NovelToon NovelToon

Bianca Istri CEO, Paling Bahagia

Dia Yang Pertama

8 wanita berdiri berjajar, mereka terlihat begitu cantik dan menawan, dengan pakaian mahal dan makeup yang membuat mereka semakin rupawan.

"Oh, ada apa ini, apa yang sedang kamu lakukan disini?"

MC itu berjalan menghampiri salah satu wanita diantara 8 wanita itu, ia meneliti penampilan wanita tersebut.

"Ada apa, apa ada yang salah?"

MC itu mengernyit, datar sekali wanita tersebut berbicara, apa ia tidak mengerti ucapannya sendiri.

"Kenapa diam, ayo mulai acaranya."

"Kamu tidak mau mengganti penampilan mu?"

"Tidak, ini aku, memang seperti ini aku."

7 wanita lainnya menahan tawa mendengar jawaban wanita tersebut.

"Siapa nama mu?"

"Bianca, namanku Bianca."

"Hey, apa kamu tidak tahu, lelaki yang akan melihat mu adalah pengusaha besar, kamu fikir kamu akan masuk kriteria mereka?"

Bianca tersenyum mendengar kalimat wanita di sampingnya, Bianca lantas melihat dirinya sendiri, ia memang hanya memakai kaos putih biasa dengan bawahan rok jeans selutut, makeupnya pun biasa saja, begitu juga dengan rambutnya yang hanya diikat setengah.

"Ah sudahlah lupakan, semoga kamu mendapatkan jodoh mu disini," ucap MC.

Bianca mengangguk, ia melirik wanita itu bergantian, biarkan saja memangnya kenapa dengan penampilan Bianca, itu tetap sopan kok dibanding mereka semua yang berpakaian seksi.

"Baiklah, kita mulai saja acaranya, malam ini adalah malam pencarian jodoh bagi pengusaha muda sukses yang tentunya cukup sulit mendapatkan pasangan."

Bianca memainkan jemarinya sembari mendengarkan setiap kata dari MC di depannya, Bianca sengaja mengikuti acara tersebut, berharap bisa mendapatkan kebahagiaannya bersama sang pangeran.

"Kita persilahkan untuk CEO sukses yang pertama, silahkan untuk menunjukan diri dan segera menentukan pilihannya."

Dengan diiringi musik romantis tirai di dekat MC itu terbuka, di sana terlihat seorang lelaki berperawakan pendek dan sedikit gemuk, namun tetap terlihat menarik.

"Dan inilah pangeran pertama kita malam ini, dia sulit mendapatkan pasangan, dan berharap malam ini bisa mendapatkan pasangan."

Para wanita itu memperhatikan lelaki di depannya, mereka tersenyum, kecuali Bianca, lelaki itu tidak masuk dalam bayang pangerannya.

"Baiklah, tidak perlu banyak bicara, silahkan kamu perhatikan para bidadari di sana, dan kamu pilih salah satunya."

Ditengah kesibukan mereka merapikan diri, Bianca segera berpaling, biarkan2 saja lelaki itu memilih wanita lainnya.

"Pangeran kedua," ucap MC.

Bianca kembali menoleh, lagi-lagi Bianca tidak suka dengan lelaki itu, ia berpaling menghindar untuk melihatnya.

Kepercayaan diri Bianca sepertinya sudah melebihi wanita cantik lainnya, ia selalu berpaling setiap kali para lelaki itu terlihat.

"Pangeran kelima," ucap MC.

Bianca menghembuskan nafasnya kesal, kenapa tidak ada satu pun lelaki yang cocok dengannya, semuanya tampak terlalu angkuh.

"Mana, ayo segera keluar,"

Bianca menoleh, benar juga, mana lelaki itu kenapa belum ada yang keluar, apa mungkin sudah habis dan Bianca tidak bisa mendapatkan jodohnya malam ini.

"Oke, mungkin masih bersiap, kita tunggu sesaat lagi saja."

"Apa aku boleh bertanya?"

Mereka saling lirik satu sama lain, mendengar suara dibalik tirai itu membuat mereka merasa penasaran.

"Oh itu dia suaranya, bagus sekali, oke silahkan mau bertanya apa?" tanya MC.

