Entah apa yang kurasakan saat kedua bola mata ini menemukan sebuah foto mesra seorang pria dan wanita di sebuah kamar hotel.
Foto mesra saling peluk dan cium, mungkin kalau orang lain yang ada di dalam foto itu aku hanya akan menganggapnya orang nggak waras bagaiamana tidak, mereka berfoto dalam keadaan setengah telanjang dan di unggah di media sosial tapi pria itu adalah orang yang sangat aku kenal, orang yang beberapa tahun yang lalu mengikatku dalam janji suci pernikahan, ya dia adalah suami tercintaku, Reza.
"Tega kamu mas." Air mataku mengucur deras.
Hatiku sangat ngilu, ingin rasanya aku ingin berteriak sekeras mungkin dan menumpahkan sakit hatiku ini, duniaku dibuat runtuh oleh suami tercintaku.
Inikah kelakuan suami yang sangat aku cintai? ternyata dibalik sikapnya yang sangat perhatian padaku dia menyimpan bangkai yang baru tercium busuknya olehku.
Tanganku terus menggerakkan mouse yang aku pegang, aku ingin mencari kebenaran yang lain siapa tau aku mendapatkan info tentang mereka, dan benar saja, foto itu diunggah saat aku hamil anak pertama kami.
"Astaga." Tanganku menutup mulutku yang terbuka lebar, aku sungguh tak percaya.
Usia pernikahan masih hangat-hangatnya apalagi ditambah kehadiran sang buah hati namun dia sudah selingkuh?
Tangisku semakin pecah, aku meluapkan rasa sakit yang aku alami dengan memukul mukul meja, sungguh lelaki biadab lelaki brengsek yang mempermainkan sebuah pernikahan.
"Ya Tuhan, sakit rasanya," kataku.
Kring
Kring
Kring
Suara panggilan masuk mengalihkan perhatianku sesaat, di layar nampak Reza memanggil, hatiku yang masih sakit mengabaikan panggilan telponnya.
Ponselku berbunyi kembali dan lagi aku membiarkannya, entah berapa kali berbunyi namun aku mengabaikannya.
Hatiku terasa mati rasa dan aku hanya berdiam diri dikamar mengingat apa yang telah aku lihat di dunia maya beberapa saat yang lalu. Tak terasa hari mulai gelap dan terdengar suara pintu kamar dibuka.
Sebuah langkah menghampiriku, ya siapa lagi kalau bukan Reza, suami brengsek aku.
"Kenapa panggilan aku diabaikan?" tanyanya.
Aku menatapnya dengan lekat, merasa heran dengan pria yang berdiri di depanku ini, kok bisa gitu mencintai dua orang wanita dalam satu waktu.
"Malas," jawabku ketus.
Dia menatapku dengan heran juga, mungkin bertanya-tanya ada apa namun aku segera mengalihkan tatapanku.
Tanganku mengepal namun sebisa mungkin aku meredam amarahku tapi hatiku berontak ingin sekali marah padanya.
"Kamu kenapa?" tanyanya.
Hatiku yang masih sakit atas penghianatan yang dia lakukan hanya diam sehingga membuatnya kesal.
"Kamu kenapa sih, suami baru pulang bukannya disambut dengan baik malah didiamkan," protesnya.
Aku tertawa keras mendengar ucapannya, seharunya aku yang bertanya kenapa? kenapa tega mengkhianati pernikahan kita?
"Perbaiki sikap kamu dulu mas kalau ingin aku bersikap baik padamu," kataku dengan menangis.
Reza yang bingung menarik lenganku.
"Kamu kenapa sih! sikap aku yang mana yang harus aku perbaiki," ucapnya.
Awalnya aku ingin diam namun aku tidak bisa menahan hatiku, aku ambil ponselku dan menunjukan foto-foto mereka yang telah aku screenshoot tadi.
"Apa ini? bisakah kamu jelaskan hal ini padaku?" tanyaku sambil menunjukan ponselku kepadanya.
Matanya menatap foto yang aku tunjukan, raut wajahnya seketika berubah.
Bukannya menjelaskan namun dia hanya diam dan memalingkan wajahnya.
"Tega kamu mas, apa salahku sehingga kamu tega mengkhianati aku, mengkhianati pernikahan kita," kataku.
