"Albi. Lihat istri kamu ini! Dia sudah berulah lagi sekarang. Sela tidak melakukan apa-apa, tapi dia malah menyalahkan Sela atas apa yang terjadi. Mama tidak suka dengan sikap dia ini, Al."
"Mas, aku tidak menyalahkan Sela tanpa sebab. Sela yang mulai duluan. Dia yang .... "
"Alah. Ada Albi aja kamu bicara manis. Sok lembut seperti orang yang tidak punya tenaga sedikitpun untuk melawan. Coba aja gak ada Albi tadi. Kamu kek hewan buas yang siap menerkam mangsa."
"Tante. Udah, gak papa. Aku yang salah kok. Bukan Dina. Aku yang mulai duluan. Salah omong sampai Dina merasa tersinggung dengan apa yang aku katakan."
"Hei! Sela ku yang manis. Kamu tidak bisa seperti itu juga dong, Nak. Jangan bersikap lemah lembut pada orang yang salah. Kamu harus tegas."
"Al, tolong dong ya. Mama udah sangat-sangat gak kuat dengan sikap kampungan istrimu itu.
Tolong peringati dia, jangan bawa sikap kampungnya itu ke rumah ini. Rumah yang awalnya tenang, jadi kek pasar setiap hari hanya gara-gara ulah istrimu ini, Albian."
Albi memperhatikan Medina yang berada tak jauh darinya. Rasa kesal menguasai hati Albi saat ini. Perempuan yang dia jadikan istri enam bulan yang lalu itupun hanya bisa menundukkan kepalanya saja saat Albi menatap.
"Ikut aku ke kamar Medina! Ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu."
"Tapi, Mas .... "
"Jangan banyak membantah. Aku tidak suka di bantah, Dina. Ikut aku sekarang juga!"
"Ba--baik, Mas."
Albi berjalan duluan meninggalkan ruang keluarga. Dina pun mengikuti langkah suaminya dengan berat hati. Dia tahu, Albi sedang kesal dan pasti akan memperingatinya lagi dan lagi setelah mereka berada di kamar nanti.
Bukan Dina tidak terima di peringati. Hanya saja, apa yang akan Albi peringati itu bukanlah yang Dina lakukan. Semua itu bukan kesalahan Dina, melainkan, hanya fitnah dari mertuanya semata.
Sementara itu, mama Albi sedang tersenyum manis penuh kemenangan saat melihat kepergian Albi dan Dina. Dia tahu, kali ini, dia berhasil lagi membuat menantu yang tidak dia inginkan itu tersudutkan dengan sandiwara yang mereka mainkan barusan.
"Semoga Albian secepatnya menceraikan Dina ya, tante." Sela berucap dengan nada pelan penuh harap.
"Kamu tidak perlu cemas akan hal itu, Sela. Tante yakin, tidak lama lagi, Albi akan menceraikan Dina. Jika tidak dia ceraikan dalam waktu dekat, maka kita akan lanjutkan rencana jebakan kita untuk Dina ke tingkat yang lebih tinggi lagi."
"Siap, tante."
...
Di kamar, Albi sedang menatap lurus ke luar jendela. Dina yang baru masuk, tiba-tiba merasakan hawa dingin yang sangat tidak mengenakkan hati.
"Ulah apa lagi yang kamu perbuat sekarang, Dina? Aku lelah mendengar semua ini hampir setiap hari."
"Mas, aku tidak berulah apapun. Aku hanya bertemu dengan mama dan Sela di ruang keluarga karena mama minta aku buatkan air untuk dia dan Sela. Itu aja kok. Gak ada yang lain."
"Kebohongan apa lagi yang sedang kamu katakan, Medina!? Mama tidak akan bicara seperti itu jika kamu tidak berulah. Lagian, aku sudah peringati kamu supaya menjauhkan diri dari mereka jika kamu tidak ingin aku semakin kesal dengan keadaan rumah ini."
"Aku sudah berusaha menjauh, Mas. Tapi mama yang panggilkan aku untuk bikin minum. Apa itu tidak jelas, Mas Albi?"
