Senyum merekah di wajah sepasang suami istri itu tatkala keluar dari suatu ruangan. Mengabaikan hiruk pikuk dari keadaan sekitar, keduanya nampak hanyut dalam kebahagiaan yang mereka rasakan hari ini. Dan jika diperhatikan lebih saksama, pasangan itu nampak mengaitkan tangan satu sama lain, berbagi kehangatan, seperti berbagi kebahagiaan.
“Aku sudah tidak sabar untuk menemui jagoan kecil kita,” ujar Nero, sang suami, sembari mengelus buncit istrinya dengan senyum hangat di wajah. Azzura yang merasakan elusan penuh kasih sayang itu langsung terkekeh pelan, lalu menyentuh punggung tangan suaminya yang berada di perutnya.
“Aku juga. Dokter berkata jika anak kita adalah laki-laki. Apa kamu sudah menentukan nama apa yang cocok bagi anak kita?”
Pertanyaan Azzura membuat Nero menarik tangannya dari perut sang istri, lalu memasang wajah berpikir. Mendapati tingkah lucu suaminya, Azzura tidak dapat menahan tawa pelannya. Nero yang mengetahui istrinya sedang menertawakannya pun langsung ikut tertawa.
“Jujur saja, aku belum pernah memikirkan hal itu. Baik laki-laki atau perempuan, aku akan sangat menyayangi mereka. Mungkin karena itulah aku tidak berpikir panjang mengenai nama mereka.”
Usai berkata demikian, Nero membungkukkan badannya, lalu menanamkan kecupan hangat pada perut Azzura. Kecupan yang menunjukkan kasih sayangnya kepada calon anaknya yang masih di kandungan istrinya.
“Kamu benar. Apa pun anak kita nantinya, aku pasti akan menyayangi mereka sepenuh hati.”
Tatkala Nero menarik kepalanya menjauh, Azzura mengusap lembut perutnya yang telah mengandung anak pertama mereka. Tatapan melembut usai mengingat kembali ucapan dokter kandungan yang baru ditemuinya tentang jenis kelamin anaknya.
“Dan dokter telah menetapkan jika anak kita laki-laki. Kupikir mulai sekarang kita harus lebih serius untuk memikirkan namanya, Nero,” ucap Azzura sembari menoleh pada suaminya, tersenyum hangat. Lalu ucapannya ditanggapi dengan anggukan pelan.
“Tentu saja. Tidak hanya nama, aku akan sering mengajakmu berbelanja pakaian bayi.”
“Aku tidak menduga jika kamu akan bersemangat seperti itu.”
Setelah itu, keduanya tertawa bersamaan.
“Tapi yang paling tidak sabar kunantikan adalah memberitahu kabar bahagia ini kepada yang lain di rumah. Mereka pasti akan senang ketika tahu anak pertama kita adalah laki-laki,” ucap Nero yang pertama kali berhenti tertawa. Setelah itu, ia mendekat pada kening Azzura, mengecupnya dengan penuh kasih sayang, lalu menggenggam tangannya erat.
“Sekarang, bagaimana jika kita pulang dulu? Setelah itu, kita bisa mulai mencari peralatan untuk jagoan kecil kita.”
Azzura menanggapi ajakan Nero dengan anggukan kepala. Setelah itu, mereka bergandengan tangan dan berjalan menuju parkiran mobil. Dalam hati keduanya mereka tidak sabar membayangkan kebahagiaan yang juga ditunjukkan orang rumah ketika tahu kabar bahagia mereka.
***
Disisi lain, ada dua pasang calon pengantin yang tengah berbahagia. Keduanya terlihat saling mencintai, rona kebahagiaan jelas terpancar dari wajah mereka. “Melihatmu mencoba gaun pengantin tadi membuatku tidak sabar dengan pernikahan kita nanti.”
Sang pria, Azzam, yang pertama kali membuka pembicaraan ketika dirinya dan calon pendamping hidupnya, Vianli, baru keluar dari tempat penyewaan baju pengantin. Tidak hanya Azzam, kedua mata Vianli juga memancarkan kebahagiaan yang sama seperti pasangannya.
“Tidak hanya kamu, aku pun tidak sabar menanti hubungan kita resmi menjadi suami istri,” balas Vianli sembari menatap lekat pasangannya, dan tersenyum hangat.