"Disebelah mana wanita itu?"

"Wanita itu?"

"Mungkin saja mereka sudah ada di tempat khusus?"

"Oh tidak, sama sekali tidak, mereka berdiri di depan mu sekarang, 4 wanita cantik ini siap untuk menjadi pilihan mu?"

"Aku akan memilih dia yang pertama aku lihat saja."

MC melirik wanita yang berdiri tepat di depan tirainya, ia tersenyum, pasti dia yang akan dipilihnya.

"Tolong jangan berganti posisi."

"Tidak, tenang saja, aku awasi mereka semua, tidak akan ada yang berpindah."

Tak ada lagi suara, Bianca merapatkan bibirnya, suaranya mampu membuat perasaannya hangat, apa mungkin dia jodohnya, tapi Bianca berdiri cukup jauh dari tirai tersebut.

"Oke siap, inilah pangeran kelima kita."

Tirai itu terbuka, semua mata tertuju pada lelaki dibaliknya, lelaki itu tinggi berisi, tidak terlalu putih, sayangnya ia menunduk.

"Inilah dia, silahkan pilih wanita mu."

Perlahan tapi pasti lelaki itu mengangkat kepalanya, mengarahkan pandangannya ke sebelah kiri, tepat sekali pandangannya bertemu dengan Bianca.

"Ya Tuhan," ucap Bianca pelan.

Tubuhnya seketika dingin dan sedikit bergetar, jantungnya mendadak bergemuruh hebat, rupawan sekali, hidung mancung, alis tebal.

"Ya, kita perhatikan, mungkin saja dia akan merubah arah pandangnya saat ini."

Bianca menelan ludahnya dengan susah payah ketika lelaki itu berjalan menghampirinya.

"Apakah benar pilihannya itu?" tanya MC.

Wanita yang lainnya menggeleng tak percaya melihatnya, bagaimana bisa lelaki itu tertarik pada wanita seperti Bianca.

"my eyes are never wrong to see, my eyes always point me in the right direction, you are so beautiful with your simple appearance, do you want to know me closer, God will give us the best destiny."

"Woow," sahut MC tak percaya.

Mereka semakin menggeleng dibuatnya, apa benar yang mereka dengar itu, wanita yang tak menarik itu berhasil memikat lelaki tampan itu.

"How, do you want to try?"

Bianca kembali menelan ludahnya, habis sudah ludahnya saat ini, gersang sekali, apa yang harus dikatakannya.

"Ayo jawab, kamu mau atau tidak menerimanya?" tanya MC.

Bianca hanya mengangguk saja, anggukan yang tanpa ragu meski sedikit pun juga.

"Siapa nama mu?" tanyanya seraya mengulurkan tangan.

Bianca melirik tangan itu sekilas, ia memejamkan matanya sesaat dan menjabatnya.

"Bianca."

"Melvin Shyam Mahendra, kamu bebas memanggil ku apa dari tiga rangkai nama itu."

Bianca mengangguk, jabatan tangan itu dilepas, Melvin melirik MC di sana.

"Apa aku bisa membawanya?"

"Tentu saja, silahkan."

Melvin kembali melirik Bianca, keduanya sama-sama tersenyum, Melvin kembali mengulurkan tangannya.

"Boleh aku menggandeng mu?"

Senyuman Bianca semakin lebar, ia lantas menyimpan tangannya di telapak tangan Melvin, seketika itu Melvin menggenggamnya dan membawanya pergi.

"Ah apaan-apaan ini, kenapa harus dia yang mendapatkannya, apa bagusnya wanita itu?"

"Mungkin saja memang seleranya yang rendah."

Bianca menoleh, ocehan para wanita itu mampu didengarnya dengan baik, ia tersenyum seraya mengangkat kedua alisnya, terbukti jika penampilannya yang biasa saja, mampu membuatnya mendapatkan Melvin.

"Tidak perlu perdulikan itu," ucap Melvin.

Bianca menoleh, ia terdiam menatap wajah itu dari samping, entahlah, mungkin Tuhan telah mewujudkan mimpinya untuk mendapatkan seorang pangeran malam ini.

"Jika terus seperti itu, kamu akan cepat bosan."