Reza hanya diam, dia duduk di tepi ranjang sambil mengusap rambutnya.
"Kenapa mas, kenapa?" Teriakku histeris.
"Apa kamu lupa dengan janji suci kita mas." Sungguh perih dikhianati oleh orang yang paling dicintai.
Reza berdiri, mendekati aku yang berdiri di dekat meja.
"Maafkan aku." Telah terucap kata maaf dari mulutnya, namun kata maaf saja tidak akan bisa mengobati rasa sakit yang dia torehkan di hatiku.
"Mudah sekali kamu bilang maaf mas, sekarang jelaskan semua padaku," pintaku dengan menatapnya.
"Harus aku akui, aku telah menjalin hubungan dengannya saat anak kita berusia tiga bulan," jelasnya.
Lagi dan lagi aku menangis, aku sungguh tak menyangka dia tega melakukan itu padaku.
"Kamu tau mas, orang lain diluar sana akan menyayangi istrinya karena telah memberikan anak namun apa yang kamu lakukan? malah berhianat saat aku telah memberi kamu hadiah terindah," sahutku dengan marah.
"Aku tidak tau semua terjadi begitu saja, aku lelah dengan keluh kesahmu, aku lelah dengan sikap manja kamu, banyak wanita yang memiliki anak namun mereka semua mandiri tidak seperti kamu," balasnya.
Deg
Aku mundur selangkah, ternyata dia membandingkan aku dengan wanita lain diluar sana, tidaklah dia berpikir kalau wanita diluar sana memiliki orang tua yang mengurus bayi anaknya? tidak kah dia berpikir kalau keadaannya saat itu sedang di bawah sehingga tidak bisa menyewa baby sitter? sehingga aku sendiri yang harus mengurus bayi mungilnya dengan menahan luka sesar yang aku alami?
"Tidakkah kamu ingat kembali keadaan kita waktu itu mas," ucapku lirih.
"Jauh dari orang tua, ekonomi pas-pas an, kalau bukan padamu aku berkeluh kesah lantas pada siapa?" tanyaku kemudian.
Dia hanya terdiam tidak menjawab pertanyaanku, kalau hatinya tidak setia sudah bilang terus terang tidak usah mengambinghitamkan aku yang tidak mandiri.
"Sekarang aku minta kamu tinggalkan dirinya," pintaku.
Aku masih berbiak hati memberikan kesempatan kedua padanya meski hatiku hancur lebur karena pengkhianatan yang telah dia lakukan.
"Aku tidak bisa," katanya dengan menunduk.
Aku tersenyum dalam tangis, sedalam itukah cintanya pada wanita itu sehingga dia tidak bisa meninggalkannya?
"Kenapa?" tanyaku.
"Maaf, aku sudah menikah dengannya jadi aku tidak bisa meninggalkannya," jawabnya.
Aku tertawa dalam tangis, jujur pikiranku tak pernah terbang kesana, aku mengira Reza sebatas berhubungan dengannya hanya untuk membuang hasrat namun siapa tau kalau mereka telah menikah.
"Bagaiamana bisa kamu menjadi lelaki pengecut mas, lelaki beristri yang menikah diluar sepengetahuan istrinya!" teriakku.
Aku sungguh tak habis pikir, kalau dia tidak bisa meninggalkan wanitanya biar saja aku yang mengalah
"Kalau begitu tinggalkan aku dan anakmu, aku janji aku tidak akan mengganggumu dan dia," kataku.
Reza hanya menggeleng, entah apa maunya kalau memang dirinya ingin mempertahankan kamu seharusnya dia meninggalkan selingkuhannya itu.
Sakit sungguh sakit rasanya, pernikahan yang aku impikan akan indah malah jadi begini. Pudar sudah mawadah bersama suami yang amat sangat aku cintai.
Mungkin ini cobaan dari Tuhan saat aku hamil yang kedua, dimana yang lain akan mendapatkan kasih sayang lebih dari suami sedangkan aku malah dikhianati tanpa belas kasih.
"Mau nggak mau, suka nggak suka kamu harus memilih diantara kami, kamu nggak bisa mas memiliki keduanya," kataku lalu keluar dari kamar.
