NovelToon NovelToon

Perjanjian Pernikahan

Pergi Merantau

"Apa kamu sudah bulat dengan keputusanmu, Nia? Mama sangat khawatir kamu akan kerepotan di sana. Mama takut kamu kesulitan ngurusin kembar."

Sang mama memasang wajah cemas dan tak yakin pada putrinya. Berbeda dengan sang putri, ia sangat yakin dengan keputusan untuk pergi dari kota kelahirannya.

Salah satu bukti kesiapannya adalah dengan dua koper dan satu tas ransel yang sudah siap terisi oleh semua baju dan keperluan mereka, Rania dan kedua buah hatinya.

"Mama gak usah khawatir. Aku bisa kok menjaga anak-anak. Semua sudah kupikirkan. Mama tenang aja, ya?" Sang anak berusaha meyakinkan sang mama agar bisa melepas dirinya pergi.

"Baiklah, kalau keputusanmu sudah bulat. Kamu hati-hati ya, di sana. Ingat, jaga kesehatan dan jangan sampai teledor mengurusi si kembar. Kabari Mama kalau kamu mengalami kesulitan. Mama akan langsung berangkat mendatangimu."

Ucapan wanita paruh baya itu penuh kecemasan. Setengah hati menerima keputusan anak semata wayangnya.

Tak hanya karena putri satu-satunya dan dikarenakan sang mama tinggal sendiri di kita kelahiran, melainkan karena keputusan sang anak didasari oleh kemarahan yang menggebu atas tragedi di pernikahan sang anak.

"Iya Mama. Nia pasti akan selalu mengabari Mama. Kita bisa saling menghubungi. Anak-anak juga gak, akan merasa jauh dari nenek mereka."

Sekali lagi sang anak meyakinkan ibundanya.

"Kalau begitu, Nia pamit sekarang ya, Ma? Taxi Nia sudah tiba di depan. Anak-anak juga sudah siap."

Sang mama menatap pilu wajah sang anak.

"Biar Mama yang bawakan kopermu dan Kisha, Sayang. Kamu gandeng saja tangan Lisha," perintah sang mama.

Perempuan bernama Nia pun patuh. Ia lantas menggamit tangan salah satu anak kembarnya dan menggendong tas ransel miliknya ke bahu kirinya.

Mereka berempat berjalan keluar dari rumah.

Sebuah mobil sedan berwarna biru dengan tulisan "Taksi" di atasnya sudah terparkir rapi. Seorang laki-laki berseragam biru pun keluar dari pintu depan.

"Biar saya yang bawakan, Bu!"

Wanita paruh baya itu pun merelakan koper yang ia bawa diambil alih oleh lelaki itu yang diketahui adalah supir dari taksi tersebut.

"Ma, Nia berangkat sekarang ya? Mama jaga diri baik-baik di sini. Jangan terlalu banyak pikiran. Nia dan anak-anak pasti baik-baik saja di tempat baru," ujar Nia sambil memeluk mamanya.

Tak kuasa menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata, sang mama seketika terisak kecil melepas buah hatinya.

"Kamu juga ... jaga diri baik-baik. Jaga cucu-cucu Mama," ujarnya sambil mengelus lembut punggung Nia.

"Kisha, Lisha, ayo pamitan dengan Oma, nak!" perintah Nia pada kedua buah hatinya.

Bocah kecil berusia lima tahun tersebut langsung mengikuti perintah mamanya. Mereka mendekati ibu Ayu --sang nenek-- sambil mencium tangan wanita tersebut.

"Oma, Lili berangkat dulu ya," pamit si anak pertama.

"Iya, Oma. Kiki juga ikut berangkat sama Bunda dan Lili, ya?" celoteh anak kedua menyusul.

Tak kuasa menahan rindu yang sudah tercipta bahkan sebelum mereka semua pergi, Bu Ayu seketika merengkuh kedua bocah tersebut dalam pelukannya.

