NovelToon NovelToon

Godaan Ranjang Tuan Dingin

GRTD 1 : MALAM TEMARAM

~ Malam ini, James! Jangan terlambat~

Nathalie berdiri dengan lutut bagian kanan tertekuk, dimana jempol kakinya memutar-memutar di lantai, seolah siap menari Balet. "Yeahhh!!! Yeahh!!! Jamess!!!

Jantung Nathalie berdebar kuat, kencan malam ini semoga lancar, semoga lancar, ekspetasinya sudah sangat tinggi. Malam ini adalah malam terindah, "Yahhh, ayang James."

Nathalie berputar-putar dengan tangan terentang. "Kita sambut, bidadari yang turun dari kayangan, terete ... teng ... teng ... "

Nathalie lalu berlagak seperti Bidadari yang mengepakkan sayap beberapa ayunan dan menekuk kaki ke bawah memamerkan kelenturan kakinya.

Dia menghirup bau harum vanila dari tubuhnya setelah seharian sudah perawatan tubuh, spa, masker dari ujung kuku kaki, sampai ujung rambut.

Ponsel bergetar yang adalah pesan masuk dari James-pacarnya:

~Meeting sudah mau selesai. Aku merindukanmu😍. Uch.~

Nathalie meregangkan tubuh, mengotak-ngatik ponselnya sambil menunggu masakan sapi lada hitam itu matang.

"Uuuuh gak sia-sia aku masak!" Nathalie membungkuk sambil membuka penutup panci dan uap beraroma manis menari-nari, merangsang reseptor penciuman pada aroma manis gurih dan liurnya semakin mengumpul banyak. "Harummmmmmm Ah."

"Semoga kamu menyukainya!" batin Nathalie dengan sorot mata haru dan penuh cinta.

Pintu kaca bergeser dengan berderit, seorang wanita berusia 44 tahun masuk dengan anggun, lalu jari-jarinya mendarat di pinggang sang putri. "Mommy mau berangkat. Vitamin jantung Daddy di laci, nanti disiapkan setelah Daddy makan, ya."

Mirabela lantas mencium pipi Nathalie dari samping dengan gemas. CUP. "Anak ini tidak biasanya masak. Anak jaman sekarang rajinnya pas ada maunya," batinnya.

"Pulang jam berapa? Jangan kemalaman. Mommy kan sudah janji akan menemui James. Huh!"

Mendengar gerutuan sang putri, Mirabela memeluk dan mengelus rambut anak semata wayangnya. "Iya, hanya sebentar, jika peresmian butiknya selesai. Mommy akan langsung pulang, sayang."

"Daddy yang menemani mu dulu, ya. Jangan cemberut dong? nanti cantiknya bisa hilang." Mirabella memegang dagu lancip putrinya sambil menatap mata hijau zamrud yang sudah berkaca-kaca, "mulai deh nona cengeng."

"Mommy begitu! selalu gagal bertemu dengan James." Nathalie mendorong Mirabela yang baru menempelkan hidung mancung pada hidungnya. "Cicipin, ini kurang apa?"

"Uch, uch!" Mirabella mendorong kepala sampai satu sendokan kuah dari tangan sang putri, masuk dalam mulutnya. Dia mengecap berulang kali pada aroma lada yang kuat. "Tambahkan satu sendok makan kecap inggris, dan saos tiram. Kenapa tidak menyuruh Chef Zana, sih?"

Mirabela terkekeh seraya mengamati jari lentik sang putri yang begitu menggemaskan dengan cat kuku warna biru. "Spesial buat 'ayang', ya?!

"Ah, Mommy, sana pergi, godain mulu!"

"Iya, iya, seh. Jangan lupa obat Daddy." Mirabela tersenyum getir, ada perasaan tak rela meninggalkan sendirian putri yang masih kekanakan begitu.

"Yup, Mam."

"Jaga dirimu baik-baik, Nak," batin Mirabela terasa ngilu dan geleng-geleng kepala lalu menyeka air matanya yang lolos ke pipi.

"Jaga putriku, Tuhan," ujar Mirabela. dia melihat putrinya dari ujung kaki sampai ujung kepala dan menggeser pintu, meninggalkannya dengan tidak rela.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah enam sore. Nathalie menepis keresahan di depan cermin, dia sudah mematut diri dengan sedemikian rupiah dengan gaun casual putih.

