Burung-burung berkicau dengan merdunya seakan mengundang telinga siapa saja untuk setia mendengarkannya. Seakan mendukung, cuaca diluar pun rasanya begitu sejuk untuk melanjutkan tidur pagi yang sempat tertunda karena melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim yakni melaksanakan salat subuh. Namun, tiba-tiba saja suara keras alarm merusak momen indah pagi hari ini.
Kringgg....
Suara alarm seakan memaksa Wafa untuk berpisah dari mimpi indahnya untuk menghadapi sebuah kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan bahwa dia harus bangun pagi dari biasanya.
Gadis yang memiliki bulu mata lentik dengan bola mata hitam pekat itu rasanya enggan untuk bangkit dari tidur panjangnya. Wafa kemudian mengambil posisi duduk sambil mengucek mata. Sejenak dia berusaha untuk mengembalikan kesadarannya secara penuh.
Tok...tok...tok....
"Kak Wafa, bangun. Ini udah jam setengah 7 kak, nanti aku telat ke sekolahnya." Teriak seorang gadis di balik pintu yang tak lain adalah adik dari Wafa yaitu Meila.
"Berisik!" balas Wafa dengan nada suara yang tidak kalah tingginya.
"Ibu, kak Wafa belum mau bangun," adu Meila pada ibunya yang kini sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan untuk mereka.
"Duh, Meila kenapa harus gangguin pagi -pagi gini sih." oceh Wafa yang mendengar adiknya sudah mulai memanggil sang ibu. Kalau sudah begini mana bisa ia tidak menggunakan jurus kilatnya untuk bangun dari kasur empuknya.
Sedangkan ibu Yana yang tengah sibuk membuat nasi goreng di dapur seketika membuang napasnya dengan kasar ketika mendengar suara Meila yang berteriak mengadu padanya. Setelah selesai dengan rutinitas di dapur, Ibu Yana kemudian berjalan menuju kamar Wafa.
"Wafa, ayo bangun sayang. Ini sudah jam berapa, nanti adek kamu telat ke sekolah lho." ucap ibu Yana yang kini berada di depan pintu kamar Wafa.
"Iya, bu. Ini juga Wafa udah mau mandi kok"
"Ya, udah ibu tunggu kamu di meja makan. Awas, ya, kalau 15 menit belum keluar kamar." peringat ibu Yana untuk putri sulungnya itu.
Setelah menunggu kurang lebih 15 menit. Pintu kamar berwarna coklat tua itu tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok gadis dengan gamis berwarna navy dan juga hijab yang berwarna abu-abu.
"Lama banget sih kak, di tungguin dari tadi juga. Gimana kalau aku telat ke sekolahnya." Meila kembali mengoceh saat melihat Wafa yang baru saja keluar kamar.
"Kalau telat, ya, di hukumlah." Ucap Wafa dengan santainya sambil menarik salah satu kursi untuk bergabung sarapan bersama keluarganya.
"Bu...." Rengek Meila saat mendengar ucapan santai kakaknya itu.
Beginilah setiap hari keluarga Wafa. Selalu saja ada pertengkaran kecil antara dia dan sang adik.
Tak ingin ambil pusing dengan adiknya yang terus saja mengoceh. Wafa hanya diam dan menikmati sarapan yang dibuat oleh ibunya. Setelah makanan di piringnya sudah bersih, ia pun memilih untuk berpamitan dengan sang ibu.
"Wafa pamit, ya, Bu." ucap Wafa sambil menyalami tangan sang ibu. Begitupun dengan Meila adiknya.
Setelah berpamitan, ia kemudian berangkat ke kampus dengan mengendarai motor kesayangannya. Namun, sebelum itu dia harus mengantar Meila ke sekolah lebih dulu. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 15 menit. Akhirnya Wafa sampai pada sebuah gerbang berwarna hitam dengan tulisan "SMP PELITA" yang terpampang jelas di atas pagar sekolah tersebut.
"Makasi kak." ucap Meila kepada Wafa yang kini sudah turun dari motor dan berdiri di depan sang kakak.