Bianca berpaling, apa yang dilakukannya, bisa sekali Bianca menatap Melvin sampai seperti itu, langkah keduanya terhenti saat Melvin menekan tombol lift.

"Kamu bisa naik lift?" tanya Melvin.

"Tentu saja."

Melvin mengangguk, ketika pintu lift terbuka, ternyata sudah banyak orang di dalamnya, keduanya saling lirik.

"Kita bisa menunggu, kamu pasti tidak suka berdesakan," ucap Bianca.

"Aku hanya khawatir para lelaki itu akan berusaha menyentuh mu."

Bianca mengernyit, Melvin menariknya masuk, ia berjalan mundur dengan menahan Bianca di depannya.

"Tidak perlu lirik kiri kanan," bisik Melvin.

Bianca mengangguk, ia menunduk seraya tersenyum, sungguh hatinya begitu bahagia saat ini, semoga saja Melvin memang pangeran yang diciptakan untuk mewujudkan mimpi indahnya.

Besok, Aku Bawa

Bianca telah ada di dalam mobil Melvin saat ini, keduanya telah berjalan cukup jauh untuk bisa sampai ke parkiran.

"Kamu tinggal dimana?" tanya Bianca.

Mesin mobil yang semula menyala dan siap melaju, kembali dimatikan Melvin, ia merubah posisi duduknya jadi menghadap Bianca.

"Oh, maaf, aku tidak bermaksud mengganggu fokus mu."

Melvin tersenyum dan mengangguk, Bianca lagi dan lagi dibuat kesulitan mengontrol detak jantungnya akibat tatapan Melvin.

"Kamu mau berbicara banyak hal?" tanya Melvin.

"Tidak, lupakan saja, mungkin kamu lelah dan mau segera sampai rumah."

"Itu tidak benar, kita bisa berbincang disini sampai kapan pun kamu mau."

"Apa kamu tidak bisa berhenti menatap ku?"

"Bukankah seperti ini etika berbicara dengan seseorang?"

Bianca diam, tapi rasanya terlalu membuat salah tingkah, Bianca tidak biasa ditatap seperti itu oleh seorang lelaki.

"Apa kamu keberatan, kalau kamu keberatan, kita bisa langsung pulang."

"Tidak, aku hanya tidak biasa saja dengan tatapan seperti itu."

"Kalau seperti itu, mulai sekarang kamu harus mulai membiasakan diri dengan tatapan seperti ini."

Bianca diam, ia tersenyum menatap balik lelaki di depannya.

"Berapa usia mu?" tanya Melvin.

"19, dua bulan lagi baru 20."

"Benarkah?"

"Ya, tentu saja benar, aku memang baru 19 tahun."

"Lalu, untuk apa kamu ikut acara ini, kamu masih bisa mencari yang lain di luar sana?"

"Entahlah, yang jelas, aku mau menemukan pangeran ku, dan mungkin disini aku bisa menemukannya."

"Dan kamu menemukan ku, apa itu berarti aku pangeran yang kamu inginkan?"

Bianca tersenyum, semoga saja memang seperti itu, dan semoga saja Melvin seperti apa yang diinginkannya selama ini.

"Aku mencari pasangan untuk menikah, bukan untuk pacaran."

"Ya, itu memang seharusnya."

"Tapi kamu masih 19 tahun."

"Aku bukan 15 tahun, aku sudah bisa menikah, lagi pula sisa umur 19 tahun ku hanya tinggal 2 bulan lagi."

"Dan kamu siap menikah?"

"Berapa usia mu sendiri?"

"24, dan 2 bulan lagi pun tepat 25."

Bianca diam, benarkah seperti itu, apa mungkin jika mereka lahir di tanggal yang sama.

"Bukankah aku sudah cukup untuk menikah?"

"Ya, tentu saja."

"Tapi, aku mau menikah dengan mu."

Bianca kembali diam, bukankah mereka tidak saling mengenal sebelumnya, bagaimana kalau ia bukanlah wanita yang seperti diinginkan Melvin.

"Kamu akan menolak ku?"

"Tidak, hanya saja, sebaiknya kita saling mengenal dulu."

"Jadi, kamu mau mengajak ku berpacaran?"

