"Kenapa kamu selalu membuatku ilfil dengan semua sifat manjamu sekarang, Wulan. Aku sudah katakan, kamu tidak perlu lagi membuatkan sarapan untuk ku."
Ditolak lagi, bahkan Wulan sangat terluka mendengar caci-maki Damar. Pria yang sangat dicintainya itu, berubah jadi pria yang kejam.
"Kenapa Damar, setiap hari aku menyediakan sarapan dan memasak untuk mu, tapi kenapa sekarang kamu seperti ini?" Wulan berkata menahan gejolak rasa sedih.
"Ah sudahlah, lebih baik berangkat kerja sekarang, dari pada aku berdebat denganmu!" Damar pergi membawa serta kemarahannya.
Malam semakin larut, Wulan masih setia menunggu suaminya pulang.
Pukul 23:15 wib. Wulan melihat jam di dinding ruang tamu.
Seperti yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Damar tidak kunjung pulang. Tidak biasanya suaminya itu akan pulang selarut ini. Apakah pekerjaan di pabrik sangat menumpuk hingga Damar tidak bisa meninggalkan pekerjaannya dan pulang lebih awal? pikir Wulan.
"Nak, kenapa Ayahmu belum kunjung pulang. Mamah khawatir, semoga Ayahmu baik-baik saja ya nak. Nanti kalau kamu mau lahir, Mamah harap pas ada Ayah di rumah."
Salah satu rutinitas Wulan semenjak hamil adalah tidak bisa tidur sebelum melihat wajah suaminya. Ia duduk bersandarkan pada sandaran sofa sedangkan tatapannya terus menatap kearah pintu rumah.
"Ya Allah kenapa hatiku gelisah seperti ini?" Wulan mengusap dadanya, detak jantungnya seolah dilanda badai gelombang besar.
Kini kandungan Wulan sudah memasuki usia sembilan bulan. Tinggal menghitung hari lagi bidan memprediksikan bahwa ia akan melahirkan. Meskipun bidan berkata persalinan bayinya sehat dan kemungkinan besar akan lahir secara normal. Namun tidak mungkin jika Wulan tidak merasakan was-was. Karena memang ini adalah kehamilan pertamanya.
Salahkah ia jika ingin selalu dekat dan ingin selalu didampingi oleh suaminya. Agar sewaktu-waktu ketika terjadi kontraksi rahim ada suami siaga yang akan mengantarkannya bersalin. Meskipun ada Ibu mertuanya yang menemaninya saat ini. Namun, seorang istri akan lebih nyaman ketika bersama dengan suaminya.
"Siapapun wanitanya pasti akan setuju dengan pendapat ku, bukan? Ingin ditemani suami saat melahirkan? Agar suami tahu, perjuangan seorang istri dalam mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan penerus buah hati dalam pernikahan."
Wulan menyadari membina hubungan rumah tangga agar tetap harmonis itu tidak bisa dikatakan mudah. Ada berbagai kerikil yang bisa mengganggu hubungan kapan saja. Oleh karena itu, menjaga hubungan pernikahan sekuat mungkin sudah menjadi kewajiban bagi setiap pasangan.
Rumah tangga tidak hanya dijalani dengan cinta, tapi juga akal sehat. Dan Rumah tangga adalah ladang pahala bagi setiap orang yang mau bersabar dengan pasangannya.
Wulan selalu menganggap pernikahan merupakan ladang pahala dan kebahagiaan, meskipun terkadang cobaan selalu saja datang untuk menguji hati dan iman.
Wulan mengingat masa-masa itu, masa ia dan Damar bertemu...
Wanita dewasa bernama lengkap Nawang Wulan. Diusianya yang sudah 27 tahun memutuskan untuk menikahi seorang pria yang lebih muda tiga tahun darinya, pemuda baik, tampan dan gentleman bernama Damar Mangkulangit.