"Yaudah aku--" Meila belum sempat menyelesaikan perkataannya seorang gadis tiba-tiba meneriakkan nama Meila. Sontak hal tersebut membuat Meila mencari ke sumber suara.
"Hey, baru sampai?" Sapa gadis tersebut yang tak lain adalah sahabat dari Meila yaitu Reni.
"Iya, ini baru aja." Reni yang mendengar itu kemudian mengalihkan pandangannya menuju Wafa.
"Eh kak Wafa. Pagi kak." sapa Reni dengan senyum manisnya.
"Pagi Ren"
"Meila, kenapa kamu kesiangan lagi sih datangnya. Untung gerbangnya belum ditutup." Meila yang mendengar itu kemudian menunjuk Wafa menggunakan dagunya.
"Tuh, gara-gara kak Wafa. Bangunnya kesiangan lagi."
"Heh, enak aja. Itu kakak udah pagi tahu bangunnya." sewot Wafa yang tak terima dengan ucapan Meila. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang dikatakan Meila memang benar adanya.
"Lho emang bener kok. Buktinya tadi kakak bangunnya jam sete--"
"Udah ah, kakak mau berangkat dulu. Bosen denger kamu yang hobinya nyebarin aib kakak sendiri." Reni seketika tertawa mendengar ucapan dari Wafa. Bukan rahasia lagi jika Meila dan Wafa seringkali berdebat tanpa kenal tempat.
"Kakak pergi dulu. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumusalam" ucap Meila dan Reni serentak.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit akhirnya Wafa sampai di kampus dan langsung memarkirkan motornya di parkiran khusus mahasiswa. Seperti biasanya Wafa datang dengan membawa dua kantong plastik merah di tangannya. Kantong tersebut berisi beberapa bungkus kripik dagangannya. Setelah menitipkan barang dagangannya di kantin, Wafa sedikit bingung pasalnya hari ini jadwal kuliahnya di mulai jam 10. Dan sekarang jam di ponsel Wafa baru menunjukkan pukul 08.05.
"Ke perpustakaan aja kali, ya." Gumam Wafa sambil berjalan menuju perpustakaan.
Saat tiba di perpustakaan, Wafa mengedarkan pandangannya melihat buku yang tersusun rapi disana. Tak terasa kakinya terus melangkah mengikuti setiap lorong di perpustakaan. Jari-jarinya tidak lepas dari jejeran buku-buku yang tersusun di rak berwarna putih itu. Tapi, karena terlalu fokus untuk mencari buku, tanpa sengaja Wafa menabrak sesuatu yang membuat dia hilang keseimbangan dan jatuh ke lantai.
"Aduh...." Wafa sambil meringis memegang pinggangnya.
Tanpa niatan untuk membantu Wafa yang terjatuh, orang itu justru melontarkan kalimat yang membuat Wafa menatapnya tak percaya.
"Punya mata nggak sih lo?" tanya laki-laki tersebut dengan suara datarnya.
"Harusnya saya yang nanya sama kamu. Kamu nggak liat kalau saya lagi sibuk nyari buku. Kenapa pakai ditabrak segala sih."
"Minggir!" ucap orang tersebut kemudian pergi meninggalkan Wafa yang masih saja menatapnya dengan heran. Bahkan kata maaf tidak dilontarkan laki-laki itu. Padahal jelas-jelas dia yang salah karena menabrak Wafa.
Kesal. Itulah yang dirasakan Wafa saat ini. Yang awalnya berniat untuk membaca buku dengan suasana tenang, tapi justru ia harus menghadapi kenyataan yang berbanding terbalik dengan apa yang di alaminya. Karena tak ingin menambah beban hidupnya, Wafa kemudian melangkah keluar dari perpustakaan dengan kekesalannya.
"Eh ada cewek penjual kripik nih. Mau dong keripik singkongnya, hhhhhh" ucap seorang perempuan dengan nada mengejek sambil menatap Wafa yang baru saja keluar dari perpustakaan.
Inilah kehidupan Wafa yang sesungguhnya. Ia selalu saja mendapatkan julukan-julukan baru dari teman sekampusnya. Namun, hari ini Wafa tak ingin terpancing dengan hinaan perempuan di depannya. Wafa pun melanjutkan langkahnya yang tertunda itu.
