Seorang pria dengan setelan jasnya, menyeret tubuh istrinya yang sedang duduk menemani bayi mereka.
“Lepaskan Filio.”
Orang yang di panggil tidak mengindahkan panggilan dari wanita yang mengaduh kesakitan. Karena rambutnya di tarik oleh suaminya sendiri.
Kulit kepalanya terasa sakit, perempuan tersebut berusaha menahan rambutnya. “Filio lepaskan yang kamu lakukan ini sangat sakit.”
Tatapan penuh amarah yang di tunjukan sang pria membuat wanita tersebut menelan salivanya dengan susah payah.
Pria yang bersikap kasar ialah Filio suami dari Razita. Filio melanjutkan aksinya kembali dan menarik rambut Razita sampai di sudut kamar mereka.
Air mata Razita adalah hal yang paling di benci Filio. Namun air mata kali ini membuat Filio muak. Ia mencengkeram rahang istrinya dengan sangat kuat.
“Berapa pria lagi yang akan kamu ajak bercinta?” Wajah Filio yang mengeras menahan amarah sangat kentara. Pasalnya selama ini wajah tampan tersebut tidak pernah terlihat marah sama sekali.
Wajah ketakutan dari Razita tampak sangat jelas. “Filio, sayang. Apa maksud kamu aku tidak mengerti.”
Tangan Filio pindah ke bagian leher Razita dan menekannya cukup keras. “Aku sudah tahu kebusukanmu. Kamu pergi ke hotel bersama dengan pria berbeda setiap harinya. Wanita murahan!”
Mata Razita membelalak. Ia tidak pernah menyangka Filio akan tahu. Padahal selama ini ia sudah berusaha menutupinya rapat-rapat. Nafas Razita tercekat, bahkan untuk membalas ucapan Filio pun ia tidak sanggup.
Saat tangan Filio melepaskan cengkeraman pada leher Razita. Dengan cepat Razita meraup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya.
Tatapan tidak sabar Filio membuat Razita dengan cepat membela diri. “Aku tidak pernah melakukan apa yang kamu katakan, aku bersumpah.”
Ucapan Razita berhasil memancing kemarahan Filio. Pria bertubuh tegap itu tidak mungkin salah mendapat informasi, apalagi semua buktinya sudah jelas. Ucapan istrinya berhasil menghadirkan sosok hitam dalam tubuh Filio.
Asisten Filio memasang tali tepat di pintu kamar mereka. Ia berjalan menghampiri Filio. “Sudah siap Tuan.”
Filio kembali menarik rambut Razita dan menyeretnya hingga ke ambang pintu.
“Naik!” Suara yang terdengar sangat tenang namun mengandung amarah dan perintah yang tidak ingin mendapat penolakan.
“Sayang aku tidak pernah mengkhianatimu, apalagi tidur dengan pria lain,” ucap Razita di tengah tangisnya. Ia tidak menyangka Filio akan menjadi pria sekasar ini.
“Naik dan buktikanlah!”
Pandangan Razita tertuju pada tali yang menggantung di pintu. Razita bukan wanita bodoh jelas-jelas ia tahu bahwa tali tersebut biasa di pakai untuk orang-orang yang ingin mengakhiri hidupnya.
Keputusannya memang konyol, tapi satu-satunya cara untuk meluluhkan hati Filio dengan mengikuti perintahnya. Selama ini Filio selalu mengikuti perintah Razita, semua yang Razita mau akan terkabul. Namun air mata Razita kini tampak tidak mempan untuk meluluhkan hati Filio.
Dengan perlahan Razita naik ke atas kursi, lalu berdiri dan menyeimbangkan tubuhnya.
“Pasang talinya ke lehermu.”
Razita memasang tali tersebut ke kepalanya. Ia berjinjit karena tali tersebut menekan bagian lehernya.
Asisten Filio menyerahkan sebuah amplop. Filio menerimanya dan mengeluarkan amplop yang berisi foto-foto Razita yang tengah bercinta dengan pria.
Filio menunjukkan foto tersebut pada Razita dan melemparnya pada tubuh Razita.
