Black Ocean Club.
Hingar bingar suara dentuman musik DJ dan bau menyengat dari alkohol membuat para anak muda yang berada di dalam sana tidak berhenti untuk bersenang-senang.
Terlihat seorang gadis cantik sedang duduk dan mengangkat gelas yang berada di tangan kanannya, lalu meminumnya dengan penuh semangat.
Wajahnya memerah dan pandangan matanya mulai sedikit kabur, bahkan nada bicaranya melantur kemana-mana. Pertanda gadis itu sudah mulai mabuk.
"Mau sampai kapan kamu berada disini Lun, sebaiknya kita pulang sekarang oke." ujar Zelin yang tak lain adalah sahabat baik Luna di sekolah.
Luna Xaviera, seorang pelajar SMA yang masih berusia 18 tahun. Dia adalah salah satu murid paling pintar di kelas karena selalu mendapat rangking meski bukan yang pertama. Namun semua tidak ada gunanya karena apa yang gadis itu lakukan tidak pernah di pandang oleh Ayahnya.
Semenjak sang Ayah menikah lagi setelah kematian Ibunya, hidup Luna menjadi berantakan.
Bukan karena kelakuan Ibu tirinya yang jahat, justru Ayahnya sendirilah yang selalu membandingkan dirinya dengan Vienna. Meski kakak tirinya juga begitu sayang pada Luna. Tetap saja ia merasa Ayahnya sudah bersikap tidak adil padanya.
"Apa kamu tahu, minuman ini membuatku tenang dan melupakan sejenak masalahku. Kamu mau mencobanya Zelin?" ucap Luna yang sudah mulai bicara ngelantur dan membuat Zelin terpaksa harus menyeretnya pergi dari sana seperti biasanya.
Luna memang masih sedikit sadar, tapi Zelin tidak tega jika harus meninggalkan sahabatnya itu sendirian. Ditambah lagi banyak pria hidung belang yang sejak tadi menatap ke arah mereka.
Dengan buru-buru Zelin memapah Luna meninggalkan tempat menjijikan itu.
"Lepasin Zel aku masih mau disini. Aku tidak mau pulang dan bertemu dengan mereka." protes Luna dengan air mata yang mulai mengalir. Karena jika sudah berada di rumah, Ayahnya akan mulai menceramahi nya panjang lebar.
Mengingat apa yang akan terjadi jika ia pulang ke rumah membuat kepala Luna pusing dan perutnya juga terasa mual.
"Oh God! Jangan bilang kalau kamu mau muntah disini Luna!'' pekik Zelin yang mulai khawatir dengan keadaan sahabatnya.
"Aku sudah tidak tahan lagi Zel..." Luna tanpa sengaja menabrak seorang pria dan mendongak ke arahnya. Wajah pria itu terlihat samar-samar di pandangannya. "Tuan bisakah kamu membantuku." pintanya.
Pria dengan rahang tegas, tinggi dan berkulit putih tersebut menatap Luna dengan tatapan datar.
"Singkirkan tanganmu." suara bariton terdengar menggema di telinga Luna. Ia seakan mengenali suara tersebut tapi lupa entah dimana. Sedangkan Zelin hanya bisa terdiam tidak berani berkutik sedikitpun.
Hoeek!
"Ah lega sekali rasanya." Luna mengusap bibirnya dan menatap pria yang sejak tadi berada di hadapannya. "Terima kasih Tuan karena sudah....." ucapan nya terhenti saat bisa melihat jelas sosok pria yang berada di hadapannya.
"K-kau...." Luna melotot, dengan bola mata yang seakan ingin keluar dari tempatnya. Ia tidak percaya jika sudah mengotori jas milik Guru killer nya. 'Tidak mungkin, aku pasti sedang berhalusinasi sekarang'
Pria tersebut memejamkan mata dan mengeraskan rahangnya kesal. Jas hadiah ulangtahun pemberian Ibunya terkena muntahan seorang gadis kecil yang masih memakai seragam sekolah di dalam sebuah Club.
