NovelToon NovelToon

First Wife'S Mission

Episode 1-Ke Mana Suamiku?

Pinggang Niana mulai pegal karena duduk terlalu lama di salah satu kursi di ruang makan itu. Kecemasan pun mulai melanda dan membuatnya tak betah jika hanya berdiam diri lama-lama. Ia pun memutuskan untuk bangkit, lalu meraih ponsel yang tergeletak di sisi kiri meja makan untuk memastikan kembali apakah Endri—suaminya—sudah memberikan kabar. Namun, ketika layar mulai menyala oleh sentuhan ibu jarinya, hanya harapan kosong yang Niana punya. Endri masih tak menjawab pesan darinya.

Sementara hari memang sudah semakin larut malam. Sebentar lagi waktu menunjukkan pukul sepuluh. Siapa yang tidak gelisah saat sang suami tercinta yang ditunggu-tunggu sejak tadi justru belum kunjung tiba? Padahal Niana sudah memasak sendiri beberapa hidangan setelah pulang dari kantornya. Lantas, di mana sebenarnya Endri berada? Pesan dan telepon yang Niana lakukan untuk menghubungi suaminya itu pun tidak mendapatkan respons sama sekali.

Hela panjang napas Niana terdengar bersamaan dengan pemberhentian langkahnya di dekat jendela kaca rumah itu yang belum tertutup tirai secara sempurna. Matanya yang mulai terasa pedas karena mengantuk berusaha menerobos kegelapan, mencari-cari apakah sudah ada tanda-tanda kedatangan sang suami. Namun, hanya kesenyapan yang terasa. Gerbang rumah masih tertutup rapat. Belum terdengar suara mesin mobil yang Niana kenal. Rupanya, Endri masih ingin membuat hati Niana semakin gusar.

"Kamu di mana sih, Mas?" Gumam gemetar keluar dari bibir Niana yang lambat-laun berubah pucat. Entah karena lelah, dingin, atau kecemasan yang membuatnya tampak seperti orang sakit. Oh, atau mungkin karena kesepian yang mulai terasa menyiksanya saat ini?

"Nyonya?" Nur, gadis pembantu berusia dua puluh satu tahun itu keluar dari kamarnya yang memang berada di lantai satu. "Nyonya belum tidur?"

Niana sempat tersentak. Ia lantas memutar badannya, Ketika menyadari kehadiran Nur. Senyuman masygul terulas di bibirnya yang manis dan sedikit sensual. Setelah itu, ia memberikan anggukan untuk mempertegas jawaban atas pertanyaan dari asisten rumah tangganya tersebut.

"Belum, Nur. Mas Endri belum pulang. Kamu terganggu dengan keberadaanku, Nur?" tanya balik Niana.

Nur mengibaskan tangan kanannya sembari tertawa. "Ya tidaklah, Nyonya. Yang punya rumah ini kan Nyonya Niana dan Tuan Endri, justru saya yang mungkin selalu mengganggu Nyonya dan Tuan." Tawa lanjutan mengakhiri ucapan yang ia tujukan untuk menjawab pertanyaan konyol dari Niana.

"Yang punya rumah ini ya Mas Endri, Nur, bukan aku, Sudah! Lebih baik kamu tidur saja, jangan memedulikan aku, Nur. Aku mau menunggu sampai Mas Endri pulang dulu!"

"Saya minum dulu deh, Nyonya." Nur tertawa lagi. "Nyonya juga harus cepat-cepat tidur. Tuan Endri kan seorang pengusaha, pasti beliau sibuk sekali, Nyonya. Jadi, Nyonya tidak perlu khawatir!"

"Nanti aku juga tidur kalau sudah mengantuk, Nur! Kamu cerewet sekali seperti ibuku lho!" Niana menggeleng-gelengkan kepalanya setelah berucap demikian. Meski begitu, ia tidak bermaksud untuk marah besar karena Nur yang nyaris seperti Rita—ibunya, yang begitu bawel dan terkadang menyebalkan. Mungkin karena sedang sedikit kesal dan cemas, sehingga Niana tidak ingin banyak berbicara.