“Haha! Tentu saja. Itulah yang paling tidak sabar kunantikan juga!”
Selesai berkata demikian, Azzam langsung mengecup singkat kening Vianli, dan menatapnya penuh afeksi.
“Menikahimu adalah salah satu impian terbesarku. Terima kasih sudah mau menerimaku.”
Ucapan serius Azzam membuat Vianli sontak melebarkan kedua mata, terkejut. Ia juga dapat merasakan jantungnya yang terasa berhenti berdetak untuk sesaat akibat keterkejutan tadi. Namun, di saat yang sama kehangatan yang menenangkan menyusup masuk dalam hatinya. Ia merasa senang sekaligus terharu karena ucapan tulus pasangannya. Karena ia tidak menduga jika Azzam akan bersikap romantis di depan umum seperti itu.
“Ya sudah. Ayo ke mobil dulu. Habis ini masih banyak yang perlu kita siapkan, bukan?”
Sembari berkata demikian, Azzam menggenggam erat tangan Vianli, menatapnya dengan senyum lebar. Sang perempuan pun menerima genggaman tadi, lalu mengangguk senang. Setelah itu, mereka pergi ke parkiran mobil mereka, lalu masuk ke dalam.
“Tapi, kau tahu, sepertinya sebelum pernikahan kita aku harus lebih ketat dalam diet. Maksudku, gaun yang kusuka tadi terasa sesak di bagian dadaku,” ucap Vianli yang pertama kali memulai percakapan di dalam mobil, menangkup kedua dadanya dengan tangan dan menatapnya lekat. Saat itu, Azzam masih berfokus mengeluarkan mobilnya dari parkiran, sehingga ia tidak memerhatikan apa yang sedang dilakukan Vianli.
“Untuk apa diet? Jika memang tidak cukup, lebih baik cari gaun yang lain, kan? Atau kamu bisa meminta mereka untuk membuka beberapa jahitannya agar kamu muat mengenakannya,” jawab Azzam santai yang masih tidak mengetahui Vianli yang menggembungkan pipinya, kesal.
“Ih, kok kamu begitu, sih. Masa kamu mau istrimu lebih gemuk dari masa pacarannya dulu?”
Mengerti jika pertanyaan Vianli tidak serius, Azzam justru menanggapinya dengan kekehan.
“Memang kenapa? Mau gemuk atau kurus, mau hitam atau putih, asalkan di dalam tubuh itu ada Vianli yang kusayangi, tentu saja aku tidak masalah.”
Meski telah mendengar berbagai rayuan dari Azzam semasa mereka berpacaran, Vianli masih nampak salah tingkah dengan ucapan manis yang diucapkan pasangannya. Terbukti bagaimana ia langsung menangkup pipinya dengan kedua tangan, merasa malu.
“Mulai ya gombalnya.”
“Itu bukan gombal, sayang. Masa kamu tidak percaya pada suami masa depanmu ini, sih?”
Setelah Azzam berkata demikian, tawa keduanya pecah.
“Meski kamu bilang begitu, pernikahan kita sebentar lagi. Kupikir aku akan mengurangi porsi makanku agar di hari pernikahan nanti kecantikanku akan lebih maksimal,” ucap Vianli dengan nada bercanda, lalu berpose bak foto model yang mengibas rambutnya. Tatkala Azzam menoleh sekilas pada calon istrinya itu, ia langsung tertawa.
“Jangan terlalu cantik, dong. Nanti kalau ada laki-laki lain yang suka kamu bagaimana?”
“Ya nanti aku kasih tahu kalau aku sudah laku, terus kamu bisa pukuli mereka kalau mereka mulai kurang ajar.”
Dan untuk kedua kalinya, keduanya tertawa bersama menanggapi ucapan barusan. Setelah itu, pembicaraan mereka beralih tentang perencanaan masa depan mereka. Bagaimana tempat tinggal yang akan mereka huni, tipe dekorasi seperti apa yang akan digunakan, hingga memikirkan relasi dengan tetangga sekitar ketika keduanya telah resmi keluar dari rumah orang tua masing-masing. Saat membicarakannya, kedua orang itu nampak sangat berbahagia, seakan tidak sabar menikmati masa depan yang indah bersama-sama.
“Azzam, kupikir kamu harus lebih berhati-hati dalam berkendara, deh. Jangan terlalu sering menyalip seperti ini. Aku ... jadi takut.”
