NovelToon NovelToon

MONSTER LOVER!

1. Sepuluh Strawberry.

Belakangan ini, menetap di Elixir sambil mengonsumsi sepiring waffle dan segelas jus strawberry menjadi lebih menyenangkan bagi Jessica Cerise.

Bukan karena rasa makanan yang ia konsumsi sangat lezat luar biasa, bukan pula karena jus strawberry tersebut memberikan lonjakan dopamine di otaknya. Tidak, tidak sama sekali.

Alasan mengapa Jessica sangat betah duduk santai di Elixir Cafe, adalah karena karyawannya yang bernama Angela Lancester sudah menyajikan drama romansa yang sangat menghibur mata.

Angela--semenjak ia mendaftar bekerja di Elixir sebulan lalu, telah berhasil membawa banyak pengunjung masuk ke cafe tua dengan menu standard ini. Para pengunjung berdatangan untuk menyaksikan betapa indahnya Angela secara langsung dan berkomunikasi dengannya yang ternyata, merupakan gadis dengan followers berjumlah tinggi di sosial media.

Tidak hanya sebatas konsumen, Angela juga berhasil membawa dua orang pria dengan keindahan rupa tiada dua, muncul di cafe dan saling bersaing merebut perhatian Angela. Keberadaan keduanya pun berhasil membuat banyak gadis-gadis muda muncul di Elixir dengan pipi bersemu merah.

Sungguh dramatis dan manis. Jessica yang memantau dari kejauhan nyaris mimisan.

"Kira-kira siapa yang akan Angela pilih?" Jessica mengunyah strawberry di mangkuk dengan ambisius.

"Aku bertaruh kepada Jake Allendale," Dania--salah seorang karyawan yang menjalin hubungan dekat dengan Jessica--menimbrung.

Bicara soal Jake Allendale, dia adalah pria bertubuh tinggi, kulit pucat dan berambut cokelat. Wajahnya tampan nan elegan. Keindahan paras Jake menyiratkan kelembutan dan kebaikan. Dari sudut pandang Jessica, cukup masuk akal bila Angela memilih Jake. Pria dengan pembawaan sopan dan menawan adalah prioritas utama. Mereka adalah jenis bendera hijau yang langka.

Akan tetapi, meski Jake mempunyai persona yang terkesan elegan dan seperti pangeran, Jessica tidak bisa menarik kesimpulan kilat ketika seorang Demian Bellamy berada berseberangan dengan Jake. Secara pribadi, Jessica malah bertaruh tinggi kepada Demian.

Kenapa?

Karena Demian adalah tipe ideal Jessica.

Jika Jessica berada di posisi Angela, Jessica tidak akan pernah gundah gulana. Ia akan langsung membungkus Demian pulang dan mengunci pria itu di lemarinya. Iya, Demian memang sangat memukau bagi Jessica. Dia seperti pria yang hanya akan muncul di novel-novel romansa.

Demian Bellamy--tidak seperti Jake yang berpembawaan kalem dan sopan--merupakan pria yang kerap muncul di Elixir dengan memar di wajahnya. Dia tinggi, tampan dan arogan. Surai hitam pekatnya bergulung ikal membingkai wajahnya yang tegas. Kulitnya yang berwarna tan menunjukkan betapa sering ia berada di bawah matahari. Flanel merah yang kerap ia pakai mungkin terlihat usang, tetapi itu tidak melunturkan keindahannya sama sekali.

Rumornya, Demian adalah pria haus darah yang sering menciptakan keributan di jalanan kota Vegas. Namun, tidak adanya saksi mata membuat rumor itu cukup meragukan bagi Jessica. Yah, walau Demian kerap muncul dengan penampilan babak belur, itu tidak berarti dia adalah sosok yang haus darah, kan? Bisa saja, dia adalah korban dari preman di kota penuh dosa ini.

Kembali lagi...

Demian Bellamy, dalam kata lain, sangat indah dan terkenal berduri.

