“Bambang, antar mbakmu ke pasar! Masmu belum bangun, katanya capek,” ucap bu Heni saat menantunya sedang membuatkan bekal untuk suaminya bekerja.
‘Apa, capek? Dia hanya menganggur saja, sedangkan suamiku jadi tulang punggung keluarga besar. Rasa mau aku siram saja kakak iparku yang pemalas itu,’ gerutu Rima dalam hati.
“Maaf Bu, tapi mas Bambang ada rapat ke Kantor Dinas pagi ini. Kalau harus mengantar mbak Indah dulu, nanti bisa terlambat. Lagian mas Roni capek ngapain, Bu? Kerja juga tidak. Yang jadi tulang punggung 'kan suamiku Bu. Suamiku yang capek,” sahut Rima saat melihat Bambang suaminya, mendadak lesu.
‘Aku tidak bisa membiarkan ibu terus memanjakan kakak iparku yang pemalas itu. Enak saja dia, sudah punya istri tidak juga mau bekerja,’ batin Rima kesal.
“Iya Bu, Bambang memburu waktu Bu. Bisa-bisa Bambang dipecat kalau sering terlambat. Lagian dek Rima sudah masak banyak, untuk apa mbak Indah ke pasar?”
“Mbakmu itu mau beli baju untuk dipakai ke undangan nanti siang. Lagian hanya membeli baju, tidak lama kok,” bu Heni masih berusaha membujuk anaknya.
Bu Heni selalu saja seperti itu. Semua tanggung jawab dipikul oleh Bambang. Sedangkan anak tertuanya, hanya menengadahkan tangan saja pada Bambang. Sudah punya istri, tapi tidak mau bekerja. Semua nafkah untuk keluarga ini, Bambang. yang menanggung.
Kalau untuk ibu mertuanya, Rima tidaklah keberatan, toh sudah menjadi tanggung jawab suaminya pada ibunya. Tapi tidak pada kakak suaminya dan istrinya. Tidak seharusnya mereka memberatkan suami Rima untuk menanggung kehidupan mereka.
Rima sering kali menasihati suaminya, untuk tidak memberikan nafkah pada kedua manusia pengangguran itu. Tapi alasan tidak enak pada ibunya, menjadi alasan Bambang untuk tetap memberikan nafkah pada mereka.
“Ya sudah Bu, tidak apa-apa kalau Bambang tidak mau mengantarku, biar mas Roni saja,” Indah tiba-tiba ikut nimbrung dengan wajah masam.
“Tuh kan, mbakmu jadi sedih. Cuma mengantar ke pasar saja tidak mau. Maaf ya Nak Indah, kamu jangan sedih! Nanti Ibu tambahi uangnya, biar dapat dua baju untukmu,” Bu Heni mencoba membujuk Indah agar tidak marah.
Rima terlihat kesal, sungguh kesal pada Indah yang manja itu. Apa-apa harus dituruti, gak masalah kalau pakai uang suaminya, lah ini pakai uang suami Rima.
“Sudah deh, Mbak jangan manja! Apa-apa mesti keturutan. Suruh suamimu itu bekerja mbak. Jangan apa-apa mesti suamiku yang menanggung,” bisik Rima lirih tepat pada telinga kakak iparnya.
Seketika Indah mencebik dan menatap Rima tak suka. Indah kira Rima tidak keberatan apa sama sikapnya yang manja itu? Rima saja tidak pernah meminta ini itu pada suaminya, karena Rima tahu, beban yang suaminya tanggung tidaklah sedikit.
“Sudah Bambang berangkat kerja dulu Bu. Keburu siang,” Bambang menyalami ibunya, kemudian beralih pada istrinya, tanpa memedulikan Indah yang berdiri di sebelah Rima.
“Mas berangkat dulu Dek. Doakan Mas selamat sampai tujuan dan bisa kembali ke rumah dalam keadaan sehat,” ucapnya setelah menyalami Rima.
“Selalu kudoakan Engkau Mas. Tanggung jawabmu begitu besar pada keluarga, semoga lelahmu berkah Mas, dan Allah selalu melindungimu.”
‘Kulepaskan suamiku bekerja dengan ikhlas. Tidak tega rasanya melihatnya bekerja begitu keras. Namun bagaimana lagi? Suamiku tidak suka mengeluh dengan keadaan. Ia juga tidak merasa keberatan membiayai kehidupan kakak beserta istrinya yang manja itu,’ Rima kembali menggerutu kesal dalam hati.