Sebelum menikahi Damar. Ia merupakan seseorang yang bekerja sebagai intelijen negara ataupun intelejen swasta seperti detektif. Setahun lalu, Wulan di tugaskan oleh Kakek Bagaskara Wijaya untuk mencari anaknya. Dari sinilah, awal muasal pertemuannya dengan Damar.
Tidak dielakkan karena saling bertemu dan timbullah rasa nyaman dan cinta yang terpahat dengan seiring berjalannya waktu. Damar berusia 24 tahun secara gentle melamarnya, bahkan tak butuh waktu lama bagi Damar untuk meresmikan pernikahan secara agama dan tercatat di kementerian agama Republik Indonesia.
Hampir setahun menikah, Wulan merasa menjadi wanita paling beruntung, karena sikap dan perlakuan Damar yang lembut dan pembawaannya lebih dewasa kendati demikian umur suaminya itu lebih muda darinya. Bahkan, Damar tidak pernah mengungkit atau membicarakan soal perbedaan usia di antara mereka.
Wulan merasa hidupnya sempurna, setelah menikah dan memiliki kehidupan rumah tangga bersama dengan Damar. Apapun yang diucapkannya dan apapun permintaannya, selalu bisa Damar wujudkan.
Wulan menghela nafas, kala mengingat perubahan dalam diri Damar.
Sekarang lain, ada yang lain dalam diri Damar. Seolah suaminya itu bukanlah orang yang sama. Seseorang yang dinikahinya hampir setahun lalu. Inikah hal dimana Kesabaran Hati Wulan sebagai seorang istri benar-benar di uji. Apakah kesabarannya akan mempunyai batasan, atau kesabaran memang tak terbatas.
Dalamnya lautan masih bisa di ukur. Tapi dalamnya hati seseorang tidak bisa di ukur oleh apapun. Kendati memakai alat Poligraf.
Karena apa yang diharapkan justru berbanding terbalik. Menjelang kehamilannya sembilan bulan dan sewaktu-waktu bisa kontraksi secara mendadak, Damar malah semakin sibuk di pabrik. Wulan takut, pada saat itu terjadi Damar tidak ada di rumah.
Berulang kali Wulan menghela nafas panjang.
"Mamah mengkhawatirkan ayahmu, nak. Semoga dia sampai rumah dengan keadaan baik-baik saja."
Wulan mengajak bicara anak yang masih dalam rahimnya, lalu beranjak dari duduknya, dan kemudian duduk kembali.
Posisinya duduknya yang merasa tidaklah nyaman, sudah menjadi suatu pertanda bahwa hatinya di landa gelisah. Wulan mengusap perutnya yang membesar.
Wulan tersentak kala suara dari Ibu mertuanya mengejutkan dari sisi belakangnya duduk. Ia mengalihkan atensinya, kini menatap wajah Bu Suci.
"Wulan, kenapa kamu
belum tidur nak?" Bu Suci menghampiri menantu yang sudah dianggap seperti anak perempuannya.
"Sebelum melihat wajah Damar, Wulan tidak bisa tidur Bu. Wulan harus memastikan bahwa Damar pulang dalam keadaan baik dan sehat." Wulan melihat Bu Suci duduk disebelahnya.
Bu Suci mengusap perut besar Wulan. "Ibu mengerti kamu mengkhawatirkan Damar tapi ingat kamu juga harus memperhatikan kehamilanmu. Kasihan jabang bayinya cah ayu. Kamu harus istirahat cukup, ndak baik bagi Ibu hamil tidur larut malam."
Wulan menunduk sendu. Ditatapnya perut dibalik daster corak bunga tulip. "Tapi Wulan memang tidak bisa tidur Bu. Wulan berbaring saja mata Wulan selalu terjaga, barulah setelah melihat wajah Damar, Wulan bisa tidur. Wajah Damar seperti obat tidurku."
Bu Suci mengusap pucuk kepala bulan lantas beliau duduk tidak jauh dari menantunya.