"Oma pasti bakalan kangen banget sama kalian. Kalian jangan lupa telepon Oma terus ya? Jangan nakal ya, di sana. Harus saling menjaga satu sama lain!"

"Siap Oma! Lili pasti bakal telepon Oma kalau Lili kangen sama Oma."

Ibu Ayu tersenyum bangga. Ia sangat sayang pada kedua cucunya tersebut. Sejak bayi merah, ia yang membantu Nia mengurus keduanya. Hingga detik karamnya kapal pernikahan Nia, Bu Ayu tegar mendampingi Nia.

"Ya sudah, ayo masuk ke dalam mobil. Biar Oma bukakan pintunya untuk kalian," ujar Bu Ayu setelah menciun kening kedua bocah tersebut.

"Kiki mau duduk di depan Oma!" seru anak yang bernama Kisha.

"Baik ... Oma bukakan untuk Kiki. Oh iya, Lili mau duduk di depan juga?" tanya Bu Ayu menawarkan tempat duduk yang sama pada Lisha.

"Enggak Oma! Lili mau bobo di pangkuan Bunda. Lili duduk di belakang aja sama Bunda," jawab Lisha.

"Siap! Oma buka pintu belakang ya?"

Anak bernama Lisha kegirangan dan langsung berlari memasuki taxy.

Kini tinggal Bu Ayu dan Nia yang masih di luar mobil.

"Ma, aku pamit."

"Iya Sayang ... Mama doakan, supaya kamu bisa lebih baik dan berhasil di tempat baru. Jangan ingat lagi lukamu. Sembuhkan luka hatimu di tempat baru."

Nia mengangguk pelan, lalu mencium tangan ibundanya.

Nia melambaikan tangan sebelum memasuki mobil taksi tersebut.

Tak lama kemudian, mobil pun mulai melaju. Nia menatap lurus ke arah jendela samping tempat duduknya.

Matanya nanar menatap jalanan yang bergerak mundur meninggalkannya atau memang ia yang berjalan maju meninggalkan segala kenangan dari kota itu.

Kenangan indah semasa kecilnya bersama sang bunda dan almarhum ayah tercinta, hingga kenangan buruk pernikahannya bersama mantan suaminya.

Keputusannya pindah kota tentu saja untuk mencari suasana baru agar luka hatinya bisa lebih baik meski tak akan pernah bisa terobati seutuhnya. Sebuah keputusan yang tidak mudah.

Setidaknya, ia melakukan itu semua demi melindungi anak-anaknya tercinta. Menjauhkan anak-anaknya dari efek buruk sang mantan suami.

Meski ia harus mengambil konsekuensi besar yakni hidup berjauhan dengan sang bunda dan harus bertahan hidup bersama kedua buah hatinya.

"Bunda ... kenapa menangis?"

Rupanya sejak tadi bocah yang duduk di samping Nia memerhatikan wajah sang bunda.

Nia bergegas menyapu kedua pipinya. Ia tak ingin buah hatinya bertanya lebih dalam alasan dirinya menangis.

"Bunda gak nangis sayang ... Bunda hanya sedikit sedih karena harus meninggalkan Oma sendirian," jawab Nia sekenanya.

"Oh begitu ya bunda. Memangnya, kenapa Bunda gak ajak Oma pindah juga bersama kita? Kalau begini 'kan, Oma juga pasti sedih berpisah sama Bunda," ujar bocah itu balik bertanya.

"Iya, Bunda! Kenapa Oma gak ikut kita pindah ke kota baru? Biar di rumah baru nanti, kita bisa sama-sama terus. Oma juga gak akan kesepian," sambar sang anak yang duduk di kursi depan.

Nia tersenyum lembut sambil mengusap penuh sayang pada anak di sebelahnya.

"Oma gak bisa ikut dengan kita, Nak."

"Memangnya kenapa Oma gak bisa ikut kita?" tanya Kiki lagi penasaran.

