NovelToon NovelToon

Bahagia (Tanpa) Denganmu

Bab 1. Cinta.

"Goolll!"

Sorak sorai dari anak remaja di tengah lapangan berumput dengan sedikit penonton seusia mereka dan beberapa orang dewasa, seketika mencuri perhatian seorang gadis yang duduk sendiri di kursi bawah pohon tidak jauh dari lapangan tersebut, sambil asyik menulis sesuatu. Seragam putih abu-abu masih melekat di tubuh kecilnya.

Namun, perhatian itu hanya berlangsung seperkian detik. Sebab, ia memilih kembali menunduk dan melanjutkan kegiatan mencoret-coret kertas yang ada di atas pangkuannya.

Sekekali teriakkan berupa ejekan atau pun seperti sebelumnya kembali terdengar, membuatnya tergelitik untuk mendongkak guna melihat kawanan anak kecil yang berlari sambil menggiring sebuah bola.

"Anis!"

Gadis berambut panjang dengan ekor kuda itu menoleh ketika ada yang meneriaki namanya. Seluas senyum tipis terbit di paras cantik Anis, seiring dengan pria yang berlari mendekatinya. Lelaki itu juga mengenakan seragam yang sama, tapi ada sesuatu hingga sedikit berbeda.

"Aku cariin ke mana-mana, ternyata kamu di sini," ucapnya dengan nafas terputus-putus dan dada naik turun. Detik berikutnya ia turut duduk di samping Anis.

Akan tetapi, respon yang ditunjukan Anis kali ini berbeda dari beberapa waktu sebelumnya. Ia mendelik, menatap kesal dan terang-terangan menunjukkan wajah tidak suka.

"Kenapa, sih?"

"Bima! Aku 'kan, kemarin udah bilang ... bajunya jangan sampai dicoret-coret, gitu!" sahut Anis ketus, "dari pada dicoret-coret, mending dikasih sama orang yang lebih membutuhkan!" imbuhnya menasehati, masih terselip nada kesal.

Gadis bernama lengkap Anisha Suhaidi, dengan latar belakang anak yatim dan terlahir dari keluarga tidak mampu itu sangat tahu betul bagaimana pentingnya sebuah seragam sekolah. Tidak seperti orang kaya, ia harus bersusah payah membantu sang ibu guna memilikinya.

Ya, tadi pagi ia baru saja menghadiri pengumuman kelulusan mereka. Anis yang tidak terlalu memiliki teman usai pulang sekolah, ia memutuskan menepi ke lapangan di sekitar rumahnya sambil menikmati waktu senggang. Ibunya pun setelah menerima rapor langsung pulang lebih dulu sebelum acara selesai. Sebab, ibunya harus kembali bekerja.

Kemarin ia sudah mewanti-wanti Bima, agar menjaga bajunya. Namun, apa yang ia lihat sekarang? Bima malah mengabaikan perkataannya tempo hari. Seandainya tidak dicoret, ia ingin menyumbangkan baju seragam sekolahnya bersamaan milik Bima untuk orang yang lebih membutuhkan. Dampak dari tindakan Bima tersebut sudah pasti merugikan diri sendiri. Selain itu, juga bisa berpengaruh dengan nama baik sekolah.

Bima adalah teman sekaligus tetangganya yang paling dekat dengannya, hanya saja nasib pria itu lebih mujur. Maka dari itu, ia tidak segan menegur dan memberi nasehat.

Sungguh disayangkan memang, jika anak negeri seperti kita masih mengembangkan pola pikir seperti Bima. Yang katanya, 'untuk kenang-kenangan semasa SMA, dan mengikuti budaya terdahulu', yakni dengan cara mencoret-coret baju seragam sekolah.

Hei! Itu bukanlah budaya yang baik dan benar ... tapi pemikiran yang sangat sempit serta kurangnya budi pekerti. Seharusnya kita sebagai generasi muda, memberikan contoh dan edukasi yang bermanfaat serta bisa dijadikan pedoman.

Masih banyak cara untuk mengungkapkan perasaan kita dikala itu. Salah satunya adalah mengisi buku khusus dengan tanda tangan teman-teman, atau bahkan meminta para guru untuk ikut serta mengisinya. Tidak lupa juga berfoto bersama sebagai kenang-kenangan.

Dilain kesempatan, kita bisa berkumpul dan berdiskusi untuk memberikan sumbangan berupa buku-buku bab dan seragam. Itu adalah sebuah tindakan yang akan selalu terkenang dalam memori kita. Nilai plusnya mendapatkan pahala jariyah.

"Hehe, maaf. Tadi nggak sempat nolak ajakan teman-teman, soalnya keburu disemprot mereka," kilah Bima sambil nyengir.