"Medina! Jangan bicara dengan nada yang tinggi padaku. Aku adalah kepala keluarga di sini."
"Kamu yang minta aku bicara dengan nada seperti itu, Mas. Kamu yang tidak pernah percaya dengan apa yang aku katakan. Terkadang, aku bingung dengan posisi aku di rumah ini. Aku ini siapanya kamu sebenarnya?"
"Kamu istri aku. Apa itu kurang jelas? Ya meski aku menikahi kamu dalam kondisi yang kurang siap, tapi tetap saja, kamu istriku yang sah."
"Jika aku istri kamu, tapi kenapa kamu tidak bisa sedikit saja percaya dengan aku, Mas? Kamu selalu membenarkan apa yang mamamu katakan. Tapi tidak mau mendengarkan dan mempercayai apa yang aku katakan."
"Aku tidak percaya, karena kamu tidak pantas aku percayai, Dina. Kau bilang mama minta kamu buatkan air. Apa di rumah ini tidak ada pembantu yang bisa melakukan hal itu?"
"Mana aku tahu, Mas. Mama .... "
"Sudah cukup! Aku tidak ingin mendengarkan keributan lagi sekarang. Jangan buat aku semakin merasa menyesal karena telah menikahi kamu, Medina."
Setelah berucap kata-kata itu, Albi langsung beranjak meninggalkan Medina. Dina yang mendengarkan ucapan itu, hanya bisa membulatkan mata sambil menatap kepergian sang suami.
Perlahan, buliran bening jatuh melintasi kedua pipi Dina. Rasa sedih, kesal, juga marah berkumpul jadi satu dalam hatinya. Hanya saja, rasa itu tidak bisa dia lepaskan. Hanya bisa dia tahan di dalam hati dengan sekuat tenaga.
'Aku istrinya. Tapi sedikitpun tidak ada rasa percaya dalam hatinya untukku. Dia malah langsung mendengarkan apa yang orang lain katakan tentang keburukan ku begitu saja. Salah aku di mana sebenarnya?'
Medina jatuh terduduk karena kaki yang lemas. Dia ingat dengan pernikahannya enam bulan yang lalu. Pernikahan sederhana yang diadakan di kampung halamannya.
Awalnya, Dina tidak ingin datang ke kota ini. Tapi, karena Albi adalah suami yang mata pencariannya di sini, maka Dina terpaksa ikut.
Siapa sangka, apa yang dia takutkan ternyata beneran terjadi. Mama mertua yang sangat tidak suka padanya, selalu mencari cara untuk menyulitkan dia setiap hari.
Tidak hanya itu, sikap Albi pun berubah setelah semua yang mamanya lakukan pada Dina. Setelah jebakan demi jebakan yang mama mertua buat, Albi merasa Dina yang salah sampai detik ini. Dia pun jadi ikut-ikutan menyalahkan Dina saat sang mama berulah.
....
"Dina, di mana bajuku?"
Albi berucap dengan suara tinggi sambil mencari keberadaan istrinya. Dina yang sedang berada di kamar mandi pun langsung keluar dengan cepat.
"Baju? Baju yang mana, Mas?"
"Baju yang aku mintai kamu sediakan tadi malam. Aku akan pakai baju itu ke kantor hari ini."
"Bukankah sudah aku siapkan di atas meja itu, Mas."
"Oh, benarkah? Kalau gitu, di mana bajunya, Medina? Di sini hanya ada celana saja. Tidak ada baju sama sekali."
Medina langsung berjalan mendekat. Dia memperhatikan meja itu dengan seksama.
"Di--di sini memang ada baju tadi malam, Mas. Aku gak bohong kok."
"Aduh, apa-apaan sih kalian ini. Pagi-pagi udah berisik. Gangguin ketenangan pagi aja," ucap mama mertua yang berada di depan pintu kamar.
"Ada apa, Al? Kenapa berisik pagi-pagi begini, hm?"
Pertanyaan itu membuat Dina merasa tidak enak hati. Dia tahu, pasti akan ada penyalahan lagi untuk dirinya dari sang mama mertua kali ini.
