NovelToon NovelToon

THE BLESSING OF PICKPOCKETING

KECOPETAN

Hallo sayangnya eyang semua. Sehat selalu 'kan?

Ketemu lagi di cerita baru yanktie ino. jangan lupa subscribe atau masukin favorite agar kalian enggak pernah ketinggalan kalau novel ini dapat update an bab.

Dari Sedayu ~ Jogjakarta eyang ucapkan : selamat membaca!

\========================================

Jhon mengunci mobilnya yang dia parkir di stasiun Solo Balapan . Saat ini sudah pukul 08.12 kereta listrik PRAMEX ke Jogja sudah tidak terlalu penuh. Jhon membeli tiket dan bersiap masuk. Jadwal keberangkatan kereta pukul 08.30. Lumayan dia tidak terlambat dan tidak akan menunggu lama.

Saat kereta datang, sengaja Jhon tidak mau naik berebut. Dia menanti bisa naik dengan santai tanpa berdesakan. Dia lihat banyak kursi kosong. Diturunkannya ransel dari punggungnya lalu duduk sambil memangku ransel berisi oleh-oleh dari ibunya untuk Amie sang adik tercinta.

“Hiks … hiks,” terdengar isak pelan dari orang yang duduk di sebelahnya sambil mengacak-acak tasnya.

“Kenapa Mbak?” Jhon bingung melihat perempuan itu terisak.

“Dompet saya hilang, saya simpan tiket kereta di dompet saat mau naik kereta. Karena saya pegang ponsel dan helm, takut tiket jatuh tercecer. Ternyata malah dompet saya hilang Om,” jawab perempuan berhijab itu.

“Nanti saya bantu menerangkan pada polsus KA, dan saya bayarkan dendanya Mbak,” Jhon memberi attensi dan menawarkan bantuan. Dia memang cepat tersentuh pada kesulitan sesama.

“Terima kasih Om,” jawab gadis itu sambil menghubungi seseorang di ponselnya.

“Njih wa’alaykum salam Bi. Fara di kereta Bi, barusan dompet Fara hilang saat berdesakan ketika naik Pramexs. Abi besok bisa bantu nemani urus surat-surat ‘kan?” rengek gadis itu dengan manja pada seseorang yang dipanggilnya Abi.

Belum tentu Abi itu panggilan untuk ayahnya ‘kan? Bisa jadi untuk Abimanyu atau nama pria lainnya.

‘Apa aku tua banget ya dipanggil Om, bukan mas gitu?’ batin Jhon. Dia berupaya tidur, lumayan bisa istirahat sejenak.

Namun baru akan terlelap dia merasakan lengannya disenggol. “Om, ada pemeriksaan tiket,” cetus gadis di sebelahnya. Jhon menyiapkan tiketnya dan berharap uang cash di dompetnya cukup untuk membantu gadis di sebelahnya.

Jhon memang jarang membawa uang cash dalam jumlah besar di dompetnya. Biasa uang cash hanya dia butuhkan untuk beli bensin atau jajan di warung kecil yang tak bisa bayar dengan kartu.

“Terima kasih bantuannya. Bisa saya minta nomor ponsel Om?” tanya gadis yang baru saja Jhon tolong.

“Untuk apa?” tanya Jhon penasaran

“Saya ingin mengembalikan uang Om.” balas gadis cantik yang sepertinya keturuan Arab dan berhijab ini.

“Saya akan berikan nomor ponsel saya, tapi sampai kapan pun saya tak akan memberikan nomor rekening untuk kamu mengembalikan uang saya.” jawab Jhon.

“Baiklah. Berikan nomor Om,” gadis itu menjawab setelah berpikir agak lama.

“Siapa namamu? Dan sebutkan nomor ponselmu nanti saya miscall,” balas Jhon. Tentu dia juga tidak ingin hanya gadis itu yang memiliki nomor ponselnya tetapi dia tak memiliki nomor gadis itu.