"Alasan," gumam Anis cemberut, "permintaan maaf kamu itu, sekarang tidak berguna lagi. Seharusnya nih, ya! Kamu bisa menolaknya dengan tegas, dan memikirkan apa yang sudah aku katakan sebelumnya!" cecar Anis tanpa menoleh. Sepasang matanya fokus memandang tangan mengukir kertas dengan pikiran yang terbagi di antara Bima dan buku gambar.

"Lagi gambar apa, nih?" pangkas Bima segera mengalihkan topik pembahasan.

"Kamu punya mata, bisa lihat sendiri 'kan?" ujarnya balik bertanya acuh tak acuh.

"Emm ... lagi gambar langit, gunung, punggung cowok, dan cewek," jawab Bima menyebutkan detail gambar ciptaan Anis.

Sebuah gambar berlatarkan langit dan pegunungan dengan bayangan seorang lelaki sambil menggendong tas punggung di salah satu bahunya, sementara di bagian bawah adalah gambar nyata dari bayangan sambil berjalan meninggalkan seorang gadis berambut tergerai.

"Kalau dilihat, kaya menggambarkan sebuah perpisahan," komentar Bima mengerutkan kening, "kok malah gambar gitu, sih?" lanjutnya bertanya keheranan. Tidak bisanya Anis menggambar seperti itu.

"Cowok ini adalah kamu. Dan cewek ini adalah aku," jawab Anis pelan, tiba-tiba suasana hatinya berubah pilu.

"Loh, kok gitu? Emang aku mau pergi ke mana?"

Anis menghela napas pelan, menghalau cairan bening yang mendadak muncul di sudut matanya. Ia masih mendengar jelas teriakan anak-anak bermain bola di tengah lapangan. Mendongkak menatap lurus ke depan, bukannya menjawab pertanyaan Bima, Anis malah terdiam sambil memperhatikan bola yang berpindah-pindah.

Bima membiarkan dan mengikuti arah pandang Anis, sambil menyandarkan punggung lebih dalam di sandaran kursi panjang tersebut. Diam-diam Anis mengusap sudut matanya tanpa sepengatuhaan Bima.

"Sebentar lagi kamu akan jadi mahasiswa di kota. Kita pasti akan jarang bertemu. Atau mungkin tidak bisa bertemu lagi," ungkap Anis memecahkan lamunan mereka.

"Khahaha," Bima tergelak, Anis langsung menoleh bingung.

"Kok ketawa?"

"Habisnya, kamu lucu," balas Bima sambil mengapit ujung hidung Anis.

"Iih, apanya yang lucu?" Anis menepis tangan Bima.

"Dengar ya, Anis sayang!"

Anis lekas berpaling ketika mendengar kata ajaib yang seharusnya hanya akan terlontar di antara sepasang kekasih, bukan seperti mereka.

"Kita itu bertetangga. Jadi, kita akan tetap ketemu kalau aku balik ke rumah," pipi Anis merona saat tangan lebar Bima mengacak pucuk kepalanya.

"Udah ah, aku mau balik. Sudah sore," ujar Anis bergegas membereskan alat tulisnya.

"Anis!" Bima menahan Anis yang sudah siap bangkit dari duduknya.

"Apa?" tuntut Anis penasaran.

Namun, rasa penasaran Anis mendadak lenyap dan berubah gugup ketika tangannya digenggam Bima lembut.

"Ada yang mau aku sampaikan," ujar Bima serius.

"Tentang apa?" tanya Anis pelan hampir tidak terdengar.

Sejak kecil sampai mereka besar, mereka selalu bermain dan belajar bersama. Seiringnya berjalannya waktu, tidak ada yang bisa mencegah perasaan tentang sesuatu yang tiba-tiba muncul di hati keduanya.

"Tentang perasaanku selama ini," jujur Bima sambil memiringkan tubuhnya menghadap Anis, kali ini ia menggenggam kedua tangan gadis tersebut.

Anis terdiam, menerka dalam pikirannya. Tanpa dikomando otaknya bekerja keras dan berputar-putar mencari jawaban yang sebenarnya, sebentar lagi pasti ia dapatkan. Ingin sekali ia menarik tangannya. Sebab, tangan itu bergetar dan berkeringat dingin, yang pastinya dirasakan oleh Bima.

Anis tersentak ketika Bima malah turun dari kursi dan berlutut di hadapannya.

"Bima, apa-apaan, sih? Buruan bangun!" panik Anis menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang melihat aksi Bima.

"Diam aja dan dengerin aku! Kamu cukup jawab pertanyaan aku nanti setelah mendengar semuanya! Oke?"

Bagaikan terkena hipnotis, Anis terdiam dan mengangguk patuh beberapa kali.

