Dentingan suara piano mengisi ruangan serba abu itu dengan melodi. Seorang pemuda yang sedang memainkan nada itu memejamkan matanya meresapi lirik demi lirik lagu yang ia mainkan.
Fur Elise. Nada itulah yang sedang ia mainkan. Kata orang Fur Elise di ciptakan oleh Beethoven, untuk menyampaikan perasaannya pada seorang wanita yang bernama 'Theresa' tetapi karena tulisan Beethoven tidak dapat dimengerti—Theresa jadi salah baca—menjadi Elisa. Maka dari itu, lagu itu dinamakan 'Fur Elise' kisah-kasih yang tak tersampaikan.
Pemuda itu tersenyum miris diatas permainannya yang sangat indah. Entah mengapa lagu ini sangat mewakili isi hatinya. Banyak orang yang menyalurkan ekspresinya lewat lagu, dan salah satunya adalah dirinya.
Permainan pemuda itu menjadi tidak fokus dengan semakin cepatnya jari-jarinya menekan tuts. Nada-nada itu saling bertupang tindih, membuat alunan yang mengerikan, sedih, kecewa, dan amarah menjadi campur aduk. Bahkan saking cepat jari tangannya menekan tuts, ia sampai melukai tangannya sendiri. Namun, pemuda itu nampak biasa saja, tidak ada rasa sakit di wajahnya—hanya ada ekspresi datar dengan tatapan kosong yang menatap ke depan. Sampai pada akhirnya pemuda itu tertawa keras seraya menghentikan permainannya. Bukan tawa bahagia—tapi tawa penuh ironi.
"Bodoh, bodoh, bodoh!"
●TO BE CONTINUED●
See you next ... bhubhay ...
Lewat lagu ini, dia memanggilku.
Lewat alunan nada ini, ia sampaikan perasaannya.
Cinta yang sudah tak dapat mungkin terwujud.
Fur Elise ... kisah-kasih yang tak tersampaikan.
####
"Mereka lihat apa, sih?"
Gadis itu menatap sekumpulan siswa yang berkerumun di mading sekolah. Tampak diantara mereka yang berwajah muruh, dan banyak siswi yang menangis. Hal yang cukup menarik untuk memancing rasa ingin tahunya.
Gadis itu mencoba berjinjit untuk melihat apa yang menempel di mading sekolah—hingga banyak siswi-siswi yang menangis histeris. Ia mendengus kesal kala pemandangan itu tak terlihat juga. Tepukan di bahu kanannya membuat ia menghentikan aksinya.
"Lho? Lo nggak tahu berita hari ini, Can?" Tanya gadis yang menepuk bahunya tadi. Sosok yang dipanggil 'Can' menggeleng dengan alis berkerut.
"Kemarin, salah satu angkatan kita ... kalo nggak salah kelas XII Ips 1, kecelakaan dan meninggal di tempat. Karena itu, sekolah kita lagi berkabung," ujar Rena—gadis yang sebelumnya bertanya—membuat gadis bernama asli Candy itu terkejut.
"Hah, serius? Siapa?"
"Orion. Lo pasti dia 'kan? Secara lo kan suka sama sau--"
"Iya, iya, tahu!" Potong Candy cepat sambil menatap sebal pada Rena yang tersenyum jahil.
Candy memang mengenalnya namun ia tidak akrab sama sekali dengan cowok itu. Yang Candy tahu, cowok itu sering buat onar dan merepotkan kembarannya. Tapi karena ketampanannya, banyak juga para siswi yang ingin jadi pacarnya. Itu rumor yang sering ia dengar. Regaz, seketika Candy terdiam mengingat nama itu. Bagaimana keadaan cowok itu? Apa ia baik-baik saja?
Perlahan gadis itu menghela napasnya, ia hanya bisa berkata dalam hati tanpa bisa bicara langsung pada orang itu.
"Sayang banget ya, dia meninggal secepat ini. Padahal dia ganteng, stok cogan di sekolah kita berkurang dong," celetuk Rena tiba-tiba, membuat Candy melirik ke arahnya.
"Heh, mulutnya," ujar Candy seraya menepuk bibir Rena lumayan keras. Candy tak habis pikir, bukannya sedih karena kehilangan teman satu sekolahnya—Rena malah sedih karena stok cogannya berkurang? Gila kali ini anak.