“Farahdiba … 0838 …,” jawab gadis manis berhijab itu. Dan Jhon pun melakukan miscall pada nomor yang gadis itu.  “Ya, sudah masuk, nama Om siapa?”

Jhon mengulurkan tangannya untuk berkenalan. “Pujono.” Farah menerima uluran tangan itu dan mereka resmi berkenalan.

“Kamu ke Jogja rutin tiap hari atau bagaimana?” tanya Jhon. Dia lihat gadis ini masih muda. Mungkin seusia Amie adik perempuannya.

“Tidak Om, hari ini saya akan mengurus transkrip nilai saja di kampus, bulan depan insya Allah saya wisuda. Saat kuliah dulu saya kost di daerah Gondomanan Jogja. Om sendiri apa rutin ke Jogja?” tanpa merasa bersalah, Farahdiba nama gadis itu, terus memanggil sosok lelaki yang baru dia kenal dengan panggilan OM.

“Saya tidak terlalu rutin, tapi kami sekeluarga selalu ke Jogja tiap hari Jumat malam hingga hari Minggu sore. Karena adik perempuan saya dirawat di Cangkringan. Ini saya coba naik kereta karena sendirian mendadak. Biasanya ke Jogja naik mobil bersama dengan ayah dan ibu juga kakak dan adik.” tanpa sadar Jhon bicara cukup panjang pada seorang perempuan.

“Apa hari ini mbolos kerja sehingga bisa pergi ke Jogja di jam kantor?” Farah penasaran.

“Waktu kerja saya memang tidak sesuai dengan jam kantor pada umumnya.” Jhon tak mau menyebut apa profesinya. Setelah itu mereka langsung berpisah ketika kereta berhenti di stasiun Tugu ~ Jogja, tanpa kesan ingin kenal lebih jauh.

***

“Hallo sayangnya mas Jhon. Kamu sehat ‘kan?” Jhon langsung memeluk Amie yang sedang mengupas mangga matang.  Amie membalas pelukan Jhon dengan tangan yang masih memegang mangga dan pisau yang dia atur agar tak mengenai baju Jhon.

“Mas boleh minta mangganya?” pancing Jhon. Dan Amie menjawabnya dengan anggukan.

“Mas pulang bila kamu tak mau bercerita. Mas boleh minta mangganya?” ulang Jhon. Seperti pesan Putut suami Amie kemarin, mereka harus selalu memancing Amie bicara, karena Amie belum mempunyai keinginan bicara lebih dulu.

“Boleh,” jawab Amie singkat. Dia melanjutkan mengupas mangga.

“Mangganya manis enggak RA?” tanya Putut sambil duduk diseberang Amie.

“Tahu,” tanpa menoleh Amie menjawab pelan. Maksudnya kaliamatnya adalah tidak tahu.

“Harus tahu dong,” Jhon memancing Amie. “Kalau enggak manis, kamu bisa mengolahnya menjadi juice.”

Amie memotong mangga yang baru dia kupas. Dia berjalan menghampiri Putut dan menyodorkan sepotong irisan ke mulut Putut tanpa bicara.

“Kamu kenapa sodorkan potongan ini? Kamu nyuruh Mas mencicipi atau bagaimana? Kalau kamu enggak bicara, orang enggak akan mengerti apa maksudmu,” Putut sengaja tidak langsung menerima irisan mangga yang sudah menempel di bibirnya.

“Cobain.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Amie, dia menyodorkan irisan mangga ke mulut Putut.

“Menurut Mas ini kurang manis, coba kamu tawarkan ke Mas Jhon. Pendapatnya sama enggak dengan pendapat Mas.” Kali ini Putut memancing Amie kembali bermanja pada Jhon.

“Mas cobain,” lumayan, Amie mengeluarkan dua patah kata untuk Jhon. Amie memberikan potongan mangga ke tangan Jhon, tidak menyuapinya seperti yang dia lakukan ke Putut. Tentu saja Jhon protes akan perbedaan perlakuan yang adiknya berikan.