"Entah sejak kapan perasaan ini muncul? Tapi setiap kita bersama, perasaan ini semakin tumbuh dan semakin besar. Sudah lama ingin kusampaikan hal ini padamu, tapi aku selalu takut untuk melakukannya. Aku takut, jika perasaanku hanya berada dari sisiku ...," jeda Bima, sejak awal berlutur ia menatap tekat manik kecoklatan di depannya.

Tindakan itu membuat Anis salah tingkah. Bola matanya selalu bergerak menghindari tatapan seorang Abima Sanjaya.

"Anisha Suhaidi, apakah kamu juga mempunyai perasaan yang sama denganku? Perasaan ingin memiliki dan dimiliki? Perasaan ingin selalu bersama tanpa ada sekat di antara kita? Perasaan saling berbagi cerita apapun itu, asalkan tentang kita? Apakah pernah, kamu berpikir seperti itu?" rentetan pertanyaan semakin membuat degup Anis berdetak tak beraturan.

Lidahnya kelu, otaknya tak mampu mengurai pertanyaan guna memberikan jawaban yang semestinya. Ia bingung dan ingin berlari saja, menghindari pertanyaan sebanyak itu, walau sebenarnya mudah untuk di jawab dengan satu jawaban yang sama.

"Jawab, Anis!"

Terkesiap Anis, dan langsung tersadar dari lamunannya seorang.

"Jawab!" ulang Bima meminta.

"Duduk di atas dulu! Baru aku jawab," sahut Anis sambil berusaha melenyapkan atmosfir yang tidak mengenakkan.

Anis bernapas lega ketika Bima bangkit dan duduk lagi di sisinya. Seharusnya Bima tidak perlu melakukan hal konyol itu. Dengan duduk pun ia pasti akan mendengarkan apa yang mau disampaikan Bima.

"Jadi, apa jawabannya?"

"Jawabnya ... sama semua. Iya," ujar Anis menunduk dalam, menyembunyikan rona merah yang memang selalu muncul jika bersama Bima, tapi biasanya ia sangat baik dalam hal menyembunyikannya.

"Maksudnya?" tanya Bima pura-pura tidak mengerti.

"Tau ah, aku mau balik," ketus Anis menahan malu dan beranjak pergi meninggalkan Bima.

Tentu saja Bima langsung mengejar dan mensejajarkan langkah mereka. Tanpa aba-aba Bima merangkul bahu kecil Anis.

"Bima, apa-apaan sih? Nanti ada yang lihat, loh?" dorongan keras dari Anis sempat mengurai dekapan Bima dan berjarak.

Namun, dengan gerakan cepat, Anis kembali masuk dalam rangkulan tangan kekar Bima.

"Aku belum selesai ngomong loh, tadi. Aku baru bilang dan bertanya tentang perasaan kita. Tapi kamu malah nyelonong mau pergi," protes Bima memaksa mereka berhenti.

"Apa lagi sih? Buruan?" kesal Anis mati-matian menahan malu. Yang diperlukannya saat ini adalah menenggelamkan wajah di balik bantal guling.

"Kamu mau nggak, jadi pacar aku?" tanya Bima tanpa melepaskan bahu Anis.

Membuang muka ke sisi lain adalah hal yang bisa Anis lakukan saat ini. Ia menggerutu kesal di dalam hati. Setelah memberikan jawaban atas pertanyaan Bima, tapi lelaki itu belum bisa menarik kesimpulan atas apa yang sudah ia jawab. Kesal bukan main rasanya.

"Mau nggak?" bisik Bima, seketika membuat bulu-bulu halus Anis meremang.

"Jawab."

"Iya, mau," ujar Anis langsung berlari.

Bima terkekeh dan berlari mengejar Anis.

"Anis, I love you."

Anis semakin mempercepat larinya ketika mendengar pengakuan cinta dari teman semasa kecilnya tersebut. Keributan anak-anak yang tengah bermain bola menyamarkan kalimat itu. Ia samar mendengar tawa bahagia yang terselip dari bibir pria yang kini telah resmi menjadi kekasihnya. Tarikan dari sudut bibirnya pun tidak bisa ia hentikan sepanjang perjalanan menuju rumah mereka.

Bersambung ....

Hai semuanya! Mohon maaf kalau hiatusnya sangat lama. 🙏 Semoga kalian masih berkenan membaca karya baru saya! Jangan lupa tap Fv. dan bintang lima dipojok kiri atas. Tinggalkan jejak komentar berserta bonus gift nya. Hehehe. 😅 Untuk yang masih mau baca, saya ucapkan banyak-banyak terimakasih. 🙏 Semoga kalian sehat selalu. Salam sayang ....

Noormy 🤗

Bab 2. Aein.

