Raka tengah menyiapkan kejutan untuk sang kekasih Riska Maharani. Hari ini, tepat satu tahun mereka menjalin hubungan. Raka berniat melamar sang kekasih dengan kejutan ini.
"Kamu pasti suka sama kejutan ini," gumam Raka dengan senyum mengembang sempurna.
Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Raka. Ia merogoh saku, mengambil ponsel. Tertera nama Bayi di layar. Raka segera mengangkat panggilan itu.
"Iya, Bay," jawabnya.
"Lo, masih pacaran sama Riska?"
"Masih. Kenapa?"
"Gue takut lo gak percaya sama omongan gue. Jadi, sebaiknya lo datang aja ke alamat yang akan gue kirim ke lo!"
Panggilan terputus. Raka menatap ponselnya bingung. Jujur, ia tak paham dengan apa yang Bayu, sahabatnya, maksud. Tak lama, sebuah pesan masuk dari Bayu. Ada alamat sebuah apartemen di sebuah bilangan apartemen yang cukup mewah di Jakarta. Ada juga sebuah foto yang terlampir di sana.
Betapa terkejutnya Raka melihat foto seorang wanita yang tengah bergelayut manja pada pria yang usianya cukup jauh dari dirinya. Wanita itu, adalah gadisnya. Gadis yang akan ia lamar sebentar lagi.
Tanpa sadar, Raka menggenggam erat ponsel di tangannya. Ia segera berlari menuju mobil. "Tidak, Raka! Bisa jadi pria itu kakak sepupu Riska. Jangan percaya dengan foto itu dengan mudah. Ya, itu benar!"
Raka mencoba meyakinkan hatinya dengan kalimat positif itu. Meski sejujurnya, jantung Raka berdegup dengan cepat. Pikiran negatif pun mulai menyerang. Raka menginjak gas dalam-dalam. Berharap segera sampai di alamat yang Bayu kirimkan.
Tiba di alamat itu, ia segera berlari menuruni mobil menuju lift. Memencet angka yang Bayu kirimkan padanya. Tiba di lantai itu, ia mencari unit yang sudah Bayu beritahu. Rupanya, Bayu sudah menantinya tak jauh dari unit itu.
"Lo harus sabar. Ngerti, 'kan?"
Hanya anggukkan kepala yang Raka berikan. Tangannya mulai terangkat untuk mengetuk pintu. Setelah menarik napas dalam, ia mulai mengayunkan tangan itu untuk mengetuk pintu.
Satu kali ketukan, tidak ada sahutan dari dalam. Kembali Raka mengetuk untuk yang kedua kalinya. Kali ini, jauh lebih keras dari sebelumnya. Tak lama, terdengar suara pintu yang terbuka.
"Siapa, ya?" tanya pria itu.
Tatapan Raka mulai menilai pada pria itu. Mulai dari kepala, sampai ke ujung kaki. Pria itu hanya menggunakan bathrobe. Membuat pikiran Raka berubah kalut. Dengan napas terengah, Raka mendorong pria itu dan memaksa masuk.
"Hei, berhenti! Siapa kau berani masuk ke apartemenku!" teriak pria itu.
Raka tak memperdulikan teriakan pria itu. Ia terus mencari keberadaan Riska di sana. Sementara Bayu, menahan langkah pemilik apartemen. Pandangan Raka tertuju pada sebuah pintu yang tertutup. Jantungnya semakin berdegup cepat saat akan membuka pintu tersebut.
Terlihat seorang wanita tengah berbaring di atas ranjang. Namun, ia menghadap ke arah jendela. Raka berjalan perlahan ke arah wanita itu.
"Raka!" ucap wanita itu terkejut.
Wajahnya berubah pucat, saat melihat kekasih yang dipacarinya selama satu tahun ini, muncul di hadapannya. Riska menggak salivanya kasar, melihat wajah Raka yang memerah menahan amarah.