“Kamu curang Mie, Putut kamu suapin, giliran ke Mas, kamu kasih ke tangan,” goda Jhon sambil menggerak-gerakkan alisnya.

Amie tersipu. Sayang kulitnya hitam manis, sehingga tak terlihat semu merah di pipinya. Karena Jhon tak menerima uluran irisan mangga darinya. Amie meneruskan mengiris mangga yang sudah dikupasnya dan menaruhnya di piring. Dia buat beberapa piring dan diberi garpu. Ada dua piring yang disimpan di kulkas.

Jhon bersyukur adiknya sangat banyak kemajuan setelah dirawat Putro lima bulan ini.

\======================================

Hallo semua. Semoga selalu sehat yaaaa

YANKTIE  mengucapkan terima kasih kalian sudah mampir ke cerita sederhana ini. Ditunggu komen manisnya ya.

Jangan lupa juga kasih LIKE, hadiah secangkir kopi atau setangkai mawar dan setiap hari Senin gunakan VOTE yang kalian dapat gratis dari noveltoon/mangatoon untuk diberikan ke novel ini ya

Salam manis dari Sedayu~Yogyakarta

LAKALANTAS

FLASH BACK ON

Amie bukan adik kandungku. Dia anak paklek atau pamanku. Ayahnya adik kandung ayahku. Orang tua Amie dan kedua adiknya meninggal saat erupsi gunung Merapi pada Oktober 2010 lalu. Erupsi terbesar selama 100 tahun terakhir yang juga menimbulkan dampak yang cukup besar, terutama bagi masyarakat di lereng Gunung Merapi.

Saat itu Amie masih SMA kelas tiga atau kelas dua belas. Ayah dan ibu langsung memboyong Amie ke Solo. Tri kelas satu SMA

Ayah dan ibuku punya tiga anak lelaki. Kakakku mas Putro seorang dokter gigi, aku sendiri Pujono kebetulan seorang Pilot dan adik ragilku Tri saat flash back ini sudah semester satu di universitas. Saat Amie mengalami kecelakaan kemarin, Tri masih SMA kelas 12.

Usia Tri lebih muda dua tahun dari Amie . Tapi karena ayahku lebih tua dari ayah Amie, maka dalam keluarga kami Amie adalah anak bungsu.

Tanggal 7 Juli tahun lalu ( 07 - 11 - 2013 ) Amie menikah dengan seorang dosen di kampusnya. Mereka satu daerah di Jogja. Mungkin itu yang membuat Amie dan Angga menjalin cinta. Aku tak begitu jelas tentang kisah asmara mereka.

Tujuh Juli adalah tanggal ulang tahun Amie. Dia memilih tanggal itu bukan karena bertepatan dengan tanggal lahir Amie, melainkan karena saat itu libur kuliah sehingga dia dan Angga tak repot mencuri waktu kuliah atau mengajar.

Hari ini aku melihat berita gunung Kelud di Jawa Timur meletus. Satu hari sebelum hari Valentine. 13 Februari 2014. Aku hanya membaca berita karena kebetulan aku masih berada jauh dari Indonesia. Ternyata abu gunung Kelud sampai menutup kota pulau Jawa. Tak ada penerbangan bisa dilakukan. Untung sebelum bandara di tutup aku sudah sampai di Solo.

“Dengan keluarga ibu Rahmi Susyarti?” tanya seseorang diujung telepon yang aku terima.

“Ya benar saya kakaknya,” jawabku cepat.

“Ibu Amie dan suaminya kecelakaan. Saat ini ada di rumah sakit SRIKANDI. Mohon untuk segera kesini Pak,” khabar duka aku terima. Adikku kecelakaan. Padahal setahuku dia sedang hamil sejak bulan Desember 2013 lalu.