Tidak beberapa lama, Vianli menyuarakan kekhawatirannya pada cara mengemudi Azzam. Tidak menanggapi serius ucapan perempuannya, Azzam justru mengibaskan tangannya.
“Santai saja. Aku ini sudah ahli, kok,” jawab Azzam sembari mengarahkan setir mobilnya untuk melewati truk besar di depan. Di luar dugaan, dari arah berlawan nampak mobil yang melaju cepat. Tanpa memiliki kesempatan menghindar, mobil sepasang kekasih itu menghantam mobil lawan. Kecelakaan hebat pun tidak dapat terhindari, menyebabkan kepanikan setiap orang yang melihatnya.
Kedua netra Nero perlahan terbuka. Samar-samar ia dapat melihat langit-langit ruang tempatnya dirawat. Dua hari ini ia tak sadarkan diri pasca kecelakaan hebat yang menimpanya dan sang istri. Benar, saat ini ia sedang berada di salah satu rumah sakit.
Kondisi Nero memang tak begitu parah. Psikiater tampan itu hanya mengalami gegar otak ringan dan beberapa luka lecet saja. Saat ini tim dokter datang memantau keadaan Nero pasca diberitahu oleh perawat yang berjaga jika pria itu sudah sadar.
Nero masih sedikit linglung. Kepalanya juga terasa sakit, tapi ia teringat jika kecelakaan itu tidak dialaminya sendiri. Sontak ia langsung mengingat bahwa sang istri—Azzura dan calon buah hatinya juga mengalami hal yang sama.
"Dokter, di mana istri saya? Apa dia baik-baik saja?" cecar Nero begitu ia melihat seorang dokter pria paruh baya baru saja memasuki ruang rawatnya. Ia berusaha bangkit dari atas ranjang dan membuat kedua perawat yang berjaga di sampingnya menjadi khawatir sebab kondisinya belum sepenuhnya pulih.
Dokter pria yang rambutnya sebagian telah memutih itu sejenak tertegun. Tampak ia menghela napas lirih singkat dan mencoba untuk menenangkan Nero.
"Sebaiknya kamu jangan banyak bergerak dulu. Kondisimu belum sepenuhnya pulih," ujar Dokter pria paruh baya itu.
"Tapi, saya ingin tahu keadaan istri saya. Memangnya ada yang salah? Di mana dia sekarang, Dok? Dia baik-baik saja 'kan?" Pupil mata Nero bergetar. Ia menatap sang dokter dengan penuh harap, takut kalau Azzura mengalami hal yang lebih buruk dari yang dialaminya saat ini.
Dokter paruh baya itu sekilas bertatapan dengan dua orang perawat wanita yang berada di ruangan Nero. Mereka sepertinya mempunyai sesuatu yang disembunyikan dari Nero.
"Maaf, Pak. Sebenarnya istri Bapak bersama janin yang dikandungnya telah meninggal sesaat setelah sampai di ruang IGD. Kondisinya sangat parah karena luka di kepalanya cukup fatal. Dia kehilangan banyak darah sehingga tidak dapat diselamatkan," terang Dokter tersebut dengan raut wajah penuh penyesalan.
Jantung Nero sontak mencelos saat mendengar kabar itu. Ia bahkan tak sadar jika air matanya sudah meluruh di pipinya. Kematian Azzura seperti tidak nyata baginya. Nero mencoba menampar pipinya sendiri, berharap jika semua yang dialaminya adalah mimpi belaka. Namun, saat merasakan sakit akibat ulah tangannya, ia sadar jika saat ini adalah realitanya.
"Dok, ini bohong 'kan? Istri dan calon anak saya pasti selamat 'kan? Mungkin yang meninggal adalah orang lain bukan istri saya." Nero terisak dan tak mampu menahan segala rasa sesak di dalam hatinya. Ia sangat tidak menerima jika kabar itu benar adanya.
"Maaf, tapi memang itulah yang terjadi pada istri Bapak."
Ucapan terakhir dokter itu seketika membuat tangisan Nero makin pecah. Pria itu memaksa bangkit dari atas brankar untuk menemui Azzura yang teramat ia cintai.
"Saya mau bertemu dengan istri saya!" teriak Nero yang saat ini hatinya tengah terluka. Ia jelas shock setengah mati saat ini.