Sementara itu, Nur justru masih cengengesan. Ia tidak tersinggung sedikit pun atas apa yang Niana ucapkan. Niana memang sesekali bisa bersikap demikian. Terkadang tegas dan galak, tetapi tak jarang Niana bisa bersikap lebih seperti sanak-saudara yang begitu menjaga Nur tanpa sekalipun memandang status. Niana memang majikan yang baik, oh tidak, melainkan wanita yang benar-benar baik. Nur sangat mengagumi nyonya majikannya itu. Tak hanya mampu merangkap sebagai ibu rumah tangga dan sering kali membantu pekerjaan Nur di dapur, Niana pun tidak pernah mengeluh ketika kondisi mengharuskannya untuk tetap bekerja.

Belakangan ini perusahaan properti milik Endri mengalami kesulitan finansial. Yang akhirnya membuat Niana harus menunda lagi rencana untuk keluar dari pekerjaannya, sementara ia bekerja sebagai salah satu staf HRD di sebuah perusahaan manufaktur. Setidaknya, Niana masih bisa menyisihkan uang untuk dirinya sendiri sembari menunggu perusahaan Endri pulih kembali. Dan ia tidak keberatan untuk itu. Artinya ia pun juga harus menunda soal program kehamilan. Bisa dikatakan bahwa Niana adalah wanita sekaligus seorang istri yang cenderung menuruti apa kata suami.

Jadi, bagaimana Nur tidak akan mengagumi sosok nyonya majikannya itu? Karena tidak hanya pantas dijadikan sebagai teladan, Niana pun begitu dermawan dan sering memberikan uang bonus untuk Nur. Yang tentu saja membuat Nur akan semakin sayang pada sang majikan yang bertaut usia sembilan tahun lebih tua darinya tersebut.

Kurang lebih satu menit setelah Nur kembali masuk ke dalam kamar, Niana mendengar deru mesin mobil yang tidak asing. Endri telah datang! Niana yang awalnya memilih untuk memandang gerbang dari balik jendela kini bergegas melangkah keluar. Setibanya di teras, Niana menatap sekuriti yang bertugas tampak sibuk membukakan pintu, sementara Endri mengemudikan mobilnya untuk memasuki area dalam rumah berlantai dua itu. Garasi mobil menjadi tempat pemberhentian Endri, yang kemudian segera turun dan berjalan ke arah pintu utama di mana Niana berdiri tak jauh dari sana.

"Mas, ada lembur malam ini?" tanya Niana sembari meraih tas dan blazer dari tangan Endri. "Kenapa kamu tidak memberikan kabar padaku? Aku mencemaskanmu, Mas."

Endri tersenyum. Senyum yang aneh dan cenderung masygul. Paras di wajahnya pun tampak kebas. Ada tanda kegelisahan yang sepertinya sudah sulit untuk ia sembunyikan. Mengapa pula, Niana masih terjaga dan justru menunggunya yang sebenarnya tidak ingin pulang pada malam hari ini? Apalagi di saat ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk bertemu sang istri. Namun, sejak tadi perkataan hati kecilnya memberikan dorongan agar ia tetap kembali.

Kembali untuk menyampaikan sesuatu yang belakangan ini merisaukan hatinya. Sebuah kebenaran yang seharusnya Niana dengar, atau bahkan terima. Meski pada akhirnya akan ada risiko rumit perihal luka. Namun, Endri sudah tidak bisa berkilah apalagi lari dari kenyataan yang terjadi karena kesalahannya sendiri.