Saat menerima telepon itu tanggal 17 Februari 2014. Aku dan Ragil sedang didepan televisi ketika mendapat telepon dari rumah sakit kalau Amie mengalami kecelakaan. Kami bergegas menuju rumah sakit setelah lebih dulu mengabari mas Putro yang belum tiba di rumah.

Ayah dan ibu tentu kaget. Mereka berharap keadaan Amie baik-baik saja.

Aku dan ayah segera mendatangi resepsionis sedang Ragil memapah ibu yang sejak mendengar berita kecelakaan langsung lemas seperti tak punya tulang.

“Bu Rahmi masih di IGD. Sedang suaminya di kamar mayat karena dia langsung meninggal di TKP,” aku dan ayah kaget mendengar khabar itu. Ayah langsung menghubungi pak Handoyo, ayahnya Angga. Aku mengurus administrasi keduanya. Administrasi Amie dan Angga.

‘Selamat pagi rekan semua, saya hanya akan menyampaikan berita duka. Telah meninggal dunia dengan tenang Anggoro Kusno bin Handoyo ( Angga ) semalam 17 Februari 2014 pukul 19. 50 karena lakalantas di Solo. Jenazah akan di makamkan hari ini 18 Februari 2014 pukul 13.00 di desa Purbowinangun Jogja. Selain itu mohon doanya untuk istri Angga yang saat ini sedang koma dan baru kehilangan calon bayi mereka. Rahmi di rawat di rumah sakit Srikandi Solo.’

Pukul 00.52 aku mengirim berita di group BBM ( ingat setting cerita tahun 2014 ya ) kalau Angga meninggal dan Amie kritis.

Hari itu aku sendirian di rumah sakit. Mas Putro dan Ragil menemani ibu dan ayah mengantar jenazah Angga ke Jogja, kota kelahiran Angga dan Amie. Mereka menghadiri pemakaman suami adikku itu. Mereka kembali kes Solo dini hari 19 Februari 2014 pukul 01.12. aku minta semua langsung istirahat dirumah saja. Tak perlu datang ke rumah sakit.

***

Hari ke empat tanggal 21 Februari 2014. Giliran Drg Eka Putro dan Ragil yang menjaga Amie. Mas Putro menggenggam jemari adiknya yang dirasa sangat dingin. Dia memandang wajah manis adik sepupunya.

‘Mengapa nasibmu sering ditinggal orang yang dekat denganmu Dek? Setelah meninggalnya semua keluargamu, sekarang kamu ditinggal suami dan calon anak kalian. Kamu yang tabah ya, Mas berdoa saat kamu sadar nanti kamu kuat menghadapi berita duka yang kamu terima.’

Putro hanya bisa berharap adiknya kuat. Dia sudah berpesan pada ayah, ibu serta adik-adiknya untuk antisipasi saat Amie sadar dan menanyakan Angga serta merasakan bayinya tak ada lagi di perutnya.

***

“Sudah lima hari, dan dia belum sadar juga,” ibu memandangi Amie. Saat ini 22 Februari 2014. wajah ibu terlihat sangat lelah. Aku tahu dia sangat memikirkan Amie. Putri yang sejak Amie berumur tiga tahun memang sudah sangat dekat dengan ibuku. Bukan seperti keponakaan lainnya. Amie memang special dimata ibu.

Mungkin karena saat kelahiran Ragil ayah memutuskan tidak akan nambah anak lagi. Padahal semua anaknya lelaki semua, maka ibu akhirnya sering momong Amie yang lebih tua dua tahun dari adik bungsu kami. Sejak saat itu Amie adalah anak perempuan ibu.

“Sabar Bu. Mas Putro bilang kan kondisinya makin baik walau dia belum sadar,” hiburku. Aku tak ingin ibu juga sakit memikirkan Amie.

“Sampe kapan Mas? Ibu takut dia nyusul Angga dan anak mereka,” ibuku malah ketakutan bila Amie juga akan meninggal seperti suaminya.