"Mungkin bawaan si jabang bayinya cah ayu. Meskipun begitu kamu harus tetap istirahat, kamu ndak ingat peringatan bidan kalau darah mu rendah dan beberapa hari lagi kamu akan melahirkan." Seperti biasanya Bu Suci memberikan wejangan pada Wulan.
Wulan mengangguk singkat. "Wulan akan istirahat, kalau sudah melihat wajah Damar, Bu. Terimakasih karena Ibu sudah mau menemani Wulan saat mendekati proses persalinan nanti. Ibu istirahat saja, nanti Wulan menyusul."
Mungkin bagi sebagian orang sikap bulan saat ini berlebihan atau dianggap manja. Tapi entah mengapa Wulan sendiri memang tidak bisa tidur sebelum melihat wajah sang suami, seolah jabang bayinya lah yang meminta lewat matanya yang masih terjaga. Bahwa calon anaknya ingin tidur bila ditemani sang ayah.
Suara kunci pintu rumah yang dibuka dari luar membuat kedua pasang mata Wulan dan Bu Suci beralih menatap pintu.
Wulan segera beranjak dari duduknya, dan benar saja. Sang suami akhirnya pulang. Ia sudah memasang senyuman semanis mungkin.
"Aku nungguin kamu sejak tadi kang Cimar. Kenapa sampai pulang selarut ini? Apa pekerjaan di pabrik menumpuk, hm?" Wulan menyalami tangan suaminya, lalu diambilnya tas hitam berisikan berkas. Sudah menjadi kebiasaan baginya semenjak menjadi seorang istri. Ia akan menyalami tangan Damar sebelum Damar berangkat dan sepulang kerja.
Damar enggan menatap mata Wulan, ia berkata tapi tidak melihat lawan bicaranya. "Aku kan sudah bilang, kamu nggak perlu menungguku." Ucapnya dingin.
"Tapi kan aku khawatir sama kamu." Jawab Wulan.
"Aku pasti pulang, caramu yang seperti ini seolah menuduhku melakukan sesuatu yang bukan-bukan. Kamu semakin lama semakin ngeselin dan posesif nya itu lho yang buat aku muak." Kata Damar sinis.
...****************...
Bersambung...
•••
Hay hallo saudara pembaca setia. Bertemu lagi dengan Damar dan Wulan.
Semoga ada yang mendukung karya ini sampai dengan selesai 🤲🏽. amin.
Tanggapan Damar yang kaku membuat hati Wulan kembali menelan kekecewaan. Sama seperti beberapa hari belakangan ini. Sikap Damar yang lembut mendadak berubah menjadi dingin, tak acuh. Sorot mata suaminya juga terlihat kosong, tapi anehnya acap kali ia ingin menatap mata Damar, suaminya itu selalu saja menghindar.
Ada apakah gerangan? Aku tidak tahu. Tapi yang pasti Damar yang dulu tidak seperti ini. Apakah mungkin karena saking banyaknya pekerjaan? Tapi dulu-dulu juga sikapnya santai ketika aku tanya ini dan itu!
Wulan masih memaklumi, mungkin saja suaminya ini sedang banyak kerjaan, sehingga Damar merasa lelah.
"Kamu salah paham Damar, aku berani bersumpah demi anakku. Aku tidak pernah sekalipun berpikir buruk tentangmu. Justru aku ingin memastikan bahwa kamu pulang dalam keadaan selamat. Hal itu sudah menjadi rasa bahagia di hatiku." Wulan berkata dengan gerakan tangan mengelus perutnya.
"Dengarkan aku Wulan, jangan mengucap sumpah serapah dengan membawa anak sebagai alasanmu untuk memata-matai ku. Aku juga ingin merasakan kebebasan, aku tahu kamu lagi hamil besar, tapi tidak harus menjadikan mu wanita manja." Damar berkata penuh dengan penekanan.
Bu Suci mengamati putranya, tidak seperti biasanya. Damar tidak akan mungkin berkata kasar seperti barusan. Beliau mendekati putra sulungnya, dan berdiri di sebelah kiri Wulan. "Kamu kan tahu nak, istrimu ndak bisa tidur sebelum melihatmu. Dan kenapa akhir-akhir ini kamu selalu pulang larut malam, apa pekerjaan mu di pabrik sangat banyak? Apa ndak bisa meminta sekretaris atau manajer mu menanganinya?"