"Mas, kok kamu diam saja?" Niana kembali berucap yang kali ini bersamaan dengan rasa penasaran. Tentang mengapa Endri tidak memberikan kabar, sekaligus mengapa wajah Endri tampak gelisah. Niana merasa ada yang tidak beres. Mungkinkah perusahaan Endri semakin kesulitan? Atau adakah masalah serius lainnya yang sanggup membuat Endri sampai dipenuhi rona kecemasan?

"Ni-niana ...." Endri menelan saliva. Gemetar, ia meraih kedua jemari milik istrinya. "A-ayo masuk. A-ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

Niana menatap bingung dalam sesaat. Namun, ia segera menganggukkan kepala. Rasa penasaran membuatnya ingin cepat-cepat masuk ke dalam dan mendengarkan cerita dari Endri. Siapa tahu ia bisa membantu segala kesulitan yang mungkin sedang mencengkeram hidup suaminya itu.

Mereka berjalan beriringan, dengan posisi Niana berada di depan. Pintu pun ditutup rapat, saat keduanya sudah berhasil melesakkan diri ke dalam ruang utama dari rumah besar berlantai dua itu. Niana dan Endri lantas duduk secara berdampingan di salah satu sofa empuk yang tertata rapi sebagai bagian dari ruang tamu. Tempat itu lebih cepat digapai daripada kamar yang berada di lantai dua dan pastinya membutuhkan waktu lebih lama karena harus menaiki tangga.

Sementara Niana yang menunggu dengan tenang, Endri justru celingak-celinguk, memastikan apakah Nur sudah benar-benar tidur. Ia tidak ingin pembicaraannya dengan Niana didengar oleh siapa pun terlebih dahulu.

***

Episode 2-Pengakuan Mas Endri

Endri menghela napas begitu panjang, lalu mengembuskan napasnya itu secara kasar. Kepalanya agak tertunduk, tetapi sepasang matanya terlihat tak berhenti bergerak sejak tadi. Ditambah dengan kedua jemari yang sibuk diusap-usapkan satu sama lain. Endri yang sebegitu gugupnya membuat Niana semakin penasaran dan kini disertai sebuah kecemasan. Kecemasan yang lebih besar daripada saat dirinya menunggu kedatangan Endri beberapa saat yang lalu.

"Mas?" Merasa sudah tidak sabar, akhirnya Niana memutuskan untuk mengambil suara. Ia bermaksud untuk memberikan sedikit desakan pada Endri. "Kamu tidak apa-apa, 'kan?"

Endri menatap Niana, menelan saliva, lalu tersenyum kecut. "A-aku mm, be-begini, Niana ...."

"Kenapa, Mas?"

Endri menghirup udara sebanyak-banyaknya, lalu mengembuskannya kembali melalui mulutnya. Ayolah! Ia harus mengatakan yang sebenarnya! Keputusan bulat harus ia ambil yaitu membuat pengakuan agar bisa segera tersampaikan.

"Niana," ucap Endri yang mulai berhasil dalam menguasai dirinya dari kegugupan yang menyerangnya sejak awal. "Maafkan aku ...."

"Maaf?" Dahi Niana berkerut samar. "Maaf untuk apa, Mas? Kamu tidak melakukan kesalahan padaku, selain tidak mengabariku kalau akan pulang terlambat. Bahkan panggilan dan pesan yang aku lakukan untuk menghubungimu sama sekali tidak kamu respons. Dan aku rasa, aku sanggup untuk memaafkanmu selama kamu bisa pulang dengan sela-"

"Niana, aku ... aku melakukan kesalahan besar padamu. Selama ... se-selama enam bulan terakhir, a-aku menjalin hubungan dengan wanita lain, Niana." Endri menggigit bibirnya sekuat tenaga sampai terlihat darah yang mulai keluar dari luka bekas gigitannya itu.

"Aku dan Lesy saling mencintai. Kami bahkan akan mendapatkan seorang buah hati. Lesy mengandung anak pertamaku. Ma-maafkan aku, Niana. A-aku tidak bisa meninggalkannya, Niana, aku berencana menikahinya." Begitu cepat, Endri mengucapkan kalimat lanjutan. Bak laju kereta saat suaranya keluar dari rongga tenggorokan.