Satu jam sudah sejak kepergian sang mommy, rumahnya langsung diguyur hujan disertai kilat putih di jendela dan suara petir terus menggelegar. Nathalie duduk tak tenang dan semakin memeluk lengan menyembunyikan kegelisahan saat hawa dingin merambat di sekujur tubuhnya. Padahal, semua pintu tertutup dari angin luar.

Ting-Tong!

"James," pekik Nathalie seraya berlari melewati ruang keluarga, ruang tamu dan begitu pintu kayu tinggi itu terbuka.

Srrrrr

Tubuhnya menggigil anginnya kencang, tetapi begitu terlihat sosok pacarnya yang seperti dewa turun dari langit sedang mengibaskan mantel dan rambutnya yang basah. Dia lantas lupa pada angin dingin dan berlari. "Jameeeees!!!"

"Maaf ya, terlambat." James menatap penuh cinta Nathalie, lalu melepas sepasang sepatu pantofel dan menaruh di dekat pintu dengan dimiringkan.

Kaus kakinya basah. James mengecek jendela pintu sedan Mercedes Bens hitam yang terlihat sudah rapat. "Hujannya begitu lebat."

Nathalie berdebar dan tersenyum malu-malu saat menerima genggaman tangan dingin James. Dia membusungkan dada karena listrik kasat mata dari genggaman itu. "Iya tidak apa-apa, yuk, cepat masuk. Dingin di luar."

Pintu tertutup. Desisan angin tak lagi masuk, tapi lantai lobby telah basah "Mommy sedang ada peresmian. Semoga nanti tetap bisa ketemu, ya James."

"Iya, itu memang tanggung jawab Mommy mu yang tak bisa ditinggalkan. Dan aku sungguh memakluminya. Lagi pula, masih banyak waktu ke depan, kan."

James masuk ke sebuah ruangan berdinding kaca dengan pemandangan luar taman. Cahaya temaram tanpa lampu yang mengandalkan lilin, serta peralatan dinner sudah diatur sedemikian rupa. "Wah, calon istri idaman!"

Nathalie tertunduk malu, dia gugup dalam menarik kursi untuk duduk James. Istri?" Dia merasakan wajahnya menghangat, tangannya menyalakan dua lilin merah setinggi 30 cm. "Istri?"

"Istri, apa ada yang kau mau selain itu?" seulas senyuman tak pernah lepas dari bibir James.

Nathalie menutup mulutnya dan tertawa malu. "Proyek di luar pulau yang harus kamu tangani sendiri, akan berlanjut hingga akhir tahun kah?" tanyanya untuk mengalihkan kegugupan.

"Hm, Wah apa ini kamu sendiri yang menyiapkan?" James ternganga sekaligus mengalihkan pertanyaan Nathalie.

"Iya, ini aku menyiapkan dengan tanganku sendiri." Nathalie menatap James dengan penuh kerinduan, ditariknya tangan James ke pangkuannya. Duduk di sebelah pacarnya membuat tubuhnya jadi panas dingin, apalagi hangat dari tangan James seolah tersalurkan padanya. "Ini bagiku sangat SPESIAL."

Nathalie menggenggam erat-erat tangan kekasihnya. "Demi merayakan hubungan kita yang genap 3 tahun."

James menyentuh pipi semu-semu merah Nathalie. "Terimakasih, Sayang." Sentuhan itu perlahan menjalar ke pipi dan akan mencapai mulut mungil dengan lipstik tipis yang glossy.

"Sebentar, aku bikinin jahe hangat." Nathalie kikuk karena sentuhan hangat tangan James, sehingga dia hanya berani beralasan dan kabur.

Nathalie berjalan ke pantry yang tidak jauh dari James, kira-kira empat meter. "Gimana rencana mutasi kerjaan kamu di pertengahan tahun ini? batal, kan, seperti dugaan ku. Sama seperti yang sudah-sudah."

James menghela nafas berat mendengar nada putus asa pacarnya. "Sepertinya batal. Bisakah kita fokus pada pertemuan kita? Aku itu sedang tidak mau membicarakan soal kantor sama sekali. Huft, maaf ya, sayang."

James meraih sebuah kartu mini di atas meja, terlipat rapih tulisan tangan ini. Dia melirik sesaat. "Apalagi, ini hari spesial bersama dengan kekasih yang paling aku rindukan ini."

"Rindu?" suara Nathalie terdengar malu dan menyindir.