"Aku bertaruh 10 strawberry kalau Demian akan memenangkan hati Angela." Jessica menyodorkan mangkuk strawberry-nya ke depan Dania.

"Aku bertaruh hari liburku kalau begitu," Dania percaya diri.

"Jangan menangis kalau kau kalah, Dany."

"Oh, Bos. Aku seratus persen akan menang."

"Apa kau meremehkan keberadaan Damy hanya karena dia berandalan?" Jessica tidak terima bila Damy--Demian diremehkan. Walau Jessica tidak tau informasi mendetil menyangkut Demian, Jessica percaya kalau cowok berkulit tan dengan mata setajam elang tersebut lebih berkualitas daripada Jake yang alim.

"Bos, apa kau mau mempunyai pacar yang selalu mondar-mandir dengan wajah memar?" Dania berkacak pinggang, matanya menyorot Jessica tak mau kalah.

"Juga..., perhatikan Jake yang lemah lembut dan menawan, dia selalu berpenampilan rapi dan jelas sekali..., mempunyai masa depan yang cerah. Cowok dengan penampilan urak-urakan dan ditambah lagi berandalan, sudah jelas hidup hanya untuk hari ini. Jika aku Angela, aku pasti sudah memilih Jake."

"Apa pentingnya masa depan kalau kau tidak bisa hidup untuk hari ini?"

"Bos, kau tau bukan itu maksudku. Perempuan itu sukanya pada pria mapan yang mempunyai masa depan menjanjikan. Demian..., walaupun dia rupawan, kurasa dia adalah pengangguran."

"Tsk..., mari lihat kedepannya, kalau begitu." Jessica ingin mendebat Dania lebih panjang, tapi memikirkan kembali, sosok yang akan memilih antara Demian dan Jake adalah Angela, bukan dirinya. Jadi..., rasanya berbicara panjang lebar pun, hasilnya masih belum tentu.

Jessica ingin percaya kalau Demian akan memenangkan hati Angela. Namun, secara rasional, Jake mempunyai posisi yang lebih unggul karena dia adalah tipe ideal wanita yang mengharapkan stabilitas.

"Jika Demian tidak memutuskan berubah, aku sepertinya akan kehilangan sepuluh strawberry," keluhan keluar dari bibir Jessica ketika Dania telah menghilang dari sisinya dan kembali bekerja.

*

Hari-hari di Elixir berputar seperti biasa. Pada pukul 7 pagi, Jessica akan membuka toko. Sarapan pukul 8, bekerja dan mengawasi Elixir dari jam 9 hingga jam 2 siang, istirahat sampai jam 4 sore, dan kembali bekerja lagi sampai jam sembilan malam. Jessica--sebagai owner di Elixir jarang mengambil libur. Ia lebih senang menyibukkan dirinya dengan bekerja daripada berleha-leha.

Mengenai pekerjaan Jessica di Elixir juga, sekarang sudah mendekati akhir bulan. Pada minggu menjelang pergantian bulan, Jessica biasanya akan menyibukkan diri dengan mengatur keuangan cafe yang juga menyangkut upah pekerjanya.

Seperti malam ini, contohnya. Kendati Elixir masih ramai pelanggan di bawah sana, Jessica yang tinggal di lantai dua, menyibukkan dirinya bekerja. Ia duduk sendirian di balkon, menghadap sebuah meja berbentuk persegi yang menampung berkas-berkas pengeluaran dan pemasukan Elixir bulan lalu.

Jessica--dengan kacamata baca bundar, duduk ditemani secangkir kopi. Ia sedang membaca data di tangannya dengan serius ketika sebuah nama menyapa kupingnya.

"Demian..., uh..., lepaskan aku!" Itu adalah suara Angela.

Jessica seketika menengok ke bawah, kepada gang sempit yang berada tepat di samping Elixir. Angela berada di sana, bersandar di tembok dengan Demian memblokade jalan keluar dengan kedua lengannya yang kekar.

