NovelToon NovelToon

Terbelenggu Dua Rasa

Talita

Hai, namaku Talita Dwi Putri aku adalah anak kedua dari 2 bersaudara sayangnya kakak lelakiku telah menghadap sang pencipta saat usianya tepat menginjak 18 tahun, kala itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar.

Kakak adalah sosok yang ceria, saat kecil dia bagaikan tameng yang melindungi ku kapan dan dimana pun, kepergiannya sangat menggores luka yang tak kunjung sembuh, ayah dan ibuku sangat terpuruk ketika meratapi nasib kakakku yang harus pergi di usia muda, namun itulah jalan yang sudah digariskan Tuhan pada kakak, kami sebagai keluarganya hanya bisa berpura pura tegar dan mengikhlaskan kepergiannya meski berat itulah satu satunya jalan yang terbaik.

Jika mengingat sosok lelaki tangguh dan ceria seperti kakak, hatiku rasanya bergetar mengenang masa kecil yang begitu menyenangkan, kini seiring berjalannya waktu aku telah tumbuh menjadi sosok remaja yang harus berdiri sendiri tanpa sosok kakak.

Saat ini aku baru saja lulus SMP dan akan melanjutkan ke tingkat SMA, aku bingung harus memilih sekolah mana yang akan dijadikan tempat untukku menuntut ilmu selama 3 tahun ke depan, ayah merekomendasikan salah satu sekolah swasta yang terkenal, namun aku kurang tertarik sebab tempat nya dekat dari rumahku.

Jika kalian merasa aneh mengapa aku tidak suka masuk di sekolah yang dekat dengan rumah, alasannya aku hanya ingin mendapatkan teman baru, suasana baru dan lingkungan yang baru, aku berpikir jika aku sekolah di tempat yang dekat dengan lingkungan rumahku otomatis teman yang akan aku dapatkan pasti teman SMP yang dulu dan tidak aneh lagi selain itu kedua orangtuaku sudah mengenal banyak guru disekolah itu, aku ingin mendapatkan pengalaman baru, dan salah satu caranya adalah dengan bersekolah di tempat yang jauh dari rumah dengan begitu aku bisa mendapatkan berbagai hal baru yang menarik, aku suka tantangan, suka dengan hal baru dan suka sendirian, warna favorit ku adalah warna hitam, kenapa hitam?

sebab bagiku warna hitam adalah lambang ketenangan dan kedamaian, beberapa orang bilang bahwa warna putih lebih cocok dimaknai dengan ketenangan namun bagiku warna putih adalah simbol dari kesempurnaan dan kesucian sedangkan aku tidak mencerminkan hal tersebut itulah mengapa aku lebih menyukai warna hitam dibanding putih atau warna lainnya.

Aku masih belum bisa memutuskan apakah harus mengikuti saran dari ayah untuk meneruskan sekolah di sekolah swasta atau mengikuti keinginanku yang ingin melanjutkan di sekolah berbasis negeri, karena kebetulan aku bisa daftar ke sekolah berbasis negeri dengan mengandalkan prestasi selama aku di sekolah dasar sampai tingkat menengah, dengan begitu aku juga bisa meringankan sedikit beban biaya sekolah bagi kedua orangtuaku, entah mereka akan setuju dengan keinginanku atau tidak aku masih ragu untuk membicarakannya pada mereka.

Setiap malam aku termenung dalam keheningan, duduk bersandar di bangku taman seorang diri, ku tengadahkan kepala keatas menatap indahnya langit malam yang menentramkan jiwa serta pikiran, otak yang tadinya terus bergejolak dengan penuh tanya kini bisa rehat sejenak dan menghembuskan beban yang dikandungnya.

Sambil menatap langit malam yang cerah juga dihiasi banyak bintang berkelap kelip menambah keindahannya, tak terasa senyum di bibirku mulai merekah membentuk lengkungan yang panjang, rasanya menentramkan saat menatap langit malam seorang diri, itulah yang selalu aku lakukan ketika banyak hal berkecamuk dalam pikiran, mencari ketenangan lewat indahnya langit malam yang menentramkan mata setiap insan.