James gemetar membaca setiap kalimat tulisan Nathalie dibawah cahaya lilin. Dia mendengar tawa Nathalie yang sarat akan kegetiran.

Sebuah cangkir muncul di dekat surat yang masih dibacanya. Aatu tetes air mata jatuh membasahi suratnya. Nathalie begitu tulus pada hubungan ini.

"Minum dulu." Nathalie duduk lagi.

Sebuah sentuhan hangat mungil itu terasa mendarat di bahu James yang bergetar. Pria itu mendongak sambil memegang tangan pacarnya, di pundaknya , lalu tersenyum penuh arti. "Terimakasih banyak ya, untuk semua ini, sayangku. Terimakasih."

James begitu merasakan kegetiran ini, terlebih mendapati Nathalie yang salah tingkah dengan wajah itu. Benar-benar gadis yang polos.

Kepala James condong ke samping. Pacarnya itu langsung melepaskan tangannya. Sungguh sangat pemalu- masih sama. Selama tiga tahun setiap kali akan mencium pipi Nathalie pasti wanita itu selalu punya alasan untuk menghindar.

"Kesukaan kamu ini sapi lada hitam." Nathalie terkikik saat mendapati James meminum jahe, melihat ini saja jantungnya seperti mau copot.

Hangat membasahi tenggorokan, entah dari temperatur atau jahenya. "Baunya sampai kesini loh, aku jamin rasanya pasti tak kalah enak. Apalagi kalau makannya disuapin pacar." James menjadi kikuk setelah senyuman Nathalie yang mengembang tapi malu-malu.

"Sungguh melihatmu bahagia seperti ini aku menjadi tidak rela melepasmu," batin James saat pacarnya itu mengambilkan makanan ke piring dan mulai menyuapinya.

Dua anak manusia saling memandang llau setiap dua detik pasti menurunkan pandangan. Begitu terus menerus selama suap-suapan. James oun sendiri bingung, menghadapi gadis tak biasa ini. Jadi ikut terbawa dan malu-malu kucing.

"Daddy pulang malam kah?" James berusaha mengatur detak jantung yang terus berdebar tak karuan.

"Biasanya satu jam lagi. Besok sore kita jadi ke Jogja, kan sayang?"

"Jadi." James mengedipkan satu mata dengan gemas dan disambut Nathalie yan menunduk. Bisa ditebak pasti wanita itu menyembunyikan senyuman malunya. Tingkah wanita ini benar-benar membuat detak jantungnya over speed.

"Si Lina kebetulan lusa ada meeting di Jogja. Jadi, kita bisa menemuinya meski hanya sebentar," kata James saat Nathalie kembali menatapnya. Ya, ampun rasanya ingin kugigit saja!

"Wah, seru! Akhirnya aku bisa menemui adik kamu. Aku makin nggak sabar!"

Setelah sekian lama pada akhirnya dia akan dikenalkan pada keluar James. Ternyata, pacarnya berniat serius dan tulus, dia tidak perlu menebak-nebak lagi dalam kegalauan hatinya,pikir wanita itu.

Nathalie makan malam dengan James dengan hati berbunga-bunga. Walau malam itu sangatlah dingin hingga terus membuat menggigil, tak menyurutkan kebahagiaan mereka dalam melepas kerinduan setelah enam bulan tidak bertemu.

Menonton film, bermain catur, ular tangga dan keseruan lainnya. Kemudian seakan baru tersadar, Nathalie melirik jam dinding. "Daddy belum pulang, sudah jam setengah sepuluh!"

James membaca kegelisaha dari raut wajah pacarnya. "Kenapa, Nath?"

"Daddy sudah malam belum sampai rumah. Hujannya lebat, kenapa dari sore juga belum reda." Nathalie menjauhkan diri dari sofa dan kembali menempelkan ponsel di telinga. "Aku coba hubungi Daddy."

Lima menit berlalu. Nathalie melirik dengan tak sabar ke ponselnya. "Nggak diangkat." Tiga menit berlalu "Aku telepon Sekertaris Bai, coba." Nathalie mencoba beberapa kali. "Nggak diangkat juga."

James mengerutkan kening pada sikap tak biasa pacarnya saat ketemu, mondar-mandir dan terus memandangi layar ponsel. Sampai nada dering panggilan membuat pacarnya itu mematung.

"Siapa, Nath? kenapa nggak di angkat?" James menyipitkan mata curiga.

"Gak tahu. Nomer baru."