'Waaah, pemandangan macam apa ini?' Jessica menjerit dalam hati.

Pemandangan antara Angela dan Demian seperti kejadian yang kerap terjadi di novel-novel romansa. Ketika si protagonis pria yang rupawan menyudutkan si kekasih hatinya di tembok, dan ciuman akan terjadi kemudian. Kyaaaa... apa ini berarti sepuluh strawberry-nya tidak akan pergi?

'Aku akan menang! Dania, rasakan!'

"Ange, aku sudah tidak bisa menahan diriku lagi. Aku mengerti kau butuh waktu, tapi situasinya sudah terseret begitu lama. Aku..., aku membutuhkan kepastian darimu. Hanya katakan saja, apakah kau mencintaiku atau tidak? Aku tidak bisa seperti ini selamanya, aku tidak mau berharap dan terus berharap."

"Demian, apa yang kau katakan...,"

'Eh? Bukankah sudah jelas? Demian sedang melakukan pengakuan cinta, Angela. Dia sedang mengharapkan kepastian darimu, apa yang tidak kau mengerti dari itu?' Jessica membatin dengan sedikit kesal.

Apakah ini yang dinamakan strategi jual mahal? Atau apakah ini murni kebodohan?

"Ange, aku mau kau menjawabku sekarang dengan jujur." suara Demian cukup tertekan. "Apa kau dan Jake sudah menjalin hubungan?"

"..."

"Angela?" Demian menelan kekecewaan di kerongkongannya. "Meskipun aku yang lebih awal mengakui perasaanku, kalau kau akan menerima Jake sebagai kekasihmu..., kau, setidaknya, seharusnya..., memberikan kepastian padaku lebih awal, bukan?"

Bibir Angela bergetar. Ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata ketika suara Demian dan ekspresinya sungguh menyiratkan luka. Angela tidak berkutik ketika Demian tiba-tiba meninju dinding di sampingnya.

"Aku berharap dengan sia-sia." gumam Demian.

"Maafkan aku, Demian, maafkan aku." Angela menunduk dengan sudut bibir melengkung turun. "Aku tidak bermaksud menggantungmu atau apa pun. Aku hanya..., aku tidak ingin melukaimu. Kau adalah pria yang sangat berarti bagiku. Kumohon, maafkan aku. Jake..., aku tidak bisa menolaknya."

Demian mengambil dua langkah mundur dari Angela.

Sebuah ciuman yang Jessica perkirakan akan datang, pupus begitu saja. Drama romansa penuh gairah yang ia damba, berubah melankolis.

"Aku mencintai kalian berdua sama besarnya. Percayalah padaku. Hanya saja, pada Jake..., aku..."

"Kau tidak perlu menjelaskan dirimu, Angela."

Demian menekan emosi yang meluap di suara dan ekspresinya. Ia menghela napas sekilas dan mendongak menatap langit yang kelam. Saat itu juga, kendati berniat menemukan ketenangan dari rembulan yang menggantung rendah di antara awan yang muram, Demian malah menemukan sepasang iris emerald menyorot ke arahnya dengan keingintahuan.

"..."

Jessica tertangkap basah oleh sepasang manik sendu Demian.

Keheningan terbentang di antara mereka.

Angela berlalu dari sana tanpa tau apa-apa.

*

2. Mengejar Bahaya.

Untungnya bagi Jessica, setelah kejadian malam itu, Demian sudah tidak pernah datang ke Elixir lagi.

Tiga minggu kemudian berlalu seperti biasa. Walau awalnya Jessica merasa agak bersalah karena sudah mencuri dengar masalah yang terjadi antara Demian dan Angela, perasaan itu perlahan-lahan memudar dari benaknya. Sekarang, Jessica kembali menyibukkan dirinya hanya untuk bekerja.