Keringat dingin dari tubuh Razita bercucuran. Tamat sudah riwayatnya. Buktinya sudah sangat jelas, dan Razita tidak mungkin bisa menyangkal. Yang ia lakukan sekarang berusaha untuk membela diri.
“Harusnya kamu sadar, apa yang aku lakukan karena ulahmu sendiri, andai kamu tidak pernah menolak saat aku ajak bercinta.”
Kaki Filio menendang kursi yang menjadi pijakan Razita. Omong kosong Razita terdengar memuakkan, bukankah wanita itu yang pertama kali menolak saat Filio meminta haknya dengan alasan ia masih takut melakukannya karena habis melahirkan secara normal.
Penyesalan selalu datang di akhir, kini Razita merasakannya. Razita kesulitan bernafas karena lehernya yang terikat. Tangannya bergerak tidak karuan berusaha menggapai sesuatu. Ia tidak ingin mati sekarang.
Di akhir hidupnya Razita bisa melihat wajah datar Filio. Bahkan saat ajal menjemputnya pria itu hanya menampilkan senyum miring.
Suara tangisan bayi dari kamar sebelah menarik perhatian Filio. Ia berjalan dengan langkah lebarnya menghampiri putri kesayangannya.
Filio membawa Zeina ke dalam dekapannya, ia memberikan botol susu berusaha menenangkan putrinya. “Kamu haus ya sayang, ini minum Nak.”
Bayi yang di pangkuan Filio mulai menghisap botol susunya sampai tandas. Kini bayi mungil tersebut tertidur di pangkuan Filio.
Filio mengecup kening bayi tersebut dan menidurkannya pada box bayi. “Jangan sedih sayang Papi akan menjagamu dan menyangyangimu.”
***
Enam tahun kemudian
Mobil yang di Kendarai oleh asisten Filio melaju dengan kencang. Rapat barusan membuat Filio terlambat menjemput Zeina.
Sesampainya di sekolah Filio segera turun, dan mencari keberadaan Zeina ke gerbang sekolah. Di sana tidak apa satpam penjaga. Filio memilih masuk menuju halaman depan sekolah. Dari tempatnya berdiri Filio bisa melihat Zeina sedang bersama dengan seorang wanita dan pria.
Langkah besar Filio menuju bangku taman tempat Zeina bermain. Dari kejauhan Filio bisa melihat interaksi Zeina yang sangat senang dengan seorang wanita. Entah apa yang mereka bicarakan, namun ini pertama kalinya Filio melihat Zeina sangat antusias.
“Papi,” panggil Zeina dengan suara setengah berteriak saat menyadari kehadiran Filio.
Kedatangan Filio di sambut hangat oleh pelukan Zeina. “Papi kok lama jemputnya, untung ada ibu Sahira dan om Rangga yang menemani Zeina.”
“Maaf sudah merepotkan,” ucap Filio.
“Tidak apa-apa Pak, ini sudah tugas saya sebagai gurunya Zeina.”
Senyum Sahira terlihat sangat menarik di mata Filio, namun yang lebih menarik lagi adalah pria yang berada di samping Sahira, Rangga.
“Terima kasih Ibu Sahira dan Pak Rangga sudah menemani putri saya, kalau begitu saya permisi.”
Sahira dan Rangga tersenyum ramah pada Filio. “Sama-sama.”
Filio menggenggam tangan Zeina dan berjalan beriringan menuju mobil.
“Papi kenapa terlambat menjemput Zeina?”
Tangan Filio mengacak pelan puncak kepala Putrinya. “Maafkan Papi sayang, tadi ada rapat mendadak.”
“Besok-besok jangan terlambat lagi ya Pi,” mohon Zeina.
“Iya sayang.”
Filio dan Zeina masuk ke dalam mobil. Dari tempatnya duduk Filio melihat Sahira dan Rangga keluar dari gerbang sekolah berboncengan menggunakan motor. Posisi tubuh Sahira yang memeluk Rangga dari belakang membuat siapa saja yang melihatnya dapat menyimpulkan bahwa mereka memiliki hubungan spesial.
Siang itu Filio mengantar putrinya ke rumah, sementara ia harus kembali ke kantor.
