NovelToon NovelToon

Uang Nafkah Atau Titipan?

Uang Nafkah atau Titipan?

Bab 1

"Dik, uang yang kemarin mas kasih masih ada kan? ada yang mau mas beli, tolong kamu sisihkan ya 500 ribu".

Mas Adi keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapi, hendak pergi bekerja.Aku yang baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah, hanya menatapnya sekilas dan masuk ke dapur untuk mengambil makanan dan menyajikannya diruang makan.

"Pagi mama..Pagi papa"

sapa Devano anak sulung ku yang juga keluar dari kamar dengan pakaian yang juga sama rapihnya dengan papanya.

"eh sayang, anak mama udah rapi.ayo sini sarapan dulu nak".

aku segera mengambil piring, menuangkan nasi dan beberapa lauk pauk untuk mereka,tanpa menghiraukan ucapan mas Adi yang permintaannya tidak kira-kira itu.lalu dengan lahap mereka memakan masakan ku.

Bukannya duduk dan makan bersama mereka, aku malah masuk lagi ke dapur dan pura-pura membereskan alat masak yang berantakan. Mas Adi sesekali memperhatikanku.

mungkin ia mengira aku tidak mendengar ucapannya tadi.

Ya, aku memang sengaja menghindari obrolan dengan mas Adi saat ini.aku pura-pura tidak mendengar ucapannya karena permintaannya yang tidak kira-kira.Tanpa berfikir ia selalu meminta kembali uang gajih nya yang diberikan kepadaku, hanya untuk keperluan pribadinya.

Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan jika ia ingin menggunakan uangnya untuk hal yang penting.misalkan untung menabung atau untuk modal apapun yang bermanfaat. Tapi,bukan itu yang ia lakukan. mas Adi seringkali meminta uangnya untuk hobinya, menonton bola di setadon, membeli sepatu bola yang harganya tidak kira-kira, membeli kaos bola yang mahal.

Bahkan tak jarang aku harus menyisihkan setengah dari uang yang diberikannya kepadaku hanya untuk mengikuti pertandingan bola yang sering diadakan di kota.

Aku sampai harus mengirit karena kebutuhan yang meningkat, tapi pemasukan malah sering berkurang. Belum lagi uang utuk ibu nya, belum lagi kebutuhan sekolah Devano.

Aku memilih diam daripada harus berdebat lagi karena masalah uang.

"Dik, kok melamun. kamu gak ikut makan?" tiba-tiba mas Adi datang dan membuyarkan lamunanku.

"Eem..nggak mas, aku gak melamun. Aku hanya sedikit kurang enak badan". ucapku sedikit terbata karena takut mas Adi membicarakan keinginannya lagi.

"Eumm mas udah selesai makannya?". Aku mencoba mengalihkan pembicaraan agar mas Adi segera berangkat bekerja.

"Iya, ini mas mau berangkat. kamu malah asyik di dapur. mana gak ikut makan lagi, kan jadi gak semangat makannya" ucapnya mencoba merayuku.

Aku sedikit tersenyum, lalu melangkah keruang makan menghampiri Devano yang sedari tadi sudah ingin berangkat ke sekolah.

"Sayang, kamu berangkat ke sekolahnya dianterin sama papa ya. Mama sedikit tidak enak badan hari ini. Gak papa kan sayang?".

"Iya gak papa ko mah. kalo mama sakit, mama istirahat aja di rumah. Vano gak papa ko berangkat bareng sama papa".

ucap Devano lembut sambil melemparkan senyum termanisnya.

"Yasudah, kalo gitu kami berangkat dulu assalamu'alaikum".

Mas Adi mengecup keningku dan aku pun mencium tangannya, lalu beralih mencium kening Devano,dan ia pun mencium tanganku lembut.

"assalamu'alaikum mama".

teriaknya saat sudah naik motor dengan ayahnya sambil melambaikan tangan.