Terima kasih pada pengalaman tertangkap basahnya hari itu pula, Jessica sudah berhenti mencaritahu kelanjutan kisah cinta Angela yang dulu sangat membuatnya antusias. Mungkin karena sekarang Angela sudah memiliki kekasih yang selalu menempelinya, atau mungkin karena Jessica agak kecewa Demian dikalahkan malam itu. Yang mana pun alasannya, Jessica sudah menutup mata pada urusan Angela.

Rasanya agak mengecewakan ketika Demian ditolak oleh Angela, Jessica terkadang memikirkan kejadian itu sesekali ketika ia menjemur pakaiannya di pagar balkon. Ia mengingat bagaimana malam itu ia berlari tergopoh-gopoh menuju kamar, mengunci jendela dan meninggalkan segala pekerjaannya di luar.

Semuanya kacau berantakan.

Jessica tidak menyangka malam itu akan menjadi malam terakhir ia melihat Demian. Maksud Jessica, karena sekarang alasan Demian berkunjung ke cafenya sudah tidak ada, pria itu sudah pasti tidak akan kembali lagi.

"Pria tampan datang dan pergi...," Jessica bergumam sedih. Ia membungkuk dan menatap kepada gang kecil yang berada di bawah balkonnya. "Aku harap dia menemukan kebahagiaannya sendiri di luar sana."

Selepas bernostalgia dan meratapi ketiadaan Demian di cafenya, Jessica kembali ke kamar dan memulai mempersiapkan dirinya untuk pergi malam ini.

Iya, malam ini, Jessica perlu menghadiri acara reuni yang dibuat oleh teman dari sekolah menengahnya. Acara itu berlokasi di pusat kota Vegas, di tempat para hotel dan casino berdiri melingkupi kota dengan bayangan megahnya. Di antara bangunan raksasa itu pula, reuni mereka akan diadakan di sebuah pub dan bar terkenal bernama Lumon.

"Aku harap acara ini tidak akan berlangsung lama," keluh Jessica. Ia memakai sebuah short dress hitam dan sebuah blazer berwarna senada. Setelah mempersiapkan dirinya, ia turun menuju cafe dan berpamitan pada Ethan, sobat sekaligus asistennya yang biasa menggantikan Jessica.

"Hati-hati di jalan, Jesse," nasihat Ethan. "Selalu berada di keramaian dan jangan memisahkan dirimu sendirian di tempat yang sunyi dan gelap, oke?"

"Apa kau ibuku?" Jessica tertawa. "Tenang saja, aku hanya datang untuk unjuk gigi. Aku tidak akan menetap lama di sana, dan pastinya..." Jessica tidak punya alasan untuk berada di tempat gelap gulita.

Setidaknya, begitulah yang Jessica percaya.

*

Di Lumon, Jessica bertemu dengan delapan orang alumni dari sekolah menengahnya. Delapan orang terbilang cukup banyak, Jessica mengira setidaknya hanya akan ada lima atau empat orang yang hadir di sana. Selama reuni itu berlangsung, Jessica yang memilih duduk di sudut meja, memilih menyimak setiap obrolan yang bersahutan dengan senyuman.

Jessica tidak mempunyai niat untuk ikut bernostalgia atau sekedar menyahut lelucon yang keluar dari bibir teman-temannya. Tidak, karena jujur saja, Jessica bukan tipe gadis yang cukup aktif dalam bicara. Jessica, jika bukan karena ingin mempromosikan Elixir ke circle-nya, lebih memilih menetap di rumah.

"Jessica, apa kabarmu sekarang? Kudengar kau membuka sebuah cafe di Almond street." Seseorang tiba-tiba melempar topik ke arah Jessica seperti melempar bara api. Jessica seketika menegapkan tubuhnya, mengatur jawabannya dengan kecepatan kilat.

"Cafe? Aku baru mendengar ini?" Seorang alumni yang Jessica ingat bernama Samuel menyahut.

"Itu karena kau sibuk, pak Lawyer."