Rena mengerucutkan bibirnya kesal. Ia mengusap bibirnya tak tadi kena tamparan tangan Candy. "Jujur ya, dulu gue pernah suka sama tuh anak," ujar Rena diiringi dengan senyum lebarnya.
"Ck, semuanya aja kamu bilang suka . Coba ngomong sekali lagi, biar aku bilangin sama Egi," Candy tersenyum, namun bukan senyum manis yang Rena lihat tapi senyum penuh misteri.
"Itu dulu ya, dulu," Rena menekankan kata 'dulu' pada kalimatnya sebelum kembali berucap, "Jangan bilang sama dia! Bisa-bisa gue di pelototin terus selama satu minggu di sekolah," Rena bergidik ngeri membayangkan itu semua.
"Bilangin apa?"
Dan suara bariton dari orang yang baru saja mereka bicarakan membuat keduanya terdiam. Rena sudah pucat pasi saat menoleh ke belakang dan mendapati kekasihnya—Egi yang sedang tersenyum dengan aura mistis disana. Sementa si pembuat masalah—Candy hanya cengar-cengir tak jelas.
"A-anu, itu ... tentang penyebab kebotakan yang di alami Pak Bagus!" Jawab Rena asal.
Seorang guru yang melewati mereka menjadi inspirasinya. Untung saja guru berkepala plontos itu tidak mendengar percakapan mereka. Dan untungnya lagi, kalimat aneh itu berhasil menyelamatkan Rena dari amukan sang kekasih.
Mari kita berkenalan sejenak dengan orang-orang ini.
Gadis pertama yang tadi disebutkan bernama, Candy Elisa. Atau lebih sering dipanggil Candy oleh teman-temannya.
Sementara gadis yang satu lagi bernama Rena Malvita—sahabat Candy sejak mereka masih kecil. Rena memiliki seorang kekasih namanya, Egivano.
Mereka bertiga adalah siswa tahun terakhir di SMA Gelora. Candy dan Rena masuk jurusan IPA, sementara Egi dia masuk ke jurusan Bahasa.
"Astaga!" Gumam Candy, membuat Rena dan Egi yang berjalan di hadapannya menoleh.
"Kenapa?" Rena menaikan satu alisnya.
"Tadi, aku di suruh ke ruang guru. Aku kesana sebentar, ya. Kalian duluan aja," ujarnya agak kesal karena perutnya yang sudah meronta meminta diisi.
"Penyakit pelupa lo itu nggak sembuh-sembuh, heran gue. Yaudah sana, cepetan tapi," sahut Rena sambil menarik Egi memasuki kantin.
Karena perutnya yang lapar sudah tak bisa diajak kompromi. Ia segera bergegas ke ruang guru agar cepat terselesaikan.
oOo
Kursi cokelat berjajar rapi di ruangan yang sama membosankannya dari terakhir yang Candy ingat. Tidak ada sesuatu yang tampak istimewa di ruang guru. Isinya kalau tidak di dominasi dengan kursi dan meja, ya tumpukan kertas di segala sisi sehingga menimbulkan kesan berantakan disana-sini.
"Masuk."
Sebuah seruang dari dalam ruangan membuat Candy tanpa segan masuk ke dalam ruangan. Senyum beberapa orang pengajar yang melihatnya, membuat ia semakin gugup. Orang yang menantikannya tampak duduk di balik meja, berfokus pada kertas-kertas ulangan.
"Maaf, Pak. Kata Pak Didi, Bapak nyari saya?" Ia sedikit canggung untuk menegur, tapi urung untuk diam saja.
Pak Jaya mendongak. "Ah, Candy. Silahkan duduk,"
"Terima kasih, Pak."
Candy mengambil posisi duduk di salah satu kursi yang berada di dekat tempat duduk guru Fisika teladan di sekolahnya.
"Begini, sebentar lagi akan ada lomba sains antar Kabupaten. Sekolah kita di minta untuk mengirimkan beberapa perwakilan. Hampir semua bidang sudah Bapak pilihkan. Nah, kamu Bapak pilih untuk mewakili bidang Fisika. Bagaimana?" Terang Pak Jaya tanpa basa-basi. Candy mengerutkan kening. Aku?
"Kenapa harus saya, Pak? Saya tidak terlalu mahir dalam Fisika," ujarnya mencoba beralasan.