Kekecewaanku sungguh tak berarah, rasa sakit yang dia torehkan benar-benar membuat aku tertatih-tati seperti ini. Baru beberapa minggu yang lalu aku bahagia karena mendapat anugerah lagi dari Tuhan namun saat ini rasanya seperti dihempaskan dari gedung tertinggi hanya sakit yang bisa aku rasakan.
Air mataku terus jatuh bak air terjun, rasa sakit ini membuat kelenjar air mata tanpa henti memproduksi air mata.
Aku masuk kedalam kamar Ega, anakku. Dia adalah hasil dari buah cinta kami, kini usianya tiga tahun, meskipun tiga tahun namun dia adalah anak yang pintar dan cerdas dan aku bangga sekali memilikinya.
Saat aku masuk terlihat dia sedang bermain, aku kira dirinya sudah tidur tapi ternyata belum.
"Mama," panggilnya saat aku masuk ke dalam kamarnya.
"iya sayang" jawabku.
Aku sungguh kikuk, mau aku sembunyikan dimana air mataku ini.
Bocah kecil ini melihatku dengan wajah penasaran akhirnya dia mendekati ku yang berdiri di belakang pintu kamarnya.
"Mama" panggilnya lagi
Iya sayang," jawabku sambil tersenyum dengan tangan yang sedari sibuk menghapus air mataku.
"Mama kenapa menangis?" tanyanya sambil menatapku lekat.
"Mama kelilipan sayang, mangkanya mama kesini mau minta bantuan Ega untuk meniupkan mata mama," jawabku berbohong.
Aku tau dia tidak percaya namun dia menghargai jawaban yang aku berikan, tanpa bertanya lebih dia membawa aku tempat tidurnya.
"Sini ma." Ega mendekatkan mulutnya di mataku, dan perlahan bibir mungilnya meniup mataku.
Dia sungguh telaten, bergantian meniupi kedua mataku kemudian menghapus air mataku yang terjatuh.
"Wah, udah sembuh Ega pinter ya, besok-besok kalau mama kelilipan lagi, mama akan langsung cari Ega untuk meniup mata mama."
Ega tersenyum kemudian memeluknya, pelukan kecil namun cukup sanggup menenangkan aku.
Bocah ini seakan tau apa yang aku alami, dia terus memelukku dengan erat tak hanya itu dia mengusap-usap wajahnya dalam dekapan aku.
"Mama sayang Ega." Dihujani dia dengan kecupan di kepalanya.
"Ega juga sayang mama," sahutnya.
Kami asik berpelukan, hingga terdengar suara ketukan dari luar.
Tok
Tok
Tok
Lagi-lagi pintu diketuk sehingga mau nggak mau aku mengurai pelukanku dengan Ega.
"Ega.... Buka dong pintunya," terdengar teriakan dari luar.
Terdengar mas Reza meminta Ega untuk membukakan pintu.
Aku berdiri, berjalan membuka pintu, terdapat Reza berdiri berdiri di depan pintu, karena tak ingin ada cekcok dan debat di depan Ega, aku mendekati Ega kembali
"Mama kembali ke kamar dulu ya, Ega bobok gih," kataku sambil mengelus kepalanya.
Bocah kecil ini hanya mengangguk, menurut tanpa membantah ucapanku mungkin dia tidak ingin mamanya sedih.
Aku berjalan keluar melewati Reza yang masih berdiri di depan pintu.
"Mau kemana?" tanyanya sambil memegang tanganku.
"Ke kamar," jawabku singkat sambil melepas tanganku.
Dia berjalan mengikuti aku, setelah di dalam kamar aku merebahkan diri dan menutup kepalaku dengan bantal.
"Melati aku mohon jangan seperti ini." Tangannya menarik bantal yang aku gunakan untuk menutup wajahku.
Aku menghela nafas kemudian beranjak.
"Sebelum kamu memutuskan pilihan kamu, aku akan tetap seperti ini mas," kataku dengan menatapnya.
Setelah kejadian tadi aku mulai mendiami Reza, percuma juga berbicara dengannya dia tetap bersikeras tidak mau meninggalkannya maupun meninggalkan aku.
Lelaki serakah yang menginginkan dua cinta sekaligus, dengan alasan adil dia ingin membahagiakan kedua istrinya.