"Ahahaha..., yah, aku bukan orang yang biasa nongkrong di cafe." Samuel--dari sikapnya yang terlihat ceria dan selalu kikuk, sebenarnya adalah pria paling menjengkelkan dipertemuan ini. Daripada memamerkan karir pengacaranya yang gemilang, Samuel sengaja merendahkan dirinya dan berharap orang-orang di seisi meja itu meninggikannya.

Tcih!

"Jadi, Jesse, apa nama cafenya. Apa kami boleh berkunjung ke sana sesekali?" Miura--gadis Asia-America itu kembali menanyai Jessica.

"Mana mungkin aku melarang kalian mampir." Oke, pikir Jessica. Sekarang adalah saatnya marketing. "Nama cafeku adalah cafe Elixir. Seperti yang dikatakan Elina barusan, cafeku berada di Almond Street. Kami buka dari senin hingga sabtu, mulai jam delapan hingga jam sembilan malam. Kalian sangat ditunggu di sana. Aku akan sangat senang bila aku melihat kalian benar-benar datang."

Jessica menutup ucapannya dengan cengiran jenaka, 'Pastikan kalian semua datang dan memberikan publikasi menyangkut Elixir di sosial media kalian!'.

"Kami akan berusaha datang." Miura menimpali tak kalah ceria, seolah-olah ia peduli pada ucapan panjang lebar Jessica.

kepalsuan memenuhi meja itu dengan kentara. Jessica merasa pipinya encok karena terlalu banyak mengembangkan tawa dan senyuman yang tak bermakna.

Ketika topik pembicaraan kembali berotasi pada Samuel, Jessica yang bosan melempar pandangannya ke arah luar.

Di Lumon yang dilingkupi oleh dinding-dinding kaca, pemandangan jalanan di luar menjadi transparan. Jessica bisa melihat kendaraan dan manusia berlalu-lalang melewati jendela. Sibuk dengan dunia mereka sendiri.

Di antara para manusia itu pula, sebuah siluet familiar tertangkap mata Jessica.

Seorang pria jangkung dengan kemeja flanel hitam melenggang melewati Lumon. Rambut ikalnya yang berantakan mengingatkan Jessica hanya pada satu orang, Demian.

'Tunggu, jika itu Demian...' Jessica--tanpa tau alasan mengapa ia begitu antusias melihat sedikit bayangan Demian--seketika berdiri. Ia, tanpa pamit, langsung mengejar siluet Demian yang termakan oleh keramaian.

Jessica terus mencari keberadaan pria itu kesana-kemari. Namun, seperti mengejar hantu, Jessica tidak menemukan sosok itu.

"Aneh," keluh Jessica pada dirinya sendiri. "Memangnya apa yang terjadi kalau aku bertemu dengannya?"

Bahkan bila mereka bertatap muka, Jessica seratus persen percaya ia akan kehilangan lisannya. Bagaimana bisa ia bicara kepada pria yang bahkan tidak pernah menatapnya?

Tidak kecuali malam itu.

Lupakan saja.

Jessica mengembuskan napasnya. Antusiasme absurd yang muncul hanya dari sekilas bayangan Demian membuat Jessica malu pada dirinya sendiri. Sejak kapan ia menjadi fangirl dari pria yang tidak ia kenali dan tidak mengenalnya sama sekali? Apa perilaku ini wajar?

Sementara ia melenggang di trotoar jalan yang senggang dan beraroma seperti kotoran kucing dan asap rokok, langkah Jessica memelan ketika ia mendengar sebuah erangan kesakitan.

Tepat di antara dua bangunan yang berdiri berdampingan, sebuah gang kecil terbentang dengan pencahayaan yang temaram. Suara itu datang lebih jelas dari sana.

Jessica mengira suara itu bersumber dari gelandangan yang biasa bersembunyi di dalam kegelapan. Namun, ketika visinya menajam, Jessica menyadari erangan itu datang dari seorang pria yang meringkuk di tanah. Darah keluar dari bibir dan hidung pria itu. Wajah babak belur dan sayu. Di depan pria yang tergeletak tak berdaya itu juga, seorang pria berdiri angkuh dengan kemeja flanel familiar di mata.