Damar mengalihkan atensinya. Ia tidak ingin matanya bertemu pandang dengan netra Wulan maupun Ibunya. Entah mengapa ia merasa bosan dan muak melihat kedua wanita didepannya.
"Bu, aku tuh capek kerja juga buat mencukupi kehidupan kita, kalau seperti ini caranya Wulan aku juga bosen Bu. Aku itu seperti dimata-matai, iya aku tau Wulan mantan Intel, tapi apa aku suaminya sendiri harus juga dimata-matai?" Damar menarik turunkan tangannya, seolah memperagakan ketidaksukaannya pada sikap Wulan yang dianggapnya posesif.
Bu Suci mengalihkan posisinya kini, lebih mendekati anak sulungnya. Lalu mengusap punggung Damar. Dan benar saja seperti dugaannya, Damar menghindar. "Ada yang tidak beres dari Damar!"
Damar merasakan punggungnya sangat panas, kala tangan sang Ibu menyentuhnya. Ia lalu mundur selangkah.
"Iya, Ibu tahu. Istrimu kan lagi hamil, mungkin juga pembawaan dari jabang bayinya, Damar. Seharusnya kamu lebih memakluminya," Bu Suci bersitatap dengan sorot mata Damar. Damar langsung mengalihkan atensinya. Bu Suci menangkap ada yang lain dari anak sulungnya.
Damar menyugar rambutnya, ia merasa kepalanya sangat pening. "Sudah yah Bu. Aku capek kerap kali, bahkan setiap hari harus mendengarkan keluhan Wulan dan ceramah dari Ibu. Aku capek berdebat sama kalian, lagian kan Wulan bisa tidur pakai bantal, kenapa juga harus menunggu ku pulang?"
"Nak, semahal apa pun harga sebuah bantal, tak akan mampu menggantikan nyaman dan tenangnya bahu seorang suami untuk bersandar." kata Bu Suci lagi, dengan nasehat lembutnya.
Ingin rasanya Damar menutup telinga.
Wulan menatap Damar sedih, hatinya serasa teriris. Matanya terpejam sedetik kemudian terbuka dan masih melihat Damar yang sepertinya sedang menunjukkan murka. Ia ingin bisa memutar waktu di satu minggu yang lalu. Satu minggu sebelum Damar tiba-tiba berubah haluan dari lembut menjadi kasar.
Wulan mengalah, mungkin dengan mengalah ia bisa memperbaiki keadaan saat ini. "Maafkan aku, Kang Cimar. Maafkan aku bila aku terus merengek dan mengeluh padamu. Aku tahu kamu capek, tapi aku terus merengek-rengek seperti anak kecil."
"Nang, ndak biasanya kamu akan berkata dan bersikap kasar seperti ini. Ada masalah apa Nang?" Bu Suci mencoba menenangkan situasi yang semakin dirasa tegang.
"Sudahlah, aku tidak mau mendebat dengan kalian!" Damar tidak ingin mendengar suara Wulan yang terdengar seperti akan menangis. Ia tidak perduli dan lebih memilih menghindar. Baginya saat ini adalah istirahat dan tidur. Ia juga ingin menuli tidak ingin mendengar pertanyaan dari Ibunya. Ia lebih memilih berjalan meninggalkan Wulan dan Bu Suci dan masuk kedalam kamar. Pintu kamar lah yang menjadi sasaran, ia menutup pintu cukup keras.
brak!!!
Wulan dan Bu Suci terkejut mendengar pintu kamar yang ditutup Damar sangat keras.
"Astaghfirullah."
Bu Suci maupun Wulan mengusap dada.