“Rim, cuci piring sama menyapu halaman belakang bagian kamu, ya? Ibu sudah capek mau istirahat dulu,” ucap bu Heni setelah selesai memasak.
“Iya Bu. Ada mbak Indah, biar mbak Indah bantu cuci piring, jadi Rima yang menyapu halaman belakang,” sahut Rima sembari tersenyum sinis pada Indah.
“Mbak bantu cuci piring, ya? Mbak 'kan juga penghuni rumah ini. Jangan apa-apa tidak mau turut serta."
“Jangan dong Rim! Mbakmu kan orang kota yang biasa kerja kantoran, kasihan kalau harus mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak biasa dikerjakannya.”
“Ayo Nak Indah, kita bersantai di teras. Pagi-pagi enak duduk di sana. Udaranya masih sangat sejuk.”
'Lah kalau dia orang kota memangnya kenapa? Jadi ibu anggap aku orang desa harus menyelesaikan semua pekerjaan rumah ini sendirian gitu? Aku dan mbak Indah sama-sama menantu ibu. Ibu begitu sayang dan peduli pada mbak Indah, tapi tidak padaku,' gumam Rima dalam hati.
Mereka pun meninggalkan Rima yang masih berkutik untuk urusan pekerjaan rumah. Tega sekali bu Heni pada menantunya. Di rumah itu, Indah juga sama kedudukannya dengan Rima, sebagai seorang menantu, tapi entah mengapa ibu Heni memperlakukan mereka berbeda?
Tidak hanya pada Rima, namun pada suami Rima juga. Pada Roni bu Heni juga sangat memanjakannya. Bahkan melarang Roni bekerja dengan alasan suatu penyakit. Padahal Roni sehat-sehat saja. Suami Rima yang kerja mati-matian untuk menghidupi semuanya. Bahkan Rima terkadang menerima pesanan kue untuk menambah uang belanja. Padahal Roni dan suaminya juga sama-sama anak ibu Heni.
Selesai sudah dengan segala pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Rima juga sudah mandi dan berniat untuk sarapan. Namun setelah sampai di batas dapur, rasa nyeri di ulu hati tiba-tiba terasa sekali.
Rima melihat ibu mertuanya begitu bahagia makan bersama dengan Indah. Hal yang tidak pernah bu Heni lakukan bersamanya. Menjadi menantunya selama tiga tahun tidaklah sebentar, tetapi mereka velum pernah makan semeja berdua. Seistimewa itu Indah di mata bu Heni?
Sekarang Rima baru menyadari, keberadaannya di rumah itu hanya sebatas menantu yang hanya diperas tenaganya saja. Namun kasih sayang, bu Heni berikan hanya pada Indah tanpa tersisa sedikit pun untuknya.
‘Apa karena mbak Indah berasal dari keluarga kaya, sehingga ibu sangat menyayanginya, walaupun dia pemalas. Tapi padaku, ibu berbeda. Aku yang menyelesaikan hampir semua pekerjaan di rumah ini,’ batin Rima.
Dulu Rima melakukannya dengan senang hati, namun tidak dengan sekarang. Sejak Rima tahu, dia dan Indah dibedakan, dia merasa berat hati menyelesaikan pekerjaan di rumah ibu mertuanya.
Dia hanya ingin diperlakukan sama. Toh sama-sama menantu. Rima urung untuk ke meja makan.
Rima hendak menuju kamarnya. Namun tiba-tiba terdengar pintu depan di ketuk secara berulang. Rima segera menuju ke sumber suara berasal.
Rima membuka pintu dengan perlahan.
“Nanda,” teriaknya saat dilihatnya adik iparnya berdiri di depannya dengan menentang tas dan sebuah koper berwarna hitam dalam genggaman tangannya.
“Mbak Rima, Nanda kangen,” gadis berusia 23 tahun itu segera melepas kerinduan dengan memeluk Rima dan Rima pun balas memeluknya.
“Ayo masuk Dek! Kebetulan Ibu sedang sarapan,” ajaknya pada Nanda yang baru saja mengurai pelukannya. Gadis cantik itu menurut saja padanya, Nanda langsung mengangguk sumpringah.
