NovelToon NovelToon

Mentari

Perkenalan

Mentari. Ya namaku Mentari hanya itu. Aku lahir dari dua bersaudara aku dan Kakak ku Gadis Wibisana. Wibisana adalah nama Ayah kami. Kenapa tak ada nama Ayah pada namaku ya karena seperti itulah nama yang di berikan Ibu untuk ku. Ayah menolak namanya di cantumkan pada namaku. Karena aku bukan anak kandungnya? Jawabnya Bukan. Karena Saat ibu mengandungku Ayah tergoda cinta lamanya.

Ayah dan ibu menikah karena perjodohan kedua ornag tua mereka. Saat itu Ayah memiliki seorang kekasih yang di cintainya. Dan Ayah terpaksa harus merelakan cintanya demi menikahi Ibu karena permintaan orang tuanya yang tak bisa di tolak. Ayah pun mencoba menerima keadaan dan lahirlah Kak Gadis di usia ketiga perkawinan mereka. Saat Kakak berusia lima tahun mereka berdua sepakat untuk menambah momongan untuk teman Kakak.

Namun, saat ini di nyatakan hamil wanita di masa lalu Ayah kebali hadir dan membuat semuanya menjadi kacau. Wanita tersebut pun menghasut Ayah jika bayi yang di kandung ibu itu bukan darah dagingnya. Padahal demi membuatkan adik untuk Kak Gadis Ayah dan Ibu pergi berbulan madu bersama tak ada orang ketiga bahkan itu Kak Gadis sekalipun.

Kak Gadis di titipkan pada Nenek dan Kakek orang tua dari Ayah. Karena orang tua ibu telah meninggalkan kami lebih dulu saat usia Kak Gadis tiga bulan. Apakah Ayah lupa jika dirinya lah yang telah membuat perut ibu membuncit jawabannya entahlah. Yang pasti karena hasutan wanita itu Ayah menjadi pemarah dan tak mau melihat ibu dengan perut buncitnya.

Beruntung orang tua Ayah sangat mendukung Ibu dalam segala hal. Ibu pun rela di pisahkan dengan Ayah demi keselamatan bayi dalam kandungannya. Saat aku lahir pun tak ada Ayah. Hanya ada Kakek, Nenek, Kak Gadis dan pengasuhnya. Ibu berjuang sendiri di temani Nenek. Bahkan saat aku telah lahir dan bertumbuh dengan sangat lucu Ayah tetap tak ingin melihatku.

Ayah benar-benar di butakan oleh cinta sesatnya. Ibu begitu sabar menghadapi Ayah saat Ibu menutuskan untuk kembali ke rumah dan membawaku turut serta. Ibu yakin lambat laun Ayah akan menerimaku dengan baik. Kakak, kakak dan hanya Kakak yang Ayah berikan perhatiannya. Segala yang terbaru Ayah belikan untuk Kakak.

Namun, itu semua tak membuatku iri walau jujur di kubuk hati sangat-sangat iri. Pelukan Ayah, perhatian Ayah dan semua tentang Ayah. Apakah Kak Gadis membenciku jawabnya pun tidak bahkan Kak Gadis selalu merelakan apa yang Ayah berikan untuk kami gunakan bersama. Kakak begitu menyayangiku tulus karena Nenek, Kakek dan Ibu selalu mengajarkan Aku dan Kakak untuk selalu hidup rukun.

Hingga saat ini aku duduk di bangku kuliah apa Ayah pernah sekali menjemput atau mengantarkan aku sekolah. Mengambilkan raport saat pembagian raport. Hadir di acara perpisahan sekolah jawabannya tidak. Bahkan aku dan Kakak di sekolahkan di sekolah yang berbeda. Dan semua itu tak membuatku patah semangat dalam menggapai prestasi.

Namun, sehebat apapun aku di luar sana tak lantas membuat Ayah bangga. Jika ada yang bertanya kemana wanita penggoda itu sekarang jawabnya telah berpulang ke pangkuan illahi. Bukan karena ibu tapi karena penyakitnya. Wanita itu kembali pada Ayah karena ingin Ayah mengobati sakitnya namun sayang semua terlambat.

Kak Gadis lulus dengan nilai terbaik di kampusnya dan Ayah memintanya untuk melanjutkan study keluar negeri hanya saja Kak Gadis menolaknya Kakak ingin melanjutkan sekolahnya hanya di dalam negeri. Ayah pun menyetujuinya asalkan Kakak mau melanjutkan pendidikannya. Bagaimana dengan ku? Masuk perguruan tinggi ini saja aku harus berjuang walaupun Nenek dan Kakek akan dengan senang hati mengulurkan dananya.