Setelah keberangkatan mereka aku sedikit lega. Setidaknya saat ini aku tidak harus berdebat dengan mas Adi karena memperebutkan uang yang memang seharusnya utuk kebutuhan keluarga bukan untuknya foya-foya.

"huffft.."

Aku menghembuskan nafas dengan kasar lalu masuk kedalam rumah dan membereskan piring-piring kotor yang berserakan.

Setelah itu aku sedikit bersantai karena pekerjaan rumah yang sudah beres. Aku menuju ruang tengah untuk menonton siaran kesukaanku,sambil meregangkan otot-otot pinggangku karena pekerjaan yang melelahkan.

Tak lama kemudian, saat sedang asyik menonton siaran kesukaanku, terdengar suara teriakan dari luar rumah sambil menggedor gedor pintu.

"Inara buka pintunya, keluar kamu"

"hufft.."

tentu saja aku tahu suara itu.

Uang Nafkah atau Titipan ?

Bab 2

"Inara buka pintunya, keluar kamu."

Suara teriakan dari luar teras, membuatku kaget dan terpaksa harus bangkit dari sofa.

"hufft.."

Tentu saja aku tahu suara siapa itu.

Aku mematikan siaran ku dan segera beranjak ke luar. Lalu ku buka kan pintu.

Ternyata dugaan ku benar, itu adalah suara ibunya mas Adi, ibu mertuaku.

"Ibu kenapa teriak-teriak begitu.

Malu dilihat tetangga nanti".

Ucapku dengan nada yang sebisa mungkin aku rendahkan, walau sebenarnya aku emosi melihatnya datang dan langsung marah-marah seperti itu.

Tanpa basa basi ibu langsung masuk kedalam dan menodong ku dengan sebuah pertanyaan

"Dari mana saja kamu dan Adi kemarin".

"Kamu sengaja ya ingin menghindar dari ibu".

Ibu menunjuk ku dengan penuh emosi.Tampak nya dia kesal karena kemarin ia datang kesini dan tidak mendapati siapapun di rumah ini.

Aku yang sedikit terdorong karena ibu yang tiba-tiba masuk, sedikit meringis dan berbalik menatap ibu

Ya, ternyata itu alasannya kenapa ibu datang hari ini sambil marah-marah.

Ibu memang selalu datang kesini, tepat di hari dan tanggal mas Adi menerima gaji. Mungkin karena kemarin kami sedang ada keperluan, jadi ibu pulang kembali kerumahnya dengan kesal.

Ia datang untuk meminta hak nya dari sebagian gaji mas Adi yang diberikan kepadaku. Padahal, tanpa diminta pun setiap bulan kami sering memberikan ibu uang dengan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nya. Kenapa hari ini ibu tampak sangat kesal hanya karena aku terlambat memberikan nya.

" Kenapa kamu diam saja. Ayo bicara..

Kamu sengaja kan mengajak Adi keluar rumah agar ibu tidak datang kesini, iya?".

Ibu benar-benar sangat emosi saat ini. Aku mencoba untuk tenang menghadapi ibu

"YaAllah Bu, kenapa harus marah-marah begini.

Lagi pula, kemarin aku dan mas Adi pergi ke rumah orang tua ku. Ibuku sedang sakit, jadi kami pergi ke sana untuk menjenguk nya.

Lagi pula kenapa ibu harus emosi seperti ini".

Penjelasan ku membuat wajah ibu semakin memerah.

"Ooh jadi benar kemarin kamu pergi ke rumah orang tuamu.

Memang licik kamu ya.

kamu senagaja membawa Adi ke sana agar kamu bisa memberikan ibumu uang lebih.

sedangkan pada ibu, kamu akan beralasan agar ibu tidak dapat bagian. iya".

Aku kaget dengan penuturan ibu. Kenapa ibu bisa berpendapat seperti itu. Padahal baru saja aku menjelaskan padanya bahwa ibu ku sedang sakit.