Dengan wajah bahagia Rima menyambut kepulangan adik iparnya. Hanya Nanda dan suaminya yang paling mengerti keadaannya di rumah ini.
Jika ada Nanda, bu Heni tidak berani semena-mena padanya. Apalagi Indah, dia dengan berat hati mengambil jatah pekerjaan rumah.
“Eh Nanda, kamu pulang kok tidak kasih kabar? Kan bisa dijemput sama mas Roni,” ucap Indah basa basi.
“Kejutan Mbak,” sahut Nanda singkat tanpa menoleh sedikit pun pada mbak iparnya yang manja itu.
Bu Heni langsung memeluk anak bungsunya. Sementara Indah melirik Rima tajam. Rima juga tidak mau diam saja, langsung ia pelototi juga mbak iparnya yang tidak tahu diri itu. Rima tahu Indah tidak suka dengan kepulangan Nanda, karena dengan adanya Nanda, ia tak bisa lagi ongkang-ongkang kaki di rumah.
Nanda selalu memintanya untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, dan bu Heni tidak bisa melindunginya lagi, jika sudah Nanda yang meminta.
“Alhamdulillah anak gadis Ibu pulang tepat waktu. Ayo makan Nak! Kamu pasti belum sarapan kan tadi? Kamu makin cantik saja Nak,” bu Heni mengelus pipi Nanda dan menciumnya.
“Em iya Bu Nanda belum sarapan.” Nanda langsung melirik Rima. “Kayaknya Mbak juga belum makan, ya? Ayo temani Nanda makan Mbak,” ajaknya pada Rima. Adik iparnya itu selalu saja tahu keadaan mbak iparnya yang tersisihkan.
“Iya Mbak temani kamu makan Dek,” sahut Rima kemudian.
“Ya sudah kamu makan dulu ya? Ibu sama mbak Indah mau ke depan, kalau sudah selesai kita mengobrol bareng di depan,” sela bu Heni.
“Iya Bu, siap.”
Mereka pun menikmati sarapan berdua. Hati Rima yang tadinya sakit, mendadak sirna dengan datangnya Nanda. Nanda akan pulang setiap tiga bulan sekali. Dia ada kontrak kerja dengan butik dan beberapa toko pakaian terkemuka di Kota. Iya Nanda adik ipar Rima adalah seorang model pakaian Muslimah.
“Mbak selama aku tidak di rumah, apa Mbak Indah ada bantu-bantu Mbak?” tanya Nanda sesudah mereka selesai makan.
“Jawab jujur Mbak! Aku akan memberinya pelajaran, agar dia jera,” desak adik ipar Rima dengan wajah serius.
‘Aku bingung harus jujur atau menutupi semuanya. Nanda sangat baik padaku, tapi aku takut memancing keributan karena kejujuran yang aku ungkapkan. Bagaimana ini? Jika diam saja, tentu aku yang semakin tersiksa,’ batin Rima gundah.
“Tapi janji sama Mbak, tidak ada keributan ya, Dek? Mbak malas cari masalah sama mbak Indah ataupun ibu,” sahut Rima kemudian.
“Tidak akan terjadi keributan Mbak. Aku akan kasih pelajaran pelan-pelan pada mbak iparku itu,” sahut Nanda yang membuat Rima lega.
“Iya Dek, mbak Indah tidak pernah mau turut serta dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Apalagi Ibu juga selalu melarangnya, jika mbak ingin meminta bantuan,” sahut Rima berusaha jujur. Rima berharap adik iparnya itu benar-benar bisa diandalkan.
“Oke Mbak. Aku memang sudah menduga, jika mbak Indah akan dimanjakan ibu. Maafkan ibu ya, Mbak? Nanda janji akan bikin ibu sadar. Mbak juga sepatutnya disayang oleh ibu.”
“Baik Nanda. Iya sudah kamu ke depan gin sana! ibu pasti menunggu kamu.”
“Sama Mbak juga dong. Mbak juga harus ikut sama aku duduk di depan.”
“Tidak usah Dek, nanti ibu marah. Ibu selalu melarang mbak ikut nimbrung di sana.”
“Tidak akan Mbak, 'kan ada Nanda. Ayo sudah kita ke depan. Piring kotor bekas kita semua makan, biarkan mbak Indah yang mencuci.”
“Baiklah, ayo,” sahut Nanda sembari mengekor berjalan ke depan. Di mana bu Heni dan Indah, sedang menonton televisi.