"Hoammmm, aaa ternyata masih pagi lebih baik aku lanjutkan tidur saja",

"tok....tok...tok..." bunyi pintu kamar yang diketuk ibu,

Aku tetap menutup mata meski mendengar ketukan pintu berkali kali, sudah ku duga pasti ibu yang mengetuknya untuk membangunkan ku dan menyuruhku sarapan, hari yang sangat membosankan setiap saat mengulangi kegiatan yang sama membuatku semakin malas beranjak dari tempat tidur, saat ingin melanjutkan tidur dan berniat mengabaikan ketukan pintu yang tak berhenti, tiba tiba suara ibuku menggelegar membuat gendang telinga rasanya hendak meledak.

"Litaaaaaa.....cepat bangun, dasar anak ini selalu saja bermalas malasan, bangun Talita, atau ibu tidak akan memberimu uang saku!!" teriak ibu dengan ancaman.

Seketika aku bangkit dan mulai membukakan pintu, benar saja ibu sudah berdiri sambil berkacak pinggang, menatapku dengan mata yang sudah melotot, mataku yang tadinya masih sayu dan mengantuk mendadak cerah karena takut melihat tatapan tajam yang menusuk dari ibu, aku pikir kenapa setiap pagi selalu saja mendapatkan tatapan maut dari ibu, sudah seperti anak tiri saja aku ini, namun mau bagaimana lagi begitulah cara ibu untuk membangunkan ku yang pemalas ini.

Meski aku dianggap anak yang rajin dan berperestasi di mata orang lain, sayangnya dimana ibuku aku tetaplah anak gadis pemalas yang menjengkelkan, tapi aku senang membuat ibu sedikit marah dengan begitu aku bisa tau bahwa ibu sangat perhatian dan memperdulikan ku, jika dibandingkan dengan ayah jelas ayah lebih baik dan selalu memanjakan ku, orang bilang aku adalah anak kesayangan ayah, aku sendiripun tidak mengelak nya sebab aku memang merasakan bahwa ayah menyayangiku secara berlebihan, apapun yang aku mau selalu ayah turuti bahkan ketika aku tidak meminta suatu apapun ayah selalu memberi, kadang hal itu juga yang membuat ibu merasa kesal sebab ayah selalu memberikanku uang saku yang lebih dibandingkan yang biasa ibu berikan, ibu bilang aku harus belajar untuk mandiri dan tidak terus mengandalkan kedua orang tua terutama mengandalkan ayah, meski ayah sangat royal dan perhatian padaku tapi ada sisi dimana ayah sangat protektif dan begitu keras dalam mendidik ku, terkadang aku merasa ayah adalah sosok yang bersahaja dan humoris, tempat untukku berbagi cerita namun di sisi lain terkadang aku juga merasa Ayah adalah sosok yang keras juga ketat dalam mendidik ku.

Bagiku mau bagaimanapun mereka mendidik aku, tetap saja tanpa mereka tidak akan pernah adanya aku yang saat ini.

Pagi ini ku kira ibu akan marah padaku karena lagi lagi aku bangun terlambat dengan sengaja, ternyata dugaanku salah meski wajah ibu menunjukkan seperti sedang menahan emosi dan hendak marah, tiba tiba saja ibu menarik lenganku dan membawaku ke ruang makan, nampak diatas meja sudah tersedia banyak menu masakan, tak lupa ayah juga sudah duduk di sana dan menatapku dengan melemparkan senyuman.

Aku merasa aneh dengan sikap yang tidak biasa dari mereka, ragu ragu aku duduk di depan meja makan lalu tak lama ibu memberikan piring berisi nasi juga lauk kesukaanku yang tidak lain adalah ayam goreng kremes, ya itulah menu kesukaanku sejak kecil dan tidak akan berubah hehe.

Selama di meja makan aku dan kedua orangtuaku menyantap makanan dengan suasana yang hening sehingga aku semakin takut dan curiga ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku, karena penasaran akupun memberanikan diri membuka obrolan dan bertanya pada mereka.

Kabar

"Ekhmmm....ayah ada apa?, kenapa sangat hening, rasanya ada yang disembunyikan dariku" ucapku dengan tatapan menyelidik dan mengerutkan kedua alis.

Ibu dan ayah saling tatap satu sama lain barulah mereka kembali melanjutkan menyantap makanan tanpa menjawab ucapanku, aku semakin penasaran ditambah kesal karena seakan ucapanku tak digubris oleh keduanya, saking kesalnya aku pun menyudahi makanku lalu langsung pergi begitu saja dari hadapan mereka, namun belum sempat aku pergi jauh ayah sudah memanggilku, membuat langkahku terhenti dan berbalik menatapnya.