"Coba diangkat siapa tahu penting." James mulai berdebar dengan sesuatu aneh yang kasat mata menyelimuti hatinya saat Nathalie mengangkat telepon.

"Halo, Malam." Nathalie mendengarkan dengan seksama pada suara seorang pria yang berbicara di telepon.

"Mommy, mom!" Nathalie tercekat, dunia terasa padam bagai terhempas ke jurang.

Pria yang sudah berdiri sejak perubahan wajah Nathalie itu langsung berlari saat benturan keras ponsel menghantam lantai.

Pada saat yang sama disusul tubuh Nathalie limbung dan masih sempat ditangkap oleh tangan James.

Nathalie menggelengkan kepala di tengah penglihatannya mulai kembali. "Telepon Daddy, cepat!"

"Ada apa, tenang .... Pelan-pelan, iya sebentar." James mendudukkan Nathalie di lantai. Pria itu mengecek ponsel Nathalie yang sudah padam entah terbentur tadi atau apa, yang jelas tidak menyala.

James meraih ponsel milik sendiri dari atas meja. Dia berusaha menghubungi orang tua Nathalie.

Dengan tergesa-gesa, Nathalie mengambil tas dari kamar dan ikut bergabung dengan sedan Mercedes Bens hitam milik James. Mobil itu menerobos hujan angin dam keluar dari halaman rumah besar.

Angin menggerakkan pohon besar sampai dahan-dahan berbunyi kretek-kretek membuat siapa pun yang mendengarnya ikut merinding.

"Gimana? belum diangkat juga?" James fokus mengendara, tak biasanya cuaca seburuk ini. Dia berharap tidak ada pohon tumbang. Semua kendaraan menepi, tetapi dia tak mungkin, pacarnya begitu kalut, dan di jalanan hampir tidak ada mobil lewat.

"Belum James, belum diangkat."

"Mungkin Daddy, di sana menunggu Mommy." James berusaha menenangkan pacarnya yang terus mengguncang ponsel dengan tidak sabar.

"James, bisa kan kamu lebih cepat! Aku takut Mommy ada apa-apa."

"Ini sudah pada kecepatan 90 kilometer, loh. Secepat apa lagi? Kau mau kita mai konyol? Lebih baik kita berdoa untuk mommy.

Waktu berjalan lambat, tangisan Nathalie semakin histeris. Dia menunggu dengan harapan telepon bisa tersambung menggunakan ponsel James, dan pandangannya kian nanar ke luar jendela.

Sejak sore gerimis mengguyur seluruh kota, belum ada pertanda akan mereda. Tumpahan air dari langit terus menumbuk kaca mobil dan mengaburkan pemandangan di depan. Persis seperti ramalan cuaca.

Desember seharusnya ceria. Mengapa sebaliknya?

CIIIIIIIIIIIIIIT !

Terdengar suara keras rem berdecit dari luar mobil mengalahkan suara hujan.

Bersamaan dengan James berteriak dan memandang bergantian ke depan dan ke rem yang tidak berfungsi.

Nathalie berteriak tepat di depannya mobil baru berhenti di lampu perempatan!

BRAKKKKKKK!!!

Sementara pria bermantel plastik tengah berdiri, satu sudut bibir membentuk seringai. Dia membetulkan kacamata yang mengembun. Dengan kegirangan menghentikan rekaman video, setelah sebelumnya berbicara: "-terseret sejauh lima meter. MISI BERHASIL WAKTU 11.20 PM."

GRTD 2 : TULIP

Bunyi 'BIP' monitor memenuhi ruangan ketika Nathalie bangun di sekitar peralatan medis, dan tirai putih yang membatasi pandangannya.

Nathalie memerjapkan mata, ke arah kakinya yang tidak bisa digerakkan dan diperban. Badannya begitu ngilu.

Dia jadi teringat pada wajah James yang ketakutan disaat sebelum kecelakaan saat pria itu berusaha menginjak rem.

"James!!" teriaknya dengan lemah. Dia ingin tahu keadaan James. Nathalie mengacuhkan dokter dan perawat yang baru datang. Dia tidak bisa mencerna obrolan mereka saat mereka terus mengajukan pertanyaan padanya.

Setelah perawat dan dokter keluar dari ruang ICU, Atika masuk ke dalam kamar. Matanya langsung berseri-seri dengan hati lega melihat temannya siuman. Dia merangkul Nathalie yang masih lemah.