***
Tatapan mata Nero tampak kosong saat menatap pusara Azzura dan calon buah hatinya yang masih terlihat basah. Para pelayat pun sudah pergi dan hanya menyisakan dirinya sendiri di dalam kepiluan.
Beberapa saat lalu jasad orang yang sangat dicintainya ditanam, tapi air matanya saat ini sudah mengering karena terkuras habis sedari tadi. Bukannya ia tak sedih, justru kesedihan yang begitu mendalam itu di saat tak dapat mengeluarkan kristal bening dari netranya.
Baru saja mendapatkan kebahagiaan karena akan segera menjadi seorang ayah dari anak laki-laki, tapi Tuhan malah berkehendak lain. Secepat ini kedua orang terkasihnya dijemput begitu saja. Apa Tuhan memang merasa ia mampu sehingga melimpahkan cobaan yang begitu berat begini? Pikirnya.
"Maafkan aku, Sayang. Aku tidak becus sehingga membuatmu harus pergi secepat ini." Suara Nero terdengar parau. Ekspresi wajahnya tampak sangat menderita.
Tangan kanan Nero mengusap nisan lalu beralih pada bingkai berisi foto Azzura yang tersenyum bahagia. Melihat potret wajah sang istri, jelas membuat dada Nero kembali berdenyut nyeri. Salah satu hal yang paling disukainya dari Azzura adalah senyum manis seperti di foto yang diletakkan di atas pusara itu.
"Aku harap kamu tidak marah ke aku, Sayang. Kalau boleh memilih, lebih baik aku ikut saja bersamamu menghadap Tuhan. Aku tidak tahu nanti apakah aku bisa menjalani hari-hari tanpamu. Mungkin saja aku akan merasakan kehampaan, tapi sepertinya aku harus menghargai hidup yang masih diberikan Tuhan padaku. Maafkan aku karena telah selamat sendirian."
Nero menundukkan kepala sambil meraup wajahnya kasar. Ingin rasanya menangis, tapi tak keluar dan hanya menyisakan sembab di area lingkaran matanya. Satu-satunya cara agar tak terluka terlalu dalam, ia harus ikhlas atas kematian Azzura. Namun, tentunya tidak akan semudah membalikkan telapak tangan untuk melakukannya.
Berulang kali Nero mengatakan kata 'maaf' di atas pusara sang istri dan calon anak laki-lakinya. Belum puas rasanya jika belum mencurahkan semua isi hatinya.
***
Setelah merasa cukup berada di pemakaman itu, akhirnya Nero pun memutuskan pulang. Setidaknya ia harus kembali menjalani hidupnya meski tanpa Azzura dan anak laki-lakinya yang belum sempat lahir.
Memang tak semudah itu melupakan orang yang sangat penting di dalam hidup kita. Apalagi sosok istri yang jelas-jelas setiap hari menyambutnya di rumah selepas pulang kerja dengan senyuman dan menjadi teman bercerita sebelum tidur. Namun, ia harus menerima takdir ini dengan lapang dada.
Langkah kaki Nero begitu berat meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Azzura dan calon putranya. Ia sesekali menoleh melihat ke arah makam.
"Kamu harus ikhlas, Nero," gumamnya seraya menghela napas singkat.
Saat ini Nero sudah berada di area parkir pemakaman. Baru saja akan memasuki mobilnya, ia tak sengaja melihat ada seorang wanita muda menangis tersedu-sedu dengan beberapa orang yang mencoba untuk menenangkan.
Nero dapat menebak jika wanita itu pasti merasakan kesedihan yang sama dengannya. Pastinya wanita itu sangat terpukul karena telah kehilangan orang yang terkasih.
Untuk beberapa saat Nero memperhatikan wanita itu. Ia bahkan dapat mendengar apa yang diucapkan oleh wanita ber-dress hitam itu.
"Kenapa kamu jahat? Kenapa kamu meninggalkanku sendiri? Harusnya kita bersama-sama saja menghadap Tuhan. Kenapa kamu egois dan pergi begitu saja?"
Terlihat jelas di mata Nero jika wanita itu sangat sedih dan terpukul. Kemungkinan besar yang meninggal suami atau kekasihnya. Pikir Nero menerka-nerka.
"AKU INGIN MATI SAJA MENYUSULMU!" Isak tangis terdengar begitu keras seiring dengan kata-kata penuh emosi dikeluarkan oleh wanita itu.