Niana masih bergeming, termenung, dan bingung. Sampai sekian detik kemudian, kedua telinganya mulai terasa panas. Sesak pun langsung melanda dadanya tanpa sungkan-sungkan. Namun ia mencoba untuk menguasai dirinya, setidaknya sampai ia tahu bahwa suaminya hanya bercanda.

Selingkuh dengan wanita bernama Lesy dan akan memiliki anak? Oh, tidak! Hal itu sangat tidak masuk akal.

"Hah ... hahaha! Kalau bercanda jangan terlalu mengerikan, Mas Endri!" ucap Niana. Ia masih berharap besar bahwa pengakuan suaminya hanyalah sebatas kelakar. "Ulang tahunku masih la-"

"Aku serius, Niana. Aku pulang terlambat karena harus menemani Lesy yang sedang drop setelah tahu bahwa dirinya hamil, dan hamil dari benihku yang telah menjadi suamimu."

"Mas ...?" Napas Niana mulai tak beraturan. Sesak yang melanda semakin menyiksa, membuatnya sulit untuk menghirup udara. Bahkan pening mendadak muncul menghujam kepalanya sampai berdenyut-denyut.

"U-ulang tahunku masih lama, Mas. Ja-jadi, kamu tidak perlu mengerjaiku sampai seperti ini haha. A-ayolah! Ka-katakan saja, katakan saja kalau kamu hanya bercanda, Mas!" lanjut Niana sembari mencengkeram kuat bagian jantungnya. Bibirnya sampai gemetar ketika mengatakan harapan terakhir yang mungkin masih bisa memberikan kesempatan.

Namun, Endri justru terdiam dengan wajah penuh penyesalan. Ia bahkan bingung harus bersikap bagaimana. Menyentuh Niana yang sedang terluka, apakah pantas untuk ia lakukan? Bahkan mungkin saja wanita itu akan segera melayangkan gugatan cerai padanya.

Endri menggigit bibirnya yang sudah berdarah. Beberapa detik kemudian ia lantas berkata, "Niana, jika kamu ingin bercerai-"

"Stop!" potong Niana. "Jangan katakan apa pun lagi. Diamlah! Beri aku waktu untuk mencerna semua ini, Mas!" Air mata meluruh menodai pipi kanan Niana.

Dengan membawa luka yang begitu cepat dalam menghujam dirinya, Niana bangkit dari posisi duduknya. Ia berjalan tertatih-tatih dan meninggalkan Endri sendiri di ruang tamu yang bernuansa keemasan itu. Kemudian, ia menaiki anak tangga satu per satu dengan jemari yang mencengkeram salah satu pembatas untuk menjaga keseimbangan dirinya. Niana menuju kamarnya dan mengunci diri sembari menangis sesenggukan.

Kesabarannya dalam menunggu kedatangan sang suami harus dibayar dengan kenyataan yang pahit. Endri yang selalu ia kasihi mendadak menjadi suami laknat sekaligus pengkhianat. Apa lagi yang bisa Niana lakukan selain menangis dan meratapi nasib? Pengakuan yang dikatakan dalam beberapa detik oleh Endri sukses meruntuhkan dunia indah yang selalu Niana impikan selama ini.

Lantas, haruskah Niana melayangkan gugatan cerai agar terlepas dari pria pengkhianat itu? Namun, bukankah perceraian hanya akan membuat Endri semakin kegirangan, karena dengan begitu Endri bisa lebih leluasa untuk melanjutkan hubungan bersama wanita bernama Lesy sekaligus calon anak mereka? Tidak! Niana tidak akan membiarkan mereka hidup bahagia, sementara dirinya akan terkungkung luka sendirian dalam waktu yang lebih lama. Niana harus membuat rencana!