"Kenapa sih? Kok dari tadi senyum-senyum, terus?"

Anis tersentak kecil dan langsung menoleh pada ibunya yang sedang menumpuk piring kotor usai mereka makan malam.

"Kan, Anis baru lulus sekolah, Bu. Jadi nggak salah 'kan, kalau Anis bahagia?" kilah Anis tersenyum lebar sambil mengambil alih piring kotor dari tangan sang ibu, dan membawanya ke tempat pencucian yang tidak jauh dari tempat makan.

Diam-diam Ania berusaha menahan senyum yang hendak muncul kembali. Ia tahu betul kenapa senyum itu selalu muncul walau pun tanpa diminta. Begitu sulit rasanya untuk mencegahnya. Ingatan tentang kejadian di lapangan sepak bola sudah tentu menjadi alasan utama senyum tersebut.

Bayangan dari mulai Bima berjongkok dan mengutarakan segala perasaannya, hingga pengakuan cintanya kepada Anis. Selalu melambai-lambai di pelupuk mata bagai sebuah rekaman video yang diputar berulang-ulang. Akan tetapi, Anis tidak ingin ibunya tahu. Ia merasa malu dan belum ingin berbagi cerita.

"Yakin ... cuman itu saja?"

"Iya Ibu, sayang. Cuman itu saja, kok," balasnya lembut sambil mencuci piring.

Di rumah sederhana seluas tujuh kali sembilan meter dengan dua buah kamar tidur itu, Anis hanya tinggal berdua dengan ibunya. Sariah, atau biasa dipanggil Riah, ibu dari Anis. Beliau seorang janda berusia empat puluh lima tahun yang ditinggal mati suaminya, karena tabrak lari ketika Anis masih kecil.

Riah bekerja di sebuah pabrik roti dengan jam kerja shift bergilir. Minggu ini Riah kebagian masuk shift siang. Maka dari itu, ketika ia menghadiri kelulusan Anis tadi pagi dan sudah menerima rapor, Riah pamit kepada putrinya untuk bekerja. Anis tentu mengerti akan hal itu, dan tidak masalah.

"Anis!"

"Ya, Bu?" tanya Anis.

"Ibu minta maaf ya, Nak! Karena tidak bisa menguliahkan, kamu," ujar Riah sendu.

"Nggak apa-apa kok, Bu. Malahan lebih bagus, Anis kerja cari uang. Jadi, kita punya banyak uang," sahut Anis semangat sambil mengelap piring basah yang sudah dicuci.

"Memangnya kamu yakin, mau kerja di tempat Ibu?"

"Iya, Bu. Mending kerja bareng Ibu. Besok Anis mau buat surat lamarannya."

"Ya sudah ... besok pagi Ibu temani kamu, minta surat dari puskesmas dulu. Kalau sekalian ke kantor polisi, mungkin nggak sempat. Jadi, surat dari kepolisian buatnya lusa saja! Sekarang Ibu, mau istrahat dulu. Dah ngantuk."

"Iya, Bu," Anis mengangguk dan membiarkan Riah pergi ke kamar untuk tidur, begitu juga dengan dirinya. Namun, bukannya tidur, Anis malah duduk di atas kasur sambil mencek ponselnya. Ada sebuah pesan dari seseorang yang namanya sudah ia rubah dengan sengaja sejak tadi sore.

Aein

"Sayang! Kamu sudah tidur?"

Anis tersenyum malu sambil menengkulupkan wajahnya di atas bantal, ketika membaca satu pesan yang masuk sejak lima menit lalu.

Masih dengan senyum, Anis mengetikkan beberapa kata untuk sang kekasih.

"Belum. Tadi habis cuci piring."

Tulis Anis dan langsung terkirim. Tidak lama kemudia, balasan pasan masuk.

"Aku kangen."

Tambah meronalah pipi Anis.

"Baru juga tadi sore ketemu. Masa kangen, sih?"

Detik berikutnya, ponsel Anis berdering. Anis terkesiap dan buru-buru menekan tombol mati. Ia menggigit bibir bawahnya ketika menyadari panggilan itu dari siapa.

Tidak ingin terulang lagi. Ia langsung mengubah nada panggilnya menjadi silent, dan benar saja. Panggilan kedua masuk dengan penelpon yang sama. Kamar yang bersisian membuat Anis, pergi keluar kamar menuju dapur.

"Halo," sapa Anis pelan.

"Kenapa dirijek?" todong di seberang kesal.

"Ibu lagi istrahat. Memangnya kenapa kamu, nelpon?"

"Pakai nanya, lagi," terdengar jelas jika di ujung telepon itu, Bima berdecak kesal, "aku serius kangen sama, kamu. Tapi kamu malah nggak percaya."