"Aku menahan diri untuk tidak menyentuhmu selama satu tahun ini. Tapi, nyatanya kau mengobral diri dengan murahnya pada pria lain!" desis Raka.
Ia tak menyangka, gadis yang begitu ia cintai, ternyata dengan mudahnya mengobral tubuh pada pria lain. Raka menghela napas dalam dan menatap penuh kecewa pada sang kekasih.
"Mulai hari ini, hubungan kita berakhir," tekan Raka pada setiap kata-katanya.
Pria itu pun pergi meninggalkan tempat itu. Ia tak peduli dengan teriakan Riska yang memanggil dirinya. Dengan hati yang hancur, Raka pergi mengendarai mobilnya. Ia tak mempedulikan rambu lalu lintas. Langit mendung, mengiringi hatinya yang terluka. Gerimis mulai membasahi bumi.
***
Di dunia ini selalu ada yang bertolak belakang. Ada suka, ada pula duka. Ada sedih, ada tawa. Ada sakit, ada sehat. Bila Raka dalam kondisi sedih, patah hati dan terluka, maka berbeda dengan seseorang. Seseorang yang sedang tersenyum bahagia. Ia baru saja kembali dari melakukan wawancara kerja.
Mereka mengatakan, bahwa ia sudah bisa bekerja di perusahaan itu mulai awal bulan nanti. Ia mendatangi salah satu halte bus tempat ibu dan ayahnya berjualan.
"Ibu, Bapak," panggilnya ceria.
Kedua orang tua itu tersenyum menatap kedatangan putri semata wayang mereka. "Bagaimana hasilnya?" tanya sang ibu.
"Resti sudah akan mulai bekerja awal bulan nanti, Bu," jawabnya bahagia.
"Syukurlah. Anak ibu memang pintar," puji sang ibu.
"Iya, Bu. Bapak sangat bangga padamu, Nak. Ke depannya, bekerjalah dengan baik. Mengerti," nasihat sang ayah.
"Iya, Pak. Resti mengerti." Resti memeluk orang tuanya erat.
"Pulanglah, Nak. Kamu pasti lelah," ucap sang ibu.
"Tapi, Resti mau bantu ibu dan bapak di sini." Resti memanyunkan bibirnya.
"Tidak usah, Sayang. Pulanglah. Kamu butuh istirahat," titah sang ayah.
"Ya, sudah. Resti pulang dulu ya, Pak, Bu. Jangan pulang terlalu malam. Tidak baik untuk kesehatan Bapak dan Ibu."
"Iya. Sebentar lagi kami pulang."
Resti pun berpamitan dan pulang. Kedua orang tua itu tersenyum pada putri mereka. Bersyukur, memiliki putri cantik dan pengertian seperti Resti.
"Mudah-mudahan, Resti bisa bekerja dengan baik, ya, Pak," harap sang ibu.
"Resti pasti bisa, Bu. Kita harus yakin," ucap pria paruh baya tersebut menenangkan istri tercintanya.
Saat gerimis mulai turun, pasangan itu pun membereskan barang dagangannya. Meski hanya sekedar tukang gorengan, mereka tetap bersyukur. Dengan penghasilan serba pas-pasan, mereka berhasil membuat Resti mendapat gelar sarjana.
Belum sempat mereka kembali, hujan deras sudah mengguyur bumi. Akhirnya, kedua paruh baya tersebut memilih berteduh di sana sebelum beranjak pulang. Banyak orang yang menggunakan sepeda motor berhenti sesaat, untuk sekedar menggunakan jas hujan. Ada pula, yang memang ingin berteduh.
Pengendara motor pun mulai meninggalkan halte. Hanya tersisa beberapa orang saja yang masih berteduh. Termasuk orang tua Resti. Namun, sebuah mobil melaju dengan kencang dan hilang kendali. Menyebabkan kecelakaan yang tak bisa dihindari.
"Bapak!" teriak ibu Resti yang melihat mobil itu mendekat.