🌹🌹🌹

Mobil Baru

Terdengar suara orang berbincang di depan rumah Mentari yang baru saja bangun dari tidur siangnya merasa terusik. Tidur siang yang jarang sekali dia dapatkan karena larangan dari sang Ayah. Jika Ayahnya tengah tugas luar kota maka Mentari akan dengan senang hati istirahat dengan perintah sang Ibu.

"Ada tamu ya Bi?" Tanya Mentari pada pekerja rumahnya.

"Eh, iya Non. Katanya dari showroom." Bi Mia.

"Wuuuiiih... Ayah beli mobil lagi ya?" Ucap Mentari yang sudah terbiasa dengan rasa sakit hatinya dikala Ayah atau Kakaknya mendapatkan hal baru.

"Bukan Non. Bukan untuk Bapak." Bi Mia.

"Tumben? Ayah beli untuk Ibu?" Mentari.

"Bukan juga." Bi Mia.

"Lah, terus ngapain orang showroom kesini?" Mentari.

"Bapak belikan mobil keluaran terbaru untuk Non Gadis." Ucap Bi Mia sedikit ragu.

"Astaga! Anak sultan mah bebas ya Bi. Mobil lecet dikit langsung ganti baru hahahaha..." Celoteh Mentari sambil menyambar apel di atas meja makan.

"Non Tari coba minta ke Bapak." Usul Bi Mia.

"Huh! Sudah bisa bernafas bebas saja saya bersyukur Bi. Masih banyak angkutan umum di luar sana yang bisa saya tumpangi juga." Mentari.

"Non ini. Apa ya ga mau belajar menyetir?" Bi Mia.

"Ga usah Bi. Nanti supir angkot ga ada kerjanya." Mentari.

Bi Mia pun melanjutkan pekerjaannya. Mentari pergi ke depan melihat mobil baru Gadis yang di belikan Ayah mereka. Sarah Ibu mereka berdua merasa tak enak hati ketika Mentari menghampirinya begitu juga dengan Gadis.

"Wuuiiii.... Jangan lupa traktirannya Kak.." Mentari.

"Kamu ini." Gadis.

"Santai Bu. Tari ga apa-apa." Bisik Mentari sambil memeluk sang Ibu.

"Maafkan Ibu Nak." Sarah.

"Ibu sehat saja bagi Tari sudah lebih dari cukup." Mentari.

"Besok ke kampus bareng Kakak ya Dek." Ajak Gadis.

"Siap Kak." Mentari.

Jangan bayangkan Mentari akan duduk manis bersama Gadis sedari rumah. Mentari akan menunggu sang Kakak untuk memberikannya tumpangan di halte seperti biasanya. Karena sang Ayah akan melarang Mentari menumpang di mobil Gadis. Karena menurutnya Mentari hanya akan mengotori mobil Gadis.

Sakit hati? Tentu iya. Jangan kalian fikir Mentari baik-baik saja. Mentari berusaha terlihat baik-baik saja demi sang Ibu. Ketika Nenek dan Kakeknya datang makan mereka akan memanjakan Mentari dan tak ada rasa cemburu di hati Gadis. Karena memang dirinya pun memanjakan Mentari.

"Kalo begitu kami permisi Bu. Mobil sudah di tangan Kakaknya. Mobil lama kami bawa." Orang showroom.

"Iya Mas. Terima kasih." Ibu Sarah.

"Sama-sama Bu." Pamit petugas showroom.

"Kakak ga tes drive?" Mentari.

"Sudah Dek tadi sekalian isi bahan bakar." Gadis.

"Canggih memang Kakakku.. Bangga deh. Muach.." Ucap Mentari tulus.

"Makasih Dek." Gadis.

"Ayo masuk. Kalian mandi sana Ibu siapkan makan malam kalian." Ibu Sarah.

"Ayah ga pulang Bu?" Mentari.

"Kata Om Bono lusa Ayah pulang." Ibu Sarah.

Om Bono adalah asisten pribadi Tuan Wibisana Ayah dari Mentari dan Gadis. Segala informasi Sarah dapatkan dari Bono asistennya. Wibisana tak pernah sekalipun berkomunikasi dengan Sarah sejak kehadiran wanita di masa lalu Wibisana. Wibisana akan berbicara pada Sarah seperlunya saja atau sebatas menjawab ucapan Sarah.