"Tidak, kita saling mengenal dulu, mungkin saja kenyataannya aku bukan wanita yang kamu inginkan, dan bisa jadi sebaliknya juga kan?"

Melvin mengangguk, entah kenapa ia begitu enggan berpaling dari Bianca, ia bertahan dengan tatapannya terhadap wanita itu.

"Baiklah, sepertinya memang masih banyak hal yang harus kita bicarakan, tapi sekarang sudah malam, aku akan kena marah orang tua mu jika terlambat mengantarkan mu pulang."

Bianca melirik jam di pergelangan tangannya, benar juga sudah jam 11 malam, Bianca pasti akan kena omel orang rumah.

"Dimana rumah mu?"

"Dekat Rumah Sakit depan sana."

Melvin mengangguk dan berpaling, ia lantas menyalakan kembali mobilnya, dan melaju pergi.

"Besok hari libur, apa kamu ada acara di luar rumah?" tanya Melvin.

"Sepertinya iya, aku akan ke Cafe Mentari."

"Untuk apa?"

"Ada, aku diundang kesana."

"Apa aku boleh ikut?"

"Silahkan saja, itu kan tempat umum, siapa pun boleh datang."

"Jam berapa, aku akan datang bersama mu."

"Jam 4 sore."

"Lalu dari pagi sampai siang, kemana kamu?"

"Ada di rumah, aku bantu Ibu buat bikin kue."

Melvin mengangguk tanpa berkata lagi, saat ini matanya sudah sangat mengantuk, dan sebaiknya ia fokus menyetir.

"Belok kanan, rumah ku yang pagar hijau."

Melvin mengikutinya, ia mencari pagar hijau yang dimaksud.

"Itu memang rumah ku," tunjuk Bianca.

Melvin melihatnya, ia menghentikan laju mobilnya, tidak terlalu buruk, meski tidak semewah rumahnya, tapi itu rumah minimalis yang pantas.

"Ya, aku memang bukan anak penusaha sukses, aku hanya anak dari pembuat kue saja."

Melvin menoleh, Bianca telah membuatnya ingin menatap dua mata itu lagi.

"Tapi tenang saja, aku ikut acara ini, bukan mencari lelaki kaya yang bisa aku habiskan hartanya."

Melvin tersenyum, benarkah seperti itu, dan semoga saja memang benar.

"Baiklah, aku harus masuk, dan kamu juga harus pulang."

"Apa aku harus mengantarkan mu masuk?"

"Mungkin itu lebih baik."

Keduanya tersenyum, mereka lantas keluar dan berjalan mendekati pagar saat tangan Bianca terangkat, pagar justru terbuka lebih dulu.

"Bagus kamu ya," ucap seorang wanita dibalik gerbang itu.

"Ibu, kenapa belum tidur?"

Melvin diam, jadi wanita itu adalah pembuat kue yang dimaksud Bianca tadi.

"Apa pantas seperti ini, keluyuran sampai tengah malam seperti ini bersama laki-laki?"

"Ibu ...."

"Kita bersama baru beberapa jam saja, kita baru bertemu malam ini," sela Melvin.

"Siapa kamu?"

"Melvin," ucapnya seraya mengulurkan tangan.

"Ibu, dia lelaki yang memilih ku diacara tadi."

Sesaat wanita itu diam, sampai akhirnya ia menjabat tangan Melvin.

"Mayang," ucapnya.

Melvin mengangguk dan mencium punggung tangannya hormat, Mayang melirik putrinya yang justru tersenyum melihat hal itu.

"Aku yang membuatnya terlambat pulang malam ini," ucap Melvin seraya melepaskan jabatan tangannya.

"Aku minta maaf, tapi aku tidak berbohong jika putri mu ini, tetap baik-baik saja."

Mayang tak bergeming, ia melirik mobil mewah Melvin di sana, apa benar lelaki itu memilih putrinya, tapi bagaimana mungkin, Mayang sadar jika putrinya jauh dari kesan berkelas.

"Ibu," panggil Bianca.

Mayang mengerjap dan melirik keduanya bergantian.

"Baiklah, terimakasih sudah mengantarkan anak ku pulang, tapi sebaiknya kamu juga pulang karena memang sudah waktunya istirahat."