"Talita kembali ke meja makan" Ucap ayah dengan nada suara yang tegas,

akupun kembali dengan perasaan yang sangat kesal lalu ku coba tanyakan lagi apa yang sebenarnya tengah mereka sembunyikan dariku.

" Ayah ap....." ucapku tertahan,

belum sempat aku menyelesaikan ucapanku ayah sudah memotong begitu saja.

"Diam Talita cepat habiskan sarapanmu setelah itu baru ayah akan memberitahumu sebuah kabar yang penting" ucap ayah memberi perintah,

karena yang bicara adalah ayah, aku tidak bisa protes dan melakukan apapun lagi selain menuruti ucapannya, kembali ku kunyah makanan yang tadi sempat ingin ku tinggalkan, dengan perasaan yang tak karuan aku memaksakan untuk menyantap makanan tanpa banyak bicara lagi.

Selang beberapa saat setelah selesai makan, ayah menatapku dengan lekat, tatapan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.

"Tatapan apa itu ayah?, kenapa ayah menatapku setajam itu, apa aku melakukan kesalahan, sehingga membuat Ayah kesal padaku?" ucapku spontan,

entah muncul darimana keberanian itu sehingga aku bisa bicara lantang tanpa ragu di depan kedua orang tuaku, mungkin karena aku merasa sangat penasaran, sehingga kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku.

Ayah menatap ibu sejenak lalu kembali menatapku.

"Talita dengarkan ucapan ayah dengan baik dan jangan protes sebelum ayah menyelesaikan pembicaraan, apa kamu mengerti?" ucap ayah dengan tatapan serius padaku.

Hatiku semakin tak karuan saja setelah Ayah mulai berbicara seperti itu, ini bukan ayah yang biasa aku kenal, aku sungguh merasa was was dengan kabar yang hendak ayah bicarakan, ditambah tiba tiba ibu menunduk seperti tengah menyimpan kesedihan, wajahnya yang terlihat galak tadi saat membangunkan ku tidur kini sudah berganti dengannya wajah semu yang menahan kesedihan, pagi itu aku benar benar dibuat ketakutan.

"Talita ayah akan menyekolahkan mu dikampung halaman ibumu" ucap ayah serius sambil menggenggam tangan kananku.

Aku termenung sejenak meresap ucapan yang ayahku maksudkan.

"Ayah apa kau bercanda?, bagaimana mungkin aku sekolah di sana, bukankah nenek dan kakek sudah lama meninggalkan kita?, kita juga sudah lama tidak ke sana, tidak ada siapapun yang Lita kenal disana, jangankan saudara temanpun tidak ada ayah" ucapku dengan rasa tidak percaya.

Saat itu aku masih berpikir mungkin ayah hanya menakut nakutiku agar aku mau mengikuti keinginannya agar meneruskan pendidikan di salah satu sekolah swasta yang ayah remondasikan waktu lalu, tapi ternyata aku salah, wajah ayah semakin serius dan ibu menggenggam tanganku dengan wajah yang sayu.

Awalnya hatiku menolak keras dengan keputusan sepihak dari kedua orangtuaku itu, namun saat aku tatap wajah mereka dengan lekat bahkan aku tak tega dan tidak mampu menolaknya, ku tarik nafas panjang dan ku genggam tangan ibuku, ku lemparkan senyum semanis yang aku bisa.

"Ibu ini memang berat untuk Lita, tapi Lita juga tidak mau menjadi beban bagi ayah dan ibu, jika memang itu pilihan yang terbaik, Lita ikhlas dan akan mengikuti keinginan ayah juga ibu" ucapku dengan menahan kepedihan.

Walau sakit dan masih merasa tidak menyangka tapi aku terus berusaha ikhlas di depan kedua orangtuaku, aku bingung di sisi lain aku tidak ingin mengecewakan ataupun menyakiti mereka namun aku juga tidak bisa melakukan atau memutuskan hal yang tidak aku inginkan seperti ini, mau bagaimana lagi sekarang aku hanya bisa menerima sudah tidak ada pilihan lain, lagi pula aku sudah menyetujui semua itu pada kedua orangtuaku, setelah mendengar jawaban dariku kedua orangtuaku tersenyum dan ibu memelukku sambil mengelus pucuk kepalaku dengan lembut.