Siapapun tentunya tak pernah mau bila di serahi tanggung jawab besar seperti ini apalagi menyangkut nama baik sekolah. Candy tidak yakin pada kemampuannya untuk mengharumkan SMA Gelora. Ah, mungkin lebih tepatnya ia takut mengecewakan pihak sekolah jikalay dirinya gagal pulang membawa kejuaraan.
Pak Jaya menggeleng singkat.
"Saya sudah melihat nilai-nilai kamu. Semua nilai-nilai kamu dalam bidang itu mendekati sempurna. Apa yang kamu ragukan tentang itu?"
Kepalanya tiba-tiba terasa gatal. Candy tidak tahu harus mengelak dengan alasan apa lagi.
"Gimana ya, Pak?" Candy meringis. "Ya sudah, saya akan berusaha semampu saya, Pak," ujarnya pasrah.
Dilema. Mau mengelak, tapi ia merasa tidak enak. Pak Jaya ini orangnya kalem, tidak banyak bicara. Beliau terkenal dengan kerendahan hatinya dan ketegasannya dalam mengajar. Untuk itulah guru teladan antar sekolah disematkan padanya.
Diam-diam, Candy menunduk memikirkan kembali keputusannya. Perutnya yang keroncongan membuatnya sulit berpikir untuk kali ini. Ia harus bisa membagi waktu mulai sekarang.
Satu, membantu Ibunya membuat kue sampai malam. Dua, belajar menghadapi ujian. Tiga, olimpiade. Cukup sulit memang, karena waktu luanya tidak banyak atau bisa dibilang sangat nihil.
"Baik, besok kamu mulai bimbingan. Nah, karena kebetulan dua teman kamu yang lain sudah dapat pembimbing, kamu mau kan di bimbing oleh orang yang sudah menyabet mendali emas tahun lalu?"
"Memangnya setiap bidang ada berapa perwakilan, Pak?" Tanya Candy tak paham.
"Tiga," Pak Jaya tersenyum. "Tapi demi menghindari ketidakmerataan pemahaman, Bapak mengutus tiga pembimbing untuk mengajar masing-masing perwakilan Fisika. Kamu sendiri akan dibantu oleh nak Regaz, bagaimana?"
Deg.
Satu nama itu sukses membuat Candy termangu. Regaz? Orang yang dua tahun belakang ini mengisi hatinya? Bagaimana dia bisa kalau begitu?
"Regaz Kavier, Pak?" Tanyanya sekali lagi mencoba meyakinkan pendengarannya.
Pak Jaya mengangguk.
"Iya, Regaz Kavier. Seangkatan denganmu."
Candy nyaris memekik. Mimpi apa dia semalam sampai pagi ini bisa mendapatkan kabar indah seperti ini? Tunggu. Tapi, bukannya saudara kembarnya baru saja meninggal?
"Berapa lama Pak, bimbingannya?" Ia mulai putus asa.
"Dua bulan," jawab Pak Jaya geli seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Candy. Selama dua bulan siswinya itu harus berdekatan dengan siswa teladannya.
Candy menghela napasnya. Dosanya pasti sampai harus di beri cobaan seperti ini.
\=\=\=\=\=\=
-TO BE CONTINUED-
A/N: Semoga suka. Aku revisi ini karena ingin bwahahaha ...
Jangan lupa tinggalkan jejak ya readers tercinta ..
Jangan jadi pembaca gaib nanti auto santet onlen wkwk:v
I Purple U
Bhubhay^^
"Hah, apa aku bisa ya di bimbing sama Regaz? Tapi, kenapa bukan dia aja yang ikut olimpiade? Udah kelas tiga, masih aja di suruh gini," gumam Candy di sela langkahnya yang lambatnya.
Dia merasa jarak antara ruang guru dan kantin sangat jauh kali ini. Perutnya sudah perih karena menahan rasa laparnya sejak tadi. Langkahnya juga sangat berat, sampai-sampai ia mengira akan pingsan di koridor sekolah. Sampai akhirnya suara sayup yang ia yakini berasal dari ruang musik menarik perhatiannya, membuatnya berhenti bergumam dan mempertajam indera pendengarannya.
Ruang musik seharusnya kedap suara, terlebih dengan pintu yang tertutup rapat. Namun, ia yakin suara denting piano yang ia dengar berasal dari ruangan itu. Rasa penasaran dalam dirinya, membuatnya tanpa sadar menuntun kakinya menuju ruangan itu. Membuat suara yang di dengarnya semakin jelas.