"Kenapa ibu berfikir seperti itu. Aku bahkan tidak memberikan sepeser pun uang pada ibu ku saat itu. Aku dan mas Adi hanya membawa sedikit cemilan sebagai buah tangan.

Aku memang memaksa mas Adi untuk menjenguk ibu kemarin. Karena Devano yang tidak berhenti merengek ingin bertemu neneknya yang sedang sakit. Tapi bukan berarti aku ingin menghindar dari ibu.

Lagi pula apa salahnya jika aku ingin ke rumah orang tua ku, mereka kan juga orang tuanya mas Adi."

Jelas ku dengan panjang kali lebar kali tinggi, berharap ibu mengerti dan segera pergi dari rumah ini.

"Halah,palingan juga ibu kamu pura-pura sakit. Biar bisa dijenguk dan diberikan uang oleh anak ku. Tapi untungnya Adi lebih pintar dari kamu dan ibumu. Cihh"

Ibu berdecak sambil melipatkan tangannya. Ucapannya membuat ku benar-benar muak, emosiku yang tadi nya aku redam, karena mengingat ia adalah orang tua yang masih harus di hormati akhirnya meledak.

"Cukup Bu. sejak tadi aku mencoba menahan amarah, karena aku masih ingin menghormati ibu sebagai orang tua dari suamiku. Tapi kali ini aku tidak bisa menahannya. Jika hanya karena uang ibu datang kesini, aku akan memberikan nya pada ibu sekarang juga."

Aku melangkah menuju ke kamar ku dengan penuh emosi,

lalu aku keluar dan membawa bebearapa lembar uang berwana merah untuk diberikan kepada mertuaku yang tempramental itu.

Aku menyodorkan uang itu dengan kasar ke hadapan nya.

"Silahkan ibu ambil uang ini dan pergi dari sini."

Ibu melotot, karena biasanya aku akan memberi nya uang lima ratus ribu, dan dua ratus nya lagi aku berikan pada ibuku. Tapi kali ini aku benar-benar dirundung emosi, jadi aku mengambil uang itu asal, entah berapa banyak uang yang aku ambil dari dalam dompet ku.

"Dan satu lagi, jangan pernah ibu menjelekan keluarga ku. Satu kata pun aku tidak akan ridho. Jika ini terulang lagi aku akan membawa ibu ke penjara."

Aku benar-benar geram kali ini.

Lalu ibu dengan kasar mengambil uang itu tanpa rasa malu sambil menggerak gerakan bibirnya persis seperti kera yang sedang makan.

"Dasar menantu kasar. Tak tahu diri, sudah dinafkahi oleh anak ku malah berlaku seperti itu."

Ibu terus saja mengumpat. Seakan tak puas, ia keluar dengan mendorong ku kasar sehingga tangan ku yang pertama kali mendarat kelantai jadi terkilir.

"Aww.."

Pekik ku

aku meringis kesakitan , tapi ibu seakan tak melihat dan seolah-olah tak sengaja menyakitiku.

Ia tersenyum sinis lalu keluar dari halamanku dengan wajah tanpa dosa dan rasa malu.

Uang Nafkah Atau Titipan ?

Bab 3

"Isshh.."

Aku bangkit dari lantai dan duduk di sofa, menahan rasa sakit pada pergelangan tanganku dan memijitnya perlahan, aku harap tangan ku tidak sampai bengkak.

Rasanya saat ini, ingin sekali aku tumpahkan keluh kesah ku pada seseorang.

Tapi pada siapa. Aku tidak mungkin bicara pada ibuku karena ia sedang sakit, aku tidak mau menambah beban pikirannya.

Biasanya saat pikiranku sedang kalut, aku bercerita pada kakak ipar ku, yang tak lain adalah istri dari kakak nya mas Adi.

Tapi sudah seminggu ini, ia sedang ada pekerjaan diluar kota, entah kapan ia bisa kembali lagi.

Aku berjalan menuju ruang tamu hendak mengambil air, setelah berdebat dengan ibu mertuaku rasanya tenggorokan ku mengering bagai kan berada di gurun pasir.