"Terimakasih Lita, ibu sangat menyayangimu, dan maaf karena tidak bisa mengikuti apa yang kamu mau" ucap ibu sambil mengusap pucuk kepalaku dengan lembut.

"Tak apa ibu, Lita tidak masalah, kalau begitu kapan kita akan pindah ke desa?" tanyaku penasaran,

"rencananya kami akan mengantarmu ke desa sore nanti, karena besok adalah waktu pendaftaran sekolahmu" ucap ibu dengan wajah yang antusias,

"ibu apa itu tidak terlalu mendadak, dan kenapa kalian baru memberitahuku saat ini?" ucapku yang merasa belum siap,

"Lita jika tidak hari ini, lalu kapan mulai besok ibu harus bekerja kembali, karena ayah sudah tidak bekerja, dan kamu juga harus kembali ke sekolah bukan?" ucap ibu menjelaskan.

Aku menunduk tanda pasrah dengan semuanya lalu aku pergi ke kamar tanpa sepatah katapun, ku duduk di samping ranjang yang sudah ku gunakan sebagai tempat tidur bertahun tahun lamanya, kini aku harus pergi ke tempat yang jauh dari rumah, tempat yang bahkan sudah lama tidak aku kunjungi, tidak ada keluarga, saudara ataupun orang yang aku kenal disana, ku baringkan badanku dan menatap langit langit kamar dengan tatapan kosong, yang harus aku lakukan hanyalah menjalani, aku tidak bisa berontak dalam situasi seperti ini, aku juga tidak bisa menyalahkan takdir semuanya sudah digariskan, aku hanya bisa pasrah.

Lelah memikirkan apa yang akan terjadi padaku di sana nanti, aku sampai tertidur pulas hingga ibu kembali membangunkan ku dan menyuruhku untuk mandi, aku mengikutinya dan segera bersiap siap untuk keberangkatan menuju desa, sekilas masih bisa aku lihat wajah ibu yang nampak menahan kesedihan, entah itu sedih karena akan pidah atau hal lainnya aku tidak tahu.

Saat semuanya sudah siap tiba tiba, aku baru terpikir kenapa hanya ada satu koper milikku saja di depan teras rumah yang siap dimasukkan kedalam taxi.

"Ayah ibu, kenapa hanya ada koperku, koper dan barang kalian dimana?" ucapku terheran,

"Talita yang mau pindah itu kamu bukan ayah ataupun ibu, jadi tentu saja hanya ada kopermu" ucap ayah sambil memegang bahuku.

"Ayah apa kalian sengaja mengirimku ke desa karena aku melakukan kesalahan, apa kalian menghukum ku?" tanyaku menyelidik,

"tidak ada yang menghukummu Talita, bukankah ibu sudah menjelaskannya padamu tadi pagi, tidak ada alasan lain selain itu" ucap ayah dengan wajah yang serius,

"jadi apakah aku akan sendirian di desa yang entah berantah?, mendaftar sekolah sendiri, hidup sendiri, seperti itu?" ucapku dengan menahan tangis.

"iya Talita ayah minta maaf karena tidak bisa mengantarmu kesana, ayah harus mencari pekerjaan lain agar kamu juga tidak berlama lama tinggal di sana, ibumu juga ada wawancara kerja jadi tidak bisa mengantarmu" ucap ayah dengan wajah yang murung.

Lagi lagi aku hanya bisa menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan, menahan emosi entah aku harus marah atau sedih saat ini, sebelumnya aku pikir mereka hanya bercanda, aku pikir kita akan pergi bersama alhasil mengantarkan ku pun tidak.

Ke Desa

Aku hanya bisa menunduk dengan lesu, sampai ibu memelukku dengan erat dan mengusap lembut kepalaku.

"Talita maafkan ayah dan ibu karena membuatmu seperti ini, kamu tenang saja ibu sudah mendaftarkan sekolahmu sebelumnya dan sudah menyiapkan rumah nenek disana untuk kamu tinggali, nanti kamu hanya perlu melakukan daftar ulang saja" ucap ibuku memberikan ketenangan,

"hmm iya ibu, aku tidak papa, aku memang tidak sepenuhnya menerima tapi mau bagaimana lagi tidak ada pilihan lain untukku, kalian jangan khawatir aku bisa menjaga diriku sendiri" ucapku sambil segera masuk kedalam taxi yang sudah disiapkan ayah.