Fu-ck! mana ada keadilan dalam poligami yang seperti ini, poligami yang salah, memang dalam agama diperbolehkan untuk melakukan poligami namun bukan poligami yang dia lakukan padaku. Dan perlu dia tau kalau tidak semua wanita mau dimadu.
"Kamu kenapa sih diam terus, kalau begini aku tidak nyaman berada di rumah," Dia terus memarahi aku.
Aku tertawa, dia pikir aku nyaman bersikap seperti ini tapi kembali lagi siapa yang mau di poligami?
"Kenapa kamu malah malah menyalahkan aku, kamu paham kan, kalau semua ini berawal dari kamu," kataku dengan menatapnya tajam.
Dia yang kesal membuang bantal ke lantai tak hanya itu dia juga membuang semua benda yang ada di meja.
Lagi-lagi aku menangis, beginilah kelakuannya siapa yang salah dan siapa yang marah. Kalau ingin rumah tangga ayem adem ya jangan berulah, apalagi melakukan kesalahan yang fatal sekali seperti ini.
Aku heran dengannya, dulu awal menikah dia meminta aku untuk selalu setia, meminta aku untuk selalu bersamanya dalam suka maupun duka namun sekarang ketika dia memiliki segalanya dia seakan lupa pura-pura amnesia kalau dulu pernah susah bahkan kini berulah.
"Apa kamu nggak ingat sejarah kita dulu, kamu selalu meminta aku untuk setia namun kenapa kini kamu yang berubah," kataku.
"Ega masih tiga tahun, coba pikirkan lagi." Aku mencoba mengingatkannya.
"Aku tau, mangkanya aku ingin hidup dengan kamu dan dengannya, aku yakin kita akan bahagia."
Aku melongo menatapnya, apa dia bilang bahagia? hidup dengan madu bisa bahagia? bahagia dari Hongkong yang ada aku semakin menderita hidup ngenes di bawah pikiran dan tekanan.
"Sinting kamu mas, sampai kapanpun aku nggak mau dimadu!" teriakku.
"Dasar ibu egois kamu hanya memikirkan perasaan kamu sendiri tanpa memikirkan Ega anak kita!" teriaknya balik.
Kenapa, kenapa aku yang disalahkan? aku di sini korban jadi letak egois aku dimana?
Aku yang malas debat dengannya memutuskan untuk memejamkan mata meski tidak bisa terlelap minimal dengan aku memejamkan mata conversation kami berhenti.
Waktu berlalu dengan cepat, sang Surya telah keluar dari persembunyiannya. Aku yang baru bangun kembali menangis saat melihat sebelahku yang kosong.
Bukannya menenangkan aku yang telah disakitinya dia malah pergi yang mungkin ke rumah simpanannya.
Dengan langkah pelan aku keluar kamar melihat anakku, nampak dia masih memejamkan matanya.
Aku berjalan mendekat, ku usap pipinya dan ku kecup keningnya.
"Kamulah yang mama punya dan juga calon adik kamu sayang."
Mataku menitikkan air mata yang telah berhenti, melihat wajah tampan Ega membuat dunia yang telah runtuh berdiri kembali.
Mungkin karena pergerakan tanganku, dia membuka matanya, senyuman terukir di kedua pipinya.
"Mama," katanya kemudian beranjak dari tidurnya.
"Mana menangis lagi?" tanyanya saat melihat aku yang menangis.
Aku menggeleng sambil mengusap air mataku.
"Tiup." Kudekatkan mataku di wajahnya.
"Kelilipan lagi?" Dia menggelengkan kepala mungkin merasa kesal karena aku selalu kelilipan.
"Maafkan mama yang selalu berbohong sayang," batinku.
Waktu menunjukan pukul sepuluh pagi, saat aku dan Ega baru pulang sekolah kulihat mas Reza sudah duduk di depan teras.
"Papa." Ega berlari berteriak memanggil papanya, harus aku akui Reza adalah papa yang baik untuk Ega hanya saja dia bukan suami yang baik untuk aku.
Reza menatapku begitu pula dengan aku hingga tatapan kami saling bertemu namun itu tidak lama karena aku segera membuangnya dan berjalan untuk membuka pintu.
"Ega sayang ayo ganti baju." Ega menggeleng, mungkin dia masih ingin bersama papanya.