"Mana mungkin aku biarkan mereka bahagia, sementara aku sangat terluka ...."

***

Endri memilih tidur di ruang tamu dan menyingkir dari niana. Meski begitu masih ada segenap penyesalan yang ia rasakan, tetapi ia pun harus jujur jika ada kelegaan yang menyusup ke dalam hatinya saat ini. Seolah-olah ia baru saja keluar dari kubangan lumpur yang membuatnya sulit menghirup udara. Kini, perselingkuhannya dengan Lesy, selaku salah satu staf di kantornya tak lagi menjadi rahasia. Apalagi wanita itu akan memberikan anak untuknya, meskipun pastinya akan ada banyak kendala ke depannya. Seperti misalnya dihina oleh kedua orang tua Niana. Namun apa boleh buat, ini jalan yang sudah ia pilih, memilih Lesy daripada Niana yang sudah tak lagi ia cintai terlalu dalam.

Entah sejak kapan pastinya, rasa cinta Endri pada Niana mulai memudar. Namun, wanita yang telah menemaninya membangun bahtera rumah tangga selama dua tahun itu tak terlihat menarik lagi di matanya. Mungkin waktu yang sangat minim untuk bertemu menjadi salah satu alasan. Atau mungkin karena Niana yang sudah jarang menjaga penampilan. Meskipun tetap cantik tanpa banyak pernak-pernik, di mata Endri, istrinya itu tetap terlihat kurang modern. Apalagi ketika mengajak Niana keluar sebentar, mungkin banyak orang yang akan menganggap Endri begitu pelit pada Niana, sampai Niana tidak mampu membeli baju-baju yang mahal.

Padahal sebelum perusahaan Endri mengalami masalah, Endri kerap memberikan jatah bulanan yang lebih dari cukup. Sayangnya, Niana justru memilih menabung uang pemberiannya atau menyisihkan beberapa lembar untuk diberikan pada Nur. Niana malah mengambil jalan hidup yang cenderung kaku, monoton, serta sangat berhemat.

"Ah ... Niana, maafkan aku. Meski begitu, masih ada rasa sayang di hatiku untukmu. Tapi jika dipinta untuk memilih, aku sudah memantapkan diri untuk akan memilih Lesy, dia bahkan akan memberikan keturunan untukku. Aku sangat menyesal karena harus melukaimu, tapi, aku lega setelah selama ini hanya memendam semuanya. Dia lebih mampu memberikan warna-warna baru di hidupku," ucap Endri dan lantas menelan saliva. "Aku akan menerima segala cemoohan dari keluargamu, bahkan dirimu yang mungkin akan memutuskan untuk bercerai dariku. Kamu pun tak perlu lagi bersusah-payah membantuku yang sedang kesulitan ini. Aku pasti bisa mengatasi semuanya, Niana, tanpamu. Aku benar-benar minta maaf ...."

Keputusan Endri sudah bulat. Setelah merasa bimbang selama nyaris satu bulan, kini dirinya harus mengambil keputusan. Pengakuan yang sudah susah-payah ia katakan pada Niana adalah jalan awal baginya untuk menuju kebahagiaan bersama Lesy serta calon anaknya dengan wanita itu.

Tanpa Endri sadari, mungkin saja Niana sedang mengatur sebuah rencana.

***

Episode 3-Keputusan Niana yang Mengejutkan

"Mas?" ucap Niana sesaat setelah turun dari lantai kedua dan saat ini ia melihat Endri yang nyaris keluar dari pintu utama rumah itu. Ia tahu betul bahwa suaminya tersebut hendak berangkat ke kantor. Dan ia tidak akan membiarkan Endri berangkat begitu saja.

"Apa kita bisa bicara sebentar?" lanjut Niana ketika Endri sudah memutar badan dan menatapnya, sementara ia terus berjalan ke arah pria tersebut.