"Bu, ibu bahagia?" Tanya Gadis.

"Kamu ini bicara apa. Sudah sana kalian pergi mandi." Usir Sarah.

"Dek, bagaimana cara agar Ayah dan Ibu kembali hangat. Begitu juga dengan kamu." Gadis.

"Kakak hanya perlu menjaga hati ibu tidak perlu fikirkan bagaimana Tari." Mentari.

"Kenapa begitu? Kamu adik Kakak. Kamu anak Ayah kenapa Ayah selalu bersikap seperti itu?" Gadis.

"Kakak sudah tau jawabannya jadi jangan selalu bertanya seperti itu. Kita saling menguatkan saja dalam segala hal. Tari rasa Ayah pun merasakan itu hanya saja rasanya tertutup oleh rasa bersalahnya." Mentari.

"Uuuu... Makin sayang deh sama Adikku ini.." Ucap Gadis memeluk Mentari.

"Kakak... Iiih,,,,. bau acem..." Teriak Mentari.

"Ish... Memangnya kamu ngga. Kamu juga bau acem." Ucap Gadis menutup hidungnya.

Sebuah kehangatan yang tercipta di kala Wibisana tak berada di rumah. Dan keheningan akan tercipta di kala Wibisana berada di rumah. Hanya ada suara benda-benda yang saling bersentuhan. Derit pintu ketika terbuka dan tertutup. Tak ada teriakan Mentari ataupun Gadis yang saling bersenda gurau.

🌼🌼🌼

"Bu, hari ini Tari ada kuliah sore." Pamit Mentari.

"Baiklah. Ponselmu sudah terisi baterai penuh?" Ibu Sarah.

"Sudah." Mentari.

"Nanti biar Kakak jemput lagi aja Dek." Gadis.

"Jangan merepotkan Kakak ku sayang." Mentari.

"Jangan menolak." Gadis.

"Baiklah... Baiklah.." Mentari.

"Tari pamit Bu." Pamit Mentari.

"Gadis juga Bu." Pamit Gadis.

"Baiklah. Kalian hati-hati ya. Terutama kamu, hati-hati jangan sampai menabrak lagi." Ibu Sarah.

"Iya Bu. Gadis ga akan kasih temen Gadis nyetir lagi." Gadis.

"Kasian Ayah kalian masa harus terus mengganti mobil kamu." Ibu Sarah.

"Siap komandan." Ucap Gadis seperti tengah upacara bendera.

Keduanya pun memasuki mobil baru Gadis. Ya, Mentari bisa ikut serta sejak dari rumah karena tak ada pengawasan Wibisana. Bukan tak bisa mengendarai mobil hanya saja Mentari selalu menolak mengendarai mobil milik keluarganya apalagi milik Ayahnya.

Mentari pernah beberapa kali mengendarai mobil Gadis. Gadis pun dengan senang hati memberikan mobilnya untuk di pinjam Mentari. Karena baginya miliknya adalah milik adiknya juga. Pernah Gadis bekerja sama dengan pemilik toko elektronik demi mendapatkan satu buah laptop untuk sang adik.

Walaupun tak sama seperti miliknya Gadis meminta pemilik toko menaikkan harga laptop yang di belinya untuk mendapatkan sebuah laptop lagi untuk Mentari. Karena kasian pemilik toko pun memberikan diskon fantastis demi menolong Gadis yang kala itu masih SMA. Mentari pun senang bukan main ketika Sang Kakak memberikan sebuah laptop untuknya walaupun dirinya harus menyembunyikannya dari sang Ayah.

"Makasih ya Kak." Ucap Mentari ketika mobil Kakaknya sudah terparkir di halaman parkir kampusnya.

"Sama-sama Adek. Nanti sore di jemput jam berapa?" Gadis.

"Jam empat ya Kak." Mentari.

"Siap! Belajar yang benar ya. Kakak ke kampus dulu." Pamit Gadis yang memang berkuliah di kampus yang berbeda dengan Mentari.

"Wuidiiih... Siapa tuh? Keren amat mobilnya." Nina sahabat baik Mentari.

"Kakak gue." Mentari.

"Astaga! Anak sultan. Kenapa lagi mobil dia yang kemarin?" Nina.

"Nambrak motor katanya." Jawab Mentari santai.

"Adududu... Bisa masuk penjara tuh kalo lu yang bikin." Goda Nina.

"Bukan masuk penjara tapi di gantung." Mentari.