Sekali lagi aku mengajaknya untuk ganti baju namun lagi-lagi Ega enggan untuk turun dari pangkuan papanya.
"Biar ganti baju sama aku saja." Reza beranjak dari tempat duduknya dan masuk.
Aku mengekor di belakangnya namun langkah kamu terpisah karena aku masuk kamarku.
Melihat Ega yang sangat menyayangi ayahnya, egois kah aku jika aku menginginkan perpisahan? tapi kalau tidak pisah sanggupkah aku dimadu?
Air mata merembes keluar, perih rasanya mengingat penghianatan Reza, tidak bisakah hanya bertahan dengan satu cinta? kenapa mendatangkan cinta lain?
Saat bersamaan perutku terasa sakit, ada apa lagi ini, apa calon bayiku yang di dalam perut protes juga jika aku ingin berpisah dengan papanya.
"Aaaahhhhhh," teriakku kesakitan.
Aku terduduk di lantai sembari memegangi perutku yang sakit.
"Sayang, jangan marah dong." Tanganku sedikit menekan perutku agar rasa sakitnya berkurang.
Saat bersamaan, Reza masuk ke dalam kamar mendapati aku yang kesakitan membuatnya kaget.
"Kamu kenapa!" teriaknya.
"Perut aku sakit,"
Dia segera menggendong aku keluar kamar, tak lupa dia memanggil Ega untuk ikut.
"Sakit mas." Aku terus mengeluh sakit sehingga membuat Reza dan Ega yang berada di bangku bagian depan nampak khawatir.
"Sabar ya," pinta Reza.
Tak berselang lama mobil telah sampai di depan rumah sakit, Reza memanggil suster untuk menjemput ku dengan brankar.
Beberapa suster langsung membawa aku ke UGD, dokter yang kebetulan berjaga di sana segera memeriksa aku.
Dia nampak berbisik pada suster dan suster langsung keluar, beberapa saat kemudian sister datang dengan Dokter yang lain.
"Untung segera ada tindakan kalau tidak kemungkinan anda mengalami keguguran," kata Dokter.
Beberapa obat sudah disuntikan bahkan ada yang dimasukkan lewat belakang.
Dokter meminta aku untuk beristirahat sejenak, sambil menunggu obat bereaksi.
Beberapa saat kemudian Reza dan Ega masuk.
"Bagaimana keadaan istri saya Dok?" tanya Reza.
"Istri anda hampir saja keguguran, tolong bapak lebih perhatian lagi kepada istrinya, trimester pertama rawan-rawannya gugur jadi kalo bisa buat suasana hari istri anda ceria jangan dibuat stres dan juga lelah," jelas Dokter.
Mendengar penjelasan dokter, aku pun memalingkan wajahku, ku tatap Ega dan ku genggam tangannya, seolah aku mencari kekuatan di sana.
Reza menghampiri aku yang terbaring di bed yang ada di ruang UGD.
"Kamu dengar kan yang dikatakan Dokter." Aku menatapnya heran, bukankah penjelasan Dokter tadi itu untuk dirinya kenapa malah aku yang seakan sengaja membuat calon bayi ini gugur?
"Jika kamu tidak berulah aku juga tidak akan seperti ini," sahutku.
Dia hanya diam menatapku hingga suara dering telpon mengalihkan tatapannya.
Reza melihat sekilas siapa yang menghubunginya lalu keluar ruang UGD untuk menerima panggilan telponnya.
Seusai menerima telpon, Reza mengajak aku untuk pulang dengan alasan kasian Ega.
Aku hanya tersenyum ketir karena pasti istri simpanannya yang menghubungi. Perasaan semalam sudah bersamanya Reza kenapa sekarang meminta waktu Reza lagi? adilkah seperti ini?
Tanpa kata aku langsung turun bed dan menggandeng Ega keluar, sebenarnya perut aku masih sangat sakit namun aku tahan karena enggan sekali menerima bantuan dari Reza.
Setibanya di halaman rumah, Reza langsung pamit akan pergi.
"Kamu istirahat dulu, aku ada urusan sebentar," katanya.
Aku menghela nafas, ku tatap wajahnya dengan raut wajah kesal.
"Urusan apa? kamu tau kan aku lagi sakit yang jaga Ega siapa?" tanyaku.