Filio tampak nyaman duduk di kursi kerjanya sambil membaca beberapa berkas yang harus di tanda tangani. Namun kepalanya terus memikirkan guru Zeina.
Filio menekan tombol telepon yang tersambung pada asistennya. “Ke ruangan saya sekarang juga. Saya butuh data pribadi guru Zeina yang bernama Sahira.”
Tidak berapa lama terdengar suara pintu ruang Filio di ketuk.
“Masuk,” jawab Filio. Maniknya langsung menatap lekat asisten pribadinya, Eric.
Pintu terbuka menampilkan tubuh kekar milik Erik. Tugas Erik bukan hanya sebagai asisten, ia juga pandai bela diri untuk menjaga tuannya.
Erik menyerahkan sebuah map pada Filio.
Filio mulai membuka data diri Sahira. Kini Filio tahu nama lengkapnya Sahira Aolani, wanita berusia tiga puluh satu tahun. Telah menjalani pernikahan dengan Rangga selama lima tahun namun belum di karuniai anak.
“Cukup menarik,” batin Filio.
Filio menatap dalam Erik, ada semburat api yang hanya mampu di lihat Erik. “Saya ingin Sahira menjadi milikku.”
***
Hallo 😊
Bagaimana tertarik enggak buat baca kisah Filio?
Kalau tertarik langsung tekan tombol love (subscribe) agar tidak ketinggalan update terbarunya.
Sampai jumpa di bab selanjutnya 💕💕💕
Malam ini menjadi malam yang sangat spesial bagi Sahira dan Rangga, hari jadi pernikahan mereka yang kelima tahun.
Tidak henti-hentinya Sahira merasa takjub dengan mobil yang di naiki mereka. “Sayang serius ini mobil kita, aku merasa ini sangat berlebihan. Seperti mimpi.”
Rangga menginjak pedal rem saat lampu jalanan berubah merah. Tangannya melepas setir dan bergerak menarik tangan Sahira lalu menggenggamnya. “Ini bukan mimpi, sayang.”
Sahira dan Rangga bukan berasal dari keluarga kaya, mereka hidup sederhana karena uang hasil kerja keras mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan sampai lima tahun menikah mereka belum memiliki rumah, karena fokus mengikuti program kehamilan yang cukup menguras kantong mereka.
Lampu jalanan kembali berubah menjadi warna hijau. Rangga mulai menginjak pedal gas.
Saat mobil yang di Kendarai Rangga masuk ke perumahan elite, muncul tanda tanya dalam benak Sahira.
Tidak jauh dari gerbang pintu masuk mobil Rangga berhenti di sebuah rumah yang tampak elegan dengan gaya klasik.
Rangga turun dari mobil, ia mengitari mobil dan membuka pintu Sahira.
Sahira keluar dari mobil dengan gaun sederhana yang di pakainya. Wajahnya berseri-seri melihat rumah tersebut.
Rangga menarik tangan Sahira, ia mengeluarkan kunci dari sakunya. “Kamu sewa rumah ini untuk perayaan pernikahan kita?”
“Ini rumah kita.” Rangga tersenyum lebar, dari seri wajahnya yang serius terlihat sangat meyakinkan Sahira.
“Sayang jangan bercanda, harga rumah ini pasti mahal sekali. Apa kamu kredit?” Wajah khawatir Sahira tampak menggelikan di mata Rangga.
“Atasanku memberikan hadiah atas proyek kemarin. Kamu enggak usah khawatir, ayo masuk.”
Sahira memeluk Rangga dengan erat. Ia tidak menyangka Rangga bisa mendapatkan rumah sebagus ini dari hasil kerja kerasnya. “Terima kasih sayang, aku suka rumahnya.” Air mata haru Sahira membuat Rangga merasa berguna, selama ini ia merasa dirinya hanya menyusahkan Sahira. Karena Sahira harus mencari uang untuk membiayai hidup mereka berdua. Gaji Rangga habis untuk membiayai kebutuhan ayahnya Aditama yang kini masih di rawat di rumah sakit jiwa.