"Maafkan saya Pak, saya benar-benar tidak sengaja.'' Luna mengambil saputangan dari sakunya dan mulai membersihkan jas milik pria tersebut yang tak lain adalah Devan, Gurunya.
Bukannya bersih, yang Luna lakukan malah membuat jasnya semakin kotor.
"Tuan apa perlu saya usir gadis ini." ucap asisten Devan yang sejak tadi berada di belakangnya.
Devan memberi kode pada asisten pribadinya agar diam dan tidak ikut campur.
"Siapa namamu.''
"Saya? Bapak bertanya nama saya?" jawab Luna sedikit gugup dan menunjuk dirinya sendiri.
"Iya kamu. Tidak ada orang lain lagi selain gadis bodoh yang pergi ke sebuah Club malam mengenakan seragam seperti ini. Apa kamu berniat mencoreng nama baik sekolah?"
Luna menoleh ke belakang, bukankah tadi Zelin ada di sana kenapa sekarang sahabatnya itu tidak ada sama sekali pikirnya. 'Dasar teman tidak tahu diri, bagaimana bisa dia tega meninggalkanku bersama Guru killer sialan ini. Habislah aku sekarang'
"Begini Pak sebenarnya tadi saya....." Luna menjelaskan panjang lebar, namun Devan sudah lebih dulu menarik kerah seragam bagian belakang Luna dan menyeret gadis itu keluar menuju parkiran.
"Lepas Pak, saya bukan kucing." gerutu Luna, begitu entengnya Devan menyeretnya seperti seekor kucing yang baru saja mencuri makanan.
"Diam dan jangan berisik!"
Setelah berada di luar, Devan mulai kembali mengintrogasi Luna. Namun sialnya saat ia lengah gadis itu dengan sengaja menggigit pergelangan tangannya dan berhasil kabur.
"Shiit! Bagaimana bisa gadis nakal itu melakukan ini." teriak Devan yang merasakan sakit pada pergelangan tangannya.
"Kenapa kamu tersenyum hah! Apa kamu pikir ini lucu?!'' bentak Devan melotot tajam ke arah Leon.
"Maafkan saya Tuan," Leon membungkuk sekilas dan membuka pintu mobilnya lalu mempersilahkan Devan untuk masuk ke dalam.
"Dasar kucing nakal. Awas saja jika aku bertemu denganmu lagi nanti." gumam Devan dengan seringaian tipis di sudut bibirnya.
'Aneh sekali, tidak biasanya Tuan peduli pada seorang wanita. Apalagi dia adalah seorang pelajar sekolah' batin Leon mengendarai mobilnya menuju ke mansion Alexander.
...----------------...
...Selamat datang di karya aku yang ke tiga. Semoga terhibur. Jangan lupa Like, komen dan dukungan nya kakak. Terima kasih 💜...
Luna Xaviera, 18 Tahun.
Tepat pukul sebelas malam Luna masuk ke dalam rumah dan mengendap seperti seorang maling. Gadis itu mengusap dadanya lega karena melihat semua lampu sudah mati, pertanda kalau penghuni rumah sudah tidur.
"Dari mana saja kamu Luna Xaviera." teriak Nathan dengan wajah yang sudah memerah menahan marah. Ia menyalakan lampu ruang tengah dan berkacak pinggang melihat putrinya yang terlihat santai tanpa dosa.
Luna memutar bola mata malas dan menyelonong masuk ke dalam tanpa menjawab ucapan Ayahnya. Namun langkah kakinya terhenti saat melihat Vienna dan juga Clarissa berdiri di hadapannya.
"Kamu lihat sekarang jam berapa?" tanya Nathan hendak mendekati Luna namun ditahan oleh Clarissa, istrinya.
"Sabar sayang, biarkan Luna masuk ke kamarnya."
"Tidak! Gadis nakal ini harus di beri hukuman."