"Ayah percaya kamu memang anak yang bisa diandalkan" ucap ayah sambil menepuk bahu kananku.

Aku lambaikan tanganku dan kulemparkan senyum pada mereka sebagai tanda perpisahan, setelah taxi yang kutumpangi melaju perlahan meninggalkan kediamanku hati ini kembali merasa hancur, hidupku sudah tidak semenyenangkan dulu lagi, semenjak kepergian kakak semua benar benar berubah secara perlahan, entah takdir apa yang sedang Tuhan rencanakan bagi aku dan keluargaku, aku menarik nafas panjang di dalam taxi hingga tak terasa sudah sampai di terminal bus, aku turun dengan mendorong koper berwarna hitam pekat milikku, kulihat sekeliling mencari tempat dimana aku bisa mencari bus tujuanku ke desa, masih aku ingat ayah mengirimkan rincian alamat di pesan wa ponselku, aku membukanya dan segera mencari bus yang dikatakan oleh ayah dalam pesannya, setelah ketemu aku langsung masuk dan berjalan di dalam bus mencari kursi yang kosong, sayangnya saat itu bus sudah padat dan hanya tersisa dua kursi kosong di sana, yang satu ada di samping seorang pria tua bertubuh gemuk yang tengah tertidur pulas dan mengorok begitu kencang, seketika aku merasa jijik dan muak melihatnya, tidak ada niatan sedikitpun untuk memilih duduk di samping pria tua seperti itu.

"Aishhhh menjijikan, kenapa juga aku harus naik bus seperti ini" ucapku dalam hati,

lalu ku tatap ke arah tempat duduk yang paling belakang nampak ada satu kursi kosong di dekat jendela aku pikir itu tempat yang tidak terlalu buruk, meski disampingnya ada seorang pria memakai masker dan hoodie hitam juga kacamata hitam sedikit terlihat misterius namun lebih baik daripada harus duduk di samping pria tua yang gendut dan berisik itu, segera aku duduk di sana agar tidak didahului orang lain.

"Permisi, apa tempat ini kosong?, bolehkan aku duduk di sini?" ucapku bertanya dengan sopan,

"duduk saja" jawab pria itu dingin,

karena pria itu sudah memperbolehkan akupun langsung duduk tanpa segan lalu mulai berbenah mencari posisi ternyaman untuk duduk di sana, sebab ini bukanlah perjalanan yang sebenar melainkan membutuhkan waktu hampir 8 sampai 9 jam lamanya hingga aku sampai di desa Simorangkir, dari namanya saja semua orang pasti sudah bisa menebak bahwa desa itu sangat jauh dari perkotaan tapi tidak terlalu pelosok juga.

Beberapa saat kemudia bus mulai melaju dijalanan, beberapa jam di perjalanan tidak ada masalah bagiku, aku nyaman dan baik baik saja sampai saat menjelang malam perutku mulai terasa tidak nyaman, kepalaku pusing dan rasanya sangat mual mungkin karena aku telat makan semenjak aku berangkat aku belum mengisi perutku lagi, dan aku juga lupa tidak membawa cemilan sama sekali aku hanya membawa pakaian dan beberapa barang penting itupun berada dikoperku, di dalam tas kecil yang aku pegang hanya ada ponsel, alamat tujuan dan dompet saja, aku bingung harus meminta bantuan pada siapa.

Aku berpikir apa yang harus aku lakukan disaat kritis seperti ini, baru saja beberapa jam aku pergi seorang diri, sekarang sudah mual dan tidak bisa menjaga diri.

"Ya Tuhan apa yang harus aku lakukan, mag ku kambuh lagi, aku harus memakan obatnya, aishhh sial aku kan tidak membawa obat obatan" ucapku menggerutu kecil.

Tidak disangka ternyata gerutuanku tadi terdengar oleh pria berhoodie di sebelahku sampai tiba tiba dia memintaku untuk membuka tanganku, aku merasa heran dan bingung tapi masih tetap mengikuti perintahnya sebab dia berkata dengan sangat dingin tanpa disadari aku refleks langsung mengikuti perintahnya itu.