Pertanyaan itu membuat Dina merasa tidak enak hati. Dia tahu, pasti akan ada penyalahan lagi untuk dirinya dari sang mama mertua kali ini.
Albi terdiam sejenak. Lalu, pada akhirnya dia berucap juga.
"Aku minta Dina untuk menyiapkan baju. Tapi dia tidak melakukannya. Dia hanya menyiapkan celana di sini."
"Ya ampun, Albi. Kamu itu sudah tahu bagaimana istrimu ini, bukan? Dia ini perempuan yang cukup ceroboh. Sifat lupanya itu terlalu besar lho, Al. Jadi, untuk apa kamu handal kan dia buat melakukan sesuatu."
"Aku tidak lupa, Ma. Aku juga bukan perempuan yang ceroboh. Baju mas Albi usah aku siapkan tadi malam di atas meja ini."
"Lah, kalo kamu udah siapkan, di mana bajunya Albi sekarang? Kenapa bisa gak ada?"
"Ya ... itu aku gak tahu. Bajunya hilang begitu saja."
"Huh, enteng banget kamu bilang, Dina. Kamu pikir di rumah ini ada maling baju apa? Jika gak ada di sini, alasannya cuma ada dua. Kamu yang lupa, atau bajunya di ambil orang. Tapi ... aku rasa, untuk alasan yang kedua itu sangat tidak mungkin lho, Dina."
"Mama mau bilang aku bohong lagi, Ma? Aku nggak bohong. Aku udah siapkan bajunya mas Albi tadi malam. Aku .... "
"Sudah cukup! Dina, jaga emosimu itu. Jangan selalu membawa emosi saat bicara dengan orang lain. Jika bajunya tidak ada, maka sediakan ulang bajunya sekarang juga. Aku butuh baju itu secepatnya."
Dina menatap Albi sesaat. Dia sejujurnya sangat kesal dengan apa yang baru saja terjadi. Dia tahu, Albi tidak sedang membelanya sekarang. Albi hanya tidak ingin keributan pagi berlanjut.
Dan, Dina juga tahu, kalau ini pasti ulah mama mertuanya. Sengaja ingin menciptakan permusuhan setiap saat untuk rumah tangganya dengan Albi. Tapi sayang, mau menuduh, dia sedang tidak punya bukti saat ini.
....
Dua bulan berlalu. Dina seakan sudah kebal dengan semua yang mama mertuanya lakukan. Dia bisa tetap bertahan dengan semua perlakuan buruk itu atas dasar cinta yang dia miliki untuk sang suami.
Meski sikap Albi semakin buruk dan semakin tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Tapi Dina tetap bertahan. Dina yakin, suatu saat nanti, Albi pasti mengetahui semua kebenaran dari apa yang sudah mama mertuanya lakukan.
Sementara itu, mama Albi merasa semakin kesal dengan hubungan anak juga menantunya yang tidak kunjung berakhir. Sela yang berharap untuk jadi istri Albi itupun terlihat sudah tidak sabar lagi.
"Aduh tante .... Ini gimana sih ceritanya? Udah lebih dari dua bulan rencana yang kita buat tidak juga ada hasilnya. Albi masih tetap bersama dengan Dina meski hubungan mereka tidak baik-baik saja."
"Kamu sabar sebentar lagi, Sel. Tante juga kesal dengan hubungan mereka yang tidak kunjung berakhir meski kita sudah melakukan segala cara untuk membuat Albi membenci Dina."
"Sabar terus aja, Tan. Sampai kapan sih aku harus sabar? Apa sampai Dina hamil anaknya Albi gitu?"
"Ih, amit-amit, Sela. Amit-amit banget tahu gak. Jangan sampai jangan sampai. Tante gak akan sudi punya cucu dari perempuan kampung yang tidak tahu diri seperti Dina itu."
"Ya terus, jika kita terus bersabar, tidak akan menutup kemungkinan Dina akan hamil cepat atau lambat tante. Meskipun tante selalu memberikan Dina jamu penunda kehamilan, itu tidak akan menjamin."
Mama Albi terdiam. Dia membenarkan apa yang Sela katakan barusan. Ya, meski dia sudah susah payah membuat Dina tidak bisa hamil dengan segala cara. Tapi, jika terus bersama, Dina juga akan hamil pada akhirnya.