“Sini Nanda duduk dekat sama Mbak!” ucap Indah saat mereka berdua berdiri di dekatnya.
“Sini saja Mbak, sama aja kok,” sahut Nanda. Indah terlihat kesal, karena Nanda tidak pernah mendengarnya.
Nanda pun duduk di samping Rima. Rima melihat ibu mertuanya meliriknya sekilas, namun Rima berusaha mengabaikan tatapan tidak suka bu Heni dengan memandang ke segala arah.
“Bagaimana caranya bisa jadi model sepertimu? Mbak mau juga dong,” ucap Indah sembari tersenyum memaksakan pada Nanda.
“Yang pasti harus berkelakuan baik, ramah, rajin, dan berbakat mbak,” sahut Nanda masih dengan fokus menatap layar televisi.
“Masukkan Mbak ke sana dong! Mbak mau.”
“Wah bagus itu kalau mbakmu mau ikutan jadi model, menantu kesayangan Ibu pasti diterima. Secara Nak Indah cantik 'kan?" puji bu Heni.
“Hem banyak tesnya Bu, modal cantik saja tidak menjamin diterima. Harus punya bakat modeling, dan pastinya rajin. Memangnya mbak Indah sudah masuk kriteria yang aku sebutan belum, Bu?" sahut Nanda meremehkan.
“Semua bisa dipelajari Nanda. Biar dicoba dulu. Kamu jangan meremehkan mbak Indah dong,” sahut bu Heni tidak terima anak menantu kesayangannya diremehkan.
Rima memilih diam. Tidak ingin mencampuri urusan mereka. Toh pasti ibu mertuanya itu tidak akan mendengarkannya.
“Kalau menurut Nanda sih, mbak Indah jauh dari kriteria. Malahan mbak Rima aku rasa yang bisa diterima,” sahut Nanda sembari tersenyum pada Rima.
“Walah Dek, Mbak tidak ada bakat jadi model,” sahut Rima disertai gelak tawa dari mulut Indah.
“Lah, jangan Rima dong! Dia kerjanya di dapur. Mana tahu dia bergaya? Dandan saja tidak pernah. Tuh lihat, mukanya polos apa adanya! Apalagi hari-hari cuma pakai daster oblong, sama sekali tidak modis,” sela Indah tak suka.
“Walaupun tanpa dandan, mbak Rima cantiknya tetap terpancar Mbak. Jangan meremehkan istri berdaster! Kalau sudah dandan kelar hidupmu mbak,” sahut Nanda membuat Indah diam seketika. Wajahnya masam sekali. Rima ingin tertawa melihat wajah Indah yang ditekuk seperti itu.
Saat tidak ada Nanda, Indah semena-mena pada Rima, namun saat Nanda pulang, Indah selalu kalah melawan Nanda. Rima tersenyum puas melihat Indah mencebik. Kalau ada karet gelang, bisa diikat bibirnya Indah yang maju lima sentimeter itu.
“Jangan ngaco Nanda! Orang terbiasa jadi pembantu rumah tangga, mana bisa jadi model berbakat sepertimu,” kini bu Heni ikut nimbrung perbincangan mereka, saat sinetron kesukaan beliau sedang lewat iklan.
“Jangan meremehkan Bu! Kalau sampai mbak Rima diterima dan berpenghasilan, ibu yang akan berbangga punya menantu serba bisa.”
Jelas terlihat tatapan meremehkan dari bu Heni. Rima memilih diam tidak mau berkomentar atas pendapat yang dilontarkan oleh ibu mertuanya itu. Toh akan percuma, karena di mata ibu mertuanya, mbak segalanya.
Jam dua siang. Hari ini ada undangan ke rumah Pak Lurah. Kebetulan putra sulung pak Lurah menikah. Semua sudah siap untuk berangkat.
Indah dengan gaun merah menyala, sementara Roni dengan kemeja warna senada dengan istrinya. Roni baru saja bangun dari tidur panjangnya. Suami macam apa dia? Istri gaya selangit, suami tidak mau kerja. Semua jadi tanggungan suami Rima.
Bu Heni duduk di bangku teras bersama Indah dan Roni. Sementara Bambang baru saja keluar kamar dengan kemeja berwarna biru tua senada dengan gaun yang Rima kenakan. Hari ini wajah Rima sedikit berbeda, berkat Nanda adik iparnya. Nanda mendandaninya.