Glek..glek..glek

"Haah, segar sekali rasanya."

Tak lama ku menikmati kesegaran di tenggorokan ku, kudengar suara ponselku berdering sangat nyaring.

Ternyata aku lupa membawanya kembali saat sedang membereskan meja makan tadi pagi.

huhh dasar ceroboh.

Lalu kuambil ponselku yang tergeletak di atas meja, tertera nama 'Kak Diana'.

Ternyata kakak ipar ku yang menelfon, baru saja aku memikirkan nya, ia sudah menghubungiku saja. Lalu ku tekan tombol hijau untuk mengangkatnya.

"Halo kak ada apa."

"Ra, kamu lagi di rumah gak?"

"Iya aku di rumah, kenapa?"

aku bertanya dengan heran.

"Kakak main ya ke sana, bosen nih. Kaka juga bawa cemilan, kita nonton drama Korea yang waktu itu kamu rekomendasi kan."

"Hah kakak sudah pulang? kapan?" Aku kaget sekaligus senang. Sekarang aku bisa melepas keluh kesah ku pada kak Diana.

"Kemarin Ra, yasudah kita ngobrolnya di rumah saja, kakak berangkat sekarang ya daah."

Kak Diana memutus teleponnya.

Entah kenapa aku merasa nyaman berada didekat kak Diana. Meskipun ia hanya kakak ipar, tapi kasih sayangnya melebihi kakak kandung. Mungkin karena aku seorang anak tunggal jadi aku selalu menginginkan seorang saudara, dan sekarang aku memiliki nya.

Meskipun tidak sedarah, tapi aku sangat bersyukur karena ia bisa aku jadikan orang tua keduaku setelah menikah.

...

Setelah setengah jam menunggu, akhirnya kak Diana datang dengan menggunakan sepeda motornya. Aku menyambutnya dengan senang hati dan membawakan kantong keresek yang di bawa olehnya.

"Tumben gak bawa mobil."

tanyaku sambil sekilas melirik kearah motornya.

"Iya, lagi gak mau ribet, lagian jalanan kerah rumah kamu ini macet parah. Kakak gak mau lama lama dijalan."

cerocos kak Diana sambil mengibaskan tangannya.

Akhirnya aku mempersilahkan kak Diana untuk masuk. Lalu ia menarik tanganku yang terkilir berniat menggandengku, tapi aku malah meringis kesakitan.

"Aduhh kak sakit." aku melepaskan tangan kak Diana.

"Loh kenapa Ra, tangan kamu sakit?" Ia terkejut karena aku melepaskan gandengan nya, lalu mengusap tanganku yang kesakitan "Maaf ya kakak gak tahu."

"Gak papa kok kak tadi tanganku terkilir didorong oleh ibu"

"Hah ibu? kok bisa?" Tanyanya dengan heran.

"Sudahlah kita bicaranya didalam saja, nanti didengar tetangga, jadi ribet harus berurusan lagi sama ibu"

Akhirnya kita memutuskan masuk dan mengobrol didalam rumah. Sambil menonton drama kesukaan kami, aku menceritakan semuanya yang terjadi hari ini. Kak Diana tampak memperhatikan dan mendengarkan cerita ku dengan seksama.

"Kenapa ibu sampai marah, hanya karena kamu pergi menjenguk ibu kamu Ra?"

tanya kak Diana sambil sesekali menyuapkan cemilan yang dibawa nya tadi.

"Ibu mengira, aku akan memberikan uang yang banyak pada ibuku dengan alasan untuk berobat, ibu juga memfitnah ibuku kalau ibuku pura-pura sakit biar bisa di beri uang lebih oleh mas Adi."

Kak Diana memahami penuturan ku, ia juga memberiku sedikit nasihat agar aku jangan terbawa hawa nafsu yang tidak baik agar aku tetap bisa menjaga kesehatan mental ku dalam menjalani rumah tangga. Ia memang sudah memahami betul bagaimana sikap ibu mertua kami.