Nia memutar otaknya untuk mencari jawaban yang tak berujung pertanyaan lagi. Anaknya yang bernama Kisha memang sedikit kritis dalam berpikir.

"Oma harus menjaga rumah Opa di sana. Kalau Oma ikut kita, nanti, siapa yang akan menjaga rumah Opa? Barang-barang opa 'kan masih banyak di rumah itu!"

"Oh, iya ya, Bun. Kalau begitu Oma jangan ikut kita. Biar Oma tetap di sana jagain barang-barang Opa. Takut nanti ada maling yang masuk ke rumah! Hiyy... Serem!" seru Lisha berlakon bergidik seolah ketakutan.

Dan celotehan pun berlanjut, namun tidak lagi mempertanyakan perihal alasan Nia pindah dan alasan mengapa sang nenek tak diikutsertakan.

Kedua bocah itu berceloteh tentang pemandangan yang ia lihat dari balik jendela. Nia pun ikut nimbrung dalam obrolan. Seketika terlupa kesedihannya meninggalkan kota kelahiran. Dan berfokus pada perjalanannya merantau ke kota baru.

Rujak Online

Aku tidak lari.

Aku hanya menjeda waktuku. Hingga saatnya tiba, aku tak lagi menunggu waktu berpihak padaku.

***

"Halo, Dewi? Iya aku sebentar lagi sampai. Oh, kamu sudah ada di kontrakan? Oke deh, paling sepuluh menit lagi kita sampai."

Rania mematikan ponselnya. Panggilan tersebut dari sahabat lamanya saat masih duduk di bangku SMP. Mereka bertemu tak sengaja sebulan lalu saat acara reuni akbar.

Dewi namanya. Dia berasal dari kota Udang. Dewi sudah berkeluarga, tetapi ia tinggal terpisah dengan keluarga kecilnya yakni suami dan kedua anaknya yang berada di kota Bawang.

Tahun ini adalah keputusannya untuk pindah tugas kembali ke kota asal suaminya, kota Bawang. Oleh karena itulah, Dewi menawarkan Rania untuk tinggal di rumahnya secara cuma-cuma.

Bukan Rania namanya jika ia menerima segala sesuatu dengan secara gratis. Rania menolak. Ia bersikeras akan membayar sebagai tanda bahwa ia menyewa rumah Dewi.

Dewi pasrah, ia tak bisa menghalangi niatan Rania. Maka, dengan kesepakatan antar sahabat, Dewi membiarkan Rania yang menentukan sendiri uang sewanya. Dan Dewi memberikan hak penuh waktu tinggal sampai kapanpun Rania ingin tinggal.

Mobil taxy yang ditumpangi Rania memasuki gapura sebuah perumahan. Jarum jam di arlojinya masih menunjukkan pukul empat sore.

Perjalanan dari kota asalnya --kota Kuda-- menuju kota Udang tak memakan waktu lama. Ditambah lagi karena bukan akhir pekan, laju mobil cukup lancar, perjalanan pun hanya memakan waktu dua jam.

"Bu, apakah di depan sana rumah tujuan ibu?"

Rania mendongak. Ia melihat ke arah depan kaca mobil. Seorang wanita dengan jilbab lebarnya melambaikan tangan.

"Iya, Pak! Rumah pagar hijau, itu kontrakan saya!"

Mobilpun melaju perlahan dan berhenti tepat di depan rumah dengan pagar berwarna hijau.

Rania bergegas membuka jendela mobil.

"Akhirnya kalian sampai juga dengan selamat, alhamdulillah..." sambut Dewi saat jendela mobil terbuka.

Dewi memindai keadaan di dalam mobil, ternyata Rania tidak bisa langsung keluar dari mobil, sebab si kecil Lisha tertidur pulas di pangkuan Rania.

"Ya Allah... Lisha tertidur ya? Sini, biar ku bantu."

Dewi bergegas membuka pintu mobil dan mengambil alih Lisha ke pelukannya. Ia menggendong Lisha dan membawanya masuk ke dalam rumah.