Untuk sekian kalinya, wajah Anis memerah malu. Akan tetapi, ia mendadak menjadi kikuk. Ia bingung harus menanggapi seperti apa? Ini sesuatu yang tidak biasa, dan ia baru pertama kali mengalaminya.

"Kok diam? Kamu masih di sana, kan?"

"Hah? Masih kok, masih," jawab Anis gugup.

"Jadi ... kamu kangen nggak sama, aku?"

"Emm ... enggak tuh," Anis menggigit bibir bawahnya.

Sebab, apa yang ia katakan sangat bertentangan dengan isi hatinya. Hanya saja ia malu untuk berterus terang, walau Bima tidak bisa melihat wajahnya.

"Sekarang kamu di mana?"

"Di dapur," jawab Anis jujur, "kenapa?" lanjutnya.

Anis mengerutkan kening, karena tidak mendengar suara Bima lagi. Ia menjauhkan ponsel dari daun kuping dan melihat layarnya guna memastikan, apakah panggilan itu sudah terputus.

"Halo, Bima ... kok diem?"

"Bukain pintunya!"

"Hah, pintu apa?" pekik Anis bingung.

"Ya, pintu ini."

Anis tersentak kaget dan gelabakan ketika mendengar pintu di ketuk dua kali seiring Bima meminta dibukakan pintu.

"Bima," pekik Anis tertahan ketika mendapati Bima di depan pintu sambil tersenyum lebar, "kamu apa-apaan, sih? Nanti ada yang lihat, gimana?" geramnya berbisik.

"Nggak akan ada yang lihat," jawabnya yakin.

Sebab, selain pencahayaan di rumah Anis tidak terlalu terang seperti di rumah tetangga. Pintu dapur Anis tepat berada di belakang yang tidak terjangkau oleh orang, kalau pun semisalnya ada seseorang yang lewat.

"Ayo, masuk!"

Anis membelalakkan mata mendengar Bima dengan lancangnya mengajak dirinya masuk ke dalam bagaikan tuan rumah.

"Bima, nanti ketahuan ibu," peringat Anis sambil berusaha menarik tangan yang digenggam Bima.

"Udah, diam aja!" bisik Bima membimbing Anis duduk di kursi makan.

Anis pasrah demi tidak mengundang perdepatan yang akan membangunkan ibunya. Entah kenapa hatinya juga berkata ingin bersamanya. Bima perlahan mendekatkan kursi mereka dengan posisi Anis menghadap meja, dan Bima menghadap kepadanya. Anis menunduk malu, karena rambutnya yang menjuntai disisipkan Bima ke belakang telinganya.

"Beneran nih, nggak kangen sama pacarnya?" goda Bima berbisik sambil tetap menggenggam tangan Anis.

Anis menggeleng dalam tunduknya, berusaha keras menyembunyikan senyum dan rona di pipi. Otaknya sedang tidak baik-baik saja, hingga ia berani mengambil langkah yang mungkin akan menjadi mala petaka. Membiarkan seorang lelaki memasuki rumah tanpa sepengetahuan ibunya.

Ia sedikit terkejut ketika dagunya diangkat dan di tarik pelan guna saling bertatapan. Namun, Anis langsung menundukkan pandang dengan senyum yang tidak bisa lagi dibendung.

"Kalau aku udah kuliah, kamu bakalan lama lo nggak lihat aku. Jadi, sekarang waktunya kamu, buat lihat aku sampai puas!"

Anis refleks mencibir, dan dalam hitungan detik, bibir bawah Anis sudah berada dalam mulut Bima. Udara yang tadinya dingin mendadak berubah panas hingga membakar seluruh tubuh.

Anis terpaku, pandangannya terbatas dan penuh dengan wajah Bima. Perlahan wajah lelaki itu menjauh seiring tarikan lembut di bibirnya.

Hening, keduanya beradu pandang tanpa satu kata yang terucap. Beberapa detik kemudian, Bima kembali mendekatkan wajahnya. Tanpa disuruh, Anis spontan menutup mata dan membuka sedikit mulutnya.

Ini adalah pemgalaman yang pertama bagi keduanya. Namun, bohong rasanya kalau mereka tidak tahu bagaiman orang berciuman. Di jaman moderen ini, hampir semua film indonesia yang mempertontonkan adegan ciuman. Bahkan, film luar negeri pun dengan beraninya menyelipkan adegan panas sebagai bumbu penasaran.

Bima menyesap pelan bibir bawah Anis yang sedikit tebal, sesekali ia menjulurkan lidahnya. Merasa ada balasan dari Anis, membuat satu tangan kokoh dengan jemari panjang berhiaskan bulu-bulu kecil seakan bergerak slow montion mendarat di belakang lehernya.