"Baru jual kripik singkong aja udah bangga. Sampai-sampai dia udah ngerasa pantas buat jadi mahasiswa di kampus kita ini."
Wafa yang mendengar itu seketika berbalik menghadap ke arah perempuan yang tengah melemparkan tatapan mengejeknya.
"Kenapa harus merasa nggak pantas? Paling tidak saya tahu cara lain supaya nggak minta uang sama orang tua." Balas Wafa yang berdiri di depan perempuan yang tengah menyindirnya.
"Eh si tukang keripik marah nih." ucap salah satu dari mereka. Setelah mengucapkan kalimat tersebut merekapun pergi meninggalkan Wafa yang masih setia di tempatnya.
Beberapa mahasiswa berlalu lalang di sekitar Wafa dan melemparkan tatapan yang sulit diartikan.
"Lah kenapa lo cewek kripik?" Tanya salah mahasiswa perempuan dengan nada tak bersahabat.
"Mungkin lagi mikirin apa nanti kripiknya laku habis atau nggak." ucap salah satu temannya. Mereka pun menertawakan kehidupan Wafa yang seolah-olah hanya menjadi sebuah lelucon belaka bagi mereka.
"Lo mau kuliah atau mau dagang sih?" Setelah mengucapkan kalimat itu merekapun kembali melanjutkan tawanya tanpa rasa bersalah sama sekali. Sedangkan Wafa yang mendengar itu menampilkan wajah seolah tak terjadi apa-apa. Rasanya Wafa sudah kebal dengan segala hinaan yang selalu saja dia dapatkan dari teman-teman kampusnya. Dia sudah hapal betul bagaimana cara membentengi diri agar tidak terpengaruh dengan ucapan orang lain. Fokusnya saat ini adalah pada pendidikannya. Apapun yang orang katakan perihal hidupnya itu hanya dia anggap sebagai salah satu rintangannya dalam meraih impian dimasa yang akan datang kelak.
Setelah perdebatan panas di depan perpustakaan tadi. Kini Wafa sedang duduk sambil mendengarkan dosen yang sedang menjelaskan. Jujur saja, sebenarnya Wafa tidak mendengarkan dosen yang sibuk menjelaskan materi secara penuh. Dia hanya sedang berusaha untuk mengalihkan bisikan yang buruk dari teman kelasnya.
"Eh tau nggak sih, ternyata ibu dari cewek penjual singkong itu juga penjual gorengan di pasar." bisik salah seorang perempuan yang ada di belakang Wafa pada teman yang berada disampingnya.
"Pantas aja anaknya jual kripik singkong. Ternyata keturunan," ucap perempuan yang satu lagi dengan nada mengejek.
"Harusnya tuh dia nggak usah kuliah disini. Mending dia bantu ibunya jualan di pasar." tambah perempuan itu sambil tertawa kecil.
"Mungkin nih---" ucapan perempuan tadi tiba-tiba terhenti saat melihat seseorang baru masuk ke dalam kelas.
"Maaf Pak saya terlambat." ucap laki-laki tersebut sambil menghadap ke arah dosen yang sedang berdiri menatapnya.
Tatapan mahasiswa yang lain pun tak terlepas dari laki-laki tersebut. Laki-laki dengan postur tubuh yang tinggi dengan kulit putih dan wajah tirusnya menambah kadar ketampanan laki-laki itu. Ditambah dengan kemeja serta topi hitam yang melekat di kepalanya membuat semua kaum hawa seakan enggan mengalihkan pandangannya.
"Sudah jam berapa ini? Kenapa kamu baru datang sekarang?" Ucap sang dosen laki-laki tersebut dengan raut wajah yang sedikit kesal.
"Maaf Pak tadi ban motor saya bocor, jadi saya terlambat datang ke kampus Pak."
"Ya, sudah lain kali jangan diulangi. Silahkan duduk."
"Baik Pak, terima kasih." ucap laki-laki tersebut sambil berjalan menuju salah satu kursi kosong yang tepat berada disamping Wafa.