Tak hanya Lisha, Kisha pun ternyata tertidur di kursi depan. Rania sigap menggendong Kisha lalu menyusul Dewi masuk ke dalam rumah.

"Sini, baringkan saja di kamar ini. Sudah ku rapikan ranjang ini untuk si kembar," titah Dewi saat Rania hendak membaringkan putrinya di atas kasur busa yang terhampar di ruang televisi.

Rania patuh, ia pun membawa Kisha dan membaringkannya di sebelah Lisha.

"Kamu di sini saja. Biar aku saja yang urus barang-barang di luar," cegah Dewi saat Rania hendak keluar kamar untuk mengambil koper dan tas miliknya dari dalam bagasi Taxy.

Rania mengangguk. Sembari menunggu barang-barangnya dibawa masuk oleh Dewi, ia memindai isi dalam rumah tersebut. Terutama kamar tidur yang sedang ia tempati itu.

Di dalam ruang kamar tersebut sudah tersedia satu ranjang besar dengan lemari nakas di kedua sisinya. Tak hanya itu, satu lemari kayu berukuran sedang bertengger di sudut ruangan tersebut.

Ruang kamar tersebut terletak di sebelah ruang tamu. Jendela panjang berukuran 1x2 meter terpampang jelas di samping peletakkan lemari kayu. Dengan keamanan tralis besi di sisi bagian dalam.

Pemilihan warna gorden kamar menyesuaikan dengan warna cat di dalam kamar yakni broken white dan coklat muda. Membuat suasana kamar sangat nyaman.

Rania bangkit dari ranjang dan berjalan keluar kamar. Ia ingin melihat lebih jauh rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya selama di kota Udang.

"Koper ini mau ditaruh di mana?" tanya Dewi saat ia berpapasan dengan Rania yang tengah berjalan ke arah ruang tamu.

"Sini biar aku saja yang bawakan. Kamu gak perlu repot melayaniku seperti ini," tampik Rania malu hati.

"Gak apa-apa. Hanya membawa koper begini gak bikin tanganku patah kok," seloroh Dewi disertai senyuman tulus dari bibirnya.

Rania terkekeh. "Baiklah, terserah kamu saja."

"Kamu sudah makan, Ran?" tanya Dewi disela-sela meletakkan koper ke dalam kamar.

"Belum. Aku gak sempat makan tadi," jawab Rania jujur.

Rania masih mengeksplorasi rumah Dewi. Ia merasa sangat takjub dengan rumah tersebut. Semua penataan barang-barang dan dekorasi nampak manis hingga membuat rumah terasa hidup dan nyaman. Dewi benar-benar pandai merawat rumah.

"Mau kubelikan rujak uleg? Di ujung jalan komplek ini ada ibu-ibu yang jual rujak. Enak loh!" ujar Dewi menawarkan makanan untuk Rania.

Ekspresi Dewi membuat Rania lagi-lagi terkekeh.

"Kamu marketing si ibu tukang rujak ya? Sampai-sampai menawariku dengan nada meyakinkan seperti itu," ejek Rania.

Dewi tertawa. Meski mulutnya tak terbuka lebar, namun cukup membuat deretan gigi putihnya yang rapi terpampang di mata Rania.

"Hish... Kamu tuh ya, aku cuma mengekspresikan sesuai dengan kenyataan, kalau rujak Bi Sumi itu emang enak! Bukan dibuat-buat seperti artis di iklan tivi," kilah Dewi.

"Boleh deh kalau begitu, biar aku bisa menilai sendiri skala nikmat dari rujak bibi itu. Eh, tapi... anak-anakku masih tidur. Aku gak bisa meninggalkan mereka," tutur Rania bingung.

"Hissh... kamu jangan hawatir. Kita gak perlu ke sana, cukup dengan satu benda ini, kita bisa menikmati rujak enak buatan bi Sumi."

Dewi mengacungkan benda pipih canggih ke depan wajah Rania.