“Sudah siap Dek?" tanya Bambang pada istrinya.
“Sudah Mas, tinggal menunggu Nanda sebentar,” sahut Rima sembari membenarkan kerah baju Bambang yang kurang rapi.
“Cantiknya istri Mas. Tumben dandanannya berbeda?" Puji Bambang saat menyadari ada yang berbeda pada wajah istrinya itu.
“Mbak Rima memang cantik Mas. Mas hanya perlu memberinya modal untuk merawat diri,” sahut Nanda yang baru saja keluar kamar dengan gamis warna ungu muda. Warna yang sedang viral di tahun ini.
“Mas selalu memberinya uang lebih Nanda, tetapi mbakmu selalu menyimpan uang pemberian Mas, katanya untuk modal usaha,” sahut Bambang terus terang.
“Harus Mas. Daripada uangmu habis untuk memenuhi gaya hidup mbak Indah, lebih baik disimpan saja!"
“Husss jangan kenceng-kenceng ngomongnya! Nanti mbak Indah dengar, 'kan Mas tidak enak.”
“Biar saja, Mas. Aku tidak suka ada benalu dalam rumah tangga kalian. Dia itu harusnya bersyukur punya adik ipar yang baik seperti Mas Bambang dan mbak Rima, bukanya berterima kasih dan berlaku baik, malah memanfaatkan, dasar benalu!"
“Sudah-sudah! Ayo kita keluar! Ibu dan yang lain sudah menunggu,” ucap Rima mengakhiri perdebatan Nanda dan suaminya.
Mereka pun gegas keluar. Bu Heni dan Indah sudah kipas-kipas pakai kipas kecil dengan baterai. Bedak yang dempul, membuat wajah Indah kelihatan lucu bak ondel-ondel. Rima hampir kelepasan tertawa melihat wajah Indah yang putih karena dempul itu.
“Lama banget sih kalian? Sudah tahu panas pakai dandan segala. Mau habis bedak sekilo wajahmu juga tetap saja Rima,” gerutu Indah yang membuat kepala Rima mendidih seketika.
“Hei, berkaca dulu Mbak sebelum menghina! Sudah jelas mbak Rima jauh lebih cantik. Kalau aku sih malu mbak ngomong begitu,” sahut Nanda sembari terkekeh.
“Sudah ayo jalan sekarang! Kamu jangan kurang ajar sama mbak iparmu Nanda! Tidak sopan,” bentak Roni.
“Makanya punya istri di didik Mas! Biar punya adab sama orang. Tidak seenaknya.”
“Kamu!” Roni sudah melayangkan tangannya ke udara hendak menampar adik bungsunya, namun Bambang langsung pasang badan. Roni mengurungkan niatnya dan menarik tangannya kembali.
“Sudah, sudah! Kalau Nanda pulang kok pasti ada saja keributan yang terjadi. Kamu jangan mengadu aneh-aneh pada Nanda Rima! Lihat 'kan mereka jadi ribut?" Lagi dan lagi bu Heni memojokkan Rima. Padahal bu Heni tahu siapa yang memulai keributan ini?
“Nanda dengan cepat masuk ke dalam mobil. Sementara yang lain gegas menyusulnya. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Semua diam dengan pikiran masing-masing.
Bambang duduk di depan mengemudikan mobil. Sementara Bu Heni duduk di samping kursi kemudi. Rima dan Nanda duduk di tengah, sedang, Roni dan Indah duduk di kursi belakang.
Melihat wajah Nanda yang murung, Rima memberanikan diri menggenggam tangannya. Nanda langsung menatap Rima dan tersenyum tipis.
“Maafkan Mbak ya, Dek? Gara-gara Mbak, mas Roni memarahimu,” bisik Rima lirih.
“Bukan salah Mbak Rima. Tenang saja mbak! Aku sudah biasa ribut sama mas Roni sejak dulu,” sahut Nanda sembari menyenderkan kepalanya pada lengan kakak iparnya itu. Rima pun menariknya dalam pelukannya.
Mata Nanda berkaca-kaca. Rima tahu hati Nanda tengah terluka. Bu Heni lebih memilih membela menantu kesayangannya, dibanding anaknya sendiri. Bahkan secara terang-terangan mengatakan bahwa adik Nanda yang selalu membuat keributan.
