NovelToon NovelToon

Mr. HansH (Ishq Mein Marjawan)

Prolog

...♡♡♡...

...♡♡♡...

...MOHON BIJAK DALAM MEMBACA....

...¤ CERITA INI BERGENRE ROMANSA HOT 21...

...¤ TERDAPAT UNSUR *EKSUAL DAN KEKERASAN...

...¤ BUKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR...

...PLEASE, BERI LIKE JIKA KAU MENYUKAI TULISANKU....

...HAPPY READING!...

...♡♡♡...

"Alisah?"

Suara yang tidak asing lagi bagi indra pendengaranku -- memanggilku dengan nama itu. Ketika aku berpaling ke arah sumber suara, sosok pria tampan -- yang paling tampan yang pernah kulihat -- terpaku menatap ke arahku: ke wajahku, ke kalung di leherku, lalu kembali lagi ke wajahku.

"My HansH?"

"Alisah? Ini benar-benar kau?"

"Emm aku... aku... maaf, maksudku... maksudku, ya. Aku Alisah. Apa ada yang bisa kubantu, Tuan HansH?"

HansH Mahesvara, pria tampan yang saat ini berdiri di hadapanku menatapku tak percaya. Aku tahu dia pasti akan bereaksi demikian, sebab itu aku harus menghindarinya supaya aku tidak terlibat terlalu lama dalam situasi dan obrolan yang penuh kecanggungan ini.

"Bagaimana, Tuan HansH? Apa ada yang bisa kubantu? Jika tidak ada, aku harus undur diri. Ada banyak pekerjaan yang harus kuurus. Permisi."

Tetapi dia mencegahku. Tepat pada saat itu dia menarik tanganku dan mendapatkan aku di dalam pelukannya. Aku tersentak. Berada dalam pelukan pria ini sungguh membuat jantungku berdebar tak karuan.

Tidak. Ini bukan momen romantis sepenuhnya. Aku juga sungguh ketakutan.

"Kau tidak bisa pergi begitu saja tanpa penjelasan, Alisah."

Oh Tuhan, kuteguk salivaku sendiri karena merasa tegang. Aku harus bisa tenang. Harus. "Maaf, Tuan HansH, tapi aku sangat sibuk. Bisa tolong lepaskan aku? Aku mohon?"

"Tidak. Aku harus bicara denganmu."

Aku mengangguk. "Baiklah. Tapi nanti, setelah pekerjaanku selesai. Atau pestamu akan berakhir berantakan."

Pria itu menggeleng. Dia memang dikenal keras kepala dan apa pun harus sesuai dengan keinginan dan kehendaknya. "Aku akan meminta orang lain untuk menggantikan tugasmu."

"Tidak. Aku bertanggung jawab untuk semua urusanku, Tuan HansH. Nanti, atau tidak sama sekali."

Pria itu mendelik, dia tidak terima dengan penolakanku.

"Maaf, tapi aku di sini bekerja untuk acara pestamu. Tolong, jangan merusak reputasiku di mata atasanku. Aku bisa kehilangan pekerjaanku karena hal ini. Tolong mengertilah, aku mohon?"

Mana mungkin! Bukan HansH Mahesvara jika dia bisa dilumpuhkan dengan mudah.

"Bukan masalah jika kau dipecat. Yang penting bagiku, aku tidak akan membiarkan diriku kehilanganmu lagi. Tidak akan pernah."

Lagi, kuteguk salivaku sendiri. "Maaf, Tuan, tetapi sepertinya di sini ada kesalahpahaman. Aku tidak mengerti maksudmu. Aku... apa aku pernah melakukan kesalahan? Apa aku bersalah padamu? Kenapa... kenapa seakan... kau ingin menangkapku?"

"Tidak. Maaf. Kau salah paham. Maafkan aku."

"Kalau begitu tolong lepaskan aku. Kau membuatku takut."

"Maaf. Aku minta maaf, Alisah." Dia melepaskan aku. "Sekarang bisa kita bicara?"

"Aku... aku sedang sibuk, Tuan HansH. Maaf. Mungkin... mungkin kita bisa bicara lagi nanti. Setelah... aku menyelesaikan semua pekerjaanku."

Oh, syukurlah. Akhirnya pria itu mau mengalah. Dia mengangguk setuju dan mengizinkan aku melanjutkan pekerjaanku.

"Aku akan menunggumu. Aku akan duduk di sana," katanya menunjuk ke arah kursi taman. "Tolong jangan pergi, maksudku... jangan menghilang lagi."

Aku tidak menyahut. Aku mesti mendekorasi taman di hotel barunya yang akan diresmikan esok hari. Aku berharap dia memiliki kesibukan lain sehingga kami tidak perlu bertemu setelah kesibukanku hari ini berakhir.

Tetapi mustahil. Pria itu mengabaikan semua pekerjaannya demi menungguku selesai dengan pekerjaanku. Dia bahkan mengikuti ke mana pun aku pergi asal aku tidak terlepas dari pandangan matanya. Bahkan, dia, dengan meruntuhkan keangkuhannya, tiba-tiba dia membantuku setiap kali aku mesti mengangkat sesuatu yang cukup berat -- sampai semuanya beres, pekerjaanku selesai.

"Sepertinya semua dekorasinya sudah selesai. Bisa kita pergi sekarang?"

Tidak. Aku tidak siap bicara denganmu. Bagaimana aku harus mengelak sekarang?