Suara tabrakan yang keras, membuat masyarakat sekitar yang melihat, berteriak histeris. Beberapa orang terluka parah, termasuk pasangan yang biasa berjualan di sana. Sementara kondisi mobil pun ringsek. Masyarakat mulai mendekat, dan melihat si pengendara yang menabrak.
Rupanya, sang pengendara pun tak sadarkan diri. Tak lama, terdengar sirine ambulance mendekat. Entah siapa yang berinisiatif untuk memanggil mereka. Satu persatu korban dibawa ke rumah sakit terdekat. Termasuk, pengendara mobil itu.
***
Resti berlari menuju ruang Instalasi Gawat Darurat. Ia diberitahu salah satu pelanggan orang tuanya, mengenai kecelakaan yang menimpa mereka.
"Ibu, Bapak," panggil Resti lirih.
Resti menangis melihat kondisi mereka yang cukup parah. Bahkan, ada banyak alat yang terpasang di tubuh mereka.
***
visual Raka dan Resti
Tak lama, bapak Resti membuka matanya. Resti segera menghapus air mata yang membasahi pipinya. Ia harus terlihat kuat di hadapan bapak. Begitulah tekadnya saat ini. Semua demi kesembuhan bapak dan ibu, ucapnya dalam hati.
"Pak." Resti mencoba tersenyum, meski hatinya terasa sakit.
"Res, Nak, jika bapak tidak lagi ada, tetaplah kuat menghadapi hidup yang sulit ini, ya. Bapak yakin, kamu pasti bisa melewati semua ini," ucap bapak Resti lirih.
"Ingat pesan bapak. Jaga dirimu baik-baik, ya. Bapak, titip ibu, ya, Nak," lanjut bapak Resti terbata.
"Bapak jangan ngomong gitu, Resti yakin bapak sama ibu pasti sembuh," ucap Resti.
Air mata yang sudah dihapusnya kembali menetes deras, mendengar ucapan sang bapak. Sungguh, ia tak bisa membayangkan hidup tanpa bapak.
"Tidak, Nak. Bapak sudah tidak bisa bertahan lagi. Jadilah anak yang kuat. Yakinlah, bahwa kamu bisa melawan badai kehidupan yang berat."
Ucapan itu, adalah akhir dari kehidupan bapak Resti. Pak Beno, bapak Resti, akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Resti menangis histeris melepas kepergian sang ayah. Sementara ibunya, masih belum sadarkan diri.
Pihak rumah sakit segera memindahkan tubuh Pak Beno ke ruang jenazah. Resti pun memilih tinggal di ruangan, menemani ibunya. Pikiran Resti berkelana. Ia memikirkan, cara menyampaikan kematian bapak pada ibu, tanpa membuatnya syok.
Terlalu larut memikirkan hal itu, membuat Resti tak menyadari, bahwa sang ibu telah membuka matanya. Beliau memanggil Resti lirih. Melihat tak ada respon yang putrinya berikan, membuat ibu menyentuh punggung tangan Resti.
Resti terjingkat kaget. "Ibu, udah sadar? Resti panggilin dokter dulu, ya," ucap gadis itu.
Langkahnya terhenti, karena sang ibu memegang jemarinya erat. Resti menoleh dan menatap ibunya. Tanpa alasan yang jelas, perasaannya berubah tak enak.
"Ada apa? Ibu mau sesuatu?"
Gelengan lemah dari sang ibu, membuat Resti semakin tak tenang. "Ibu, kenapa?" tanya Resti.
"Resti, mungkin waktu ibu tidak akan lama lagi. Dengar, Nak. Seberat apa pun masalah yang kamu hadapi, tetaplah tersenyum. Karena dengan senyum, perlahan masalahmu tidak akan terasa berat. Ibu, akan selalu mendoakanmu dari akhirat nanti." Napas ibu Resti mulai tersengal.