***

Aku melihat Amie membuka mata. Aku langsung  menekan tombol guna memanggil perawat.

“Aku di mana Mas, kenapa dipasang infus?” tanya Amie pelan, rupanya dia bingung meilhat kondisinya sendiri. Aku tak berani segera menjawab, aku  takut salah.

Aku lihat ibu sudah akan selesai salatnya. Lebih baik aku menunggu ibu yang menjawab semua pertanyaan Amie.

“Sebentar ya Dek, tunggu perawat dan dokter datang dahulu. Kamu ada di rumah sakit,” jawabku.

Dokter yang bertugas langsung memeriksa Amie dengan saksama. Dokter juga menanyakan apa yang Amie rasa, pusing atau tidak, mual atau tidak dan banyak hal lain.

Ibu yang baru selesai salat langsung mendekat, dia tahu habis ini segala pertanyaan Amie harus dia jawab dengan bijaksana.

Aku mengikuti  dokter dan perawat keluar ruangan untuk menanyakan kondisi Amie tentu saja aku langsung mengabari ayah, Putro dan Ragil tentang Amie yang sudah sadar.

***

‘Amie baru tersadar, Mas tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini . Saat dia tahu Angga dan janinnya meninggal dalam kecelakaan itu.’

“Bude, kenapa aku di sini, mana mas Angga?” Aku mendengar Amie bertanya pada ibuku. dokter baru selesai memeriksanya dan membolehkannya minum sedikit demi sedikit. Ibu telah membuatkan teh manis hangat untuk Amie minum.

======================================================= 

Hallo semua. Semoga selalu sehat yaaaa

YANKTIE  mengucapkan terima kasih kalian sudah mampir ke cerita sederhana ini. Ditunggu komen manisnya ya.

Jangan lupa juga kasih LIKE, hadiah secangkir kopi atau setangkai mawar dan setiap hari Senin gunakan VOTE yang kalian dapat gratis dari noveltoon/mangatoon untuk diberikan ke novel ini ya

Salam manis dari Sedayu~Yogyakarta

AMIE SADAR

“Nduk, kamu kecelakaan, apa kamu ingat?” tanya ibu lirih sambil menggenggam jemari Amie.

Aku melihat wajah Amie langsung berubah mendengar perkataan ibu.

“Aku ingat habis pulang periksa kehamilan rutin. Saat pulang, mas Angga tidak tahu ada lubang sehingga motor goyang dan aku terjatuh. Aku enggak ingat yang lainnya.” Jelas Amie, dia langsung meraba perutnya karena ingat terjatuh.

Saat erupsi gunung Kelud memang Jogja dan Solo terdampak parah. Lapisan debu menutup jalan, atap, pohon dan semua permukaan bumi. Wajar Angga yang tidak pernah pakai motor tidak tahu lubang di jalan.

Biasanya Angga pakai mobil, tapi saat akan pergi periksa kehamilan rutin, mesin mobil tak mau menyala. Amie sudah mengatakan periksa ditunda saja sambil nunggu orang bengkel memeriksa mengapa mesin mobil tidak mau menyala.

Sayang Angga bersikeras tetap berangkat periksa dengan menggunakan motor milik Amie

“Apa bayiku tak selamat? Bagaimana mas Angga? Kenapa dia enggak ada di sini? Apa dia dirawat di ruangan lain? Di mana mas Angga?” Amie mulai terisak dan histeris. Ibu langsung memeluknya dan aku langsung memencet bell memanggil perawat.

“Kamu terjatuh sangat keras Nduk, bayimu tak selamat. Kamu harus sabar, belum rizky mu mendapat momongan,” hibur ibuku dengan lirih. “Kamu tak sadar lima hari.”

“Mas Angga?” tanya Amie makin keras. “Ke mana mas Angga, aku mau mas Angga!”

