pintu, "Wa, itu terlalu malam! Jam sepuluh nggak bisa?"

"Enggak bisa, belum kelilingnya!"

"Jam sebelas?"

Dewa berdecak, "Mbak Mayra bilang nggak apa-apa sekali-kali pulang jam dua belas malam!"

"Suruh pake jaket kalau gitu, trus jauhkan dia dari teman-teman kamu yang matanya suka jelalatan kalau lihat barang bagus!"

Ya ampun Elang!"

***

Sebuah Permintaan

Dewa tak menyahut lagi, dia pergi ke kamarnya untuk istirahat sebentar. Dan memang hanya sebentar karena satu jam berikutnya Dewa sudah berdiri di depan rumah Mayra dengan dandanan ala bikers. Jaket hitam menutupi seragam klub motornya yang juga berwarna hitam.

Wajah innocent sedikit tertutupi dengan topi yang dipakai terbalik dan anting sebelah yang cukup nyentrik bertengger di telinganya. Ya, Dewa sedang mencoba hal baru dalam hidupnya, mendengarkan saran teman-teman nongkrongnya agar muka tanpa dosanya tersamarkan.

Dewa cukup jangkung dan berat tubuhnya proporsional, dia juga tidak sedikit menarik perhatian perempuan. Memang tidak atletis seperti Elang karena Dewa hanya membentuk tubuh di pusat kebugaran, itu pun baru setahun terakhir aktif dilakukan. Meski begitu, dada bidangnya mulai terlihat, diikuti dengan perut rata yang lumayan seksi.

Mayra menaikkan sebelah alisnya melihat penampilan Dewa yang berubah drastis. Belum lama ini kakaknya yang biasanya serampangan mendadak tampil bak model majalah dewasa dan menonjolkan semua kelebihan fisiknya. Sekarang, Dewa yang biasa tampil manis dan terkesan polos berlagak seperti bad boy baru keluar kandang. Satu kata untuk Dewa. Keren!

"Udah siap, Mbak?" tanya Dewa cengengesan. Sikapnya pada Mayra tidak mengikuti gayanya, masih sopan dan menghormati wanita yang dianugerahi paras ayu namun selalu tampak lesu karena kesepian.

"Aneh nggak sih aku pakai begini? Kok kayaknya nggak matching banget sama kamu!" Mayra hanya memakai setelan santai dipadu jaket merah marun. Tampak girly sekali. Tidak ada sedikitpun menunjukkan kalau gadis itu berminat dengan club bikers, semua yang melekat pada tubuh Mayra tidak ada yang berbau anak motor. Atau mungkin karena baru pertama? Belum tau tampilan anak bikers cewek seperti apa?

Sepertinya Dewa punya tugas lain selain menjaga Mayra. Membuat Mayra mengikuti gayanya … biar serasi, eh!

Dewa sedikit menyipit, mengamati untuk menghormati permintaan penilaian Mayra. "Cantik seperti biasanya!"

Mayra memerah, cara Dewa melihat dan mengutarakan kalimat pujian tidak disertai ekspresi sedang menggombal. Alami dan terdengar tulus. "Ya udah ayo berangkat, nggak ada orang di rumah jadi nggak usah pamit, semua pergi acara ke luar kota!"

Ini bukan yang pertama kali Mayra keluar malam mingguan dengan Dewa, dua minggu lalu mereka juga menghabiskan waktu bersama, makan, jalan-jalan juga sempat bergandengan tangan. Ah, andai saja yang menggenggam tangannya erat waktu itu adalah Elang!

Mayra kikuk karena belum pernah keluar naik motor dengan Dewa, terlebih motor yang dipakai Dewa mengharuskan tubuhnya membungkuk dan mungkin memeluk pengemudinya jika ingin nyaman saat berboncengan.

Menyadari Mayra duduk ragu-ragu di belakangnya, Dewa menegakkan badan dan berbicara lembut. "Pegangan, Mbak! Kalau kamu jatuh aku pasti bukan cuma babak belur dihajar mas Elang! Bisa-bisa aku dilempar dari atas papan panjat setinggi 20 meter!"

"Lebih dari babak belur? Mati dong!" timpal Mayra sambil tertawa kaku.

Begitu sayangkah Elang padanya sampai Dewa harus menjaganya sedemikian rupa? Tetap saja sulit bagi Mayra untuk percaya setelah sekian lama berteman dengan kakak Dewa. Mayra meralat pemikirannya, Elang sayang padanya itu benar, tapi tanpa unsur cinta sedikitpun di dalamnya.

Mayra mengeratkan pegangan pada jaket Dewa, sangat canggung. Masih belum berani memeluk apalagi menempelkan tubuhnya untuk menyandari punggung Dewa yang ternyata lebar. Parfum Dewa yang tercium samar cukup menyenangkan hidungnya, sedikit menenangkan pergolakan batin di dada Mayra.