Sampai saat Niana menghentikan langkah di hadapannya, Endri belum memberikan ucapan apa pun. Matanya terus menatap sorot tajam mata Niana yang sebetulnya terlihat agak sembab dan sudah pasti Niana usai menangis di sepanjang malam. Kecut. Perasaan Endri benar-benar kecut. Rasa bersalah kembali muncul dan bernaung di dalam hatinya. Namun ia berpikir bahwa dirinya sudah tidak mungkin mundur dari keputusan yang sudah ia ambil. Ia tidak boleh bersikap labil. Karena mau bagaimanapun Endri tetap harus mengutamakan Lesy yang sedang hamil muda, daripada Niana yang masih sehat secara fisik.

Endri menghela napas. Detik berikutnya, ia meluruskan tubuhnya untuk benar-benar menghadap pada Niana. "Kamu ingin melanjutkan pembicaraan kita tadi malam, Niana? Kamu sudah membuat keputusan? Atau kamu sedang membutuhkan pelampiasan untuk perasaan kamu yang mungkin sudah sangat terluka karena diriku? Jika memang benar, aku siap untuk kamu jadikan sebagai samsak yang bisa kamu pukuli sampai puas, Niana. Sungguh, aku akan menerima segala hukuman dan risiko setelah apa yang aku lakukan pada dirimu," ucapnya setelah itu.

"Kenapa aku harus melakukan kekerasan pada dirimu yang merupakan suamiku sendiri, Mas? Aku hanya akan menjadi istri kurang ajar jika aku melakukan hal tersebut. Dan jika kamu sampai terluka, aku bisa menjadi calon nara pidana atas tindak penganiayaan, bukan? Bisa saja calon istri mudamu tak menerima perbuatan semacam itu dan lantas melaporkan diriku, seandainya aku benar-benar melakukannya," sahut Niana.

Tak lama setelah itu, Niana mulai bergerak. Ia berjalan ke arah ruang tamu yang memang tidak jauh dari keberadaannya sebelumnya. Sebisa mungkin ia tetap menguatkan diri serta hati. Rencana yang sudah ia susun sepanjang malam harus berjalan dengan lancar di tahap pertama. Ia tidak akan membiarkan keinginan suaminya menjadi sebuah kenyataan.

Niana duduk di salah satu kursi sofa yang empuk. Tubuhnya tegak dan tampak elegan. Seelegan penampilannya saat ini. Wajahnya memang cenderung lebih natural alih-alih menor dengan make-up tebal. Pakaiannya pun tak semewah gaun pengantin yang mungkin sudah dipesan oleh Endri untuk sang wanita selingkuhan. Penampilan Niana cukup sederhana, tetapi kali ini jauh lebih tegas daripada sebelum-sebelumnya. Gaun putih sepanjang lutut dengan lengan tanggung membuatnya jauh lebih menarik. Karena ia pun sempat berpikir bahwa mungkin saja ia kalah cantik dari wanita yang bernama Lesy tersebut.

"Kemarilah, Mas. Mari kita berbicara. Kamu ingin mendengar keputusan yang telah aku buat, bukan?" ucap Niana lalu tersenyum senatural mungkin. Senyuman yang ia usahakan agar tetap terulas manis untuk menutupi segala nestapa yang sudah menghujam hatinya saat ini. "Mm, atau kita sambil sarapan saja? Kamu belum sempat sarapan, 'kan, Mas?"

Endri menelan saliva dengan susah-payah. Namun meski begitu, tenggorokannya tetap terasa sangat kering. Niana yang bersikap seolah baik-baik saja justru membuatnya bingung dan agak khawatir. Padahal ia sudah memastikan bahwa Niana pasti sangat terluka. Dan untuk apa Niana bersikap seperti tidak memiliki luka?

"Tidak, Niana," kata Endri sesaat setelah melirik waktu di jam tangan perak di lengan kirinya. "Aku tidak punya banyak waktu untuk menyantap makanan. Tapi mungkin kita bisa berbicara selama sepuluh menit."