Melvin mengangguk, ia melirik Bianca di sampingnya, mungkin saja ia akan bisa merindukannya setelah berpisah, dan jika itu terjadi maka Melvin tidak akan merubah keputusannya untuk memilih Bianca.

"Jangan menatap putri ku seperti itu, tidak sopan sekali kamu."

Melvin menunduk sesaat, baiklah ia telah melupakan keberadaan Mayang di dekatnya.

"Sekarang kamu pulang, dan jangan seperti ini lagi."

"Baik, sekali lagi tolong maafkan."

"Ya sudah, tidak masalah, pergilah."

"Iya, aku permisi dulu," ucap Melvin pada Bianca.

"Hati-hati."

Melvin mengangguk, ia kembali melirik Mayang, dan salam padanya sampai akhirnya ia memasuki mobil dan melaku pergi.

"Apa benar yang kamu katakan?"

"Ibu, apa aku pernah berbohong, malam ini aku sudah menemukan pangeran impian ku, bukankah dia terlihat baik?"

Mayang tersenyum dan mengangguk, Bianca merasa begitu senang dengan malamnya itu, ia berputar girang dan meraih kedua tangan Mayang.

"Aku akan menjaganya, aku tidak akan biarkan dia pergi."

"Bianca."

"Aku menyukainya, Ibu."

Bianca kembali berputar tanpa melepaskan tangan Mayang, ia begitu gembira atas pertemuannya dengan Melvin.

"Lucu sekali," ucap Melvin.

Rupanya lelaki itu kembali menghentikan mobilnya beberapa jauh dari rumah Bianca, ia masih bisa melihat dua wanita itu di sana melalui spion mobilnya.

"Sampai seperti itu reaksinya."

Bianca masih saja bertingkah di sana, ia terlihat begitu bahagia, melompat tak jelas dan berputar seperti sedang berdansa dengan Mayang.

Bukankah Ini Manis?

"Bianca, bangun cepat, banyak pesanan yang harus dikerjakan."

"Aku sudah bangun, tenang saja."

Bianca menghampiri Mayang di dapur sana, keduanya sama-sama tersenyum, mereka akan bekerjasama lagi pagi ini.

"Baru jam 8, Bu."

"Gak apa-apa, biar selesainya gak terlalu sore, lagi pula bukannya kamu ada undangan?"

Bianca mengangguk, itu memang benar, dan Bianca tidak boleh sampai terlambat kesana.

"Ya sudah, ayo kita mulai."

Tok .... Tok .... Tok

Keduanya saling lirik, suara ketukan itu membuat mereka sedikit heran.

"Ibu, ada janji?"

"Tidak, semua pesanan sudah masuk kemarin."

"Lalu?"

"Entahlah, sebentar."

Mayang berlalu untuk membuka pintu, biar saja Bianca memulai semuanya terlebih dahulu.

"Permisi."

"Iya, sebentar."

Mayang membuka pintu rumahnya, dan terdiam melibat sosok Melvin di depannya, lelaki itu tampak memakai stelan olahraga, dengan kabel musik di telinganya, dan handuk kecil yang terpasang di pundaknya.

"Selamat pagi, Bu."

Melvin menyalaminya hormat, bukankah mereka sudah bertemu semalam, Mayang masih sangat mengingatnya.

"Bianca, ada di rumah?"

"Ada, kalian ada janji?"

"Nanti sore, aku habis olahraga dan kebetulan dekat sini, jadi sekalian mampir."

"Oh, baiklah, ayo masuk."

"Terimakasih."

Keduanya memasuki rumah, Mayang memanggil Bianca agar segera menghampiri, setelahnya Mayang mempersilahkan Melvin untuk duduk.

"Ada apa Bu, katanya buru-buru?"

Bianca, mengangkat kedua alisnya saat sadar keberadaan Melvin, pagi hari seperti ini, untuk apa lelaki itu datang.

"Apa kabar?" tanya Melvin.

Bianca melirik Mayang yang berjalan meninggalkan mereka, Melvin kembali bangkit dan menghampiri Biancan.

"Kamu sedang sibuk?"

Bianca sedikit terkejut karena Melvin yang tiba-tiba ada di sampingnya, Melvin tersenyum seraya meneliti penampilan Bianca.