Itu adalah Demian Bellamy.

Tidak seperti penampilannya yang selalu urak-urakan, dia hadir di dalam kegelapan itu seperti monster haus darah yang dirumorkan.

Menjauh!

Aku harus menjauh!

Secepat kilat, Jessica menyeret kakinya menjauh dari sana. Instingnya menjerit seperti alarm kebakaran yang berdengung di telinga dan kepalanya.

Penampakan Demian saat itu bagaikan penampakan malaikat maut yang menyapa korbannya. Jessica tidak menyangka, pria yang ia kejar siluetnya, sekarang adalah pria yang ia takuti keberadaannya.

Huft, Jessica. Hampir saja kau mengantar ajalmu dengan cuma-cuma.

*

3. Kopi Hitam.

Pada akhirnya, fakta kalau Demian Bellamy adalah pria dengan perangai mengerikan bukanlah urusan Jessica sama sekali. Jessica tidak mengerti mengapa ia begitu terpengaruh pada pemandangan keji yang ia lihat semalam. Jessica bahkan terjaga hingga pukul dua dini hari saking memikirkan Demian.

Ketika pagi datang, Jessica mengutuk dirinya sendiri yang terlalu terbawa suasana pada aktivitas fangirl-nya. Tidak peduli seberapa besar ia mengagumi Demian sebelumnya, ia seharusnya tidak menutup mata kalau Demian adalah manusia. Dia adalah pria yang wajar memiliki kekurangan dan kelebihan.

Jessica sebagai orang luar dan asing, seharusnya tidak menaruh barometer tertentu terhadap pria itu.

"Well, mari kembali bekerja dan lupakan semuanya." Jessica memaksa dirinya untuk turun ke bawah. Meskipun matanya masih sangat lelah.

Jessica kurang tidur, dia butuh setidaknya satu cangkir kopi untuk melebarkan matanya yang dapat terpejam kapan saja.

"Selamat pagi, Jesse." Ethan yang membawa kunci cafe semalam, menyapa Jessica. Ia menarik satu bangku kayu yang menghadap meja bar dan mempersilakan Jessica agar duduk di sana.

"Selamat pagi, Ethan." Jessica menimpali. "Maafkan aku sudah merepotkanmu."

"Aku tau kau pasti kelelahan, makanya aku membiarkanmu tidur lebih lama."

Jika bukan karena Ethan yang memutuskan membuka cafe sendirian pagi ini, Elixir mungkin masih belum siap buka sama sekali.

"Kau adalah malaikat, Ethan. Apa kau datang untuk menyelamatkanku dari beban hidup yang berat ini?"

"Jangan berlebihan. Apa kau mau waffle strawberry? Aku akan meminta Elli membuatkan satu porsi untukmu."

"Aku mauuu..." Sementara Jessica dimanjakan Ethan dengan minuman dan makanan, Pelanggan satu persatu memasuki cafe. Dari yang Jessica perhatikan, mereka adalah reguler yang kerap menyantap sarapan di sini.

"Good morning, my beautiful Boss lady." Dania muncul dari belakang dan menyapa Jessica. Tidak seperti Ethan yang bekerja sebagai barista, Dania adalah karyawan yang bertugas mengawasi jalannya cafe.

Di Elixir, tepatnya, ada tiga orang paling berpengaruh di bawah Jessica. Pertama adalah Ethan yang merupakan barista, kedua adalah Elliot yang merupakan kepala chef, dan ketiga adalah Dania, dia adalah koordinator cafe atau dalam kata lain, sekretaris Jessica?

Pokoknya, seperti itulah. Mereka hanya saling membantu satu sama lain.