Setelah beberapa menit perjalanan, mereka telah sampai di rumah Bapak Lurah. Terlihat banyak tamu undangan wara-wiri silih berganti mendatangi hajatan yang diadakan Pak Lurah.
Mereka pun turun dari mobil dan segera memasuki tenda hajatan. Setelah bersalaman dengan penerima tamu, mereka langsung menuju ke meja prasmanan. Wajah Indah masih saja cemberut.
“Eh, Indah masih ingat aku tidak? Aku pria yang pernah kamu tolak, karena aku miskin.”
Seorang pria tampan memakai setelan kemeja dengan jas berwarna biru tua menghampiri Indah dengan menggandeng seorang wanita cantik yang tersenyum ramah ke arah mereka. Sementara wajah Indah mendadak pias.
Berniat menjauh dari pria yang menyapanya, Indah justru tidak sengaja jatuh setelah menginjak gaunnya sendiri. Malu tentu saja, kebetulan tamu silih berganti berdatangan ke pesta pernikahan anak pak Lurah itu.
Roni melihat istrinya jadi bahan tertawaan segera membantu istrinya berdiri, dan mengumpat kasar pada tamu undangan yang menertawakan istrinya.
Ibu Heni pun terlihat khawatir pada Indah. Rima pun tidak tahan ingin ikut tertawa, melihat wajah Indah semrawut karena terkena air comberan.
“Katanya berbakat jadi model, Mbak? Jalan biasa saja bisa jatuh, bagaimana mau jalan ala-ala model?" cibir Nanda.
Indah terlihat kesal dan langsung kembali ke mobil, sebelum sempat makan. Sementara yang lainnya melanjutkan acara makan mereka yang tertunda, akibat peristiwa memalukan yang baru saja terjadi.
“Lain kali jangan begitu sama mbak Indah! Bukanya menolong malah ikut menertawakan,” seloroh bu Heni sesaat, setelah kami selesai makan. Rima melihat Nanda hanya tersenyum simpul pada ibunya. Sementara Bambang tampak tidak peduli sama sekali.
“Lagian ke undangan pakai gaun panjangnya tidak karuan. Mau saingan sama pengantin? Jatuhkan jadinya,” sahut Nanda.
“Ya ini semua gara-gara masmu ini. Tadi sudah ibu suruh antar mbak Indah ke pasar buat beli baju yang mau dipakai ke undangan, malah alasan mau rapat. Jadi mbak Indah pakai baju yang dia punya saja. Kalau Bambang tadi jadi mengantarnya beli baju, mungkin hal memalukan ini tidak terjadi,” sambung bu Heni ketus.
“Kok jadi menyalahkan mas Bambang sih, Bu? Ibu itu seharusnya bersyukur, anak ibu ini kerja keras buat menghidupi kita semua. Kalau bukan karena mas Bambang, kita bisa mati kelaparan. Anak ibu dua, tapi yang satu tidak mau bekerja. 'Kan bisa tadi suruh mas Roni yang mengantar istrinya. Kenapa mesti semua suamiku yang disuruh?"
Rima lepas kendali. Ia tidak terima ibu mertuanya selalu menyalahkan suaminya dan membela menantu kesayangannya.
Banyak pasang mata memandang ke arah mereka. Rima tidak peduli. Kalau dibiarkan bu Heni tidak akan tahu letak kesalahannya. Mata itu kini mendelik menatap Rima sengit.
Sejak kejadian di hajatan, bu Heni mendiamkan Rima. Rima tidak masalah. Toh Rima sudah melakukan yang benar. Menantu mana yang tidak sakit hati, jika suaminya selalu disalahkan dan dimanfaatkan?
Ternyata memiliki orang tua yang pilih kasih seperti bu Heni bukan hal yang mengenakkan, tapi justru memuakkan.
Semua orang jika disuruh memilih, mana ada orang yang mau terlahir miskin? Semua pasti memilih hidup berkecukupan.
Namun tidak semua manusia memiliki takdir dan keberuntungan yang baik dalam hidupnya.
Rima tidak pernah mengeluh dengan kehidupanku yang sederhana, dan Rima tidak pernah melihat ke atas agar dirinya selalu bisa bersyukur.