Ibu memang selalu memanfaatkan anak anaknya untuk menjadi ATM berjalan untuknya, tidak perduli bagaimana keadaan keuangan keluarga kecil anak-anaknya, yang penting segala kebutuhannya terpenuhi.

Mungkin karena ibu terbiasa hidup mewah, setelah almarhum ayahnya mas Adi meninggal ia jadi harus meninggalkan geng sosialitanya dan kembali hidup sederhana

Padahal ia sering menerima pesangon dan uang pensiunan yang cukup dari kantor dimana almarhum ayahnya mas Adi bekerja. Tapi, seakan tak ada habisnya, ibu selalu mempermasalahkan jumlah uang yang diterimanya.

sehingga anak anak nya lah yang harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhannya.

"Oh ya, kakak tadi bilang kalo kemarin pulang sendiri, kok gak sama mas Aldo, 0mas Aldo sehatkan ?" Aku bertanya keheranan, saking serunya ceritaku, aku jadi lupa menanyakan kabar suaminya kak Diana.

"Iya, mas Aldo sehat kok, dia masih banyak kerjaan jadi gak bisa langsung pulang. Jadi kakak pulang sendiri, lagian kakak juga kangen sama Devano anakmu. Dia masih belum pulang dari sekolahnya.?

Tadi aku juga bawa mainan kesukaan Devano, Kakak harap dia suka." Kak Diana tersenyum sambil menunjuk kantong yang tadi dibawa olehnya, sedangkan yang aku bawa isinya beberapa cemilan.

"belum kak, mungkin sebentar lagi dia pulang, makasih ya kak, selain jadi temen curhatku kakak juga dengan senang hati menyayangi anak ku seperti anak sendiri." aku tersenyum haru menatap kak Diana.

Kak Diana memang sosok yang sempurna bagiku, ia cantik, baik, pintar, wanita karir, dan ia selalu menjadi panutan ku. Tapi, meskipun begitu tak ada manusia yang luput dari kekurangan.

Semenjak ia mengalami kecelakaan lima tahun yang lalu, ia yang saat itu sedang mengandung harus kehilangan bayinya saat itu juga. Selain itu, ia juga divonis oleh dokter mengalami lemah kandungan sehingga sampai beberapa kali ia mengandung, ia selalu mengalami keguguran, hingga sampai saat ini ia tak kunjung hamil dan punya anak.

Bahkan, tetangga tetangga di dekat rumahnya selalu menyebutnya wanita mandul.

Tapi kak Diana tak pernah menghiraukan nya, ia begitu tegar menghadapi masalah dalam hidupnya.

...

"Assalamu'alaikum"

Tak lama kemudian Devano pulang dari sekolahnya dengan riang.

"Wa'alaikumsalam." Jawab kami berbarengan

"Haa Tante bundaaa"

Devano sangat terkejut dengan kehadiran tantenya saat ini, ia lari dan memeluk tantenya dengan gembira. Sebutan 'tante bunda' adalah panggilan kesayangan Devano untuk kak Diana, karena ia sudah menganggapnya sebagai ibu keduanya.

"Sayaaang." Kak Diana merentangkan tangan nya dan memeluk Devano.

"Emmmm kalau sudah bertemu tantenya, ibu jadi dilupain."

"Iiih mama, aku kan kangen sama Tante bunda." Tanpa melepaskan pelukannya.

"Iya sayang, Tante bunda juga kangen sama vano. Nih Tante bawa mainan buat kamu."

Devano dengan gembira mengambil bingkisan dari tantenya, sambil tak lupa mengucapkan terimakasih berkali kali.

Setelah beberapa lama bercengkrama dan bermain main dengan Devano, akhirnya kak Diana pun pulang karena hari sudah sore.

Aku dan Devano mengantarkan kak Diana sampai halaman rumah.

"Daaah Tante bunda."

"Daah.."

......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!