"Terimakasih Tuhan, terimakasih telah membawanya kembali." Atika terus meracau tidak karuan. Tuhan telah melindungi sahabatnya.

"Di James, aku mau melihat James! Lalu dimana mommy, aku mau melihatnya!" gumam Nathalie.

Atika tak kuat menahan untuk tidak menangis sehingga dia melepas rangkulan.

"Apa yang harus ku katakan!" batin Atika di tengah hatinya yang terasa bergetar. Dia mengelus tangan Nathalie lalu menjauh. "Sebentar, aku terima telepon dulu.

"Mom, Dad!" lirih Nathalie. Kepala terasa berat. Dia mencoba memejamkan mata untuk mengurangi nyeri yang tidak tertahankan.

*

Di ruang pribadi milik Ricky, di rumah sakit, perdebatan belum berakhir semenjak 30 menit lalu.

Atika menggigit bibir bawah dalam kebingungan. "Aku ludah bilang ke kamu loh, Rick? Dia keras kepala! Jika ingin melihat mamanya, ya harus melihat sendiri." Atika bergidik, bulu kuduknya merinding.

"Tapi pasien baru saja melewati masa kritis, ini 20 hari loh. Kabar seperti itu pasti mengguncang jiwanya," kata Ricky dengan tenang pada dua orang yang tengah duduk di sofa empuk, sementara dia masih berdiri menyembunyikan tangan di saku celana.

"Aku mau yang terbaik untuknya," kata Edward seraya mengatubkan kedua tangan di depan mulut. Tatapan itu makin dingin. "Apapun itu asal jangan membahayakan Nath."

"Atau sebaiknya kita pikirkan cara yang lain," imbuh Edward sambil berpikir. Ujung sepatunya terus mengetuk-ngetuk lantai.

"Tapi apa? Kepalaku udah mau pecah! Malangnya nasib Nathalieku!" Atika sesenggukan dan merangkul bahu Edward.

Betapa berat situasi yang dihadapi Nathalie membuat orang-orang disekelilingnya dilanda kebingungan.

"Aku ada ide," celetuk Dr. Ricky.

"Ide apa?" Atika dan Edward menjawab bersamaan.

*

*

Tiga bulan berlalu. Pagi itu, Nathalie berdiri di kamarnya, dengan tongkat di lengan kanan. Dia mengamati ke luar jendela meratapi dunianya yang berubah 180 derajat.

Matanya berkaca-kaca. Dia sakit, tetapi bukan tubuhnya , melainkan hatinya yang hancur. "Mengapa semua orang yang kucintai menjadi sulit kujangkau!"

Dia meremas tongkat penyangga karena merindukan Atika yang sudah dua minggu di Australia, sedangkan Edward juga tidak menghubungi. Sekarang tulang keringnya mulai menyambung. "Dr. Rick yang bukan siapa-siapaku, selalu menyempatkan waktunya untuk menemaniku latihan berjalan."

Suara pintu berderit di belakang nya, membuat Nathalie terdiam.

Ricky tertegun, tampak sebagian wajah Nathalie yang terlihat saat wanita itu mengusap pipi dan hidung dengan tangan kiri. Lelaki itu melangkah dan kembali merapatkan pintu di belakangnya. "Selamat pagi, Tuan Putri."

Nathalie memutar tumit 180 derajat. Ia berusaha tersenyum seperti tidak ada apa-apa. "Dr. Rick." Wanita itu merasakan hatinya kembali bergetar.

Ricky mendekat dan mengayunkan sebuket bunga tulip berwarna merah dan orange. "Lihatlah, bunga tulip ini baru saja dipetik!"

Pria itu menunggu dan Nathalie mengamati bunga tanpa menyentuh. Sorot kesedihan dari netra zamrud lagi. Kemudian dia membantu Nathalie duduk di sofa, di dekat jendela dan menyerahkan buketnya.

Wanita itu melamun dengan jari-jari lentik membelai kelopak bunga. "Mengapa selalu membawakan aku bunga tulip? Untuk apa nggak ada gunanya!"

Dr Rick bersimpuh di lantai. Kedua tangannya mengelus tangan wanita yang menggenggam pangkal buket. "Tidak apa sekarang kamu marah, dan tidak apa-apa kamu sekarang merasa sedih ... ini normal."