"Kamu tunggu sebentar ya, biar kutelpon dulu bi Sumi. Aku takut beliau lupa menyalakan notifikasi warungnya."

Dewi sengaja mengeraskan nada sambung telepon agar bisa di dengar tak hanya olehnya, tapi juga Rania.

"Halo bi Sumi? Rujaknya masih ada gak?"

"Masih neng!"

Suara bi Sumi dari ujung telepon.

"Saya mau pesan ya bi, sebentar saya tanya teman saya dulu. Ran, kamu mau rujak uleg atau rujak sambel asem?"

Dewi menjeda teleponnya dengan bertanya pada Rania.

"Terserah kamu saja. Tapi, aku minta cabenya lima ya?! Aku suka yang pedas!"

"Oke kalau gitu. Halo bi Sumi, saya pesan rujak uleg dua ya, pedas semua saja. Oh iya, beli lontongnya sekalian tapi jangan dicampur dengan rujaknya, biar di potong di rumah saja."

Setelah jelas pesanan yang diajukan Dewi, ia lantas mematikan ponsel lalu membuka aplikasi pemesanan makanan di ponselnya.

"Kamu ngapain Wi?" tanya Rania bingung.

"Aku mau cekout pesanan."

"Loh, bukannya tadi kamu sudah pesan lewat telepon?"

Dewi tersenyum tipis.

"Iya, tadi aku telepon menjelaskan pesananku supaya gak salah, nah kalau di aplikasi ini, aku hanya membayar total pesanan umumnya saja. Jadi, di sini aku cuma order sesuai menu yang tertera. Lihat nih, rujak uleg dua pedas plus lontong tiga."

Rania memerhatikan ponsel Dewi.

"Wah, si bibi canggih juga ya? Jualan rujak lewat aplikasi hape. Bi Sumi penjual Rujak Onlen ternyata. Hmm... jaman emang sudah banyak yang berubah ya? Sudah semakin maju dan memudahkan banyak pihak," ujar Rania takjub.

"Nah, sekarang, kita tinggal tunggu saja, kurir yang mengantar rujak yang kita pesan tadi."

Rania manggut-manggut mengerti. Dalam hati, ia bertekad harus membiasakan diri dengan aktivitas di tempat barunya itu.

Touchscreen

Tak perlu mewah, sebab bahagia bisa kau ciptakan sendiri.

Tak perlu lagi sempurna, sebab kita sudah sempurna.

Gelak tawa penanda kita bahagia.

***

Malam hari pun tiba. Rania sudah merapikan barang-barangnya ke dalam kamar. Tidak banyak yang dia bawa, hanya pakaian miliknya dan pakaian kedua buah hatinya yang berada dalam koper. Dan satu tas berukuran sedang yang terisi oleh beberapa berkas penting untuk perpindahan pekerjaan Rania.

Semua itu sudah tertata rapi dalam lemari kayu yang ada di dalam kamar tersebut.

Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Kisha dan Lisha sudah rapi. Mereka selesai mandi beberapa menit lalu.

"Bunda, aku lapar!" rengek Kisha.

Tentu saja! Sudah waktunya makan malam, belum lagi, dua bocah itu baru saja menikmati tidur sore yang nyenyak dan mandi sore yang segar. Dan kini perut mereka meronta meminta diisi.

"Oke siap! Kita cari makanan di luar yuk!" ajak Rania seraya menggiring kedua putri kembarnya.

Di ruang televisi, Dewi sudah rapi dengan penampilannya. Memakai abaya dan jilbab besar berwarna senada, biru dongker. Penampilan layaknya seorang wanita sholeha.

Tak seperti Rania yang masih belum ingin memakai hijab. Meski begitu, Rania punya batasan dalam berpakaian. Ia tak serta merta memakai rok mini ataupun pakaian seperti lontong.

Seperti kali ini, ia memakai celana kulot dan kemeja panjang yang ia gulung hingga sikunya.

"Kalian sudah siap?" tanya Dewi.