Candy membuka pintu ruang musik yang memang tidak terkunci, dan kini matanya benar menangkap sosok seorang cowok yang duduk membelakanginya, tengah asik memainkan jarinya diatas tuts-tus piano. Tampak tak terusik oleh kedatangan gadis itu.
Candy sendiri tak berkata apapun. Entahlah, sepertinya ia terhanyut dalam lagu yang dimainkan cowok di hadapannya itu. Lagu indah yang entah bagaimana ia bisa merasakan kesedihan di dalamnya. Padahal ia tak dapat melihat bagaimana ekspresi cowok yang memainkan lagu itu.
Alunan nada itu terhenti, ketika cowok itu sepertinya menyadari keberadaan seseorang di sekitarnya. Menyadari hal itu Candy melangkah mendekati cowok itu.
"Ah, aku ganggu, ya? Maaf," ujar Candy seramah mungkin. "Tapi, permainan piano kamu bangus banget," katanya lagi.
"Hei, kenapa diam saja?" Tanya Candy bingung.
Merasa diacuhkan, Candy menghela napasnya dan berniat berbalik untuk ke luar ruangan. Namun, baru saja ia berjalan beberapa langkah sebuah suara menerpa indera pendengarannya.
"Lo lihat?!"
Candy berhenti, ia memutar badannya kembali—menatap cowok yang sedang duduk memunggunginya. "Ya?" Ujar Candy bingung.
Cowok itu berbalik, sekarang ia duduk menghadap pada Candy yang berdiri beberapa langkah darinya. Netra cokelat Candy berbalas tatap dengan Netra sekelam malam milik cowok yang duduk di bangku piano.
Untuk sesaat, Candy terdiam menatap seraut wajah datar yang balik menatapnya. Perasaannya berubah bergejolak ketika ia sadar siapa yang duduk di hadapannya kini.
"Kamu, Regaz," ujar Candy dengan suara kecil.
"Gue tanya, tadi lo lihat?!" Cowok itu berdiri, dan berjalan mendekat pada Candy—ia bertanya penuh dengan penekanan.
"Iya-eh? M-masud aku ..." Candy mulai mundur teratur ketika Regaz mendekat ke arahnya dengan raut wajah menyeramkan. Tunggu, apakah ini Regaz yang selama ini ia kagumi selama dua tahun belakang? Tapi, kenapa ia harus setakut ini?
Langkah kaki Candy tertahan oleh pintu yang terletak di belakangnya. Sementara Regaz, cowok itu menarik sudut bibirnya membentuk senyuman sinis. Ia mengukung cewek yang dengan lancang melihat sisi kerapuhannya. Selama ini, hanya tempat inilah yang aman untuk Regaz mendinginkan kepalanya. Namun sekarang, seekor tikus kecil dengan beraninya masuk ke kandang singa.
"Denger," Regaz mendekatkan wajahnya. Hal itu membuat Candy memejamkan matanya erat, ia takut. Candy bisa merasakan helaan napas panas di pipinya, sampai suara lirih berbisik di telinganya. "Awas aja kalo lo berani ngomong ke orang-orang tentang tadi," bisik Regaz.
"Nggak! Aku nggak akan ngomo-umph," ucapan Candy terpotong oleh tangan besar yang menangkup mulutnya kasar.
"Gue belum selesai ngomong! Jadi jangan coba-coba potong omongan gue! Kalo lo berani ngomong ke orang-orang tentang tadi," Regaz tersenyum manis, sangat manis. Sampai Candy di buat merinding oleh senyuman itu. "Gue mampusin lo saat itu juga!" Desisnya seraya mendorong tubuh Candy, sebelum ia meninggalkan ruangan itu.
Candy terdiam. Kedua tangannya berkeringat dingin dan gemetar. Kakinya yang lunglai luruh ke lantai. Air matanya ikut terjun deras, ia menangkup mulutnya agar isakannya tak terdengar.
Dan saat itu juga rasa kagumnya selama dua tahun belakang ini pada sosok Regaz—tak bersisa sedikitpun. Hanya rasa takut yang ia rasakan. Lalu, untuk olimpiade? Ia harus apa?
oOo
Matahari telah kembali ke perpaduannya. Candy membuka pintu cokelat sampai yang berderit, sepatunya sengaja tidak dilepas karena rumahnya masih beralaskan tanah kering. Ia lanjut melangkah ke dalam.