Patien monitor pun mulai memperlihatkan, detak jantung ibu Resti yang terus menurun. Tidak hanya itu, tekanan darah, saturasi paru-paru, dan kadar oksigen terus menurun. Tak lama, dokter masuk dan segera memeriksa kondisi pasien.
Resti menangis keras, saat dokter sudah menggunakan alat pacu jantung. Monitor juga sudah menunjukkan garis lurus. Dalam satu hari yang sama, Resti harus kehilangan kedua orang tuanya.
Mimpi pun tidak pernah, Resti mengalami kehilangan begitu cepat. Saat ia sudah mendapatkan pekerjaan, mengapa Tuhan justru mengambil orang tuanya? Ia bahkan belum sempat membahagiakan mereka dengan jerih payahnya.
***
Sebuah mobil mewah memasuki lobby rumah sakit. Tak lama, turun sepasang suami istri dengan tergesa-gesa. Mereka segera menuju ruang rawat kelas VIP. Di sana, terbaring lemah sesosok tubuh pria.
"Raka, ini mama, Nak," ucap sang wanita yang menyebut dirinya mama bergetar.
"Papa bicara dengan dokter dulu, ya, Ma," pamit sang suami.
Si wanita hanya mengangguk seraya mengusap wajah putranya. Air mata tak hentinya mengalir deras dari kedua mata itu.
"Tante."
Suara itu mengalihkan tatapan ibu dari Raka. "Kamu … Bayu, 'kan?"
"Iya, Tante." Bayu tersenyum.
"Saya … mau minta maaf," ucapnya lirih.
Ibu dari Raka mengerutkan dahinya dalam mendengar permintaan maaf dari salah satu sahabat Raka. "Minta maaf? Kenapa?"
"Raka … kecelakaan karena berita yang saya sampaikan beberapa jam yang lalu." Bayu menundukkan kepalanya dalam.
"Apa ini berhubungan dengan Riska?"
Bayu menganggukkan kepalanya perlahan. Namun, ia tak menyangka bila ibu Raka hanya menanggapinya dengan wajah datar.
"Tante … gak marah?" tanya Bayu.
Tawa kecil terlihat di wajah ibu dari sahabatnya itu. "Tante justru berharap mereka putus. Sejak awal, Tante sangat tidak setuju dengan hubungan mereka. Tapi, kau tahu bagaimana Raka, 'kan?"
Bayu membenarkan ucapan itu. Raka tidak akan mudah percaya pada ucapan orang lain. Namun, kali ini jelas berbeda. Ia melihat sendiri perselingkuhan kekasihnya.
"Ma."
Ibu Raka menoleh. Raka terlihat mulai membuka matanya. Bayu mendekati sahabatnya.
"Raka, biar mama panggil Dokter dulu, ya," ucap sang ibu.
"Biar saya aja, Tan," sela Bayu.
Ibu Raka menganggukkan kepala menyetujui ide Bayu. Ia pun berlalu meninggalkan pasangan ibu dan anak itu.
"Ma, Raka gak sengaja nabrak orang tadi. Ada dua orang tua yang mungkin seusia dengan, Mama dan papa," ucap Raka susah payah.
"Apa?" Wajah mama Raka puas, mendengar penuturan itu.
"Apa mereka dibawa ke sini juga?"
Raka menggelengkan kepalanya perlahan. Obrolan mereka terhenti, saat Dokter datang. Mama Raka pun menyingkir sementara, memberi ruang untuk Dokter memeriksa Raka. Ia mendekati sang suami. Kemudian, berbisik tentang apa yang tadi Raka ceritakan.
Reaksi papa Raka pun sama dengan mamanya tadi. Belum sempat mereka mencari tahu, pihak kepolisian mendatangi ruang rawat Raka.
"Saudara Raka Abhimana?" tanya seorang polisi.
"Iya, Pak. Ada masalah apa, ya?" tanya papa Raka.
"Maaf, Anda, siapanya saudara Raka?" Polisi balik bertanya.