Hahahaha... Keduanya pun tertawa dengan ocehan mereka. Nina memang dekat dengan Mentari sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah atas. Jadi, bukan hal yang aneh lagi apapun yang terjadi pada Gadis dan Mentari.

🌹🌹🌹

Terlalu Mewah

"Ri, sambil nunggu jam matkul (mata kuliah) sore nanti ke cafe yuk." Ajak Nina.

"Boleh. Lu yang traktir ya." Mentari.

"Astaga! Kapan sih lu yang bayarin gw?" Omel Nina walau itu hanya sebuah candaan.

"Nanti klo gw udah kaya." Mentari.

"Ceh, makanya kaya Kakak lu tuh. Sultan dia mah." Nina.

"Lah, dia ada Daddy." Canda Metari.

Hahaha... Keduanya pun tertawa dengan lelucon mereka sendiri.

Nina memang bukan anak sembarangan. Ayah nya salah satu petinggi di penerintahan. Kehidupannya pun tak jauh beda dengan Mentari hanya saja Mentari tak seberuntung Nina yang begitu mendapat limpahan kasih sayang dari kedua orang tua bahkan semua keluarganya.

"Ri, besok lusa bisa ya anter gw ke butik tante gw." Pinta Nina.

"Ga janji gw Nin. Lu tau sendiri kalo Tuan udah ada di rumah." Keluh mentari.

"Yaelah... Suruh Tuan lu dinas luar lagi aja ke Om Bono." Nina.

"Wuiih... Andai itu bisa terjadi." Mentari.

"Lu minta anter Raka aja deh." Ucap Mentari lagi.

"Ya gw ga bakal minta anter lu kalo Raka bisa anter gw." Nina.

"Lagian lu pada yang mau tunangan kenapa gw yang repot sih." Mentari.

"Ish... Perhitungan banget sih Lu." Nina.

"Iya dah. Besok gw bilang Ibu." Mentari.

Keduanya pun turun dari mobil Nina yang telah terparkir indah di halaman parkir sebuah cafe yang bernuansa keluarga. Ya cafe yang selalu membuat Mentari merasa nyaman karena dirinya merasa menemukan keluarga baru di sana. Satu-satunya cafe yang mengusung tema keluarga membuat Mentari sering mendatanginya begitu juga dengan Nina.

"Pesen apa lu?" Nina.

"Biasa aja deh. Nih pake punya gw." Ucap Mentari menyodorkan kartunya.

"Caelah,, ketularan sultan lu?" Goda Nina.

"Baru dapet traktiran Kakak gw tadi." Ucap Mentari yang memang baru saja mendapat transferan uang jajan dari Gadis.

Begitulah Gadis saat dirinya mendapatkan uang dari Sang Ayah maka Gadis akan membaginya dengan Mentari. Dan itu di luar sepengetahuan Sang Ayah. Itulah mengapa Gadis menolak kartu yang di berikan Ayahnya. Gadis selalu meminta Ayahnya untuk mentrasfer uang ke rekening pribadinya agar bisa di bagi dengan Mentari tentunya.

"Dapet angin apa Gadis traktri lu?" Nina.

"Lah, itu mobil dia tadi pagi." Mentari.

"Mantep." Nina.

Saat mereka mengobrol manik hazel Mentari menangkap gelagat tak baik dari seorang ibu yang tengah duduk seorang diri di sudut cafe. Mentari melihat wajahnya yang begitu pucat. Nina pun mengikuti arah pandang Mentari yang mulai tak fokus ketika dia mengajaknya berbicara.

"Wah, kenapa tuh Ibu." Nina.

"Tolongin Na cepet." Ucap Mentari sambil dirinya segera beranjak.

"Astaga! Anak itu kebiasaan deh." Gerutu Nina yang kemudian mengikutinya.

"Bu, ibu baik-baik saja?" Tanya Mentari berbasa-basi.

"Tolong bawa saya ke rumah sakit." Ucap Ibu tersebut di ujung kesadarannya.

"Astaga! Bu... Ibu... Aduh Nin cepet bawa ni Ibu kerumah sakit. Dia minta di anter ke rumah sakit katanya." Ucap Mentari sambil berusaha menyangga tubuh Ibu tersebut.

"Lah, si ibu kerja di rumah sakit toh." Seloroh Nina.

"Beg* lu. Bukan itu maksud gw. Udah ntar aja gw jelasin dah ah..." Mentari.

Beberapa pelayan cafe pun membantunya memasukkan tubuh si ibu ke dalam mobil Nina.