Namun sejak ia berada di tengah keluarga suaminya, Rima merasa tidak berguna. Ibu mertuanya tidak pernah bisa menerimanya sebagai seorang menantu di rumah itu. Hanya karena harta, bu Heni membedakannya dengan menantu kesayangannya yang lain.
Hari ini kebetulan aku Rima ada kesibukan membuat pesanan kue untuk acara ulang tahun anaknya bu Saroh, yang kebetulan tinggal di dekat rumah ibu mertuanya.
Dengan dibantu adik iparnya, Rima memulai membuat adonan kue pelangi dan kue bolu permintaan bu Saroh. Tidak terlihat sama sekali Bu Heni dan Indah mendekat
Biasanya jika mendapat pesanan kue begini, mereka akan mendekat hanya untuk meminta sebagian kue yang telah Rima buat.
Kalau untuk membantu jangan ditanya, yang pasti mereka tidak mau. Mereka pikir ini pekerjaan hanya Rima yang menikmati hasilnya. Padahal sebagian uangnya Rima pergunakan untuk memenuhi kebutuhan dapur.
“Mbak ini yang sudah dingin langsung di potong, dan dimasukkan plastik, ya?" tanya Nanda.
“Iya Dek. Sekalian dihitung dan dicatat, ya?” sahut Rima sembari mengeluarkan bolu dari oven.
“Siap Mbakku,” sahut Nanda kemudian.
Dengan cekatan Nanda memotong dan mengemas kue pelangi ke dalam kotak yang telah Rima siapkan.
“Kalau mau makan, ambil saja ya, Dek? Ambil berapa potong, dan ingat jangan lupa dicatat!” Rima kembali mengingatkan.
“Nanti saja Mbak aku makan. Sisakan saja nanti berapa potong, yang penting Mbak tidak merugi.”
“Iya Dek, siap.”
Rima kembali memanggang bolu karamel dan mengukus kue pelangi. Tidak terasa tersisa dua loyang saja. Tangan Rima sudah lumayan pegal. Beruntung ada Nanda yang membantunya, sehingga pekerjaannya cepat selesai.
“Alhamdulillah finis,” ucap Rima saat semua kue pesanan bu Saroh tersusun tapi dalam kotak dan telah dimasukkan dalam plastik kantong merah berukuran besar.
“Ini, Mbak buat lebih. Siapa tahu ibu dan yang lain mau?" ucap Rima sembari menyodorkan sepiring kue karamel dan sepiring kue pelangi pada adik iparnya.
“Alhamdulillah. Kue karamel kesukaan Nanda Mbak. Nanda mau mandi dulu ya, Mbak? nanti Nanda bantu mengantar kuenya.
“Ya sudah, Mbak juga mau mandi dulu Dek. Kuenya Mbak taruh di meja makan, ya?” ucap Rima sembari meletakkan dua piring berisi kue itu ke atas meja, dan menutupnya dengan tudung saji.
“Ayo Mbak kita antar dulu kuenya! Setelah itu kita makan kue buatan Mbak,” ucap Nanda masih dengan rambut yang tergerai basah. Ia memakai jilbab dan menentang satu plastik merah berisi kue untuk diantar ke tempat bu Saroh.
“Ayo dek!" Rima mengambil satu kantong plastik merah yang tersisa. Mereka berjalan beriringan menuju rumah bu Saroh.
Sesampainya di rumah bu Saroh, sang empunya rumah sudah menunggu mereka di depan rumah. Bu Saroh tersenyum ramah pada Rima dan Nanda.
“Alhamdulillah, tepat waktu Mbak. Maaf ya mbak Rima? Ibu mendadak memesan kuenya.”
“Tidak mengapa Bu. Beruntung ada adik ipar saya yang membantu, sehingga bisa menyelesaikan pesanan Ibu tepat waktu.”
Setelah selesai mereka gegas pulang.
“Loh, mana kuenya Mbak? Kok sisa piringnya saja?” seru Nanda saat membuka tudung saji.
“Lah, tadi Mbak taruh di situ Dek. Mungkin sudah dimakan ibu dan yang lain,” sahut Rima kecewa.
“Masa ya dihabiskan, Mbak? Kita makan sepotong pun belum,” gerutu Nanda kesal.
Nanda berjalan ke arah ruang televisi. “Mbak, makan kue yang di tudung, ya? Kami yang membuatnya saja belum makan barang sepotong pun.”