“Mas mu tidak selamat, dia langsung meninggal ditempat kejadian,” jelas ibu sambil memeluk erat Amie.

“Enggaaaaaaaaaaaak … aku mau mas Angga … dia enggak mungkin ninggalin aku!” teriak Amie sambil memberontak, infusnya sampai copot karena tertarik.

Aku berupaya mengurangi gerakan Amie dengan cara memeluknya erat. Suster datang dan langsung membetulkan infus serta menyuntikan obat di cairan infus itu.

“Istigfar Dek, istigfar ya,” hanya itu yang bisa aku katakan berulang-ulang melihat Amie terpuruk.

Karena pengaruh obat yang disuntikkan, Amie langsung tenang dan tidur.

“Segera datang ke rumah sakit. Aku ingin kita semua bicara,” aku meminta mas Putro dan ayah hadir di rumah sakit, untuk membahas kondisi Amie saat ini.

Ragil masuk saat Amie baru saja tidur. Sekolah memang diliburkan akibat tebalnya debu letusan gunung Kelud, tapi karena dia sedang kelas 12 maka tetap harus hadir untuk pendalaman materi karena UAN sudah dekat.

“Ono opo Mas? Kok Ibu nangis?” bisik Tri atau yang lebih ngetop dengan panggilan Ragil ( artinya bungsu ). Dia bertanya ada apa Mas, mengapa ibu menangis?

“Amie baru saja sadar, dan dia histeris tahu kalau Angga dan janinnya tidak selamat. Ini baru saja di suntik agar tenang.” Jelasku,

Aku, ibu dan Tri duduk diteras kamar rawat Amie menunggu ayah dan mas Putro untuk konsultasi ke dokter. Ayah datang lebih dulu, pukul 16.32 beliau sudah sampai ruang rawat Amie. Sedang mas Putro masih lama, karena dia baru selesai praktik di klinik pukul 17.00. paling cepat sampai ke rumah sakit saat maghrib nanti.

“Enaknya nunggu mas Putro, atau Ayah dan Jhon aja sekarang menghadap ke dokter?” tanya ibu, aku mengerti dia sangat sedih anak perempuannya terpuruk seperti itu.

“Nunggu mas Putro aja Bu, dia lebih tahu prosedur rumah sakit, walau dia dokter gigi, tapi  setidaknya tidak buta seperti aku,” jawabku.

Sesuai perkiraan mas Putro baru sampai saat waktu Maghrib. Ibu memerintah Ragil membeli makan malam sekalian salat di mushola. Yang lain akan bergantian salat di ruangan.

Sambil makan malam kami berembug bagaimana penanganan Amie. Terutama masalah kejiwaannya. Karena luka badan Amie tak ada, selain lecet-lecet saja. Kalau melihat luka tubuh, Amie bisa langsung pulang, walau baru keguguran. Seperti orang melahirkan, cukup dua atau tiga hari di rumah sakit bisa pulang. Namun masalah kejiwaan tak bisa sembarangan penanganannya.

“Bagaimana bila kita kembali membawa Amie ke Jogja? Karena hanya di sana tak ada tempat kenangan Angga dan Amie. Di rumah kita, walau sesekali, mereka sering bersama. Apalagi sejak mereka menikah di rumah, dan beberapa kali Angga menginap di kamar Amie setelah mereka menikah,” saranku malam itu.

“Benar, hanya di Jogja tak ada tempat kenangan antara Angga dan Amie. Masalahnya siapa di sana yang bisa menemani Amie secara full? Untuk merawat mbah kakung saja kita minta temani dengan mbok Pedes.”

“Sedang Amie bukan hanya butuh di rawat tapi dia wajib dipulihkan kejiwaannya.” mas Putro setuju dengan saranku. Tapi mereka semua bekerja di Solo. Tak ada yang bisa merawat Amie di Jogja.

Kami memang membayar mbok Pedes untuk merawat mbah kakung karena mbah kakung sudah tinggal sendirian dirumah Amie di Jogja.