Meski kondisi wanita itu cukup memprihatinkan dan ia sendiri merupakan seorang psikiater, Nero merasa tidak perlu ikut campur. Saat ini kondisi psikis dirinya juga sedang dalam keadaan tidak baik. Jadi, ia memutuskan untuk pergi dari sana tanpa memedulikan kondisi wanita tersebut.
Matahari sudah terbit, Nero terbangun dari kursinya. Matanya terlihat lebih cekung karena kekurangan tidur memikirkan kehilangan yang masih membekas di pikirannya.
“Aku tidak bisa terus seperti ini. Paling tidak, aku harus mencaritahu apa yang terjadi dengan kecelakaan itu. Aku yakin seseorang mungkin saja terlibat dalam kasus ini, sengaja mencelakai kami. Jika benar aku bisa menuntutnya agar di sana Azzura bisa tenang.” Bersamaan dengan lirihan itu Nero mengambil jas yang semula tergantung di balik pintu.
Setelah memakainya, ia langsung pergi menggunakan taxi karena mobil miliknya hancur berantakan. “Ke kantor polisi terdekat, Pak,” kata Nero pada sang sopir.
“Baik, Pak,” jawabnya.
Mobil bergerak menuju kantor polisi terdekat. Nero masih sangat ingat, tak jauh dari titik kecelakaannya ada kantor polisi di sekitar situ. Sebelum kecelakaan, Nero sangat memperhatikan jalanan maka dari itu ia yakin bahwa dia bisa meminta penjelasan di sana.
Dua puluh menit kemudian mobil berhenti tepat di depan bangunan berlantai dua. Nero merogoh beberapa lembar uang dari saku jasnya, lalu segera membuka pintu untuk turun. Langkahnya terseret cepat menuju kantor polisi dengan penuh keyakinan bahwa petugas di sana pasti akan memberikan jawaban atas sebab kecelakaan yang terjadi.
“Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?” tanya salah satu petugas kepolisan.
“Siang. Maaf apakah Anda tahu berita kecelakaan yang sempat terjadi beberapa hari lalu?” tanya Nero.
“Benar, kami tahu. Wah apakah Anda yang hari itu kecelakaan?” Polisi sepertinya baru menyadari bahwa korban itu telah sehat kembali.
Nero tersenyum tipis. “Benar, saya dan istri saya. Pak, sebelumnya apakah saya boleh tahu tentang rekaman di jalan tersebut sebelum detik-detik terjadinya kecelakaan? Saya yakin bahwa kecelakaan itu sudah direncanakan oleh seseorang,” kata Nero dengan suara memohon.
Polisi tersebut mengerutkan dahi. “Tuan maaf, tapi sebelum Anda meminta kami untuk mengecek, kami sudah terlebih dahulu melakukan tugas kami untuk investigasi, tapi kecelakaan itu benar-benar murni kecelakaan. Baik Tuan dan dan pengendara lain sama-sama bersalah, jadi kami tidak bisa melakukan pengecekan ulang. Di beberapa tempat sama saja, jadi satu-satunya cara Tuan harus menerima kenyataan bahwa Tuan kurang profesional dalam mengendarai,” jawabnya.
Untuk kali ini bahkan Nero tak bisa hanya untuk sekedar tersenyum. “Baiklah, terima kasih,” jawabnya, lemas.
Mengetahui bahwa ia tak bisa mencari bukti lain lagi, akhirnya Nero memutuskan untuk kembali ke rumah. Dia tak bisa melakukan hal lebih jauh lagi karena akan sama saja, kasus ini seakan telah ditutup karena ada banyak kasus lebih penting daripada kecelakaan yang mungkin sama-sama bersalah pengendaranya. Nero mengembuskan napas pasrah, lalu segera kembali ke rumahnya dengan perasaan yang masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Azzura sudah pergi karena kesalahannya.
“Apa aku sangat buruk dalam berkendara?” Nero berdesis pelan.
***
Di rumahnya, ia sudah menempati lagi tempat semula saat masih bersama Azzura. Ia baru saja terbangun dari tidurnya, menatap bingkai fotonya yang menampilkan dirinya dan Azzura tertawa di tepi pantai. Hatinya seakan mencelus, setiap kali terbangun ia selalu memikirkan Azzura karena tempat ini penuh oleh kenangan bersamanya. Bahkan Nero menghitung hari demi hari dan dua minggu sudah berlalu, tapi dirinya masih terikat di masa lampau, di mana ia masih sangat merindukan Azzura.