"Saya ayahnya. Tidak apa, Bapak, bisa bicara dengan saya lebih dulu."
"Begini, Pak. Kami ingin meminta keterangan mengenai kecelakaan yang terjadi sore tadi. Karena saat itu, saudara Raka yang mengemudi mobil," terang pak polisi.
Belum sempat orang tua Raka atau pun Bayu menjawab pertanyaan yang polisi ajukan, Dokter datang memberitahu kondisi Raka. Mereka pun terfokus pada berita yang Dokter sampaikan.
"Pasien mengalami gegar otak. Butuh waktu untuk memulihkan kondisinya seperti semula." Dokter menjelaskan.
"Apa kami bisa menemui saudara Raka, untuk saat ini?" tanya pak polisi.
"Bisa, Pak. Silakan," ucap Dokter.
Polisi segera mendekati ranjang Raka. Kemudian, menanyakan beberapa pertanyaan. Raka menjawab dengan jujur semua pertanyaan itu. Pihak kepolisian pun meminta pihak rumah sakit untuk menguji sampel darah pasien.
"Kamu gak takut, jika nanti di penjara?" tanya sang ibu, saat polisi telah keluar dari kamar rawat Raka.
"Raka salah, Ma. Kalau pun Raka harus di penjara, memang itu resikonya yang harus Raka hadapi," jawab Raka.
"Tapi, Nak …."
"Sekarang, Mama dan Papa bantu Raka cari tahu keadaan para korban. Terutama, kedua orang yang Raka tabrak," sela Raka.
"Papa sudah tahu. Kedua orang yang tertabrak mobilmu, meninggal dunia satu jam yang lalu. Sementara dua orang yang kebetulan berada di sana, hanya mengalami luka lecet. Papa juga sudah membayar biaya rumah sakit, serta memberi uang kompensasi pada mereka. Hanya gadis yang ditinggal orang tuanya itu yang menolak." Papa Raka menjelaskan semuanya.
"Gadis?" Raka mengulang ucapan papanya.
"Iya, dua orang paruh baya yang kau tabrak, memiliki satu orang putri yang berumur 22 tahun."
"Dia jadi yatim piatu karena Raka," ucapnya sedih.
"Jenazah orang tuanya sudah dibawa pulang." Bayu menambahkan.
Pikiran Raka kini terpusat pada gadis, anak dari pasangan yang ia tabrak. Maaf, aku tidak pernah bermaksud membuatmu jadi yatim piatu, gumamnya dalam hati.
Raka meminta pertolongan Bayu, untuk membantu mengurus pemakaman kedua orang korban yang meninggal dunia. Mulai dari dokumen yang dibutuhkan, sampai kepada lokasi pemakaman. Bayu, adalah sahabat sekaligus asisten Raka.
"Bagaimana, Bay?" tanya Raka.
"Semua sudah diurus," jawab Raka.
"Bagus." Wajah Raka berubah muram.
"Apa ada yang salah?"
Raka menggelengkan kepalanya. Jujur saja, ia merasa bersalah pada gadis yang harus ditinggalkan kedua orang tuanya. Apalagi, dialah yang menjadi penyebab kepergian orang tua gadis itu.
"Aku hanya merasa bersalah pada gadis itu," ucap Raka lirih.
"Menurut mama, kau bisa bertanggung jawab padanya dengan jalan menikahinya."
Mama dari Raka yang baru saja masuk, langsung menyatakan pendapatnya. Raka dan bayi segera menatap pada wanita paruh baya, yang notabene adalah ibu dari Raka.
"Kenapa harus menikah?" tanya Raka.
"Kau tidak kasihan padanya? Dia saat ini tinggal sebatang kara. Tidak ada siapa pun yang bisa menjadi tumpuan hidupnya. Jika kau menikahi dia, paling tidak dia memiliki seseorang untuk berbagi."
"Mama pasti sudah menyelidiki gadis itu," tebak Raka.