“Kalau kita sewa perawat bagaimana?” sahut ayah memberi pendapat.

“Amie bukan butuh perawat Yah, dia perlu pendamping agar jiwanya tidak kosong. Harus orang yang sayang dengan dia, atau perawat yang mengerti ilmu kejiwaan,” jelas ibu.

Aku yakin andai dia sudah pensiun, ibu tak akan segan menemani Amie di Jogja. Sayangnya dia belum pensiun, masih dua tahun lagi masa pensiunnya berlaku.

“Sekarang kita konsultasi ke dokter dulu saja. Sambil jalan kita pikirkan siapa yang akan mendampingi Amie hingga pulih. Kita juga belum tahu, seperti apa kondisinya nanti saat dia bangun.” akhirnya aku mengambil keputusan agar bisa ada kepastian.

Malam ini aku harus standby di bandara walau bandara masih ditutup. Tapi kami tetap harus standby untuk terbang bila keadaan memungkinkan.

***

Hari ini di rumah sakit hampir full team.  Hari Sabtu ayahku, ibu dan mas Putro libur bekerja. Sekolah tentu juga libur sehingga Ragil pun bisa hadir di ruang rawat Amie.

Baru saja kedua mertua Amie datang. Bundanya Angga awalnya menangis histeris. Namun melihat Amie hanya diam dengan pandangan kosong sang bunda menjadi hanya terus terisak melihat kondisi menantunya itu.

“Makan ini ya,” bujuk sang bunda sambil memberikan potongan buah pear pada Amie. Seperti biasa Amie tak bereaksi. Tak tahan mendapat respon seperti itu, sang bunda hanya bisa terisak sambil mendekap menantunya yang sedang terbaring dengan posisi tempat tidur bagian kepala ditinggikan 45°.

“Assalamu’alaykum,” terdengar salam dari bu Cokro. Keluarga Cokro adalah tetangga ayah di Jogja. Mereka mengenal Amie dari bayi.  Rumah mereka tepat disebelah rumah Amie. Dan mereka pula yang membantu mengawasi mbah kakung ( bapak kandungnya ayahku ) di desa Cangkringan, Jogja.

Hampir bersamaan yang ada di ruangan berpaling ke arah pintu dan menjawab salam itu. “Wa’alaykum salam.”

Bu Cokro menghampiri ibuku yang bernama  Diah, mereka berpelukan dan menangis. Perkenalan ibu dan bu Pratiwi istri pak Cokro dimulai saat ayahku -Siswojo- membawa calon istrinya ke rumah orang tuanya yang berada di belakang rumah pak Cokro.

Saat itu bu Pratiwi baru saja menikah dengan pak Cokro.  Walau menikah lebih dulu, bu Pratiwi lebih lambat punya anak, itu sebabnya usia mas Putro lebih tua dari Putut putra sulung keluarga Cokro.

Putut dan aku hampir seumuran, lebih tua aku beberapa bulan. Sejak kecil bila kami menginap di Jogja, maka kami bertiga main bersama. Sejak sebelum menikah ayahku  memang sudah bekerja di Solo. Dan ayah Amie -paklek Sisworo- yang tinggal dengan eyang di desa Cangkringan Jogja.

“Sing sabar Mbak,” bisik bu Cokro pada ibu.  Sehabis itu ibu memperkenalkan besannya pada bude Cokro.

***

\==============================================

Hallo semua. Semoga selalu sehat yaaaa

YANKTIE  mengucapkan terima kasih kalian sudah mampir ke cerita sederhana ini. Ditunggu komen manisnya ya.

Jangan lupa juga kasih LIKE, hadiah secangkir kopi atau setangkai mawar dan setiap hari Senin gunakan VOTE yang kalian dapat gratis dari noveltoon/mangatoon untuk diberikan ke novel ini ya

Salam manis dari Sedayu~Yogyakarta

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!