"Kamu, ngapain kesini, bukannya kita akan pergi sama-sama nanti sore?"

Melvin tak menjawab, senyumnya juga tak kunjung hilang, hal itu membuat Bianca turut melihat dirinya sendiri.

"Kenapa, ada yang salah?"

"Kamu suka dengan rok?"

Bianca diam, memang stelannya pagi ini tidak berbeda dengan saat mereka bertemu kemarin malam, Bianca tetap memakai kaos dan rok pendeknya.

"Apa aku terlihat jelek?"

"Tidak, aku hanya bertanya saja."

"Ya, aku memang suka gaya seperti ini, tidak perlu banyak macamnya yang penting aku nyaman."

Melvin mengangguk setuju, Bianca balik memperhatikan lelaki itu, tampilannya saat ini sangatlah santai, jauh berbeda ketika ia memakai jas dan kemeja seperti kemarin malam.

"Habis olahraga?"

"Benar sekali, tadinya aku mau ajak kamu lari pagi, tapi aku tidak punya kontak kamu, jadinya aku kesini sekarang."

"Kamu kesini untuk meminta nomor ponsel ku?"

"Bukan yang utama, karena kenyataannya aku ingin melihat mu sebelum aku melihat lebih banyak orang lagi."

Bianca tersenyum, ia berpaling menghindar dari tatapan Melvin.

"Kamu sedang membuat kue?"

"Ya, baru mau mulai, dan sebaiknya kamu pulang saja, karena kegiatan ku akan sangat membosankan bagi mu."

"Tidak seperti itu, aku akan membantu Ibu mu saja."

Melvin berjalan ke dapur tanpa permisi pada Bianca, ia menyusul kepergian Mayang ke arah sana.

"Hey, apa-apaan kamu ini."

Bianca turut menyusul, kenapa tidak sopan sekali lelaki itu.

"Benarkah kamu mau membantu?" tanya Mayang.

"Tentu saja, apa yang bisa aku bantu."

"Ini, buat adonan ini mengembang ya, jangan berhenti sebelum Ibu bilang berhenti."

Melvin menerima mixernya, ia mencoba melakukan apa yang dilakukan Mayang saat ia datang.

"Hey, kamu gak akan bisa," ucap Bianca.

Keduanya menoleh, Melvin mengangkat kedua bahunya sekilas, tanpa berniat menjawab kalimat Bianca sedikit pun.

"Bianca, kamu kerjakan yang lain, ovennya juga belum dipanaskan."

"Baiklah."

Melvin memperhatikan mereka berdua, semua serba manual, mixernya juga yang harus digoyangkan tangan, padahal ada yang otomatis dan bisa dibiarkan bekerja sendiri.

"Kamu bisa?" tanya Mayang.

Melvin menoleh dan mengangguk, semoga saja memang bisa, karena ini pertama kalinya Melvin menyentuh benda seperti itu.

"Yang kuat ya, biar cepat mengembang adonannya."

"Baiklah."

Mayang mengangguk dan mengerjakan hal lainnya lagi, kegiatan mereka sedikit terhambat karena Melvin yang kurang paham dengan kegiatan tersebut.

"Sudahlah, kamu diam saja," ucap Bianca.

"Bianca, biarkan saja orang mau belajar."

"Tuh dengar, kenapa sih judes banget."

Bianca menghembuskan nafasnya sekaligus, baiklah, mereka sedikit kompak saat ini.

"Masukan adonannya kesini," ucap Mayang.

Melvin melirik loyang yang disimpan Mayang, apa lagi itu.

"Sendoknya mana?" tanya Melvin.

"Hey, bos muda, ditumpahkan saja," ucap Bianca.

Mayang tersenyum mendengar sebutan bos muda dari Bianca, Melvin meliriknya dan menggeleng.

"Tapi dia benar, tumpahkan saja, biar langsung habis."

"Tapi ini mana muat."

"Ini kan ada tiga, isinya setengah ya jangan full."

"Benarkah."

"Tentu saja."

Melvin mengangguk dan mulai mengisi loyangnya, adonan yang kental dan banyak membuat Melvin kesulitan, sehingga banyak yang berceceran ke meja.