Setelah motor berjalan lima menit, Mayra lebih rileks karena menemukan posisi nyaman. Tidak terlalu lekat, tapi juga tidak bisa dibilang jauh dari punggung Dewa. Kedua tangannya yang berada di pinggang Dewa mulai berpegang lebih erat dan luwes.

Sekali lagi, mungkin seribu kali tak pernah cukup … Mayra masih berharap bahwa pemuda yang ada di depannya adalah Elang, kakak Dewa. Pemuda yang dicintainya dari sejak SMA, tepatnya sejak tujuh tahun lalu.

"Loh kok kesini?" Mayra memutar pandangan begitu Dewa berhenti di parkiran pusat perbelanjaan.

"Kopdarnya nanti jam sembilan, kita nonton dulu! Kata mas Elang, mbak Mayra lagi pingin ditemenin nonton film horor," jawab Dewa santai. "Ayo turun!"

Astaga, haruskah Elang mengatur kemana Dewa harus membawanya?

"Ya ampun, Wa! Aku ngajak Elang karena iseng aja, aku nggak serius kemarin itu." Mayra membiarkan Dewa membantu melepas helm yang dikenakannya.

"Aku udah terlanjur pesen tiket, Mbak!" Dewa menggandeng tangan Mayra dan manariknya masuk ke dalam lift, setelah itu buru-buru dilepaskan karena merasa sungkan. "Maaf!"

Mayra menatap tangannya lalu tersenyum manis, "Enggak apa-apa kali, Wa! Jalanku emang kayak keong, mungkin itu juga yang bikin Elang nggak bisa suka sama aku!"

Dengan lima jarinya, Mayra menyisir rambut yang berantakan karena helm.

"Kok ngomongnya gitu sih, Mbak?"

"Ya faktanya memang begitu, kan? Aku bukan tipenya, aku lihat dia lebih suka cewek-cewek yang … sudahlah nggak usah dibahas," ujar Mayra sambil mengibaskan tangan di depan muka.

Dewa merasa iba mendengar keluhan gadis ayu di sampingnya, "Mbak Mayra nggak pingin cari cowok lain? Mas Elang sekarang udah sama bu dosennya terus …."

Mayra menoleh menatap lurus mata Dewa yang juga sedang memperhatikan ekspresinya, "Gimana caranya biar Elang melihatku seperti dia melihat Bu Nindya, Wa? Apa yang harus aku pelajari? Apa yang harus berubah dari seorang Mayra? Katakan, tunjukkan, ajari aku agar layak untuk kakakmu!"

"Mbak, bukan begitu, maksudku …."

"Biarkan aku yang memutuskan langkahku, kamu cukup mendukung aja! Gimana caranya agar aku nggak kelihatan bodoh, nggak cupu kayak orang nggak tau apa-apa? Elang suka cewek berpengalaman pastinya!"

Dewa menggeleng ringan, "Waduh … aku nggak paham soal itu, Mbak!"

"Gini deh, aku berencana mengungkapkan seluruh perasaanku pada kakakmu, di hari ulang tahunnya biar pas momennya. Kayaknya juga harus dengan cara yang nggak biasa. Gimana kamu setuju nggak, Wa?" tanya Mayra ragu.

"Iya setuju, aku dukung! Semangat!" Dewa mengepalkan satu tangan di depan dada sambil cengar-cengir.

"Ya udah ajarin juga aku caranya!"

Dewa mengernyit, "Maksudnya ajarin yang gimana tuh?"

"Wa, Elang nggak mau sama aku mungkin karena aku ini bukan tipe cewek yang menyenangkan. Mungkin aku malah jenis paling membosankan di dunia," keluh Mayra dengan nada sendu. "Kamu dukung rencanaku ya, please!"

"Kalau mendukung itu pasti, Mbak! Nonton begini juga bentuk dukungan. Tapi kalau mengajar, aku bukan orang yang punya banyak pengalaman sama cewek! Apa yang bisa aku ajarkan? Aku mana tau apa yang disukai mas Elang saat bersama perempuan?" Dewa menatap tak paham dengan maksud Mayra.

"Ajari dulu aku caranya berciuman, aku nggak ngerti sama sekali soal itu! Elang pasti nggak suka sama cewek bego and nggak gaul kayak aku!" kata Mayra tegas, wajahnya spontan menyala merah. "Aku mau … eeew cium spesial dia di hari ulang tahunnya!"

Mayra spontan melihat ke arah lain. Pipinya panas karena ungkapan yang menurutnya paling jujur. Malu, di usianya yang hampir 23 tahun belum pernah sekalipun merasakan sentuhan manis di bibir dari makhluk berjenis laki-laki.

Dewa melongo. Apa-apaan ini, heh?

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!