Ricky dengan perasaan trenyuh menatap lebih dalam ke netra zamrud yang berkaca-kaca. Hati Ricky terasa mengkerut. Dia sering menemui pasien menangis atau marah, tetapi saat sahabat dari Atika ini baru terisak, itu sudah mulai mengganggu konsentrasinya. "Aku ada di sini bersamamu, kamu tidak sendirian."

"Kemalangan gadis ini, membuatku bersimpati, dan lebih jauh hanya empati. Cukup sampai di sini," batin Ricky ragu.

"Atika dan Edward, mereka juga sangat menyayangimu. Mereka selalu mendukungmu. Walaupun, mereka sekarang jauh," kata Ricky getir saat Nathalie mulai menangis. Dia menjadi bertanya-tanya apa yang dikatakannya salah?

Ricky menunduk lalu mencium jemari Nathalie yang mencengkeram tulip. Wajahnya mendekat ke wajah sendu itu dan kening mereka bersentuhan. "Coba amati tulip ini. Mengapa Tuhan menciptakan bunga-bunga cantik yang berwarna orange. Apa kamu tahu alasannya?"

Nathalie menggelengkan kepala dengan lemah dan bibir gemetar. Dia bertanya-tanya untuk apa pria di depan mempedulikannya?

"Karena orange itu terlihat menyala-nyala seperti api. Semangat kita harus juga membara seperti api."

"Daddy, Mommy," teriak Nathalie di dalam hati. Tiga bulan yang sangat menyakitkan tanpa keberadaan orang tua.

"Dengarkan aku, Nath. Tuhan memberi kehidupan kepada bunga-bunga cantik ini. Bila kita mau meresapi, tandanya kita harus yakin jika suatu saat kehidupan kita akan bersinar seperti bunga-bunga ini yang bermekaran."

Nathalie mulai histeris memanggil daddy dan mommy yang entah di mana. Perkataan pria itu menyentuh dan menembus hatinya terdalam saat ia sendiri membutuhkan dukungan dan kekuatan untuk bisa bertahan.

Dia merengkuh kepala Ricky. Beban yang sangat berat ini terasa seperti menenggelamkannya. Sesak dihati membuat dia sulit bernafas. Dia memukul-mukul punggung Dr. Ricky. Tulang-tulang penyangga di tubuhnya seperti ambruk, lalu tidak bisa menopang beban tubuhnya. Ia jatuh dari sofa ke dalam pelukan Dr. Ricky.

Tangisan dan racauan gadis dalam rengkuhannya begitu memilukan. Dr Ricky makin mengeratkan dekapan sambil mengelus bahu Nathalie. Suaranya gemetar, " Tuan putri, kita bisa memilih untuk optimis. Aku yakin kamu mampu melawan ini semua."

Nathalie ingin bersembunyi dalam pelukan Dr. Ricky dari semua beban. Semangat telah sirna bersama harapan yang telah mati.

Satu jam kemudian, Ricky menggendong Nathalie dan dibaringkan di ranjang pasien. Meski wanita itu tidur, tetap saja kegelapan seperti menyelimuti wajah gadis itu.

"Beristirahatlah, hari masih pagi, tetapi bebanmu sudah seperti menguburmu hidup-hidup." Ricky merapikan rambut kusut yang menutupi wajah sembab Nathalie.

GRTD 3 : JANGAN BANYAK TANYA

Natahalie membuka mata dan memerjap berulang kali, badannya terasa ringan, tak sabar berjalan lagi. Dia memiringkan tubuhnya ke kiri akan mengulet tetapi diurungkan saat mendapati buket Tulip orange, kuning, merah, segar di meja.

Rasanya setiap melihat bunga ini, membuatnya semangat. James. Begitu saja pikirannya spontan teringat James.

Nathalie memalingkan  tubuhnya ke kanan hendak bangun. “Astaga,  Dr. Rick,” lirihnya pelan. Dilihatnya dokter dingin itu kepalanya tertidur di kasur tempat tidurnya.

Diamati lebih dekat lagi, mata tertutup dengan bulu mata lentik, alis tebal, rambut berantakan dan masih mengenakan kemeja saat tertidur. “Huh gimana bisa tidur seperti itu, apa tidak pegal,” batin Nathalie.

“Gimana mau punya pacar, kalau bentar-bentar cuma di rumah sakit, jelek kaga, cakep lumayan, tapi dinginnya itu siiih ih nyebelin minta ampun,” batinnya lagi.

“Hmm.” Nathalie penasaran hendak menyentuh rambut Dr.Rick, baru saja kurang lima senti-

“Nath.”