"Kan, mana bisa," ucap Bianca seraya membantunya.

Melvin menoleh dan tersenyum, ia bisa menatap wajah Bianca dengan jarak dekat sekarang.

"Pindah sini."

Bianca menarik tangan Melvin agar mendekat pada loyang yang masih kosong, setelah adonan habis semua, Bianca melirik Melvin dan tersenyum.

"Cantik," ucap Melvin.

"Hey, apa-apaan kalian, cepatlah," sela Mayang.

Keduanya sama-sama berpaling, Bianca meminta Melvin untuk memasukan loyangnya ke dalam oven, itu bukan hal yang sulit dan Melvin pasti bisa melakukannya.

"Tiga-tiganya?"

"Iya, dua di bawah, satu di atas."

Melvin mengangguk, ia membawa loyangnya mendekati oven, ketika tangannya menyimpan loyang, tanpa sengaja ia terkena ovennya, sehingga membuat Melvin kaget.

Prangg .....

Mayang dan Bianca menoleh bersamaan, mereka melihat adonan kue yang berantakan di lantai, dan Melvin yang sibuk mengibaskan tangannya.

"Ada apa, kenapa kamu?"

Bianca segera menghampiri dan meraih tangan Melvin, merah sekali, itu pasti karena panas.

"Ya Tuhan, ceroboh sekali, pakai apa sih ini Bu, apa, pasta gigi kan, bisa kan buat luka gini?"

Bianca berlalu tanpa menunggu jawaban, ia panik sendiri karena luka di tangan Melvin, sikap Bianca membuat Melvin tersenyum, mungkin itu yang dinamakan berkah atas musibah.

"Jangan heran, anak itu memang seperti itu tingkahnya, kerap heboh sendiri," ucap Mayang.

"Tapi aku menyukainya, Bu."

"Bagaimana mungkin, kalian baru saja bertemu."

"Aku serius."

Melvin berjalan menghampiri Mayang, ia berdiri dengan segenap keberaniannya di hadapan Mayang.

"Ini memang terlalu cepat, dan mungkin saja seperti lelucon, tapi aku suka padanya sejak pertama aku melihatnya, aku menginginkan putri mu."

Mayang diam, ia melihat sorot mata dan ekspresi serius di wajah Melvin, seperti tak apa kebohongan apa pun atas ucapannya.

"Bukankah dia dua bulan lagi akan bertambah usia?"

"Ya, dia genap 20 tahun."

"Aku akan menikahinya dihari ulang tahunnya nanti."

Mayang sedikit tertawa, memang seperti lelucon, sesuai dengan yang dikatakan Melvin.

"Bu, aku terlihat bercanda?"

"Diamlah, kamu tidak mengenal anak ku, kalau sudah kenal, kamu pasti berfikir ulang untuk mengatakan itu."

"Tapi aku serius, perasaan aku tidak pernah mempermainkan aku, Bu."

Mayang kembali diam, apa yang harus dikatakannya, Mayang belum siap menikahkan Bianca, wanita itu masih terlalu kecil untuk menikah.

"Mana sini biar aku obati."

Bianca kembali dengan membawa pasta gigi, benar saja ia membuktikan ucapannya tadi, dengan perlahan ia mengoleskannya ke tangan Melvin.

"Sss panas," eluh Melvin.

"Tahan, kamu kan laki-laki, masa gini saja lemah."

Melvin tersenyum seraya melirik Mayang di sana, Melvin akan kembali mengatakan kalimat yang sama dipertemuan berikutnya.

"Sudahlah, biarkan dia obati sendiri lukanya, lebih baik kamu bereskan saja itu tumpahan adonannya."

Bianca menoleh, kenapa nada bicara Mayang jadi seperti itu, terdengar tidak baik, Bianca melirik Melvin yang sesaat kemudian mengangguk padanya.

"Aku bisa," ucap Melvin seraya mengambil pasta giginya.

"Ibu, Ibu kenapa?" tanya Bianca.

"Kenapa apanya, Ibu sudah bilang kita harus cepat, pesanan banyak, masa kamu lupa."

Mayang kembali pada kesibukannya, kenapa Bianca merasa ada yang salah dari Mayang saat ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!