“Enak saja main tuduh. Aku sama mas Roni dari tadi di sini saja. Kami tidak ada ke dapur,” sahut Indah tidak terima dituduh oleh Nanda.
“Mana mungkin? Ibu tidak ada sejak tadi. Hanya Mbak dan mas Roni yang tetap di rumah saat kami ke rumah bu Saroh. Mengaku saja, Mbak?" sungut Nanda kesal.
“Jangan main tuduh saja kamu, Nanda! Tuyul kali yang makan,” sahut Roni sembari melirik sinis pada Rima.
“Iya benar kata mas Roni. Mungkin si tuyul yang makan,” ujar Indah tanpa rasa bersalah.
“Oh jadi benar ada tuyul yang berkeliaran di sini, Mbak? Berarti yang masuk ke kamar mbak tadi malam, tuyul nakal itu?”
Rima mengernyitkan dahi mencoba meminta penjelasan lewat kedipan mata pada adik iparnya. Rima tahu adik iparnya itu hanya iseng.
“Masak iya? Kenapa kamu tidak membangunkan Mbak, Nanda?”
“Lah mana berani aku mendekat Mbak? Orang itu tuyul matanya seram banget Mbak. Aku langsung buru-buru masuk kamarku dan menguncinya.”
Rima sebisa mungkin menahan agar tidak tertawa. Adik iparnya begitu serius mengerjai Roni dan Indah. Sementara Roni terlihat acuh tak acuh tetap fokus pada layar televisi.
“Ya sudah Mbak, aku sama mbak Rima mau ke dapur dulu. Berhubung semua kue sudah dimakan sama tuyul nakal itu, kami makan nasi saja. Susah payah kami membuatnya, eh dihabiskan sama tuyul tidak tahu diri,” gerutu Nanda sembari menarik tangan Rima menuju ke dapur.
“Sabar ya, Dek? Nanti kita buat lagi,” ucap Rima saat mereka sampai di dapur.
“Tidak usah Mbak. Keterlaluan mereka. Sudah tidak mau membantu malah makan sampai habis tanpa menyisihkan untuk kita. Mana menuduh si tuyul yang menghabiskan? Benar-benar keterlaluan!"
“Ya sudah, kita makan nasi saja Dek! Mbak sudah lapar,” ajakku pada Nanda. Mereka pun makan.
*****
“Nanda kamu jangan ngaco ya! Jangan bikin mbakmu takut tinggal di sini. Pakai acara bilang ada tuyul segala.”
'Oh, rupanya menantu kesayangan ibu telah mengadu. Dasar manja! Apa-apa mengadu. Begini sudah melunjak jadinya karena ibu selalu membelanya,' Rima menggerutu kesal dalam hati.
“Loh orang mbak Indah duluan yang bilang kok, Bu. Tadi mbak Rima menyisihkan kue dua piring di tudung saji, habis tidak tersisa saat kami tinggal ke rumah bu Saroh antar pesanan.”
"Kata mbak Indah sama mas Roni ulah tuyul,” terang Nanda yang membuat Rima terkekeh geli mendengarnya. Rima hampir kelepasan, untungnya dia bisa menguasai dirinya. Rima membekap mulutnya dengan kedua tangannya.
“Sudah-sudah! Soal kue saja diributkan. Lagian kue murahan saja kok, Mbak bisa membelinya di kota yang lebih mahal. Kualitas premium tentunya,” Indah si biang kerok muncul juga.
“Sudah Nak Indah, tidak usah dipikirkan! Nanti Ibu belikan di toko kue, kue yang Nak Indah suka."
"Nanda ayo minta maaf sama mbakmu! Dan kamu Rima, lain kali kalau bikin pesanan, bikinkan juga yang banyak untuk yang di rumah. Jangan pelit sama saudara sendiri!”
Luar biasa Bu Heni. Yang salah siapa? Yang terkena sasaran siapa?
“Bu, mbak Rima menyisihkan dua piring kue yang berbeda. Itu tidak sedikit. Yang makan saja yang tidak tahu diri,” ucap Nanda langsung melirik ke arah Indah. Lagi-lagi Nanda selalu berani membantah ucapan ibunya.
‘Aku jadi merasa bersalah. Tapi mbak Indah memang keterlaluan. Kue itu seharusnya bisa dinikmati semua orang di rumah ini. Teganya dia menghabiskan tanpa menyisakan untuk yang lain,’ batin Rima.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!