Bu Suci melihat menantunya yang nampak sangat sedih. Beliau mengusap bahu Wulan mencoba untuk menenangkan. "Sabar nak, mungkin Damar memang capek. Ibu yakin, besok juga dia akan bersikap seperti biasanya. Ibu tahu, itu bukan sikap Damar yang sesungguhnya. Ibu harap, ndak terjadi sesuatu yang buruk di pabrik."
Wulan masih menatap pintu kamarnya dengan tatapan sedih, bahkan sangat sedih. Matanya mulai dihinggapi rasa panas dan terbakar, sekumpulan air bening mulai membendung. Namun, ia tak ingin menunjukkan kesedihan serta kekecewaan atas sikap Damar dihadapan Ibu mertuanya.
"Wulan baik-baik saja Bu. Karena Damar sudah pulang, Wulan ingin istirahat. Ibu juga istirahat."
Bu Suci mengangguk tipis, dilihatnya Wulan yang mulai mengayunkan langkah kaki yang sedikit melebar dikarenakan kehamilan yang sudah besar menuju kamar. Gejolak perasaan sedih pun turut juga dirasakan oleh Bu Suci. "Apa yang terjadi pada anakku, ndak biasanya dia bersikap kasar seperti ini."
Sebagai seorang Ibu yang melahirkan dan membesarkan putranya. Bu Suci paham betul perangai putra sulungnya. Bahwa Damar tidak akan mudah marah, apabila tidak ada yang benar-benar memancing kemarahannya.
Dan selama menikah dengan Wulan, beliau mengamati bahwa Damar tidak pernah sekalipun mengeluh atas sikap Wulan yang terkadang dominan manja semenjak hamil, namun bukan berarti Wulan tidak bisa memahami anaknya yang sibuk. Karena selama setahun belakangan ini, Bu Suci melihat bahwa Damar nampak bahagia menikah dengan Wulan, pastilah ada sebab musabab yang membuat sikap kasar Damar akhir-akhir ini.
Wulan berjalan dengan langkah gontai, perasaannya semakin lunglai. Perlahan sekali ia memegang gagang pintu stainless perlahan juga ia membuka pintu. Dilihatnya Damar baru selesai mandi. Ia mulai berjalan masuk dan kembali menutup pintu kamar.
Melihat sang suami hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggang seperti itu, membuat Wulan ingin memeluknya. Ia berpikir, mungkin dengan pelukan, Damar akan lebih lembut. Ia menghampiri Damar.
Grep..
Wulan memeluk Damar dari belakang. Ia membenamkan wajahnya di punggung sang suami yang masih sedikit basah lalu berkata lirih. "Maafkan aku. Maafkan aku suamiku."
Damar terdiam sejenak, ia merasakan kehangatan yang ditujukan Wulan untuknya. Namun sesaat kemudian seolah ada sesuatu yang tiba-tiba merasukinya dan kembali membuatnya murka terhadap sikap Wulan.
"Lepaskan aku. Kamu membuatku gerah!" Hardik Damar lantas melepaskan tangan Wulan yang sedang memeluknya.
Wulan mundur selangkah, ia terhenyak tangannya dihempaskan begitu saja oleh Damar. Dilihatnya sang suami segera berganti pakaian yang sudah disiapkannya dan tergesa-gesa berjalan ke ranjang lalu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut hanya menyisakan kepalanya saja.
***
Bersambung...
Masih ada irisan bawang di bab-ban berikutnya...
Salam Hangat Dari Author Wong Deso
Setetes air mata jatuh membasahi pipi. Wulan semakin meremang melihat sang suami yang sudah bersikap tidak perduli padanya. Ia mengedarkan pandangannya menatap keseluruhan kamar yang nampak sangat senyap dan hampa, meskipun ada Damar namun ia merasa seolah hanya bisa melihat wujud raga dari suaminya, tapi tidak dengan hatinya. Wulan merasa hati Damar tidak ada di sini, di raga suaminya.
Andaikan kamu tau perasaan ku, Damar. Mungkinkah kamu masih tega melukai perasaan ku. Tidakkah kamu sadari bahwa hatiku tulus dan murni untuk mu, hanya untukmu suamiku.