Dia berjalan ke dapur membuat toast dan teh. Barang-barang di sana pun mengingatkan Nero pada mendiang wanita cantik itu. Semua barang-barang di sini hampir semuanya berwarna merah muda, warna kesukaan Azzura. Dia yang memilihnya. Nero memegang pelipisnya.
“Seandainya terus menerus seperti ini, mungkin sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa melupakan Azzura,” desisnya.
Setelah sarapan, ia langsung memasukkan beberapa pakaian miliknya ke dalam tas punggung. Membawa barang-barang penting, lalu langsung bertindak impulsif dengan memutuskan meninggalkan rumah ini dan beralih ke luar kota. Ia sudah tak tahan lagi berada di sini karena semua ingatannya hanya tentang Azzura. Di halte ia menunggu bus yang akan datang setiap sepuluh menit sekali. Setelah kendaraan besar itu berhenti, Nero langsung masuk ke dalamnya, duduk di sekitar keramaian orang-orang yang sama-sama memiliki tujuan.
Saat sampai di luar kota, ia langsung mendatangi salah satu rumah sakit jiwa. “Saya ingin melamar pekerjaan di sini. Saya seorang psikiater,” ujar Nero seraya mengeluarkan berkas dari dalam tasnya.
“Saya pemilik rumah sakit ini, kebetulan kami sedang kekurangan tenaga kerja. Pengalaman dalam CV-mu sangat bagus. Besok kamu sudah boleh mulai bekerja di sini. Sebelumnya terima kasih sudah mendaftarkan diri menjadi salah satu bagian dari rumah sakit ini,” jawab wanita setengaha baya itu.
“Terima kasih.” Nero tersenyum, lalu kembali pergi meninggalkan rumah sakit jiwa itu. Berkasnya ia tinggal di sana, sementara dirinya mencari tempat tinggal terdekat.
Setelah menyusuri beberapa gang, akhirnya ia sampai di depan bangunan minimalis yang didominasi warna biru pudar. Di depannya terlihat sebuah papan lusuh “Menerima Penyewa Baru” tanpa pikir panjang, Nero langsung masuk ke dalam rumah itu untuk mengambil satu kamar kosong di dalamnya. Dan sekarang ia tinggal di salah satu rumah dengan biaya sewa cukup murah tetapi menampilkan view yang cukup bagus. “Sekarang aku tinggal di sini dengan perjalanan hidup baru. Aku harap, kenangan tentang Azzura bisa berdamai dengan pikiranku. Sedikit pun aku tidak ingin melupakan Azzura. Aku hanya ingin berdamai dengannya,” lirih Nero.
--
Sekarang hari ke tiga puluh hari Nero bekerja di rumah sakit jiwa. Ia sudah mulai terbiasa dengan lingkungan di sini dan mulai mengenal satu per satu nama pasien yang berada di sana. Nero yang baru saja bertugas untuk datang ke ruangan ujung untuk membantu salah satu pasien yang berada di sana berjalan-jalan ke depan, tak sengaja menjatuhkan pandangannya pada sosok wanita yang terlihat familiar di matanya.
Nero menghentikan langkahnya refleks begitu wanita berbaju putih itu menoleh ke arahnya dengan pandangan sinis. Tatapan Nero dan wanita tersebut berserobok dan Nero tak melepaskan sedikitpun pandangannya dari wanita itu. Matanya, bentuk rahangnya, hidungnya, postur tubuhnya sangat mirip dengan Azzura, istri yang dicintainya. Nero terpaku melihat wanita itu pasalnya baru hari ini dia mengetahui pasien tersebut. Selama satu bulan bekerja di sini, Nero tak pernah sedikitpun tahu tentang keberadaannya.
“Dia siapa? Sangat mirip dengan Azzura. Jika memang di dunia ini ada tujuh kembaran, mungkin dia adalah salah satu kembaran Azzura yang aku temukan sekarang. Tapi sejak kapan dia di sini? Namanya siapa? Dan apa yang menyebabkan ia harus menjadi salah satu pasien di rumah sakit jiwa ini? Aku tertarik untuk mencari tahunya,” desis Nero.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!