Hari ini benar-benar melelahkan. Tiga ulangan dalam satu hari, di tambah kejadian di ruang musik. Otaknya benar-benar panas digunakan untuk berpikir, dan matanya benar-benar berat usai menangis tadi. Dan sekarang hidupnya juga merasa terancam. Gadis itu menghela napasnya lelah.
"Kamu udah pulang?" Sebuah suara menyambutnya dari arah dapur.
Wanita paruh baya yang memakai daster berwarna hijau itu terlihat sibuk dengan adonannya. Candy berlari untuk menyalami tangannya.
"Sudah, Bu," kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman, untuk menyamarkan rasa lelahnya. "Sini adonan kuenya. Biar Eli yang terusin," Eli adalah sebutan Candy ketika di rumah.
Rutinitasnya sehabis berkutat dengan pelajaran sekolah adalah berkutat dengan adonan. Candy bukan seorang ahli masak. Ia hanya membuat jajanan warung yang biasa di titipkan ke kantin sekolah waktu pagi.
"Sudah, mandi dulu sana."
Bukannya menunjukkan adonan yang biasanya sudah di siapkan oleh Ibunya, wanita paruh baya itu justru melepas tas besar di punggungnya. Tangan yang sudah mengkeriputnya mendorong Candy ke kamar mandi.
"Nanti, Bu. Candy lapar, mau makan dulu."
"Lapar?"
Candy membalas dengan anggukan. Delapan jam selama di sekolah membuat perutnya keroncongan minta diisi. Di tambah tadi ia melewatkan jam istirahatnya. Juga, ia tidak selalu di beri uang saku seperti anak pada umumnya. Terlihat, sistem ekonomi keluarganya yang kurang.
Sadar dengan kebutuhan anak semata wayangnya, Ibunya menarik kursi yang berada di dekat kompor.
"Ya sudah makan dulu. Hari ini Ibu dapat rezeki. Kita bisa makan tahu, Eli."
Mata Candy berbinar mendengarnya. Tahu?
"Woah, pasti enak."
Menilik dalam sehari-hari lauk mereka hanya bawang yang di goreng dengan garam. Tahu sudah tergolong mewah bagi mereka. Candy tidak pernah menuntut untuk di sajikan ini itu. Diberi kesempatan untuk bernapas hari ini saja ia sudah sangat bersyukur.
Dalam sekejap sepiring nasi lengap dengan lauk yang Candy idam-idamkan tersaji di hadapannya.
"Bagaimana sekolahmu?" Tanya Ibu di sela kegiatannya.
"Baik, Bu. Tadi Eli, kerjain tiga ulangan harian."
Matanya ganti menatap sosok yang sudah mengkeriput di hadapannya. Gurat kelelahan itu benar-benar tidak bisa di sembunyikan. Terpaan rasa bersalah tanpa segan menghantamnya kuat.
Candy pernah mengajukan diri untuk putus sekolag dan membantu Ibunya bekerja. Sekolah itu mahal, meskipun ia mendapat beasiswa berupa keringanan UST. Candy tidak tega melihat Ibunya banti tulang demi perut mereka diusianya yang sudah menua itu.
Tapi, Ibunya tetaplah Ibunya. Beliau sosok keras kepala dan tidak mudah digoyahkan jika sudah berkeinginan. Izin untuk putus sekolah tidak Candy dapatkan.
"Oh, iya," ia melepaskan sendoknya dan beralihkan merogoh sakunya. "Tadi dari penjualan kue dapat 55 ribu. Kata Mbok Lim, laku semua."
Ia memberikan uang hasil penjualan kue yang di titipkan kemarin pada Ibu kantin. Ibunya menerima dengan senyuman.
"Laris, ya?"
"Iya dong. Siapa dulu yang buat? Elisa."
Ia terkekeh saat elusan hangat mampir di kepalanya. Di saat-saat begini energi yang habis menguap terisi kembali. Keresahan hatinya terhapus. Candy membisikkan harapan diam-diam. Ia tidak meminta banyak. Cukup biarkan Ibunya bernapas sampai ia bisa meraih kesuksesan dan membahagiakannya.
\=\=\=\=\=\=
-TO BE CONTINUED-
A/N: Yo Wasap Gaes ...
Jan lupa tinggalkan jejak, semoga suka..
I Purple U
Bhubhay^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!