Wulan mengusap perutnya yang buncit.
Nak sabarkan hati Mamah selalu, Mamah yakin. Ayahmu tidak akan tega meninggalkan kita. Ayahmu sangat mencintai Mamah dan menyayangi kamu.
Wulan melihat pakaian Damar yang semula di pakai untuk bekerja berserakan di depan kamar mandi. Sudah beberapa hari ini, Damar tidak langsung menaruhnya di keranjang pakaian kotor. Padahal Damar sangat anti dengan pakaian yang berserakan. Dengan susah payah, Wulan merasa kesusahan untuk berlutut seraya menahan perutnya yang besar, lalu memunguti pakaian suaminya.
Istri memang bukanlah babu, tapi kadangkala memang seorang istri seharusnya melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.
Semua pakaian Damar sudah diambil dan kini berada di lengan. Dengan susah payah pula, Wulan kembali berdiri, namun pada saat netranya menatap lantai, ia dikejutkan dengan adanya sehelai kelopak mawar berwarna hitam di lantai tempat semula pakaian kotor Damar berada.
"Mawar hitam?" gumamnya lirih.
Tatapan Wulan beralih menatap Damar yang telah tertidur. Ia menepis prasangka buruk.
"Bisa saja kelopak mawar hitam ini tertiup angin dan menempel di baju Damar. Bagaimana pun juga, suamiku sudah bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup ku, seharusnya aku tidak menaruh curiga padanya."
Wulan memungut kelopak mawar yang hanya sebiji, lalu membuangnya ke tempat sampah yang terdapat di samping kamar mandi. Lalu menaruh pakaian Damar di keranjang pakaian kotor.
Wulan tidak langsung tidur, meskipun sudah larut malam. Ia berwudhu untuk menentramkan hatinya yang karut marut agar tidak timbul menjadi kekecewaan dan sakit hati terhadap sikap Damar beberapa hari ini.
Selepas berwudhu, Wulan menggelar sajadah dan memakai mukenah, lantas melaksanakan sholat hajat. Setelahnya, ia menadahkan kedua tangannya di balik mukena.
Air matanya kembali luruh membasahi pipinya dan kemudian jatuh membasahi mukenah. Wulan sadari, bahwa mungkin setiap hari, bulan dan tahun hati manusia akan berubah. Tapi kenapa dengan cara secepat ini suaminya yang dulu lembut dan penuh kasih sayang, kini lain.
"Ya Allah, ketika Engkau menitipkan rasa cinta ini kepadaku, aku tak kuasa menolak rasa cinta yang datang. Pun aku tak kuasa memilih kepada siapa aku jatuh cinta,"
Wulan menjeda ucapannya dalam untaian doa, ia menghela nafas panjang. Tangisnya kian tak terbendung, namun sebisa mungkin ia tahan agar tidak menjadi isakan.
"Dan ketika saatnya tiba Engkau menguji apa yang Engkau titipkan kepadaku. Menguji cinta yang Engkau titipkan ini, menguji timbangan cintaku pada-Mu dan cinta pada kekasih ku yang fana ini. Ketika Engkau menguji seberapa kuat ikatan cinta ini, dan mungkin pula Engkau akan datangkan cinta-cinta yang lain. Hamba sekedar memastikan seberapa kuat cinta yang Engkau titipkan kepadaku, tak berkurang kekuatannya. Akankah hamba ikhlas saat titipan-Mu diambil dariku saat waktunya tiba?"
Rasanya semakin memanas, hatinya kian menjelma menjadi jeritan yang tak terdengar. Menambah air matanya kian luruh, Wulan menggigit bibir bawahnya agar tidak menimbulkan isakan yang kencang.
Lalu membaca untaian penutup doanya. *"Hasbunallah Wanikmal Wakil Nikmal Maula Wanikman Nasir."