Niana terluka. Untuk mendengar keputusannya saja, Endri tetap memperhitungkan waktu. Kelihatan sekali bahwa Endri memang ingin segera mengakhiri pernikahan ini. Sebenarnya secantik apa wanita bernama Lesy di mata Endri sampai benar-benar membuat Endri begitu tega mencampakkan Niana yang sudah lama menjadi pendamping hidupnya?

"Baiklah. Kita bicara selama sepuluh menit, atau bahkan kurang dari sepuluh menit, Mas. Aku tahu jika perusahaanmu sedang mengalami kesulitan, dan kamu pasti harus bekerja dengan lebih keras untuk memperbaiki perusahaanmu itu, 'kan?" Niana tersenyum tentunya setelah ia berusaha menekan rasa getir yang nyaris membuat air matanya mendesak untuk dikeluarkan. "Aku bukan orang yang suka ingkar janji, dan kamu tahu soal itu, Mas. Aku tidak akan berbicara melebihi batas waktu yang kamu tentukan, Mas."

Endri mengangguk. Dan kini ia sudah duduk di hadapan Niana. Segala pertanyaan pun bermunculan lagi. Namun satu hal yang pasti, ia ingin mengakhiri pernikahan ini. Lesy harus ia utamakan terlebih dahulu.

"Jadi, bagaimana keputusanmu, Niana? Kamu tahu, bukan, apa pun keputusanmu, pernikahan kita ini sudah tidak bisa diselamatkan lagi? Aku ... aku sudah berselingkuh dan sampai menghamili wanita lain, dan aku tidak berhak mendapatkan maaf darimu, Niana," ucap Endri. Kepalanya tertunduk. Wajahnya yang tampan itu menunjukkan suatu penyesalan, tetapi juga pengharapan yang amat besar.

Niana diam-diam mengepalkan kedua telapak tangannya. Rahangnya mengeras. Betapa keras ia menahan rasa kesal, marah, dan benci pada Endri yang saat ini berlagak bodoh dan polos. Kalau memang sadar bahwa sikapnya akan melukai Niana, mengapa pula Endri tetap melakukannya? Dan bahkan sampai menanam benih di rahim wanita yang lain?! Padahal Niana tidak mandul!

Niana memejamkan mata seraya mengembuskan napasnya secara perlahan dan sebisa mungkin tidak akan menimbulkan suara. Ketika sudah merasa agak tenang, ia pun berkata, "Bukankah akan lebih baik jika kita tidak bercerai, Mas?"

Di balik tundukan kepalanya, mata Endri melebar. Rasa terkejut berbaur menjadi satu dengan perasaan lain yang bersarang di dalam hatinya. Dengan cepat, ia menatap Niana. "Apa?" Satu kata pertama meluncur dari mulut Endri, yang kemudian di susul perkataan lain ketika ia kembali berkata, "Niana, kamu tahu bahwa kesalahanku ini adalah kesalahan yang benar-benar tidak bisa diampuni, bukan? Aku sudah menghamili wanita lain!"

Niana berangsur mengangguk. "Aku tahu, Mas. Tahu betul soal itu. Jujur saja, tadi malam aku sangat terkejut dan tidak bisa berpikir dengan jernih sampai akhirnya aku memutuskan untuk melarikan diri ke kamar. Tapi, sepanjang malam pun aku sudah berpikir, Mas. Aku sudah berpikir dengan hati-hati dan aku rasa kita memang tidak seharusnya bercerai, Mas."

"Tapi, kenapa? Apa kamu bisa mengampuni diriku?!"