Wafa merasa bahwa wajah dan penampilan laki-laki itu tidak asing baginya. Entahlah tapi Wafa merasa bahwa dia pernah bertemu dengan laki-laki yang kini duduk disamping kursinya.
"Eh itu siapa?" Bisik salah seorang perempuan kepada teman laki-laki yang berada disampingnya.
"Dia Refano. Sebelumnya dia dari kelas lain. Tapi nggak tau tiba-tiba dia pindah ke kelas ini." jawab laki-laki itu seadanya.
"Walaupun dia ganteng tapi muka dia kayak jutek dan datar gitu sih. Apa dia emang kayak gitu orangnya?" Tanya perempuan itu lagi dengan raut wajah penasaran.
"Mungkin sejak lahir udah kayak gitu. Kata teman sekelasnya dulu, dia juga agak pendiam dan jarang bergaul sih."
Kelas pun berlanjut hingga tak terasa 2 jam telah berlalu dan kini semua mahasiswa meninggalkan kelas karena perkuliahan hari ini sudah selesai.
Seperti biasanya setelah selesai kuliah Wafa kemudian berjalan menuju kekantin untuk mengecek dagangannya yang ia titipkan pada ibu kantin.
"Assalamualaikum, Bu." ucap Wafa dengan sopan kepada ibu kantin yang tengah sibuk menata barang dagangannya.
"Wa'alaikumussalam!"
"Eh Wafa, mau ambil uang hasil kripik singkong, ya?" Wafa hanya mengangguk sebagai jawaban 'iya'.
"Hari ini kripiknya nggak kejual habis. Masih ada sisa 4 kantong dan ini uangnya, ya." ucap ibu kantin tersebut sambil menyodorkan beberapa lembar uang hasil penjualan kripik kepada Wafa.
"Oh, iya, Bu. Nggak apa-apa, makasih, ya, Bu sudah bantu jual kripik singkong Wafa."
"Kalau gitu Wafa permisi dulu Bu, assalamualaikum," sambung Wafa sambil bersiap melangkahkan kakinya.
"Eh Wafa tunggu sebentar. Tadi ada orang yang nitipin surat ini untuk kamu." Wafa menyeritkan dahinya bingung. Namun tak lama kemudian Wafa menerima surat tersebut.
"Dari siapa, bu?" Tanya Wafa penasaran.
"Ibu juga kurang tahu Wafa. Dia nggak sebutin nama juga. Setelah titip surat untuk kamu dia langsung pergi.
"Oh, iya, udah Bu, kalau gitu saya permisi dulu. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam!"
Wafa kemudian menghentikan langkahnya pada sebuah kursi yang berada dibawah pohon sekitar parkiran. Ia sangat penasaran siapa yang mengirimkan surat untuknya? Teman? Rasanya tidak mungkin. Wafa tidak memiliki teman satupun di kampus ini. Karena tak ingin terlalu pusing untuk menerka siapa pemberi surat tersebut, Wafa kemudian membuka surat tersebut lalu perlahan membacanya.
Hai, Wafa.
Salam kenal.
Mungkin saat kamu menerima surat ini dan membacanya, kamu akan sedikit heran. Tapi, satu hal yang perlu kamu tahu. Aku ingin berteman baik denganmu walaupun hanya lewat selembar surat ini. Maaf karena aku belum bisa menemuimu sekarang. Tapi, suatu saat aku berjanji akan memberitahukan siapa aku sebenarnya.
Oh, iya, setelah membaca surat ini kamu pergilah ke arah parkiran.
~Salam hangat dariku,🌹
Parkiran? Fikiran Wafa langsung tertuju pada parkiran. Sebenarnya apa yang terjadi disana? Wafa kemudian melangkah menuju parkiran. Dan tiba-tiba ia membulatkan matanya melihat seseorang yang secara cepat ingin melayangkan pukulan pada orang yang ada didepannya.
Wafa kemudian berlari dan seketika berteriak membuat dua orang tersebut langsung menatapnya dengan kekesalan.