"Kau, berikan tanganmu" ucap pria itu memerintah,

"hah?, aku?, untuk apa?" tanyaku beruntun dan bingung,

"aku bilang ulurkan tanganmu" ucap pria itu bernada dingin.

Segara aku ulurkan tangan dan dia menaruh sebutir obat mag ditanganku, beberapa saat aku merasa aneh dan sangat kebingungan, apa sebenarnya yang dia maksud dengan menaruh obat mag di telapak tanganku.

"Aihhhh....obat?, untuk apa?" ucapku terheran sambil melihat obat yang ada di telapak tanganku.

"Apa kau idiot?, tentu saja untuk kau makan" ucap pria itu spontan.

Aku sangat kesal mendengar ucapan dari pria asing yang menyebalkan itu, ini adalah pertemuan pertama antara aku dan dia, kita sama sekali tidak saling mengenal dan bisa bisanya dia mengataiku idiot, bagaimana aku tidak kesal dengan sikapnya yang begitu sombong dan sangat mendominasi.

"Hei.... beraninya kau mengataiku idiot, ini aku kembalikan obatnya padamu" ucapku kesal sambil menarik tangan pria asing itu dan mengembalikan obat yang dia berikan sebelumnya,

"dasar gadis idiot sudah sakit begitu masih menjaga gengsi" ucap pria itu dengan suara yang kecil tapi aku masih bisa mendengarnya,

"jangan kau kira aku tidak mendengar ucapanmu barusan yah, camkan ini baik baik, pertama aku tidak bisa menerima apapun dari orang asing, kedua aku tidak suka kau mengataiku seenaknya dan ketiga aku tidak butuh obat dari orang seperti mu" ucapku dengan kesal sambil menahan mual di perutku.

Setelah aku berkata demikian pria yang hampir seluruh wajahnya tak terlihat itu malah dengan santainya menyilangkan kedua tangan dan memasukkan kembali obat tersebut ke dalam saku hoodienya, tak sedikitpun dia menyikapi atau bahkan mendengarkan ucapanku barusan, aku sungguh kesal dibuatnya.

Ingin rasanya aku membanting kepala pria tersebut ke depan kursi yang ada dihadapannya, untunglah aku tengah menahan sakit dan mual di perut sehingga tak ada tenaga untuk melakukan semua itu.

"Huuuuuhhh...benar benar menyebalkan, mana perutku sakit sekali, aduhhh kenapa semakin mual begini" gumamku dalam hati,

"owwweeekkk...oweeekkk ......." suaraku yang hampir saja muntah karena tidak kuat menahan mual.

Pria itu menatapku, dengan kacamata hitam yang dia kenakan aku jelas tidak bisa melihat bagaimana ekspresi matanya saat melihatku yang hendak muntah dan kesakitan.

"Jangan berani muntah di sampingku atau aku akan melemparmu keluar jendela" ancam pria itu,

"hah?...kenapa bisa ada pria sekejam dirimu di dunia ini" ucapku dengan mengerutkan alis.

Namun lagi lagi pria sialan itu tidak menggubris perkataan ku, benar benar tidak habis pikir mengapa ada pria model seperti itu di sampingku, sungguh menyesal aku memilih duduk disampingnya, ingin marahpun percuma itu hanya akan menghabiskan tenagaku.

Aku terus menahan mual dan sakit di perutku sampai supir bus menghentikan lajunya disebuah restoran pinggir jalan, aku merasa lega akhirnya bus berhenti sejenak sebelum melanjutkan perjalanannya, aku langsung turun terburu buru dari bus dan segera memuntahkan semua isi dalam perutku di pinggir jalan begitu saja, sudah tidak peduli lagi bagaimana pandangan orang lain yang melihatku, yang terpenting bagiku aku sedikit merasa lega setelah memuntahkannya meski kepala ini masih merasa pusing dan tetap perutku tidak nyaman, aku berjalan perlahan dengan terhuyung lalu duduk di bangku yang berada di depan restoran itu, saat hendak mengambil ponsel aku baru menyadari tasku tertinggal di dalam bus, segera aku berjalan dan naik ke dalam bus mencari keberadaan tasku namun aku tidak menemukannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!