Semenjak kejadian dua puluh tahun yang lalu, Rangga memikul beban berat. Ayahnya yang di temukan dengan luka yang cukup berat, kaki dan tangan yang patah. Tusukan di perut yang menyebabkan beberapa kerusakan harus di lakukan tindakan operasi dengan biaya yang cukup besar. Bukan hanya itu saja perusahaan Aditama gulung tikar karena sekretaris yang berkhianat dan mengambil alih perusahaan, kejiwaan Aditama terguncang karena jauh miskin. Tidak ada yang tersisa dari semua kejadian itu selain Rangga dan Aditama yang harus tetap hidup melawan kejamnya dunia.
Langkah kaki Rangga dan Sahira terasa amat ringan menapaki lantai marmer. Perasaan keduanya sangat bahagia, semua beban dan kepedihan yang mereka rasakan dahulu tertinggal di pintu masuk.
Rumah tersebut sudah terisi penuh, bahkan baju mereka pun sudah Rangga pindahkan. Rangga membawa Sahira ke halaman belakang. Sebuah meja dengan dua kursi yang di hiasi lilin serta satu buket bunga yang indah di atas meja menyambut kedatangan dua insan yang sedang berbahagia.
Malam ini Sahira melihat sisi romantis Rangga. Pipinya bersemu saat Rangga menarik kursi dan mempersilahkan Sahira untuk duduk. Setelah memastikan istrinya duduk dengan nyaman, Rangga duduk di kursi yang berhadapan dengan Sahira.
Mereka makan malam romantis dengan perasaan bahagia yang membuncah. Malam yang akan melekat indah di ingatan Sahira.
Suara bel rumah yang menggema menghentikan aktivitas Sahira dan Rangga, mereka saling pandang sebelum akhirnya memilih untuk melihat siapa yang datang. Rangga merasa tidak mengundang siapa pun ke rumah ini.
Suara bel yang di tekan terus menerus menandakan orang tersebut tidak sabar untuk menunggu. Langkah Rangga semakin cepat, ia segera membuka pintu utama.
Kening Rangga mengernyit heran saat melihat empat orang polisi dengan seragamnya berdiri tegap.
“Bapak Rangga, Anda di tangkap karena ikut andil dalam proses penggelapan dana perusahaan.”
Mulut Rangga yang mengatup sedikit terbuka mendengar penjelasan polisi. “Mungkin bapak salah orang.”
Tubuh Sahira membeku, ucapan polisi tersebut seakan menyihir tubuhnya.
“Kami tidak salah orang, surat penangkapan ini sangat jelas.” Suara polisi tersebut terdengar sedikit kesal, lalu menunjukkan surat perintah yang ia bawa.
Rangga terdiam pasrah saat posisi memborgolnya. Sementara Sahira menghampiri Rangga dan berusaha menahan Rangga. “Rangga kamu tidak mengerjakan pekerjaan kotor kan ?”
“Kamu tunggu di rumah ya, aku akan segera pulang,” Rangga tersenyum lebar pada Sahira sebelum pada polisi membawanya pergi.
Satu butir air mata lolos dari pelupuk Sahira. Ia memandang kepergian Rangga dengan perasaan yang tidak karuan. Antara percaya dan tidak.
Tubuh Sahira terasa sangat lemah, ia berjalan dengan sedikit sempoyongan mencari letak kamar utama. Kepalanya sedikit berdenyut, ia butuh istirahat.
Sahira masuk ke dalam kamar yang cukup luas, dengan tempat tidur berukuran king size. Sahira naik ke atas tempat tidur, menenggelamkan tubuh kecilnya di balik selimut. Air matanya tidak berhenti setelah kepergian Rangga.
Rasa sakit dan rasa tidak percaya memenuhi kepalanya. Ada rasa sedikit kecewa dalam benaknya karena malam sempurna yang ia kira hancur seketika.
Terlebih lagi rasa takut yang sangat mendera, Sahira tidak ingin kehilangan Rangga.
Matahari menyambut pagi. Sahira terbangun dengan mata yang terasa pedih karena bengkak. Sahira membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. Setelah selesai ia keluar dari rumah mencari kendaraan umum yang bisa mengantarnya ke kantor polisi.