"STOP!" teriak Wafa yang mampu menarik perhatian dua sosok lelaki tersebut. Kondisi di parkiran memang sedikit sepi dari biasanya sehingga Wafa bisa melihat jelas kedua laki-laki tersebut.
"Apaan sih loh!" bentak laki-laki tersebut yang tak lain adalah Refano. Laki-laki yang baru saja pindah kekelasnya.
Wafa kaget bukan main saat melihat Refano disana. Kenapa harus Refano? Dan sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka berdua?
"Awas, ya, lo. Tunggu pembalasan dari gue
" ucap laki-laki yang ada didepan Refano sambil melangkah meninggalkan Refano dan Wafa di parkiran.
"Mau loh apa sih? Cewek nggak jelas." kini Refano sudah menunjukkan raut wajah seramnya.
"M-maaf ta---"ucapan Wafa ketika terpotong ketika Rafano dengan sengaja menabrak tubuhnya dan terjatuh di tanah dengan kripik singkongnya yang jatuh berserakan.
Brukk
"Aduh!" Wafa meringis mendapatkan perlakuan tidak baik dari Refano.
Wafa melihat kripiknya sudah jatuh berserakan dan berniat untuk memasukkannya kembali pada kantong plastik miliknya. Saat sedang fokus memungut barang dagangannya tiba-tiba saja seorang perempuan cantik dengan penampilan rapi dan rambut sebahu membantunya. Wafa dibuat diam karenanya. Baru kali ini ada yang menolong Wafa. Dan tidak menghinanya.
"Nih, keripik kamu," ucap perempuan tersebut sambil menyodorkan bungkusan kripik milik Wafa.
"Makasi," ucap Wafa sambil tersenyum.
"Oiya, kenalin aku Fani. Kalau boleh tau nama kamu siapa?" Tanya Fani sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Eh aku Wafa."
"Kok kamu kayak heran gitu sih aku ajak kenalan?" Tanya Fani sambil tersenyum kecil. Fani tak menyangka Wafa jadi seperti orang kebingungan saat Fani menyebutkan namanya.
"Eh n-nggak kok. Aku cuman nggak terbiasa aja. Karena aku kan nggak punya teman disini." ucap Wafa dengan jujur.
"Ya, udah kalau gitu sekarang kita temenan." Wafa seketika mendongkak menatap Fani dengan tak percaya. Selama ini tidak ada yang ingin berteman dengannya karena dia hanyalah seorang penjual kripik singkong.
"Eh kok malah ngelamun lagi?" mendengar teguran dari Fani seketika membuat Wafa kembali fokus.
"Kamu nggak malu temenan sama aku?" Tanya Wafa pelan.
"Lho ngapain harus malu?" Tanya Fani secara spontan.
"Apa karena kamu suka jualan kripik di kampus?" Tebak Fani. Dan Wafa pun mengangguk sebagai jawaban.
"Kamu nggak perlu malu gitu kok. Justru kamu harus bangga sama diri kamu sendiri. Belum tentu orang-orang diluar sana bisa kayak kamu, yang berjuang untuk membiayai kuliah sendiri." Wafa benar-benar tersentuh dengan ucapan Fani.
"Makasi," hanya kata itu yang mampu Wafa keluarkan saat ini.
"Oh, iya, aku boleh minta nomer kamu, nggak?" Tanya Fani sambil memberikan ponsel miliknya ke arah Wafa.
"Hm, boleh kok." Wafa kemudian menekan beberapa angka disana dan kembali memberikan ponsel tersebut pada Fani.
"Makasi, ya. Kalau gitu aku pamit duluan, ya. Soalnya aku ada urusan."
"Sampai ketemu besok Wafa!" teriak Fani sambil melambaikan tangannya ke arah Wafa dan Wafa melihat itu kemudian membalasnya.
Wafa yang baru saja sampai di rumahnya kemudian melangkahkan kaki menuju kamar lalu merebahkan dirinya dikasur dengan nuansa pink itu. Wafa menatap langit-langit kamarnya seakan-akan memikirkan sesuatu.
Wafa kemudian bangun dan merubah posisinya menjadi duduk dipinggir kasur. Wafa kembali mengingat kejadian hari ini di kampus. Tiba-tiba saja Wafa teringat akan dua orang baru yang dia temui hari ini. Rafano dan Fani.