"Tante ... aduh, jangan diam aja dong. Katakan sesuatu padaku agar aku bisa sedikit lega, tan."
"Tenang, Sela. Berikan tante waktu sejenak untuk berpikir. Tante butuh ketenangan agar bisa berpikir dengan baik."
"Huh ... semoga saja tante punya ide cemerlang untuk menyelamatkan kita dari masalah yang sedang ada di depan mata."
Mama Albi tidak menjawab. Sepertinya, dia sedang sangat fokus dengan apa yang dia pikirkan.
Lalu ... beberapa menit kemudian, wanita paruh baya itu tersenyum lebar. Sepertinya, dia punya sesuatu yang menarik yang sudah ada dalam benaknya saat ini.
"Hm ... tante punya ide besar sekarang."
"Ide? Ide apa, tan? Katakan sekarang, aku ingin tahu."
"Sini kuping mu. Biar tante bisikin apa idenya."
Sela langsung mendekatkan kepala ke arah mama Albi. Lalu, dia pun mengangguk-anggukan kepalanya saat sesuatu dia dengar dari orang yang ada di dekatnya saat ini.
"Tante yakin dengan rencana ini? Apakah rencana ini akan berhasil, Tan?"
"Tante bisa jamin, Sela. Rencana ini pasti akan berhasil sesuai keinginan kita. Percaya deh sama tante. Kali ini, ini perempuan kampung tidak akan lolos lagi. Dia gak akan bertahan jadi istri Albi lagi setelah rencana ini kita jalankan."
"Baiklah. Aku percaya dengan tante. Semoga hasilnya sama dengan apa yang kita harap dan bayangkan."
....
Dua hari kemudian, Albi sedang marah besar akibat proyek yang sedang dia perjuangkan gagal total. Semua jerih payah yang dia lakukan, ternyata dicuri orang. Dan malangnya, yang mencuri yang dapat nama. Alhasil, perusahaannya menderita kerugian besar akibat kegagalan proyek tersebut.
"Sabar, Al. Kamu harus tenang." Mamanya berucap sambil mengelus pelan punggung Albi.
"Gimana aku bisa tenang, Ma? Aku berusaha mati-matian buat memenangkan proyek besar ini hampir satu bulan. Hasilnya, dia yang menang dengan hasil kerjaan yang sama persis dengan yang perusahaan kita punya."
"Sama persis? Kamu yakin itu sama persis dengan yang kamu punya, Al?" tanya Sela pula.
"Iya. Tentu saja aku yakin. Karena itu aku kerjakan dengan susah payah dan sungguh-sungguh."
"Kalau gitu, aku curiga bukan sama, Albi. Tapi, itu memang punya kamu yang mereka pakai buat memenangkan proyek kerja sama ini."
Albi langsung menatap serius Sela yang ada di hadapannya.
"Apa maksud kamu, Sel? Aku masih tidak terlalu memahami apa yang kamu katakan."
"Gampang. Yang ingin aku katakan adalah, kamu sudah dikhianati oleh seseorang. Mungkin karena uang, atau juga mungkin karena kesal dan sakit hati padamu. Orang itu mencuri hasil kerjaan kamu dan memberikannya pada saingan bisnis kamu itu. Maka dari itu, mereka punya hasil jerih payah kamu selama ini."
"Yang Sela katakan itu masuk akal, Al. Kamu sudah dikhianati oleh pekerja kamu. Sebaiknya, kumpulkan semua karyawan saat kamu datang besok ke kantor. Tanya satu persatu pada mereka. Selidiki sampai tuntas. Jangan sampai menyimpan pengkhianat di dekat kita. Itu sungguh bahaya."
"Benar, Albi. Lebih mudah melawan musuh yang jelas terlihat dari pada musuh yang sedang bersembunyi. Itu akan sangat bahaya."
_____________________________________________
*Catatan.
"Up pelan-pelan aja yah. Maklum, sedang agak sibuk dengan dunia nyata nih. Makasih atas sambutan kalian yang sangat membahagiakan hati. Makasih banyak semuanya."