"Kak, sepertinya ibu tadi membawa kendaraan pribadi." Ucap salah satu pelayan Cafe.

"Maksudnya?" Nina.

"Ini ada kunci mobil di bangku dia." Ucap si pelayan cafe sambil menyodorkan kunci mobil.

"Lah, yang mana mobilnya?" Ucap Nina bingung.

"Sini gw yang bawa mobil tu ibu. Lu bawa Ibu itu ke rumah sakit yang di ujung sana gw di belakang lu." Mentari.

"Emang lu tau yang mana mobilnya?" Nina.

"Gampang." Ucap Mentari kemudian dirinya menekan lock pada kunci mobil milik ibu yang pingsan tadi dan ternyata mobilnya berada tepat di samping mobil Nina.

"Lah, dia nongkrong di sini." Tunjuk Nina pada mobil si ibu.

"Waduh, lu aja yang bawa. Gw bawa mobil lu." Ucap Mentari sambil memberikan kunci mobil si ibu ke tangan Nina.

"Lah, kok gitu?" Tanya Nina bingung.

"Mobilnya terlalu mewah gw takut ga bisa keluar." Mentari.

"Maksud lu?" Nina.

"Terlalu nyaman di dalam mobil jadi gw ga bisa turun." Ucap Mentari kemudian masuk ke dalam mobil Nina.

"Si alan lu. Awas ya lu ngerjain gw." Nina.

Keduanya pun pergi ke rumah sakit dengan slaing beriringan. Mentari memarkirkan mobil Nina di dekat IGD yang kemudian dengan cepat mendapat pertolongan dari perawat yang dengan siaga memberikan pelayanannya.

"Saya parkir mobil dulu ya Bruder. Titip ibunya." Ucap Mentari kemudian kembali ke luar.

Setelah memarkirkan mobil Nina. Mentari pun kembali ke IGD dengan menenteng tas yang di bawa si ibu tadi.

"Ri, di suruh ngisi data si ibu nih." Teriak Nina menunjukan selembar kertas pada Mentari yang baru saja kembali.

"Lah, mana gw tau. Si ibu aja masih merem." Mentari.

"Dasar beg* lu. Lu liat tuh di dalem tas kali aja ada dompetnya terus ada tanda pengenalnya jadi lu bisa isi nih data pasien." Nina.

"Dih, mana berani gw." Mentari.

"Aduuuh... Ini urgent Tari.." Ucap Nina gemas.

"Ya udah lu aja nih." Ucap Mentari menyodorkan tas ibu tersebut.

Nina pun menggeledah isi tas tersebut berharapa ada identitas si ibu. Dan syukurlah semua data yang di perlukan lengkap sudah berada di dalam dompet ibu tersebut.

"Wih, alamatnya perumahan elit nih." Ucap Nina saat mengisi alamat.

"Mana mungkin juga tuh ibu punya mobil kaya tadi klo rumah dia di pinggir kali." Mentari.

"Nyamber aja lu." Nina.

"Udah cepet isi udah gitu kita liat si ibu." Mentari.

"Namanya Rita." Nina.

"Terserah ke apa namanya. Yang penting kita cepet beresin ini terus balik ke kampus ntar telat lagi kuliah." Mentari.

"Lah, lu kan yang bikin semuanya jadi ribet. Coba lu cuek aja tadi kita ga bakalan ada di sini." Nina.

"Iya... Iya. Udah cepet jangan ngomel-ngomel aja kaya ibu tiri aja." Mentari.

"Deeuuuh... Gw goreng deh lu." Nina.

"Kerupuk kali ah di goreng." Mentari.

"Udah ayo. Masih mau di sini lu." Ajak Nina yang telah menyelesaikan administrasi ibu yang mereka tolong.

Sampai di ruang IGD mereka pun di panggil oleh dikter yang tadi menangani Ibu Rita.

"Syukur kalian segera membawa ibu kalian ke sini. Terlambat sedikit saja kalian akan kehilangan nyawa ibu kalian." Ucap Dokter jaga tersebut yang sukses membuat Mentari dan Nina terbengong mendengar ucapan dokter tersebut.

"Tapi Dok.." Mentari.

"Tak ada tapi lagi. Ibu kalian harus di rawat untuk mendapatkan perawatan yang intensif terlebih dahulu." Dokter jaga.

"Baiklah Dok. Tapi, kami bukan anaknya." Melati.

"Hah!"

🌹🌹🌹

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!