Beruntung ada sebuah taksi yang berhenti untuk menurunkan penumpang. Sahira masuk ke dalam. Tidak memakan waktu lama kini Sahira telah sampai di kantor polisi. Saat hendak masuk langkahnya terhenti saat melihat Rangga keluar dengan beberapa polisi yang berdiri di sisi tubuh Rangga.
Sahira mencegat rombongan tersebut, “Pak ijin kan saya berbicara sebentar dengan suami saya.”
“Cepat bicara,” jawab polisi tersebut dengan nada tegas.
“Apa yang harus aku lakukan Rangga?” Suara Sahira terdengar lirih, Rangga bisa merasakan betapa cemasnya Sahira.
“Kamu tidak perlu melakukan apa pun, semuanya akan baik-baik saja. Percayalah.” Kalimat penenang yang terlontar dari mulut Rangga terdengar seperti buaian lelaki buaya. Jelas-jelas Sahira tahu bahwa keadaan suaminya tidak baik-baik saja.
“Tapi Rang-“
Dengan cepat Rangga menyela. “Pulang dan tunggu aku di rumah.”
“Ayo cepat, waktu kita tidak banyak.” Polisi yang memimpin memberikan perintah kepada anak buahnya yang memegang tubuh Rangga.
Rangga hanya bisa pasrah saat polisi menarik tubuhnya. Sementara dadanya sesak melihat istri tercintanya harus merasakan penderitaan karena kebodohannya.
“Aku akan menunggu kamu di rumah, cepat pulang sayang.” Hanya itu yang bisa Sahira ucapkan. Sementara Rangga sendiri tahu bahwa ia sudah menjadi tersangka dan tidak akan semudah itu keluar untuk menemani Sahira.
Sahira menelepon pihak sekolah untuk meminta izin. Ia harus mendatangi perusahaan tempat Rangga bekerja.
***
Banyak pasang mata yang menatap hina ke arah Sahira. Namun ia tetap berjalan dengan langkah tegap menuju meja resepsionis tanpa memedulikan tatapan orang-orang.
“Saya ingin bertemu pak Bram.”
Penjaga resepsionis menautkan kedua alisnya. “Apa ibu tidak tahu bahwa semalam pak Bram bersama asistennya di tangkap karena menggelapkan dana perusahaan.”
“Menggelapkan dana perusahaan, berapa banyak?”
“Maaf Bu itu bukan wewenang saya, saya tidak bisa memberi tahu.”
Tubuh Sahira lemas. Ucapan penjaga resepsionis seperti memperjelas masalah yang menimpa Rangga. Sahira tahu mulai hari ini kehidupannya tidak akan baik-baik saja.
“Kalau begitu saya permisi, terima kasih informasinya.” Resepsionis tersebut berusaha tersenyum ramah meskipun hatinya sedikit dongkol kala mengingat masalah itu. Yang di lakukan pak Bram tidak hanya mencoreng nama perusahaan.
Sahira memilih kembali ke rumah. Sekarang ia hanya bisa berdoa untuk kebaikan Rangga. Saat kaki Sahira turun dari taksi beberapa orang memasang papan yang menyatakan rumah tersebut di sita.
“Apa-apaan ini Pak?” Sahira mencopot papan tersebut.
“Ibu ini siapa?” petugas tersebut terlihat tidak suka pekerjaan di ganggu orang lain.
“Saya pemilik rumah ini, istrinya Rangga.”
“Apa ibu tidak tahu, bahwa uang penggelapan dana perusahaan yang di lakukan Bapak Rangga di belikan rumah ini. Jelas ini bukan hak Ibu, jadi lebih baik pergi saja. Rumah ini harus di kosongkan.”
Dada Sahira sesak, seperti ada benda berat yang menindih tubuhnya. Ia tidak menyangka Rangga akan sebodoh ini melakukan penggelapan dana hanya karena ingin melihat Sahira bahagia.
Sahira berjalan tanpa tujuan, kepalanya terus di penuhi masalah Rangga. Ia mengutuk takdir yang menimpa dirinya dan Rangga. Tuhan terlalu kejam, apa belum cukup penderitaannya selama ini. Sahira tidak pernah melakukan kesalahan yang fatal tapi mengapa Tuhan menghukum dirinya dengan sangat kejam.