"Good morning," Jessica menjawab sapaan Dania dan langsung bersandar di dada sohib pirangnya tersebut. "Ada apa dengan aroma harum ini? Apa kau memakai parfume untuk menggodaku, Dany?"

"Aku selalu harum, Bos. Kau seharusnya lebih memperhatikanku." Dania menimpali seraya menyengir sinis.

Jessica dan Dania kemudian bertukar kata. Kebanyakan topik obrolan mereka menyangkut perkembangan Elixir belakangan. Jessica menikmati perbincangan ringan itu dengan cukup serius sampai-sampai ia tidak menyadari kalau Dania--lawan bicaranya tiba-tiba membatu kaku.

Jessica baru menyadari keheningan Dania ketika Dania tidak menyahut ucapannya.

"Dania? Apa kau tidak mendengarkanku?" Jessica merengut. Bibirnya mengerucut ketika ia menyadari kalau Dania tidak menatapnya. Dania sedang menatap ke arah pintu dengan mata membulat kaku. Jessica mengikuti arah pandangan Dania dan disaat bersamaan, tubuhnya mengejang dalam keterkejutan.

Demian?

Nama itu terlafalkan secara natural di benaknya.

Demian Bellamy muncul di depan pintu Elixir pukul sembilan pagi ini. Mata memindai seisi cafe dengan bosan. Sebuah plester kecil berwarna putih menempel di bawah dagunya. Menutupi jejak luka.

"Apa yang dia lakukan di sini?" Jessica tanpa sadar menyuarakan tanyanya. Seingat Jessica, Demian setelah ditolak Angela, sudah tidak pernah mampir ke Elixir lagi. Mengapa dia di sini?

Dania mengangguk setuju. "Apa dia kemari mencari Angela?"

Bicara soal Angela, wanita manis yang sedang kasmaran dengan kekasihnya tercinta tersebut sudah tidak hadir di Elixir semingguan ini. Katanya, nenek Angela sedang jatuh sakit, jadi ia tidak memiliki waktu untuk bekerja dan Jake menyarankannya untuk beristirahat dari pekerjaannya.

Kisah yang memprihatinkan, tapi kesampingkan masalah itu sekarang, mari kembali kepada Demian.

"Haruskah aku menyapanya?" Dania yang bertugas mengarahkan tamu atau sekedar menyapa--menjadi ragu ketika sosok yang berdiri di sana adalah Demian.

"Biarkan aku mengurusnya." Jessica, sebagai pemilik Elixir, merasa bertanggung jawab untuk melindungi Dania dari monster tampan bersurai ikal tersebut. Jadi, alih-alih membiarkan Dania mendekati Demian. Jessica pun memutuskan turun tangan.

*

Ada satu hal mengenai cafe Elixir yang mengganggu Demian Bellamy. Kendati ia menghindari cafe bernuansa urban itu dengan segenap tekadnya, Demian--entah bagaimana, menyimpan ketergantungan pada secangkir kopi hitam yang tersaji di sana. Demian tau, jika ia kesana, ia akan bertemu kembali dengan Angela. Namun, ia tidak bisa menahan dirinya lagi.

Untuk kali ini saja, Demian ingin mencicip secangkir kopi di Elixir. Setelah itu, ia berjanji tidak akan pernah menapak di tempat ini lagi. Ia tidak akan pernah mengganggu Angela lagi dengan keberadaannya yang seperti duri.

"Selamat datang di Elixir," seorang wanita menyapa. Surai hitam lebat, iris hijau emerald. Hanya dengan dua hal itu, Demian kembali mengingat momen asing yang sempat menyapanya malam itu. Gadis di balkon, adalah hal pertama yang muncul di benak Demian. Jadi dia bekerja di sini.

Demian--tanpa memberikan tanggapan apa pun, melewati si gadis yang beraroma seperti strawberry. Ia menuju bar dan duduk di bangku kosong yang menghadap si barista. Di sebelah bangku yang Demian duduki, sepiring waffle dengan taburan irisan strawberry terlihat baru disentuh sedikit. Seseorang sepertinya duduk di bangku itu sebelumnya.