Keduanya terhanyut dalam sebuah kenikmatan dan semakin memperdalam ciuman. Sesuatu yang baru mereka rasakan seolah engan untuk dihentikan begitu saja.

Bunyi dentuman pintu yang keras membuat keduanya mengurai ciuman secara paksa, karena kaget. Keduanya langsung menoleh ke asal suara, seiring dengan panggilan sang ibu.

"Anis, kamu di dapur?"

"Iya Bu, Anis di dapur," jawabnya cepat.

"Bunyi apa itu?"

"Pintu Bu, ketiup angin. Tadi Anis lupa kunci."

"Ya sudah, cepat kunci pintunya dan langsung tidur!"

"Iya, Bu."

Anis bangkit dari duduknya dan langsung menarik Bima, membawanya keluar lewat pintu yang membawanya masuk.

"Yang, aku masih kangen," protes Bima tidak terima di dorong ke luar rumah.

"Ini udah malah. Nanti kamu dicariin mama, kamu."

"Ck, ini semua gara-gara angin," decak Bima kesal, "kenapa tadi aku lupa ngunci pintunya?" imbuhnya menggerutu.

"Eh, tunggu dulu," Bima menahan pintu yang hendak ditutup Anis.

"Apa lagi?"

"Cium dulu!" pintanya.

"Nggak! Tadi sud---."

Namun, tanpa meminta persetujuan Anis, Bima sudah lebih dulu membekap mulut Anis dengan mulutnya dan menghisap cepat.

"Bima," pekik Anis mendorong Bima dan langsung menutup pintu perlahan agar tidak terdengar.

Kembali ke dalam kamar, Anis tersenyum sambil mengusap-usap bibirnya. Tidak ada sedikit pun penyesalan yang ia tunjukan, bahkan walau mata itu terpejam. Malu memang sempat singgah, tapi rasa bahagianya lebih mendominasi.

...🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁...

Pagi harinya ....

Seperti janji Riah tadi malam, pagi ini Anis akan pergi ke puskesmas guna melengkapi surat lamaran kerja yang akan dilampirkan dalam surat lamarannya. Usai sarapan mereka langsung menuju puskesmas yang terletak dekat kantor kecamatan.

Anis melewati rumah Bima dan berharap bisa melihat sang pemiliknya, walau pun hanya sekedar melambaikan tangan. Namun, apa yang diharapkan tidak sesuai keinginannya.

Setibanya di puskesmas, sudah terlihat beberapa orang yang hendak berobat. Riah duduk di kursi tunggu stanliss, sementara Anis menuju loket pendaftaran. Ia disuruh mengisi formulir sebelum diarahkan ke sebuah ruangan.

Setelah melakukan beberapa tes kesehatan, akhirnya Anis menerima surat yang mengatakan jika dirinya dinyatakan sehat secara jasmani.

"Nisha!"

Anis menoleh ketika mendengar suara berat dan dalam memanggil namanya saat ia baru saja keluar dari ruangan. Seorang lelaki bertubuh tinggi dan sedikit berisi melempar senyum ramah padanya, membuat Anis mau tak mau ikut membalas senyum tersebut.

"Mau minta surat keterangan sehat, ya?" tanya lelaki itu ketika sudah dekat dengannya.

Anis mengangguk membenarkan dan mengangkat surat di tangannya sebelum balas bertanya, "Kamu?"

"Aku juga sama," ujarnya, "kamu sama siapa?"

"Sama ibu."

Lelaki itu mengangguk mengerti.

"Aku duluan ya, Dafa," ijin Anis dan tentu saja tidak ada alasan bagi Dafa untuk menahannya.

"Hati-hati," pesan Dafa.

Anis terpaksa mengangkat sudut bibirnya sebagai tanggapan dan segera berlalu dari hadapan pria yang mempunya lubang di pipi kanannya ketika tersenyum tadi.

Bersambung ....

Keterangan :

Dalam bahasa Korea, 'Aein' berarti kekasih. Biasa digunakan baik pria maupun wanita.

Bab 3. Menegangkan.

"Dari mana, Tante?"

Pertanyaan itu sempat membuat Anis terkejut ketika melewati rumah Bima dan langsung melirik ke asal suara, walau sebenarnya ia tahu betul siapa pemilik suara tersebut.

"Eh, Bima. Tante habis temenin Anis, ke puskesmas," tanggap Riah.

Anis menggigit bibir bawahnya sambil diam-diam memperhatikan ibu dan Bima.

"Lo ... Anis sakit, Tante?" dengan gerakan cepat, Bima membuka pagar rumahnya begitu saja dan kini sudah berdiri di samping Anis. Tanpa aba-aba tangan kokohnya mendarat di permukaan kening Anis.

Anis terkesiap dan membatu, menatap Bima tanpa berkedip.