Mama Raka terkekeh kecil. "Itu harus. Mama tidak ingin, suatu saat gadis itu akan menyulitkanmu. Tapi nyatanya, gadis itu tidak mempermasalahkan kejadian ini. Dia justru menganggap semua itu takdir yang sudah tertulis untuknya," jelas sang mama.
Mendengar ucapan sang mama, hati Raka semakin diliputi rasa bersalah. "Raka setuju. Setelah Raka keluar dari rumah sakit nanti, Raka akan menemui dia," ucap Raka.
***
Satu minggu sudah, Resti kehilangan orang tuanya. Tak ada satu hari pun yang Resti lewati tanpa mengunjungi makam mereka. Makam itu, sudah disiapkan oleh orang yang mencelakai kedua orang tuanya. Biaya rumah sakit yang cukup besar pun, sudah ditanggung.
Entah Resti harus bersyukur, atau mengutuk orang yang menjadi penyebab kecelakaan itu. Hari ini, Resti mampir ke makam orang tuanya lagi. Ia melangkahkan kaki, ke tempat peristirahatan mereka. Namun, matanya menangkap dua orang pria yang berdiri di sana.
"Maaf, kalian, kenal dengan orang tua saya?" tanya Resti ketika tiba di dekat mereka.
"Apa kamu, putri Pak Beno?" Salah satu pria itu bertanya pada Resti.
"Iya, saya putrinya. Apa kalian mengenal orang tuaku?" Resti kembali mengulang pertanyaannya.
"Saya …." Pria yang ingin menjawab pertanyaan Resti menghentikan ucapannya, saat mendapat sikutan dari pria di samping.
Resti hanya mengerutkan dahi melihat mereka. Ia meletakkan bunga yang dibawa ke atas gundukan tanah. Kemudian, Resti mendoakan kedua orang tuanya.
Tidak ada satu pun dari pria itu yang mengganggu Resti, hingga selesai. Mereka hanya mengamati apa yang Resti lakukan.
"Perkenalkan, saya Raka dan ini asisten saya Bayu," ucap Raka.
Ya, Raka sengaja mengunjungi makam orang tua Resti untuk meminta maaf. Namun, rupanya takdir mempertemukannya dengan putri semata wayang korbannya.
"Saya Resti." Resti turut memperkenalkan dirinya.
"Apa orang tua saya memiliki hutang pada, Anda?" tanya Resti.
"Ah, ti-tidak. Tidak ada," jawab Raka.
"Lalu?"
"Aku hanya ingin menjalankan amanat beliau," ungkapnya.
Sontak, hal itu membuat kerutan tajam di dahi Resti. Amanat apa? Bapak gak ada ngomong apa-apa sama aku, ucap Resti dalam hati.
"Bos, sebaiknya, bicara di tempat lain saja. Tidak baik kita bicara di tempat ini," ucap pria yang Resti tahu bernama Bayu.
"Kamu benar. Mari, kita bicarakan hal ini di cafe saja," ajaknya.
Resti menganggukkan kepalanya. Ia pun mengikuti langkah mereka meninggalkan area pemakaman. Gadis itu terkejut, saat dipersilakan masuk ke dalam sebuah mobil mewah.
"Saya duduk di belakang saja," ucap Resti, saat Bayu membukakan pintu depan.
Tanpa menunggu, Resti membuka pintu belakang dan duduk di sana. Sejujurnya, Resti Tenga memikirkan amanat yang orang tuanya berikan pada pria yang duduk di depan.
Ia bahkan tak menyadari, jika mobil sudah berhenti tepat di depan cafe. Raka dan Bayu yang duduk di depannya, saling bertukar pandang.
"Resti," panggil Bayu.
Resti yang mendengar namanya dipanggil pun menoleh. Seketika, matanya menatap sekeliling karena dirasa mobil itu tak bergerak lagi.
"Oh, sudah sampai, ya. Maaf," ucapnya.
"Ayo, masuk!"