"Aku pernah ketemu Refano di mana, ya, kok kayaknya aku pernah ketemu dia sebelumnya. Tapi di mana?" Monolog Wafa dan kembali berusaha mengingat-ingat setiap kejadian demi kejadian yang terjadi hari ini.
"Oh, iya, dia orang yang nabrak aku pas di perpus tadi." ucap Wafa dengan hebohnya. Dan detik berikutnya raut wajah Wafa berubah menjadi bingung.
"Eh, tapi bentar deh. Kalau Refano yang nabrak aku pas di perpustakaan tadi, artinya dia bohong dong soal ban motornya yang bocor."
"Terus kenapa pas di parkiran tadi dia kayak mau berantem gitu, ya?" Belum sempat mendapatkan jawaban dari pertanyaannya sendiri tiba-tiba saja Wafa mendengar suara seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar.
"Kak Wafa" teriak Meila dibalik pintu kamar.
Wafa kemudian berjalan menuju pintu dan diraihnya gagang pintu itu kemudian membukanya.
"Kenapa?" sewot Wafa yang kesal dengan adiknya yang selalu saja berteriak. Lama-lama rumahnya seperti hutan saja.
"Di panggil sama ibu di dapur." ucap Meila. Wafa kemudian memperhatikan penampilan adiknya dari bawah sampai ke atas. Dia baru menyadari bahwa penampilan Meila saat ini sangat rapi membuat Wafa melontarkan pertanyaan pada sang adik.
"Mau kemana? Kok tumben rapi gini?" tanya Wafa sedikit penasaran.
"Mau kerja kelompok kak. Kakak tenang aja aku perginya sama Reni kok. Aku juga udah izin sama ibu tadi." Ucap Meila kemudian mengulurkan tangannya dengan telapak tangan menghadap keatas seolah-olah meminta sesuatu.
"Kakak nggak punya uang!" ucap Wafa secara cepat melihat tangan Meila yang seolah meminta uang.
"Ish, kakak nih. Bukan uang kak. Tapi tangan kakak, akunya mau salim mau pergi. Soalnya Reni udah nungguin." Kesal Meila pada Wafa. Meila merasa bahwa kakaknya yang satu ini benar-benar menguji kesabaran seorang Meila. Entahlah Wafa yang menguji kesabaran Meila atau justru malah sebaliknya.
"Hehe, kakak kira kamu minta uang. Ya, udah hati-hati, ya." Ucap Wafa kemudian memberikan tangannya. Melihat itu Meila kemudian meraih tangan sang kakak untuk bersalaman.
"Assalamualaikum," ucap Meila kemudian meninggalkan Wafa yang terus saja mengamatinya dari belakang.
"Wa'alaikumusalam!"
Wafa tersadar dari lamunannya dan langsung melangkah menuju dapur tempat di mana sang ibu berada.
"Wafa kamu tolong ambil pesanan singkong, di Pak Karim, ya. Soalnya persediaan singkong kita sudah habis." Ucap bu Yana yang melihat Kedatangan Wafa dan kini berjalan kearahnya.
"Ya, udah Wafa ganti baju dulu, ya, Bu."
Dan setelah mengganti pakaian dan disinilah Wafa sekarang di pasar untuk mengambil pesanan ibunya. Setelah urusannya selesai. Wafa kemudian pulang dengan mengendarai motor miliknya dengan kecepatan sedang sambil menikmati pemandangan sekitar. Saat sedang asik mengamati jalan, tiba-tiba saja dia tak sengaja melihat dua orang pemuda yang sedang memukul satu sama lain. Amarah dari kedua laki-laki itu terlihat memuncak ketika mendapat pukulan dari lawannya.
Wafa yang melihat itu menjadi bingung. Dia ingin melerai keduanya namun dia juga takut menjadi sasaran amarah kedua pemuda itu. Tapi, karena melihat salah satu dari mereka jatuh ketanah dengan kondisi tidak berdaya, tanpa fikir panjang lagi, Wafa kemudian berlari dan berteriak kencang untuk memanggil warga sekitar.