Melihat adegan bak drama ikan terbang tersebut membuat Luna muak, ia menganggap apa yang dilakukan oleh Clarissa hanyalah pura-pura semata untuk menarik perhatian Ayahnya.
"Apa sudah selesai dramanya? Aku mau ke kamar ngantuk." ketus Luna melewati mereka semua begitu saja. Namun tiba-tiba tangan kekar menarik lengan nya dan sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.
Plak!
"Ayah!'' pekik Vienna tidak menyangka jika Ayahnya akan melakukan hal ini pada adiknya.
Luna tersenyum kecut menerima perlakuan Nathan. Dengan mudahnya seorang Ayah melayangkan sebuah pukulan dan menyakiti putri kandungnya sendiri.
"Sudah puas? Jadi ini kasih sayang yang selama ini Ayah maksud? Aku benar-benar kecewa pada Ayah.'' ucap Luna sebelum ia berlari masuk ke kamar dan mengabaikan mereka semua.
Nathan terdiam, ada sedikit rasa sesal di dalam hatinya karena sudah melakukan ini pada putrinya. Untuk pertama kalinya ia mengangkat tangan dan menyakiti Luna. Tapi semuanya sirna saat melihat apa yang sudah Luna lakukan selama ini.
''Ayah benar-benar keterlaluan.'' ucap Vienna berlari menyusul Luna.
Vienna perlahan mengetuk pintu kamar adiknya dan masuk.
"Luna, maafkan Ayah ya." Vienna memeluk adiknya yang sedang menangis di tepi ranjang. "Kakak yakin Ayah tadi hanya sedang lelah karena pekerjaan di kantor ditambah lagi kamu yang belum pulang dan..."
Luna menoleh ke arah Vienna, dengan cepat gadis itu menghapus air mata yang sejak tadi mengalir di pipi adiknya. "Perusahaan Ayah sedang goyah. Saat emosi nya reda besok, pasti Ayah sudah tidak marah lagi padamu.'' ucapnya mencoba menenangkan Luna.
Luna enggan menjawab ucapan Vienna. Ia memilih untuk diam dan merebahkan dirinya di atas ranjang lalu memejamkan matanya erat. Berharap besok bisa melupakan apa yang terjadi hari ini.
*
*
*
Keesokan harinya, Luna sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Gadis belia itu sama sekali tidak mempedulikan Clarissa yang sejak tadi memanggil namanya dan terus saja berjalan keluar.
"Nona hari ini saya akan mengantar anda ke sekolah atas perintah Tuan Nathan." ucap supir yang sudah menunggunya sejak tadi.
Luna mengangguk dan segera masuk ke dalam mobil tanpa mau berdebat seperti biasanya. Karena gadis itu selalu saja menolak jika di antar sopir dan memilih untuk naik angkutan umum.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, Luna segera turun dan berniat mencari Zelin. Ia ingin memberi sahabatnya itu pelajaran karena sengaja meninggalkannya di Club tadi malam.
''Itu dia, lihat saja aku akan.....'' belum selesai Luna bicara, langkah kakinya terhenti saat mendengar seseorang berteriak memanggil namanya.
"Luna Xaviera!''
Luna terdiam, gadis itu sangat mengenali suara yang baru saja meneriakkan namanya. 'Mampus! Itu pasti si Guru killer menyebalkan. Aku harus segera kabur dari sini' gumam Luna sambil mengambil ancang-ancang hendak berlari dari sana.
"Berani kamu berniat kabur, nilai matematika kamu akan saya kurangi. Dan saya akan melaporkan kelakuan kamu semalam pada kepala sekolah supaya kamu di skors!" ancam Devan membuat Luna tidak bisa berkutik dan berkali-kali menelan saliva dengan susah payah.
"Jangan dong Pak. Saya siap menerima hukuman apapun asal jangan di skors. Bisa-bisa Ayah saya semakin murka dan mengutuk saya jadi kodok." ucap Luna dengan wajah memelas dan bibir monyong ke depan.