Reza menghela nafas kemudian turun dari mobil, dia mengajak Ega untuk masuk rumah terlebih dahulu dan meninggalkan aku yang masih di dalam mobil.
Aku segera keluar dan masuk, aku lihat Reza pergi ke dapur dan mengambil makanan untuk Ega, seusai menyuapi anaknya dia mengajak Ega untuk tidur siang.
********
"Aku sudah menyuapi dan menidurkan Ega jadi nggak ada alasan kamu melarang aku untuk keluar." Aku salah mengira aku pikir dia mengurungkan niatnya untuk keluar namun aku salah, dia tetap keluar meski aku sedang sakit.
Aku hanya tersenyum dengan air mata yang terus merembes mungkin sungguh tak berhati saat aku sakit begini tega meninggalkan aku.
"Pergilah," ucapku lirih.
Selepas kepergiannya, tangisku pecah tidak bisakah tinggal menemani aku? begitu pentingkah urusan diluar?
Malam hari datang dengan cepat, aku pergi ke kamar untuk melihat Ega, nampak anak kecil ini sedang asik bermain sendiri.
"Mama sudah sembuh?" tanyanya sesaat setelah aku mendekatinya bermain.
Aku membelai rambutnya, seharunya anak sekecil ini mendapatkan kasih sayang utuh dari papanya bukan kasih sayang yang dibagi dengan perempuan lain.
"Mama kan nggak sakit sayang." Aku mengangkat tubuh kecilnya dan memindahkannya diatas pangkuanku.
"Kata papa, Mama sakit jadi Ega nggak boleh ganggu mama." Tatapan sendunya membuat hatiku teriris, anak sekecil ini paham akan keadaanku.
Aku memeluknya dengan erat, sungguh dia adalah anugerah Tuhan yang paling indah.
"Apa yang mama rasakan saat ini tidak ada apa-apanya dengan kehadiran kalian sayang." Berkali-kali aku mengecup keningnya.
Aku melupakan Reza sejenak, melupakan rasa sakit yang menggerogoti hatiku, malam ini aku hanya ingin bersama anakku.
"Ega mau nggak makan diluar." Aku mengajaknya untuk makan diluar.
"Mau, mau, kita makan mie goreng ya ma," katanya.
"Ok, tapi full sayur ya." Meski Ega tidak suka sayur namun aku selalu memaksanya untuk makan sayur ini aku lakukan supaya dia terbiasa makan sayur.
Setelah bersiap, kami berangkat ke restoran terdekat, meski agak sakit namun aku paksakan untuk menyetir demi menyenangkan Ega anakku.
"Ma kenapa sih setiap hari libur papa nggak pernah di rumah, kan Ega ingin jalan-jalan bersama." Aku terperangah menatapnya, aku kira anak sekecil ini masa bodoh namun ternyata dia juga merasakan perubahan papanya.
"Sayang, papa itu sibuk cari uang, nanti mama bilang ya biar papa meluangkan waktu untuk kita lagi," bujukku sambil mengelus kepalanya.
Tak berselang lama mobilku telah masuk ke dalam kawasan restoran.
"Restorannya penuh sayang," kataku sambil mencari tempat parkir yang kosong.
"Itu Ma disana ada tempar parkir kosong." Ega menunjuk tempat parkir kosong samping sebuah mobil Lavender Cros warna hitam.
Awalnya aku merasa biasa namun saat aku dan Ega turun dari mobil aku tidak asing dengan mobil Lavender Cros warna hitam samping mobil aku.
"Ma bukankah ini mobil papa." Aku baru saja ingin menebak tapi sudah keduluan Ega.
"Iya bearti papa ada di dalam," sahutku.
Semangat ingin menemui papanya Ega berlari sambil menarik tanganku saat masuk bola mataku dan bola matanya mencari keberadaan Reza.
"Papa mana ya ma?" Dia terus mencari keberadaan papanya hingga mataku tak sengaja melihat papanya.
Ingin kulangkahkan kakiku untuk menghampiri Reza namun seorang wanita cantik lebih dulu menghampirinya.
Melihat wanita itu pikiranku terbang ke foto-foto yang aku temukan di media sosial kemarin. Mataku spontan mengeluarkan air mata.
"Jadi ini istri kamu itu mas,"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!