"Anis nggak sakit kok, Bim. Tadi Anis minta surat keterangan sehat, buat lamaran kerja," jawab Riah buru-buru.

"Kamu mau kerja?" tanya Bima sambil menarik tangannya.

Anis hanya mengangguk tanpa menjawab. Sebab, lidahnya kelu, bayangan kejadian tadi malam seketika muncul dan membuatnya ketakutan jika ketahuan ibunya.

Aneh menang, seharusnya perasaan takut itu muncul tadi malam, tapi kenapa malah datang sekarang? Mungkin itu yang dinamakan 'cinta tak ada logika', seperti sebuah lagu yang dinyanyikan seorang penyanyi terkenal.

"Ya sudah ya, Nak Bima. Tante mau kerja dulu," pamit Riah.

"Iya, Tante. Hati-hati," pesan Bima sambil.

"Ayo, Anis!"

Bima masih betah berdiri di tempatnya berpijak sambil memperhatikan ibu dan anak itu menuju rumah.

Kedua wanita berbeda generasi itu kemudian berpisah di depan halaman. Riah terus berjalan, karena akan bekerja. Sementara itu, Anis masuk ke dalam rumah. Sebelum Anis benar-benar masuk dan menutup pintu, Bima sudah berlari menghampirinya.

"Sayang!"

"Bima?" pekik Anis terkejut, "ngapain?"

"Ya ketemu, kamulah," balas Bima sambil masuk ke dalam rumah melewati Anis.

"Udah ketemu 'kan? Mending pulang, gih!" usirnya masih berdiri di dekat pintu.

Bima berbalik mendekati Anis. Menatap lembut sepasang bola mata kecoklatan yang mulai bergerak-gerak gelisah, ketika ia mengikis jarak yang terbentang di antara mereka. Mendesak Anis hingga perlahan berjalan mundur.

Diam-diam Bima sudah memegang ganggang pintu, dan menutupnya seakan gerakan slow montion seiring dengan Anis yang terpojok ke dinding.

"Ma--mau ngapain?"

Anis mendadak gugup dan kaku. Kedua tangannya spontan terangkat menahan dada bidang Bima yang semakin merapatkan diri menggunakan punggung tangan.

Dari jarak sedekat itu, dan menyanggah langsung dada kokoh Bima. Anis dapat merasakan debaran jantung sang kekasih yang tak seirama. Bukan hanya degup jantung Bima, jantungnya pun semakin tak terkontrol detaknya.

"Pacar kok, diusir. Emang kamu nggak mau aku cium, lagi?"

Bulu-bulu halus Anis meremang, ketika Bima berbisik dan napasnya menerpa daun telinga.

"Apa-apaan sih, Bima? Jangan kaya gini! Aku nggak nyaman," ujarnya malu-malu, karena diingatkan tentang ciuman tadi malam.

"Masa sih? Tapi kayanya ... tadi malam ada yang, keenakan," goda Bima sambil menjawil dagu Anis.

Anis merona dan tersipu malu. Ia terlonjat kaget, ketika mendadak satu tangan Bima memeluk pinggangnya. Ia menjerit di dalam hati. Hatinya ingin sekali menolak, mendorong, memaki dan mengusir Bima agar pergi dari rumahnya.

Namun, tubuhnya berkata lain. Tubuhnya menuntut, meminta agar Bima mengeratkan pelukan mereka. Atau bahkan mencoba mengulang kejadian tadi malam.

"Bi--Bima ... lepasin!" pintanya lirih sambil menunduk dalam.

"Yakin?" Bima menahan dagu itu agar tetap mendongkak padanya. Ia semakin senang melihat pipi merah muda tersebut.

Lantas lima jemari itu menangkup pipi Anis yang terasa panas. Perlahan bergerak mengusap lembut, dan ibu jarinya merayap ke arah bibir bawah Anis.

"Boleh, kah?" Bima meminta ijin.

Kalau mungkin pikiran Anis dalam keadaan baik-baik saja. Mungkin tangannya sudah mendarat di kening lelaki itu, untuk mengingatkan. Jika tadi malam, tidak ada terucap permintaan ijin seperti itu dari mulutnya.

"Emm?"

Anis mengangguk malu-malu. Sebab, bukan hanya Bima yang menginginkannya, namun dirinya pun demikian. Sepasang kelopak mata berbulu lentik dan panjang, tanpa diminta sudah terpejam sempurna.

Dengan degup jantung dan perasaan gembira, Bima langsung mendekatkan wajah mereka tanpa keraguan. Sesuatu yang kenyal dan hangat kini sudah mereka rasakan. Detik berlanjut, sesapan pun saling bertukar bersamaan.