''Kamu pikir saya peduli?! Lari keliling lapangan dua puluh putaran tanpa jeda dari sekarang." perintah Devan membuat Luna melotot tajam dan mengangkat tangan kanan nya berniat untuk protes.
"Jika kamu protes hukuman ditambah tiga kali lipat.'' tegas Devan tanpa mau mendengar alasan Luna.
''Tapi saya belum sarapan Pak, bagaimana kalau saya pingsan dan..."
Devan melipat tangan di bawah dada dan menatap tajam ke arah Luna. Mau tidak mau gadis itu berlari menuju ke lapangan dan melaksanakan hukuman yang Devan berikan.
Luna mengacak-acak rambutnya frustasi. Sial sekali nasibnya nasibnya sejak tadi malam. Bahkan rasa sakit karena tamparan sang Ayah saja masih terasa.
Di tambah lagi Luna belum sarapan dan sekarang harus berlari mengelilingi lapangan yang luasnya dua kali lipat lapangan bola biasa. 'Dasar Guru killer sialan. Lihat saja aku akan membuat perhitungan denganmu nanti'
...----------------...
Devan Alexander, 30 tahun.
Setelah menyelesaikan hukuman yang di berikan oleh Devan, Luna duduk di bawah pohon rindang. Ia segera merebahkan tubuhnya dan melemaskan otot kakinya yang terasa pegal.
Seseorang menyodorkan sebuah botol air mineral tepat di pipi kanan Luna. Membuat gadis itu reflek menoleh ke samping. ''Kenapa kamu bisa berurusan dengan Pak Devan?'' tanya Aldo yang tak lain adalah sahabat Luna selain Zelin
Dengan segera Luna membuka tutup botol berwarna biru itu lalu meneguk air nya. Tanpa peduli dengan keringat yang sejak tadi mengalir dan membuat seragam sekolahnya sedikit basah.
''Thanks Aldo. Rasa haus aku terobati berkat air minum dari kamu ini.'' ucap Luna tersenyum begitu manis membuat jantung Aldo berdetak kencang.
'Senyum kamu manis banget Lun. Rasanya hati aku meleleh karena nggak kuat liatnya' Wajah Aldo memerah, suasana di sekitarnya menjadi panas meski sekarang masih pukul delapan pagi.
Luna beranjak dari duduk nya dan menarik tangan Aldo. "Kita mau kemana Luna?" tanya Aldo yang bingung kenapa tiba-tiba Luna menarik tangannya. Padahal hari ini ia berniat untuk mengajak Luna membolos bersama.
''Masuk ke kelas lah. Jangan bilang kalau kamu berniat ngajak aku bolos." ucap Luna dengan tatapan penuh selidik pada Aldo. Dan ya tebakan gadis itu memang benar adanya. "Aku lagi males. Kita masuk ke kelas aja. Apalagi sekarang pelajaran si Guru killer menyebalkan itu."
Aldo mengangguk dan menuruti ucapan Luna. Jika ia tetap nekad maka nasibnya akan sama seperti sahabatnya ini, atau mlah lebih parah.
*
*
*
Jam pelajaran sekolah telah usai, Luna membereskan beberapa buku pelajaran yang ia bawa dan memasukannya ke dalam tas ranselnya. Lalu menjinjing nya di punggung belakang.
''Luna, maafin aku. Please jangan marah lagi ya,'' mohon Zelin dengan wajah memelas, ia merasa bersalah karen sudah meninggalkan sahabatnya itu semalam.
''Hmm.'' jawab Luna singkat dan beranjak dari sana meninggalkan Zelin yang memasang wajah bingung.
''Apa hmm doang? Apa itu tadi beneran Luna yang aku kenal? Kemana sikap bar-bar nya, atau jangan-jangan dia kesambet setan di bawah pohon lagi?'' gumam Zelin merasa aneh melihat sikap dan perubahan Luna yang menjadi pendiam dan tak banyak bicara. ''Ya aku yakin dia pasti kesambet deh.''