Tangan Nathalie membeku saat mata emas itu terbuka membuat Nathalie terlonjak dan ingin kabur tetapi tongkatnya jauh di sudut. Oh tidak.

“Mmm mau bangunin kamu.” Nathalie hendak menarik tangannya yang mendadak tremor tetapi tertahan  dan ditarik Dr.Ricky sampai menutupi mata pria itu dengan posisi kepala pria itu yang belum berubah.

“Dok-” Nadia melongo dan menahan nafas berusaha tetap tenang dari detak jantung yang berdebar kencang dan berbahaya.

“Kan sudah ku bilang panggil nama saja kan,” suaranya serak khas bangun tidur.

“Tapi-” Nathalie berusaha melepas tangannya tetapi justru semakin erat digenggam Ricky untuk tetap menutupi mata.

“Tidak pake tapi-tapian.”

Hembusan nafas Ricky terasa hangat di tangannya. Nathalie  yang akan bangun diurungkannya. Sangat disayangkan karena dia jadi  tidak bisa menikmati udara segar dari jendela.

Suara ketukan disusul pintu bergeser mengejutkan Nathalie yang sempat ketiduran, dia melirik ke arah keributan dan cepat menarik tangannya.

“Permisi, mengantar sarapan.” Petugas melongo ketika mendapati sikap Dr.Rick yang biasanya dingin bisa bertolak belakang. Mungkin ini yang dinamakan cinta, pikir petugas sambil menyunggingkan senyuman.

“Nggak enak  kan dilihat orang lain seperti tadi,” batin Nathalie dan melirik sudah jam 8, tetapi pria ini masih juga terlelap.

Kruyuk-kruyuk

“Kamu lapar?” Ricky membenarkan posisi duduk dan mendapati wanita itu tekikik dengan wajah memerah.

“Dasar perut sia..lan gak liat waktu dan tempat,” gerutu Nathalie.

“Apa?” Ricky menyipitkan mata emasnya.

“Nggak apa-apa, ada nyamuk ini.”

Ricky melirik lengan kanan-kiri Nathalie, tapi tidak ada hewan kecil itu. “Nyamuk? perlu disemprot ya.”

“Jangan! sudah hilang kok.”

Suara perut jahanam kembali meneror Nathalie. Ricky berjalan mengambil makanan, dan menaruh di dekat Nathalie dengan memparodikan  gerakan menyendokkan makanan ke mulut. Pria itu berjalan ke kamar mandi meninggalkan Nathalie yang duduk ternganga. Nathalie berpikiran mau disuapin, lantas dia menertawakan kebodohannya seraya mulai melepas plastik yang menutup baki makanaan.

Sementara  Ricky di dalam kamar mandi tak henti-hentinya menatap cermin, menarik nafas dalam-dalam, dan membuangnya kasar.

“Nath … Nath …. " Dia membasuh wajahnya dengan air dingin dan merasakan getaran ponsel lipat jadul. Dengan wajah masih basah, dia mengelap tangan dan dibuka lipatan ponsel, untuk membuka sebuah pesan masuk:

~Rick, sudah kutemukan. Dia adalah Paman Edward~

Sementara di belahan bumi lain, di London. Edward tengah duduk di ruangan full kaca hingga atapnya, ruangan berbentuk setengah lingkaran.

“Roman,” geram Edward.”Damit! berani-beraninya mengganggu wanitaku.”

Edward mengirim pesan: Kirim orang-orang terpilih, hancurkan anak buahnya.

Balasan: Baik Tuan, saya kerjakan.

“Roman Manson, apa rencanamu sebenarnya?” Edward berpikir keras. Lalu panggilan masuk dari Dr.Rick:

“Kapan kau balik, Hei?” Dr.Rick tanpa basa-basi.

“Beri waktu tiga hari.”

“Nathalie menunggumu. Kondisinya telah pulih lebih cepat. Kusarankan kamu ada untuknya besok, atau aku akan,” katanya terpotong.

“Besok, aku sudah di sana,” kata Edward tanpa pikir panjang. Berani kau macam-macam pada wanitaku, lihat saja akibatnya, Ricky Alexander! Bye.” Edward memegangi kepalanya dan menghembuskan nafas panjang

Pintu ruang kerja terbuka.

“Kak, sibuk nggak? aku masuk ya?” Isania Stuart memasuki ruangan tanpa persetujuan dan duduk di hadapan sang kakak yang fokus pada komputer. “Aku ikut ketemu Kak Nathalie, dong.”