Kedua bocah kembar itu mengangguk bersamaan. Dewi lalu menggiring keduanya keluar dari rumah. Rania mengekor di belakangnya.

"Kita mau ke mana, Wi?" tanya Rania pada Dewi yang tengah sibuk mengunci pintu rumah.

"Kita beli makanan di rumah makan depan komplek," sahut Dewi.

"Jauh gak? Kita ke sana pakai apa? Ojek? Atau taxy? Tunggu sebentar, aku mau ambil sweter untuk anak-anak."

"Hishh... gak jauh kok. Gak perlu ribet begitu. Gak pakai kendaraan kok. Kita jalan kaki saja, sambil menikmati suasana malam di komplek. Lagipula cuaca agak panas. Yuk, kita jalan!"

Dalam hati, Rania membenarkan ucapan Dewi. Kota Udang sangat berbeda dengan kota kelahirannya, yakni kota Kuda yang cuacanya lebih sejuk dan cenderung dingin saat malam. Di sini, ia sudah berkeringat bahkan setelah mandi.

Dewi langsung sigap. Ia menggandeng salah satu putri Rania. Yang paling mudah untuk diajak interaksi, siapa lagi kalau bukan Kisha. Kiki lebih dewasa ketimbang adiknya yang selalu ingin nempel ibunya.

"Tante Dewi, gak takut?"

Tiba-tiba Kisha nyeletuk di tengah jalan santai mereka.

"Takut? Takut kenapa?" tanya Dewi bingung.

"Di sini 'kan gelap, tante. Memangnya, tante sering jalan-jalan malam begini?"

Dewi terkekeh. Meski wajahnya tak nampak jelas karena pencahayaan di jalan hanya mengandalkan lampu jalan, namun dapat dipastikan tawa renyah Dewi tak sampai membuka seluruh rongga mulut. Palingan hanya senyum lebar menunjukkan deretan gigi putihnya.

"Takut hantu, maksud Kiki? Gak lah! Jalanan di sini ramai orang, gak perlu takut. Lagipula, hantu jaman sekarang wujudnya gak halus lagi, kebanyakan nongol di siang hari?"

Dahi Kisha berkerut. "Maksud tante?" tanya Kisha bingung dengan ucapan sahabat ibunya itu.

"Maksud tante Dewi, sekarang tuh lebih banyak hantu berwujud manusia ketimbang hantu aslinya. Contohnya, ya kejadian seminggu yang lalu di kampung kita, kamu ingat gak, Kiki?" ujar Rania menerangkan maksud sahabatnya itu.

"Mmm ... kejadian minggu lalu? Oh, maksud bunda, hajatan Mang Asep?!" tebak Kisha. Ingatan bocah itu masih tajam.

"Iya, betul sekali!" Rania mengacungkan jempolnya, mengapresiasi ingatan anaknya yang bagus.

"Memangnya, apa yang terjadi di hajatan Mang Asep?" Kini giliran Dewi yang bingung.

"Minggu lalu, Mang Asep bikin panggung joget di atas kuburan, tante! Semua orang joget di antara batu nisan. Ramai loh, tante!" sambar Lisha kini memberanikan diri bersuara.

"Astaghfirullah! Masa' begitu? Lalu kalian ikut joget juga?"

"Ya gak lah tante! Mana mungkin kita joget begitu, bunda bisa marah-marah deh," seloroh Kisha.

"Kita di sana hanya berfoto dengan pengantin, lalu pulang. Lisha merengek minta pulang karena ketakutan. Kami bahkan belum sempat mencicipi suguhan prasmanan," terang Rania.

"Aih-aih... ternyata ada juga yang begitu ya. Hmm... selama tante tinggal di kota ini, belum pernah lihat yang begitu. Kalau sampai tante lihat, mungkin tante juga sama dengan Lisha, bahkan langsung lari, deh. Merinding!"

Dewi memperagakan diri seolah bergidik ketakutan.

"Memangnya kenapa merinding tante?" tanya Lisha polos.