Mobil yang membawa Luna membelah jalanan kota sore hari yang mulai padat merayap. Di tambah lagi macet dan panas terik matahari terbenam yang mengarah padanya membuatnya gerah. Bergegas Luna membuka sedikit pintu kaca mobilnya agar mendapat angin segar.
''Pak sebenarnya kita mau kemana? Ini bukan arah jalan pulang kan?'' tanya Luna menepuk pundak supir pribadi nya.
Sang supir mengangguk. Memang benar ini bukan jalan menuju rumah Luna. Saat berada di tengah perjalanan, Nathan menghubunginya dan memintanya mengantar Luna ke butik milik Vienna.
''Kita akan menuju ke butik, setelah itu saya akan mengantar Nona pergi ke rumah keluarga Alexander.''
''Apa? Keluarga Alexander?'' pekik Luna kaget saat mendengar nama Alexander. Bukankah itu keluarga terkaya dan terkenal di Indonesia karena kesuksesannya di dunia bisnis?
Lalu untuk apa Ayah dan Ibunya berada di sana? Tidak mungkin kan mereka ingin meminjam uang pada mereka, karena Vienna semalam mengatakan kalau perusahaan Ayahnya sedang goyah.
Setelah selesai mencoba beberapa baju dan merasa cocok. Luna masuk kembali ke mobil dan menuju ke kediaman Alexander.
Setengah jam perjalanan akhirnya Luna sampai di depan gerbang sebuah mansion yang megah dan mewah bak istana.
''Nona silahkan turun, karena Tuan dan Nyonya sudah menunggu anda di dalam.'' ucap supir membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan Luna untuk turun.
Pelayan yang ditugaskan untuk menjemput Luna segera membawa gadis itu masuk.
Matanya Luna tak berhenti berkedip melihat pemandangan di sekitarnya yang membuat bibirnya tak berhenti mengucap kata wah.
''Silahkan masuk Nona.'' ucap pelayan tersebut membuka pintu bercat putih dengan polesan berwarna gold di sekelilingnya.
''Sayang kamu sudah datang?'' sapa Nathan yang berjalan mendekat dan memapah putrinya untuk duduk.
Luna begitu terkejut saat melihat ada sepasang suami istri selain dirinya dan juga kedua orangtuanya. Di sana juga ada seorang pria yang begitu tidak asing, bahkan bisa di bilang seseorang yang sangat tidak ingin Luna lihat sekarang.
''Mereka adalah calon mertuamu, dan pria itu adalah calon suamimu. Jadi bersikaplah yang sopan.'' bisik Nathan tepat di telinga Luna.
''What? Calon suami?'' pekik Luna namun segera menutup mulutnya karena tidak ingin membuat kedua orang tuanya malu.
Rasanya ingin sekali Luna berteriak dan memaki Ayahnya. Bagaimana bisa dia melakukan ini tanpa memberitahunya terlebih dulu. Ditambah lagi calon suaminya adalah pria yang selalu membuatnya kesal dan emosi.
''Selamat malam Luna Xaviera.'' sapa Devan dengan tatapan datar dan dingin lalu kembali duduk setelah berjabat tangan dengan Luna.
''Selamat malam juga Pak Devan yang terhormat.'' jawab Luna dengan senyuman terpaksa di wajahnya.
Kedua orang tua mereka tersenyum dan tidak menyangka jika putra putrinya sudah saling mengenal. Bahkan terlihat sangat akrab.
'Mimpi apa aku semalam. Bisa-bisanya aku akan menikah dengan Guru killer ini.' Luna merutuki nasibnya dan terus mengumpat kesal di dalam hati. Ia berharap kalau semua ini adalah mimpi. Dan saat diri nya terbangun tidak lagi melihat seorang Devan di hadapannya.
...----------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!