"Tentu saja bisa, Mas. Kamu kan suami aku, dan aku bukan wanita yang merebut dirimu dari orang lain kok. Aku mengenal kamu sangat lama, Mas Endri. Aku tahu jika kamu adalah pria yang baik. Kebaikanmu membuat diriku tak bisa melepaskan dirimu begitu saja, Mas. Dan lagi, jika kita bercerai akan banyak orang yang terluka. Kedua orang tuaku, kedua orang tuamu, dan bahkan kerabat-kerabat yang mencintai kita, Mas," jelas Niana. Ia mengambil jeda untuk menghela napas. "Coba pikir, Mas, saat ini perusahaanmu sedang mengalami kesulitan finansial. Kondisi perusahaanmu tidak membaik selama berbulan-bulan, bukan?"

Mata Endri bergerak tak menentu. Dirinya bingung dan salah tingkah. Ia mengusap tengkuk belakangnya lalu berangsur menganggukkan kepala. "Kamu benar, Niana. Perusahaanku memang sedang kacau."

"Dan kamu sebentar lagi akan memiliki anak, Mas. Jika Lesy mencintaimu karena uangmu, bukankah kamu akan kesulitan? Jika kita tidak bercerai, tentu aku masih bisa memberikan bantuan. Aku kan masih bekerja dan aku tidak dalam keadaan hamil, aku bisa membantu istri mudamu, bukan?"

Endri menatap Niana dengan lebih tegas. "Kenapa ... kenapa kamu ingin membantu kami yang sudah melukai dirimu, Niana? Apa alasanmu? Padahal seharusnya kamu menceraikan diriku dan memakiku."

"Karena ...." Niana terdiam dalam beberapa saat. Karena aku ingin menghancurkan kalian berdua sebelum benar-benar minggat dari rumah ini dan dari hidup kalian, Mas, batinnya. Dan ia tersenyum pada Endri. "Aku tidak ingin menjadi seorang janda, Mas. Aku sudah kepala tiga, sulit bagiku untuk mencari suami lagi. Lalu seperti yang aku katakan sebelumnya, aku tidak ingin banyak orang yang terluka, Mas. Lagi pula, aku akan mendapatkan banyak pahala jika membiarkan suamiku melakukan poligami, bukan?"

"Aku akan memberikan waktu agar kamu bisa berpikir terlebih dahulu, Mas, dan meskipun aku tetap tidak akan mau dicerai. Toh, keberadaanku akan sangat menguntungkan dirimu, bukan? Tapi tentu saja aku juga memiliki beberapa syarat. Dan aku akan mengatakan syaratku jika kamu setuju, Mas," lanjut Niana.

Endri terdiam. Tampaknya Niana tidak main-main dalam mengambil keputusan itu. Sepanjang hidup yang ia jalani bersama Niana, sungguh ia tidak pernah tahu bahwa Niana adalah wanita yang begitu nekat dan sanggup mengambil risiko. Niana pun mengatakan syarat untuk penawarannya sendiri. Seolah Endri memang harus patuh atas apa yang wanita itu katakan.

Di sisi lain, tentu saja Endri tertarik. Hidup dengan dua istri ... siapa yang tidak mau? Apalagi perusahaannya sedang mengalami guncangan. Tentu saja Niana yang masih memiliki pekerjaan dengan gaji besar akan sangat membantu keuangan di dalam rumah tangga, terlebih untuk Lesy yang akan membutuhkan banyak barang, obat, serta biaya ke dokter kandungan.

Endri menelan saliva. Kemudian ia berangsur menatap Niana dengan sikapnya yang masih serba salah. "Ba-baiklah, Niana. Ji-jika kamu tidak keberatan, aku akan menerima tawaranmu. D-dan bolehkah aku mendengar syarat yang kamu inginkan?" ucapnya gugup.

Niana tersenyum. Terlepas dari seberapa parah rasa kecewa di dalam dirinya saat ini, setitik rasa senang pun berangsur menerangi. Endri sudah masuk ke dalam perangkapnya. Dengan begini, ia bisa melakukan rencana yang sudah ia susun dengan matang. Bahwa ia tidak akan pergi sebelum suami dan sang calon istri kedua hancur, lebih hancur daripada dirinya saat ini.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!