Kepala Sahira berdenyut tubuhnya limbung ke tengah jalan, sementara sebuah mobil dengan kecepatan tinggi nyaris menabraknya.
Sahira hanya bisa pasrah memejamkan matanya, tubuhnya yang lemas tidak memiliki kekuatan untuk menghindar.
Suara rem mobil yang berderit membuat kesal penumpang mobil. “Ada apa?”
“Maaf Tuan, tiba-tiba ada wanita yang menghalangi jalan.”
Filio berdecap. “Cepat urus!”
Erik keluar dari mobil untuk melihat keadaan wanita yang hampir tertabrak, beruntung ia cepat tanggap. “Apa yang Anda lakukan, jika ingin bunuh diri jangan di pinggir jalan. Anda mengganggu perjalanan Tuan saya!”
Sahira menunduk, “Maaf.”
Mendengar suara wanita yang berbicara dengan Erik mengingatkan Filio pada seseorang. Ia keluar dari mobil untuk memastikan, dugaannya benar ternyata Sahira.
“Bukankah seharusnya Anda mengajar?”
Saat kepala Sahira menegak pandangannya bertemu dengan Filio. Orang tua Zeina. Entah ide dari mana Sahira berjalan cepat menghampiri Filio. Yang Sahira tahu Filio orang yang cukup sukses di usia mudanya. Bahkan yang ia dengar Filio memegang beberapa perusahaan.
“Tuan bolehkah saya meminta bantuan?” Sahira melihat raut wajah Filio yang datar, padahal terakhir kali mereka bertemu pria itu masih tersenyum ramah.
“Maaf Bu, lebih baik Anda pergi.” Erik menyela dengan cepat, lima belas menit lagi Filio harus menghadiri rapat perusahaan.
“Tolong suami saya terlibat kasus korupsi, saya yakin Tuan Filio dapat membantu saya.” Sahira mengatupkan ke-dua tangannya di depan, demi memohon bantuan Filio.
“Saya ini seorang pebisnis, tidak mungkin saya memberikan bantuan secara cuma-cuma .”
Sahira menundukkan kepalanya, “Apa pun yang Tuan inginkan saya akan melakukannya.” Sahira bertekad dalam dirinya, ia akan melakukan segala cara asalkan Rangga bisa bebas.
“Saya akan membantu, jika Anda bersedia menjadi ibu untuk Zeina.”
“Saya ini seorang pebisnis, tidak mungkin saya memberikan bantuan secara Cuma-Cuma.”
Sahira menundukkan kepalanya, “Apa pun yang Tuan inginkan saya akan melakukannya.” Sahira bertekad dalam dirinya, ia akan melakukan segala cara asalkan Rangga bisa bebas.
“Saya akan membantu, jika Anda bersedia menjadi ibu untuk Zeina.”
Kepala Sahira yang semula menunduk terangkat dengan cepat dan menatap Filio. “Maksud Tuan?”
“Saya ingin kamu menjadi ibu Zeina yang sah di mata hukum.”
Keinginan yang di ajukan Filio begitu mengejutkan Sahira. “Maksud Tuan saya harus menjadi ibu dan istri?”
“Kalau kamu tidak mau, saya tidak akan memaksa.” Pergerakan Sahira menahan Filio begitu cepat, sehingga Filio menghentikan pergerakannya untuk masuk ke dalam mobil.
“Saya mau Tuan, asal Rangga terbebas dari denda dan tidak di penjara.” Meskipun ada keraguan yang cukup besar di benaknya, tapi Sahira meyakinkan dirinya bahwa ini jalan terbaik. Hanya Filio yang mampu menolongnya saat ini.
‘Bodoh!’ batin Filio. Menurutnya Sahira benar-benar sudah di buatkan oleh cinta, bahkan demi melihat Rangga bebas tanpa beban dia menjual dirinya sendiri.
“Masuk, kamu harus ikut untuk mendaftarkan perceraian kalian dan pernikahan kita.”