Tanpa basa-basi pada sapaan ramah si barista di seberang meja, Demian memberikan pesanannya dengan nada tenang dan apatis.

"Kopi, hitam." Ia menyampaikan pesanannya dalam dua kata.

"Well then..." Ethan mengangguk tanpa merasa iritasi sama sekali atas dingin tanggapan Demian. Ia sudah terbiasa pada sikap Demian yang irit bicara.

"Ethan, aku juga." Suara gadis yang sama yang menyapanya tadi, kembali terdengar dari sebelahnya. Demian menoleh dan menemukan surai hitam yang sama. Gadis itu menarik piringnya menjauh dari dekat Demian dan mengambil jarak satu bangku di antara mereka.

"Hai..," gadis itu--Jessica--kembali menyapa Demian ketika mata mereka bertemu. "Lama tidak melihatmu mampir kemari."

Jessica, walau gugup luar biasa, masih berupaya sopan demi nama baik cafenya. "Ngomong-ngomong..., a-aku Jessica. Aku owner di sini."

Ucapan Jessica seperti pencerahan bagi Demian.

"Huuh," Jessica mengatur napasnya sendiri. Jantungnya memompa dengan kecepatan yang tinggi. Seakan-akan rongga dadanya menyempit, ia bisa merasakan debaran jantungnya yang menggila.

"Sudah kuduga, aku tidak pandai berbasa-basi. Ahahahaha, maafkan aku." Jessica menarik diri.

Demian menatapnya tanpa ekspresi yang berarti.

"Dua kopi hitam datang..." Ethan menyela kecanggungan di antara mereka dengan menyerahkan masing-masing cangkir kopi kepada Demian dan Jessica.

"Bos, apa kalian saling kenal?" Ethan--tidak tau membaca situasi--langsung melemparkan tanya pada Jessica. Ucapannya mengacu kepada Demian yang menikmati kopinya dalam diam.

"Ka-kami? Mana mungkin." Jessica mengibaskan tangan. "Aku hanya mengenalnya sebagai rekan Angela. Apa kau tidak sadar dia sering berkunjung kemari?"

"Oooh? Apa dia orang yang membuatmu kehilangan sepuluh strawberry?"

"OIIII!" Jessica spontan memekik.

"Apa menurutmu itu sopan membicarakan orang lain seolah-olah dia tidak ada di sana?" Demian akhirnya ikut bersuara. Dingin suaranya membuat Jessica teringat pada pemandangan suram semalam.

"Ma-maafkan aku..." Jessica mencicit gugup.

"Aku datang ke sini untuk meminum kopi. Aku akan berterima kasih bila kalian tidak mengungkit Angela di depanku."

"Se-sekali lagi, maafkan aku." Jessica kali ini lebih serius. "Aku tidak bermaksud mengganggu pagimu. Juga..., ah..., mengenai malam itu, maafkan aku."

"Huh?"

Apa dia lupa? Jessica bertanya-tanya.

"Me-mengenai..., malam itu..., ke-ketika kau..., ummm..." ditolak?

"Aaah," Demian merotasi matanya, minatnya pada topik itu tidak ada. Ia tidak mengerti mengapa gadis itu mengungkit masalah ini. Demian sangat tidak tertarik.

"Aku tidak bermaksud menguping atau apa pun. Malam itu..., kamarku hanya kebetulan menghadap ke lokasi kalian. Ja-jadi, aku harap kau tidak tersinggung atau apa pun. Aku benar-benar meminta maaf."

Demian tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya menyesap habis kopi panasnya. Ia berdiri dari sana setelah menyerahkan selembar uang di atas meja.

Jessica merasa ia sudah merusak nafsu makan idolanya.

"Aku benar-benar buruk dalam berinteraksi dengan laki-laki. Apa karena ini aku tidak mempunyai pacar sama sekali?"

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!