*{Artinya: Cukuplah Allah sebagai tempat diri bagi kami, sebaik-baiknya pelindung dan sebaik-baiknya penolong kami.}
Wulan mengusap wajahnya dengan telapak tangan yang tertutupi mukenah.
Lalu beranjak dari atas sajadah, melepas dan melipat mukena kemudian sajadahnya. Dan meletakkannya di atas meja. Mata sembabnya melihat Damar yang masih tertidur lelap.
Jangan bersedih hanya karena Mamah menangis, Mamah tidak apa-apa sayang. Kamu harus menyayangi Ayahmu.
Wulan mengelus perutnya, ia teringat. Kerap kali akan tidur, Damar akan selalu membelai serta menciumi perutnya dan menyenandungkan lagu atau sholawat untuk calon anaknya. Tapi sekarang...?
Wulan tersenyum hambar, ia berjalan menghampiri ranjang dan perlahan membaringkan tubuhnya menghadap punggung sang suami yang memunggunginya. Perlahan Wulan mengulurkan tangannya memeluk Damar dari belakang.
Dalam tidurnya Damar merasakan kesejukan dan ketenangan, ia lalu berbalik badan dan memeluk Wulan serta mencium kening istrinya. Sekilas Damar membuka matanya, ia seperti melihat Wulan memancarkan sinar cerah layaknya matahari fajar.
"Nawulku..." Damar memejamkan matanya, terbesit dua wanita. Namun, dalam mimpi Damar seorang wanita yang selama seminggu ini membayangi pikirannya muncul.
Wulan terhenyak mendengar suara Damar yang seperti ini. Ia membenamkan wajahnya di dada bidang suaminya. Perlahan sekali ia bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Setengah dari kesadarannya, Damar memeluk Wulan erat. Ia mengusap rambut Wulan dengan gerakan tangan sangat lembut.
"Ada seorang wanita yang telah menawanku, kamu harus membebaskan ku." gumam Damar lirih nyaris seperti bisikan.
Dalam dekapan Damar, Wulan merasakan ketenangan sama seperti satu minggu yang lalu. Namun, mendengar suara Damar yang seolah sedang ada benang hitam yang menjerat suaminya, Wulan menduga pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Wanita? Wanita siapa?
Wulan mengernyitkan dahinya.
"Apa yang harus aku lakukan?" Wulan bertanya bersuara pelan. Bukannya mendapat jawaban, Damar malah membentaknya.
"Jangan ganggu tidurku!" seru Damar, lalu menghempaskan tangan Wulan yang memeluk pinggangnya, dan berbalik badan memunggungi Wulan.
Astaghfirullah!
Wulan cukup terkejut mendengar suara Damar mendadak berubah menjadi garang. Ditatapnya punggung sang suami.
Wulan tidak bisa tertidur, ia terus menatap Damar. Apa yang bisa dilakukannya, siapa yang sedang menguasai diri suaminya? andai saja Damar berkata apa maksud dari ucapannya barusan.
Lamat-lamat rasa kantuk datang, perlahan Wulan memejamkan matanya dan tak lupa membaca doa pengantar tidur. Berharap dihindari dari mimpi buruk.
...***...
Di luar rumah seorang wanita memakai tudung hitam memutari rumah Damar, dengan membaca mantra yang diperolehnya dari seorang dukun sakti yang terkenal dengan ajian pelet yang bisa memikat seseorang yang menjadi targetnya.
Bayangan hitam mulai melayang-layang, sempat kesulitan saat akan memasuki rumah Damar. Karena seseorang sedang melaksanakan ibadah dengan sangat khidmat. Tapi tak lama, kemudian bayangan hitam berhasil masuk kedalam rumah, tepatnya di kamar Damar dan Wulan.
"Masuklah, tiupkan ajian pelet ini ke wajah Damar. Agar dia terus teringat olehku. Dan membenci istrinya. Masuklah dan bawa Damar ke hadapan ku." kata wanita bertudung hitam ini kepada bayangan hitam yang melayang-layang dihadapannya seperti asap tebal yang membumbung tinggi.
...****************...
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!