"Benar, Albi. Lebih mudah melawan musuh yang jelas terlihat dari pada musuh yang sedang bersembunyi. Itu akan sangat bahaya."
Albi terdiam sejenak memikirkan apa yang mama juga Sela katakan. Namun, dia langsung mengusap kasar wajahnya selang beberapa saat kemudian.
"Masalahnya, hasil pekerjaan itu tidak pernah aku bawa ke kantor, Ma. Hasil pekerjaan itu aku tinggalkan di rumah. Mana mungkin ada pengkhianat di rumah kita."
"Ap--apa? Di--di rumah kita?"
Mama Albi terlihat sedang sangat syok dan terlalu kaget. Tentu saja itu tidak benar adanya. Tentu saja dia hanya sedang berpura-pura saja. Maklum, semua itu sudah ada di dalam genggaman mereka berdua.
Sela dan mama Albi saling pandang untuk beberapa saat. Sepertinya, mereka sedang memikirkan sesuatu. Albi yang melihat hal itu berusaha untuk tidak menghiraukan keduanya. Karena saat ini, dia sungguh sedang sangat pusing.
"Al, jangan pikir air yang tenang tidak ada buaya. Justru, saat air tenang, kamu harus lebih waspada lagi jika ingin masuk ke dalan air."
"Apa sih yang mama maksudkan. Jangan main kata-kata istilah. Aku sungguh sangat pusing sekarang. Aku tidak bisa mencerna apa yang mama katakan lewat bahasa istilah, Ma."
"Maksud mama, jangan pikir di rumah kita ini tidak bisa ada penjahat yang datang. Kamu lupa, di rumah ini tidak hanya ada kita berdua sebagai keluarga, Al. Tapi juga ada orang lain seperti, bibi, mang Toha, pak Mamat, dan juga ... istri kamu."
"Dina gak mungkin melakukan hal bodoh itu, Ma. Dia memang agak barbar sedikit. Tapi aku yakin, dia tidak mungkin melakukan hal yang membuat aku rugi. Apalagi rugi besar seperti saat ini."
"Eh ... mana kita tahu apa yang bisa dia lakukan buat kamu, Albi. Sudah mama katakan, air yang tenang jangan pikir tidak ada buaya lho, Al."
"Mama kamu mungkin ada benarnya, Al. Kita juga tidak tahu bagaimana hati manusia. Iya, kan? Sebaiknya, selidiki saja dulu semua orang yang bisa kita curigai. Oh iya, ruang kerja kamu punya rekaman cctv-nya kan? Bisa tuh kita lihat siapa saja yang masuk ke dalam ruang kerja kamu itu."
"Iya, Al. Mama kuat menaruh curiga buat istri kamu itu. Hubungan kalian kurang baik juga kan sekarang? Mana tahu dia melakukan hal ini untuk membalas kamu yang dia anggap tidak pernah bisa membahagiakan dia di rumah kita ini."
Albi tidak berucap lagi. Kata-kata mamanya bak racun yang menjalar secara perlahan, namun sangat fatal dengan menyerang organ yang paling penting bagi tubuh.
Albi pun tidak membuang waktu lagi. Dia langsung saja beranjak menuju ruang kerja tempat di mana dia bisa melihat rekaman cctv untuk ruang kerja tersebut.
Satu jam Albi di sana. Dia baru menemukan rekaman di mana Dina masuk ke ruangan tersebut dengan membawa sapu dan pel. Tidak ada kejadian yang janggal di sana. Hingga akhirnya, Dina tidak sengaja membereskan file-file yang berserakan di atas meja tersebut.
Hanya itu yang Dina lakukan, tidak ada yang janggal di rekaman itu. Hingga akhirnya, rekaman tiba-tiba mati secara mendadak. Hal itu tiba-tiba membuat Albi berpikiran yang tidak-tidak buat istrinya. Karena rekaman itu tiba-tiba menghilang saat Dina masih ada di ruangan tersebut.
"Sial! Apa yang terjadi dengan rekaman ini?"