"Tolong...tolong...." Teriak Wafa yang berusaha mengundang warga untuk berdatangan melerai kedua pemuda tersebut.
Mendengar teriakan dari Wafa salah satu dari mereka tepatnya pemuda yang tengah meluapkan amarah pada lawannya itu seketika berhenti dan meninggalkan laki-laki yang kini tergeletak ditanah.
Setelah melihat pemuda itu pergi Wafa kemudian berlari menghampiri laki-laki yang tergeletak di tanah dan berniat untuk menolongnya.
"Kamu--" Wafa tidak berani melanjutkan kata berikutnya setelah melihat siapa yang baru saja dia tolong.
"Apa-apaan sih lo. Ngapain loh ada disini ha?" Laki-laki itu kemudian bangkit dan berteriak kesal ke arah Wafa.
"Lo nggak ada kerjaan lain selain ngurusin hidup orang apa?"
"Dari pada lo selalu ikut campur urusan orang lain. Mending lo urusin tuh keripik singkong murahan lo!" kini amarah Refano benar-benar sudah di ubun-ubun. Iya, laki-laki yang ditolong oleh Wafa barusan adalah Refano. Setelah meluapkan amarahnya pada Wafa, Refano kemudian menarik kasar helm yang juga ikut tergeletak di tanah dan mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Wafa yang masih setia ditempatnya.
"Ya Allah, kenapa aku harus ketemu dia lagi?" Ucap Wafa dalam hati.
Niatnya hanya ingin menolong Refano bukan untuk ikut campur urusan Refano. Dan kenapa momen pertemuan mereka hanya dihiasi dengan pertengkaran Refano dengan orang lain? Dua kali Wafa bertemu dengan Refano hari ini dan dua kali pula Wafa menolong Refano. Namun, apa yang dia dapatkan justru amarah dari laki-laki itu.
Wafa yang tidak menyadari bahwa dirinya sekarang sedang berdiri bak patung itu kemudian disadarkan oleh nontifikasi dari ponsel miliknya.
Wafa kemudian mengecek pesan yang masuk dan mendapati nomer yang tidak dia kenal mengirimkan pesan padanya.
[Assalamualaikum] tulis orang tersebut melalui chat.
[Wa'alaikumusalam
Maaf, siapa, ya?] Balas Wafa dan tidak berselang lama ponselnya kembali mendapatkan pesan.
[Ini aku, Fani] setelah membaca pesan tersebut tanpa disadari sudut bibir Wafa terangkat membentuk sebuah senyuman. Hingga Wafa seakan lupa dengan kejadian tadi.
Fani:
[Kamu lagi sibuk nggak?]
Me:
[Nggak juga sih. Emang kenapa?]
Fani:
[Bisa temenin aku ke toko buku yang dekat kampus?]
Me:
[Bisa aja sih. Tapi aku bisanya agak sore soalnya aku mau bantu ibu bikin kripik dulu.]
Fani:
[Wah, seru tuh. Aku boleh ikut nggak?]
Me:
[Buat kripik maksudnya?]
Fani:
[Iya, boleh nggak?]
Me:
[Boleh aja sih. Tapi, apa nggak ngeropotin kamu?]
Fani:
[Sama sekali nggak kok]
[Ya, udah, aku minta alamat rumah kamu, ya.]
Melihat pesan dari Fani, Wafa kemudian mengirimkan alamat rumahnya dan kemudian bersiap pergi dari tempat itu.
Dan sesuai dengan isi pesan dari Fani bahwa dia akan datang berkunjung ternyata benar adanya dan Wafa pun akhirnya tahu bahwa Fani termasuk dalam golongan keluarga yang berada. Merekapun menghabiskan waktunya untuk curhat satu sama lain. Hingga akhirnya Fani pamit karena jam sudah menunjukkan pukul 05.10.
"Besok jangan lupa, ya, Wafa."
"Oke deh!"
"Aku pulang dulu. Assalamualaikum," ucap Fani yang kemudian meninggalkan Wafa sendirian di taman.
"Wa'alaikumusalam" jawab Wafa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!