Sepasang tangan Anis kini sudah berpindah dan memegang erat baju kaus di kedua sisi pinggang Bima, membuat lelaki itu turut menekan pinggang juga leher Anis semakin dalam.

Akan tetapi, kesenangan dan kenikmatan itu hanya bersifat sementara lantas melebur hancur musnah tak tersisa, ketika daun pintu di samping mereka terbuka setengah.

Mendadak tubuh keduanya bergetar. Hawa panas menjalar dari ubun-ubun hingga ujung kaki. Akal hilang tak terkendali, membuat tubuh terasa melayang tak sanggup berdiri.

Wajah putih sepasang manusia yang baru saja terlena oleh rayuan setan itu, tiba-tiba berubah pucat bak tak bernyawa.

Seakan ditarik paksa dari jurang terdalam, kemudian dilempar kembali hingga sulit untuk berkata-kata.

"I--Ibu," Anis tergagap menatap sosok wanita yang sudah mengandung dan rela berkorban nyawa guna melahirkannya.

"Kalian," geram Riah melirik tajam bergantian.

"Ada apa, Bu Riah?"

Keduanya terkesiap ketika mengetahui bahwa ada sosok lain di belakang Riah, dan kini orang itu menatap mereka terkejut.

"Sedang apa kalian berduan di rumah ini?"

"Ka--kami ...."

Susah payah Bima menelan ludah seakan tenggorokannya sedang terganjal beberapa batu kerikil.

"Kalian pasti sedang berbuat hal tidak senonoh!" tuduh orang itu menohok.

"Biar saya panggil ibu kamu, Bima!" ujarnya berbalik cepat.

"Bu--Bu Rt!" panik Bima ingin mengejar.

"Berhenti kamu di situ!" cegat Riah dingin dengan tatapan yang tidak bersahabat.

Tidak mampu menolak, Bima pun terdiam menunduk takut, begitu juga Anis. Selang lima menit kemudian, Ibu Rt datang lagi bersama seorang wanita berusia empat puluh enam tahun sambil menahan marah.

"Bima!"

Suara wanita itu menggema di depan rumah sederhana sepasang ibu dan anak tersebut, hingga terdengar sampai ke rumah tetangga. Seketika mencuri rasa keinginan tahuan orang-orang di sekitarnya.

"Ma---," ujar Bima berkali-kali lipat masuk dalam kubangan kepanikan dan ketakutan.

"Anak tidak tahu diuntung! Bikin malu orang! Kamu sudah mencoreng muka, Mama," amuk wanita yang tidak lain ialah ibu Bima.

Wanita itu mengambil sebuah sapu yang tidak jauh darinya, dan langsung mendaratkan pukulan bertubi-tubi di punggung putranya. Tidak ada pembelaan atau pun perlawanan, Bima menerima semuanya pasrah dan tak berdaya.

Di sisi lain, cairan bening berjatuhan membasahi pipi Anis, bersamaan ia menatap Bima prihatin. Ia melirik Riah yang ternyata juga melihat ke arahnya. Terlihat jelas jika ibunya itu marah dan kecewa. Ia tahu, rasa bersalah maupun penyesalan tidak akan mampu merubah keadaan.

Bahkan, kata maaf pun ia ragu jika ibunya itu akan menerima. Semua yang terjadi hari ini hanya menyisakan sesal yang mendarah daging, serta luka untuk ibunya juga orang tua Bima.

Anis tahu bahwa meraka tidak sampai melewati batas, dan bisa saja melakukan pembelaan. Akan tetapi, rasa takut juga bersalah lebih mendominasi, hingga lidahnya begitu kaku.

Seandainya, ibunya tidak pulang dan melihat perbuatan mereka langsung, mungkin mereka akan selalu melakukan hal itu terus dikala ada kesempatan seperti tadi. Kemungkinan terburuknya ialah, bisa saja mereka terbuai dan nekat melampaui batasan serta larangan.

"Bu Susan, hentikan!"

Anis kaget ketika melihat Pak Rt datang dan segera menjauhkan Bima dari amukan ibunya. Ia baru sadar, jika tadi Ibu Rt pergi memanggil suaminya. Anis semakin terlonjat kaget, saat mendengar kegaduhan dari para tetangga di luar rumah.

"Sudah Bu Sasan! Hentikan Bu! Hentikan!"

Pak Rt menyembunyikan Bima di balik punggungnya. Sekekali beliau juga terkena pukulan dari batang sapu, membuat Ibu Rt memeluk Susan dan menariknya agar menjauh.

"Sudah Bu Susan, sudah! Sebaiknya kita bicarakan masalah ini baik-baik!" usul Pak Rt sambil menahan sakit di pergelangan tangannya.

"Saya ingin anak saya dinikahkan hari ini juga, Pak!"

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!