“Kuliahmu?” Edward menoleh sebentar lalu menatap laptopnya kembali.

“Cuma sebentar, kan. Kangen sekali sama Kak Nath.” Isania merajuk.

“Tapi hanya seminggu dan harus ijin mami dan papi.”

“Yeah siap kak!” Isania tersenyum puas lalu mengecup pipi kiri kakaknya. Dia langsung pergi beberes. Sudah lama sekali sejak dia kuliah di Cambridge dirinya tidak pernah bertemu dengannya.

Edward membaca laporan di laptop dengan mengelus rahang , pada slide demi slide. “Sebenarnya, apa yang sedang kau cari, Rick? gerak-gerikmu sungguh mencurigakan. Orang-orang ini, kan .... ?"

*

Keesokannya,

"Haaaaaaaaah!" Nathalie menghela nafas panjang lalu memasukan udara ke paru-paru.

Wanita dengan gaun putih casual dibawah lutut itu menikmati sinar keemasan.

Sekarang seperti udara ini adalah kebebasan. Nadia merentang satu tangan dan mendongak tersenyum pada langit biru tanpa awan dan terpejam.

Ini beneran menyenangkan!!! "Luar biasa."

Ricky tersenyum, "indah."

Nathalie membuka mata dan kembali menunduk mengamati paving, dia sangat bersyukur masih bisa jalan sendiri, kembali berjalan secepat yang dia bisa menggunakan tongkatnya.

"Akhirnya aku keluar dari penjara rumah sakit!" teriaknya tanpa malu-malu, ini dunianya, dia menjadi diri sendiri. "Kebahagiaan sesungguhnya adalah kesehatan tanpa cacat!" ujarnya lagi sambil mangut-mangut. "Yah, ya, ya. Ayolah, Rick cepat!"

"Iya-iya." Ricky menggelengkan kepala dengan gemas dan mempercepat langkahnya karena teriakan manis itu, suaranya sangat bersih penuh kelembutan walau berteriak. "Aku menyukai suaranya."

Nathalie menunggu tanpa menoleh dan hanya mengedarkan pandangan ke sekitar, kemarin-kemarin dia selalu menatap tempat ini dengan penuh harapan cepat segera pulang. "Dan inilah harinya.

Nathalie tersenyum penuh dan menggandeng tangan Rick, tak sabar sambil bernyanyi kecil. Pria ini payah, padahal yang pakai tongkat saja bisa jalan cepat, tapi pria ini lambat. " Asik, sebentar lagi Nath bisa bertemu mereka, ya?" matanya berkaca-kaca dengan harap-harap cemas. "Rick?"

"Rick?" Nathalie berhenti mendadak dan ditatapnya pria itu lagi untuk memastikan.

"Tadi sepertinya Rick menghindari tatapanku, apa ada yang dia sembunyikan? atau hanya perasaanku, ya?" batin Nathalie mulai berdebar dan gelisah.

"Iya, Angsa kecilku."

"Apa Nath nggak boleh pulang ke rumah aja?" Nathalie dengan sorot mata memelas dan bibir tertekuk, padahal dia sangat merindukan rumahnya.

"Lebih baik kamu di rumah aku dulu, ya." Ricky membukakan pintu mobil untuk Nathalie, dan membantunya duduk, lalu mengamankan tongkatnya.

"Jangan banyak tanya," kata Rick dengan nada dingin di depan wajah Nathalie sambil jemarinya membelai wajah lalu rambut Nathalie. Wanita itu membeku dan wajahnya langsung menghangat, mengapa pria dewasa sangat berani.

Ricky tersenyum tipis sambil menggeser bahu Nathalie, untuk meraih sabuk pengaman dan memasangkannya dengan tetap menatap mata indah zamrud itu.

Klik. Bunyi safty belt terpasang dan pria itu berkedip empat kali seolah tak rela menjauh. Dia berdiri tegap dan menutup pintu mobil membuat Natahalie langsung menutup wajah dengan dua tangan sampai mulutnya ternganga. Apaan tadi, kenapa sampai menghirup aroma nafas Ricky! tidak boleh.

"Entah ya, kenapa si kalau Ricky berbicara itu seolah-olah aku harus nurut. Dia seperti banteng, galak Uhh. Kenapa aku nggak boleh pulang rumah!" batin Nathalie pasrah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!