Raka dan Bayu turun bersamaan. Resti mengikuti dari belakang mereka. Sebenarnya, Resti enggan masuk ke dalam cafe, yang menurutnya terlihat mahal ini. Merek pun memilih duduk di pojok cafe.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Raka pada Resti.
"Boleh saya lihat buku menunya?"
Raka memberikan buku menu pada Resti. Gadis itu segera membuka setiap halaman yang tertera. Ya ampun, mahal sekali.
Entah sudah berapa kali ia membolak balik buku menu itu. Raka sampai gemas sendiri melihatnya. Apa sih yang dia cari?
"Lemon tea aja, Mbak," ucap Resti pada akhirnya.
Astaga … hanya lemon tea aja, lama banget mikirnya, pikir Raka.
Beberapa menit ketiganya hanya diam. Resti hanya menundukkan kepala. Setelah pelayan meletakkan pesanan mereka, Resti memulai pembicaraan.
"Bisa kalian langsung mengatakan pada saya, amanat apa yang orang tua saya berikan pada, Anda?" tanya Resti to the point.
Raka berdeham sebelum menjawab pertanyaan Resti. " Begini, bapak dan ibumu meminta saya untuk menjaga kamu."
"Menjaga? Saya tidak perlu dijaga oleh, Anda. Saya sudah cukup dewasa untuk menjaga diri saya sendiri."
Dari pernyataan itu, jelas Resti menolak keinginan Raka. Namun, Raka ingat betul ancaman mamanya, yang meminta dia untuk bisa mengambil hati Resti dan membuat gadis itu setuju menikah.
"Maksud saya, bukan menjaga yang seperti itu. Tapi, memberimu cinta, memberimu keluarga, dan memberimu kebahagiaan," tutur Raka.
Seketika Resti terdiam. Ia sedang mencerna ucapan Raka. Apa maksudnya, bapak dan ibu memintaku untuk menikah dengan dia?
"Tunggu, maksudnya, bapak dan ibu meminta, Anda, untuk menikahi saya?"
Raka menganggukkan kepala membenarkan ucapan Resti.
"Kenapa harus menikah? Lagi pula, saya tidak mengenal, Anda."
"Begini, Nona. Bapak dan ibu, mungkin mengkhawatirkan, Nona. Karena itu, almarhum meminta sahabat sekaligus Boss saya ini, untuk menikahi, Anda." Kali ini, Bayu yang mencoba menjelaskan.
"Menurut saya ... ini aneh."
"Coba pikirkan lagi, mungkin ada ucapan bapak dan ibumu, yang menyerupai amanatnya pada saya," ucap Raka.
Sekeras apa pun Resti memikirkannya, ia hanya mengingat pesan kedua orang tuanya untuk tetap kuat dan tersenyum dalam menghadapi masalah. Tidak mungkin ada maksud tersirat dalam amanat bapak dan ibu. Apa ini, karangannya saja?
"Saya tahu, Anda, mungkin tidak percaya. Terlebih, ini kali pertama kita bertemu. Tapi, saya hanya berniat menjalankan amanat. Jika, Anda, mau kita bisa buat perjanjian sebelum menikah," tawar Raka.
"Bukan begitu. Saya hanya masih ingin bekerja. Saya ingin membuat orang tua saya bangga, meski mereka sudah tidak ada lagi," jelas Resti.
"Jadi?"
Resti mencoba meyakinkan hatinya, bila semua ini untuk membuat arwah kedua orang tuanya tenang. "Ya, saya bersedia."
"Saya akan persiapkan semuanya. Termasuk membawamu bertemu dengan orang tua saya," ucap Raka.
Sejak saat itu, hubungan antara Raka dan Resti pun dimulai. Tanpa gadis itu tahu, bahwa Raka adalah orang yang menabrak orang tuanya. Semua itu, masih Raka rahasiakan.
***
visual Raka dan Resti, ada di bab 1. kalian bisa cek ya. semoga, sesuai dengan ekspektasi kalian
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!