Kedua mata Sahira membulat sempurna mendengar perintah Filio, “Perceraian?”
“Cepat saya tidak punya banyak waktu!”
Sahira terkesiap mendengar bentakan Filio, ia masuk dan duduk di samping Filio dengan perasaan canggung.
Sepanjang perjalanan Sahira hanya menundukkan kepala. Hati dan pikirannya terus bergulat mempermasalahkan keputusan yang diambil.
Saat mobil yang di Kendarai Erik sampai di gedung perusahaan Filio berjalan dengan tergesa di ikuti Erik yang mengekor di belakang. Sementara Sahira masih mematung kebingungan, pasalnya tadi Filio bilang hendak mengurus perceraian tapi mengapa malah ke gedung Havelaar Group.
Saat Filio dan Erik masuk ke dalam lift, mereka saling pandang. Erik yang mengerti maksud tatapan Filio segera menghentikan pintu lift yang hendak tertutup.
Erik kembali ke arah tempat ia parkir mobil. “Mari nona ikut saya,” perintah Erik tegas.
Sahira mengikuti Erik masuk ke dalam lift. “Kenapa kita kemari?”
“Tuan Filio harus menghadiri rapat penting, setelah ini kita akan mengurus surat perceraian dan pendaftaran pernikahan.”
Sampai di lantai teratas pintu lift terbuka. Erik mempersilahkan Sahira untuk masuk ke ruang kerja Filio. “Nona tunggu di sini, jangan pergi ke mana pun. Toiletnya ada di sebelah barat.” Tangan Erik bergerak ke arah toilet.
Sahira mengangguk patuh. “Kalau begitu saya permisi.” Suara Erik terdengar sangat sopan.
Setengah jam Sahira menunggu dengan rasa bosan. Bahkan mulutnya terus menguap, bosan. Tidak henti-hentinya bola mata Sahira melirik jam tangannya.
Badan Sahira terasa pegal, ini ingin merebahkan tubuhnya. Tetapi ragu, ia merasa tidak sopan. Setelah melewati pertimbangan yang membingungkan akhirnya Sahira berjanji pada dirinya sendiri untuk merebahkan tubuhnya lima menit saja.
Sahira merasa sofa di ruang ini menyambut kedatangan tubuhnya, ia merasa sangat rileks. Betisnya yang pegal sehabis berjalan terasa nyaman tanpa harus menanggung bobot badannya.
***
Filio masuk ke dalam ruang kerjanya. Perhatiannya tertuju pada Sahira yang tertidur di sofa. Kaki Filio melangkah mendekati Sahira. Wanita itu tertidur sangat lelap, wajahnya terlihat sangat tenang. Alisnya berbaris rapi, bibir yang pucat. Filio baru menyadari bahwa Sahira tidak memakai riasan wajah.
Entah angin dari mana Filio mengangkat tubuh Sahira, alih-alih membangunkannya. Padahal sebelum sampai di ruangan ia sudah bertekad untuk mengurus pernikahannya secepat mungkin.
Filio membawa tubuh Sahira ke sebuah ruangan, tempat ia biasa beristirahat. Dengan hati-hati Filio merebahkan tubuh Sahira.
Tubuh Sahira baru saja menyentuh tempat tidur namun kedua matanya terbuka sempurna. Tangan Filio yang masih ada di belakang kepala Sahira membuat jarak mereka amat dekat.
Manik Filio dan Sahira saling bertemu. Entah mengapa jantung Filio berdetak lebih kencang dari biasanya. Tidak pernah terpikirkan dalam kepala Filio bahwa Sahira akan bangun secepat ini, dalam keadaan yang cukup in*tim. Filio merasa wibawanya hancur seketika, ia takut Sahira akan berpikir yang tidak-tidak.
Erik masuk ke dalam ruangan Filio yang pintunya tidak tertutup, pandangannya tertuju pada ruangan tempat Filio beristirahat. Melihat hal intim yang akan di lakukan pasangan tersebut Erik merasa harus mencegahnya. Ia tidak boleh membiarkan Filio menyukai Sahira.