"Ya, tentu aja tante merinding. Coba kalian bayangkan deh. Bisa saja yang di dalam kuburan bangkit dan marah karena terusik suara musik."

"Hiiyyy... bunda... aku takut..." rengek Lisha sontak memeluk Rania.

"Tante Dewi bercanda, sayang. Bisa saja yang di dalam kuburan juga ikutan joget karena ada hiburan gratis," kelakar Rania diimbuhi tawa jahil.

"Hish... kamu tuh ya Ran, ngaco! Mana mungkin begitu."

"Lagian kamu duluan cerita begitu, anak-anakku jadi ketakutan nih!" protes Rania.

"Iya, iya. Maafin tante ya. Itu hanya cerita hayalan tante saja, mana ada yang begitu. Eh, tuh lihat! Kita sudah sampai. Ayo!"

Dewi menunjuk pada sebuah rumah makan sederhana yang berada di seberang jalan komplek perumahan tersebut.

Tak hanya rumah makan, deretan bangunan di sana memanglah pertokoan dan tempat usaha lainnya. Seperti contohnya salah satu tempat di sebelah rumah makan yang mereka tuju adalah tempat usaha londry. Pada malam hari tentu saja tutup dan di depannya diisi oleh para pedagang makanan malam seperti martabak manis dan masih banyak lagi pedagang makanan malam.

Dewi menggiring si kembar dan Rania memasuki rumah makan sederhana yang memang buka hingga pukul sembilan malam.

Mereka duduk di bangku kayu yang panjang dengan menghadap pada display kaca yang berisi lauk pauk. Duduk memanjang bersebelahan.

"Kalian mau makan apa? Tante pesankan untuk kalian," ujar Dewi menawarkan si kembar.

Sejak kedatangan si kembar, Dewi mendominasi berinteraksi. Ia sangat menyukai anak-anak. Alasan lainnya juga karena ia ingin lebih dekat dengan si kembar agar urusan Rania selama di kota Udang lebih mudah.

Lisha memindai lauk pauk yang tersaji di dalam kaca tersebut. Ia berpikir akan memilih menu mana yang ingin ia makan kali ini.

Berbeda dengan Lisha yang sibuk celingukan memilih menu, Kisha termenung sejenak lalu menarik ujung jilbab Dewi.

Dewi memang duduk di sebelah Kisha. Posisi duduk si kembar diapit oleh dua orang dewasa, yakni Rania dan Dewi.

"Kenapa Kiki, sayang? Kiki mau lauk yang mana?" tanya Dewi sadar ujung jilbabnya ditarik oleh bocah lugu itu.

"Bunda, Lili mau ayam goreng serundeng!" seru Lisha sambil menunjuk ke kaca tempat menu ayam goreng tersaji.

Rania lantas menunjuk kaca tersebut sambil menyebutkan menu yang ingin dimakan Lili.

Tak lama kemudian, makanan pun tersaji  dan disodorkan dari arah atas display kaca.

"Restauran Touchscreen..." gumam Kisha tiba-tiba.

"Apa sayang? Kamu bilang apa? Tante gak dengar."

"Ini restauran Touchscreen ya tante?" celetuk Kisha.

Dewi mengerutkan dahi. Berbeda dengan Dewi, Rania malah tergelak tawa.

"Kamu ngetawain apa sih Ran? Ada yang salah dengan dandananku?" ujar Dewi panik. Ia menggerayangi wajah dan jilbabnya demi menemukan keanehan yang membuat Rania tertawa.

"Bukan. Bukan kamu yang aneh tapi aku tertawa karena ucapan anakku."

Rania lalu menjelaskan pada Dewi bahwa Kisha menyebut display kaca itu seolah benda yang bisa ia sentuh lalu pesananpun segera tersedia. Seperti yang ada pada permainan di ponselnya.

"Owalah, rumah makan layar sentuh toh."

Dewi pun terkekeh setelah paham maksudnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!