"Tidak. Aku tidak percaya Dina melakukan hal ini padaku. Jika terbukti dia yang melakukan semua ini, aku tidak akan memaafkan dia. Selamanya tidak akan pernah. Jangan harap dia bisa hidup tenang jika benar dia pelakunya."
Suara kesal itu terdengar sampai ke luar ruangan. Mama Albi juga Sela yang mendengarkan semua itu langsung tersenyum penuh kemenangan. Meski mereka belum sampai kepuncak kemenangan, tapi selangkah demi selangkah, mereka sudah hampir berhasil.
Albi yang terlalu kesal pun langsung membanting semua barang yang ada di dekatnya. Semua barang yang bisa dia jangkau dengan tangan, semuanya dia banting.
"Aku tidak akan memaafkan mu, Dina. Tidak akan. Jika kamu terbukti mengkhianati ku, maka siap-siap saja kamu."
"Agh!"
Albi langsung memukul meja dengan keras. Selanjutnya, dia terdiam dengan tatapan tajam lurus ke depan. Tangan terkepal erat.
Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia langsung mengutak-atik benda pipih itu dengan lincah. Lalu ... sebuah panggilan tersambung di sana.
"Halo, Mas. Ada apa? Aku bentar lagi pulang kok."
Terdengar suara lemah lembut seperti biasanya di ujung sana. Hal itu tidak membuat Albi yang kesal merasa tenang. Mendengar suara itu, dia malahan semakin bertambah kesal lagi.
"Ke mana saja kamu, Dina!? Kerjaan kamu keluyuran melulu. Gak tahu pulang ke rumah apa kamu, hah! Gak tahu aku sedang pusing?"
"Ada apa sih, Mas? Kenapa kamu marah-marah padaku? Bukankah kamu tahu ini hari jumat. Aku akan ke panti asuhan jika hari jumat tiba, Mas. Aku juga udah izin padamu, bukan?"
"Pulang sekarang! Aku sedang pusing. Ingin kamu ada di rumah sekarang juga."
"Tapi, Mas .... "
"Medina! Dengar apa yang aku katakan! Pulang sekarang! Ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu di sini. Mengerti!?"
Lalu, panggilan itu langsung terputus tanpa menunggu Dina menjawab apa yang Albi katakan. Medina yang sedang berada di tengah-tengah anak-anak panti itupun berusaha tetap tenang seperti tidak ada hal buruk yang telah terjadi.
Padahal, hatinya saat ini sedang sangat sakit. Ada luka di sana yang sedang menganga akibat bentakan yang Albi berikan barusan.
Sejak beberapa bulan terakhir, hubungan keduanya memang sangat tidak baik. Hanya Dina saja yang berusaha tetap bertahan karena dia masih menganggap Albi sebagai suaminya. Sementara Albi sepertinya tidak begitu.
Karena hasutan demi hasutan yang mamanya berikan, Albi mendadak tidak memperdulikan Dina lagi. Hanya bicara seadanya. Sering menyalahkan Dina atas kesalahan kecil. Bahkan, sering menyalahkan Dina atas kesalahan yang sama sekali tidak Dina lakukan.
Hal itu sungguh menyiksa buat Dina. Tapi, atas nama cinta, dia tetap bertahan meski rasanya terlalu sakit.
Sebuah tangan langsung menyentuh bahu Dina dengan lembut. Seketika, sentuhan itu menyadarkan Dina dari lamunan akan kehidupan rumah tangga yang membuat sakit hatinya saat ini.
"Kenapa melamun, Dina? Ada apa dengan kamu sekarang?"
"Aku ... eh, nggak kok, Bu Nuri. Gak melamun."
Dina berbohong dihadapan bu Nuri, ibu pengurus panti yang selama ini sudah dia anggap sebagai ibu kandungnya. Karena memang, Dina tidak punya ibu sejak kecil.
"Ibu cukup tahu kamu, Dina. Akhir-akhir ini, ibu lihat kamu seperti sedang menyimpan beban berat di dalam hatimu. Kamu punya masalah? Jika ingin cerita, ibu bisa dengarkan apa yang ingin kamu katakan."
"Itu .... "
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!