Erik berdeham dengan cukup kencang sehingga mengejutkan Filio. Entah mengapa refleks tubuhnya sangat bodoh, hingga tubuh tegap Filio ambruk ke atas tubuh Sahira karena terkejut.
Manik Sahira membola saat merasakan bibirnya tertimpa bibir Filio.
Sahira menelan salivanya dengan susah payah. Posisi yang cukup in*tim ini membuat Sahira merasa tengah berselingkuh dari Rangga. Kedua tangan Sahira mendorong dada Filio. “Maaf Tuan, saya ingin ke kamar mandi.”
“Maaf Tuan sepertinya saya datang di saat waktu yang tidak tepat,” dengan langkah santainya Erik keluar.
Filio menatap kepergian Sahira yang tergesa-gesa. Ia duduk mengacak rambut yang tersisir rapi. “Ah mengapa dia mendorongku seperti itu, apa aku terlihat seperti pria mesum? Bahkan tidak ada unsur kesengajaan untuk menciumnya,” batin Filio mulai mengoceh.
Sahira menutup rapat pintu kamar mandi dan menguncinya. Ia mencuci wajahnya, “Astaga apa yang ingin dia lakukan. Mengapa dia membawaku ke tempat tidur?” oceh Sahira dengan suara berbisik. Ia sedikit merasa beruntung karena kehadiran Erik berhasil menghentikan perbuatan yang tidak di inginkan.
Sahira menatap wajah basahnya, pandangannya turun ke bagian ceruk leher setelah memastikannya aman. Ia menunduk dan menatap pakaiannya yang masih terkancing. “Huh untung saja aku terbangun kalau tidak-“
Sahira membayangkan kegiatan di atas ranjang. “Astaga tidak mungkin. Berpikir positif Sahira,” ucap Sahira dengan nada kesal.
Sahira meraba bibirnya yang terasa perih, ada darah yang keluar dari bibir bagian luarnya. “Ah sial sekali, hidupku.”
***
Rangga cukup terkejut saat ia di bebaskan, ia tidak ingin memikirkan yang lain. Fokusnya saat ini adalah menenangkan istrinya, Sahira.
Semalam Rangga merasa tidak enak hati meninggalkan Sahira di malam perayaan pernikahan mereka. Apalagi tadi pagi mata Sahira tampak sembab. Rangga yakin Sahira menangis semalam karena khawatir.
Dengan langkah riangnya Rangga keluar dari kantor polisi. Namun seorang pria menghentikan langkahnya.
“Permisi betul saya berbicara dengan Tuan Rangga?” tanya pria tersebut sambil menatap layar ponselnya untuk memastikan wajah lawan bicaranya sama dengan foto di ponselnya.
“Iya betul, ada perlu apa?”
Pria tersebut mengeluarkan amplop dari tasnya dan menyerahkannya pada Rangga. “Saya permisi, Tuan.”
Rangga menatap heran pada pria yang kini pergi meninggalkannya. Dengan perlahan Rangga membuka amplop tersebut.
Saat melihat isi amplop tersebut wajahnya masih tenang. Saat mulai membaca isinya, seperti ada sebuah bom meledak dalam dada Rangga. “Sahira menceraikan aku, ini tidak mungkin.”
Rangga mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Sahira. Pada dering ketiga panggilannya di jawab. “Apa maksud semua ini sayang, kamu tidak bersungguh-sungguhkan. Katakan bahwa ini lelucon.” Tanpa ragu Rangga mengucapkan semua yang ada di kepalanya dengan nada putus asa.
“Rangga.” Panggilan Sahira membuat dada Rangga terasa nyeri. Selama ini istrinya tidak pernah memanggil dirinya dengan nama, ke mana perginya panggilan sayang yang selalu keluar dari bibir tipis Sahira.
“Kita harus bertemu, kamu ada di mana? Aku akan segera ke sana.” Kaki Rangga berjalan dengan tergesa menuju jalan.
“Maaf tapi aku tidak bisa bertemu denganmu.”
Tubuh Rangga membeku. Ia merasa waktu berhenti, rasa sesak menyelimuti dadanya kala mendengar penolakan yang di ucapkan Sahira.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!