"Mari." HansH mengulurkan tangannya.

Tetapi aku tahu aku harus menolak uluran tangannya. Aku tidak boleh berada dalam gandengan tangannya. Jadi, tanpa berkata apa pun, aku berjalan ke arah parkiran sementara pria itu mengikuti langkahku. Sesampainya di parkiran, aku melihat ke sekeliling. Hari sudah sangat larut, area di sekitar hotel baru yang belum diresmikan itu sudah mulai sepi. "Kita... kita bicara di sini saja sambil aku menunggu temanku. Dia akan menjemputku nanti."

"Alisah, please... kita harus bicara. Sudah setahun lebih kau menghilang dari kehidupanku. Aku membutuhkan penjelasan darimu. Tolong?"

Ayo, jawab dia. Jangan gugup. Aku menunduk, dan berkeringat dingin. "Maaf, Tuan HansH, aku... aku tidak tahu apakah aku mengenalmu dengan baik. Aku--"

"Kau kekasihku. Kenapa kau bisa bicara seperti itu? Kau menghilang tanpa jejak di saat hubungan kita baik-baik saja dan sama sekali belum berakhir. Ke mana kau selama ini? Kenapa kau tidak pernah menemuiku atau memberikan penjelasan kepadaku? Hmm? Jawab aku, Alisah!"

Kau menakutkan, Tuan HansH. Bagaimana aku bisa menghadapimu?

"Jawab pertanyaanku."

"Aku... aku mengalami kecelakaan."

"Aku tahu. Lalu?"

"Yang aku tahu, kedua orang tuaku tidak selamat dalam kecelakaan itu. Mereka ikut terbakar bersama mobil yang kami tumpangi. Itu yang aku tahu. Sementara aku, tidak tahu bagaimana, aku terlempar sewaktu mobil itu masuk ke dalam jurang. Aku sempat koma."

Terkejut. Pria itu menatap iba kepadaku lalu tiba-tiba ia memelukku. Kurasakan kedua tangan kokoh itu merengkuh tubuhku dengan erat. "Ya Tuhan, maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kau mengalami koma. Aku sudah mencarimu, mencari informasi tentangmu ke mana-mana, tapi nihil. Maafkan aku, Alisah. Aku tidak ada di saat kau mengalami hal seburuk itu."

"Semuanya sudah terjadi."

HansH melepaskan pelukannya. Sambil menggenggam erat kedua tanganku, dia berkata, "Aku akan menebus semua kesalahanku. Aku tidak ada di saat itu, tapi sekarang--"

"Sudah terlambat, Tuan HansH. Sekarang semuanya sudah tidak sama lagi."

"Apa maksudmu? Tidak ada yang berbeda, Alisah. Aku tetap kekasihmu. Aku milikmu."

"Tidak!" Kulepaskan tanganku dari genggamannya dengan hentakan kasar. "Aku bukan Alisah yang sama. Setelah aku sadar dari koma, aku mengalami amnesia. Jadi aku sudah lupa padamu dan aku sudah tidak mencintaimu lagi. Kau mengerti itu? Maaf, aku bukan Alisah yang sama, aku bukan milikmu lagi. Oke?"

Lagi-lagi HansH terkejut mendengar penuturanku. "Kau amnesia? Lupa ingatan?"

"Yeah, itu yang terjadi. Dan kau tahu, orang yang menolongku tidak membawaku ke rumah sakit ataupun membuat laporan ke polisi. Dia merawatku di rumahnya. Setelah aku sehat, aku mencoba mencari tahu tentang siapa aku melalui nama yang tertera di kalungku ini. Aku tahu namaku Alisah, dan aku mencoba mencari tahu tentang kehidupanku sebelum aku kehilangan ingatanku. Dan aku mendapatkan informasi tentangmu. HansH Mahesvara, seorang pria yang katanya adalah kekasihku, yang fotonya ada di dalam cincinku. Tetapi... ternyata saat aku mencoba menemuimu, kau sudah menjalin hubungan dengan gadis lain. Kau bukan HansH yang sama. Kau bukan milikku lagi."

HansH menggeleng. "Tidak, Alisah. Kau sudah salah paham. Aku bisa menjelaskan semuanya. Dengarkan aku--"

"Sudah cukup, Tuan Hansh."

"Kareena bukan siapa-siapaku!"

"Cukup!"

"Alisah...."

"Please...?"

"Aku tidak bisa menerima ini. Tidak akan!"

"Hubungan kita sudah berakhir, Tuan HansH."

"Kau tidak bisa mengambil keputusan sepihak!"

"Kau, cintamu, dan semua masa lalu di antara kita, sudah hilang bersama ingatanku. Aku bukan kekasihmu lagi. Lupakan masa lalu kita, oke? Aku permisi."

Dengan bergegas, aku mencoba lari dari hadapan pria itu meski ia berteriak memanggilku dan coba mengejarku. Tetapi, tepat di saat itu pula, seorang pengendara bermotor sengaja melaju kencang ke arahku. Aku tertabrak, terpental ke jalan dan kepalaku terbentur ke aspal. Aku tak sadarkan diri.

Siapa yang coba mencelakaiku?

Patah Hati

Satu bulan sebelumnya....

Perihal mengungkapkan perasaan cinta kepada seseorang terdekat seperti sahabat atau -- seperti dalam kasusku yang mencintai kakak angkatku, biasanya ada dua pendapat. Yang satu akan melarang, mengingatkan bahwa kau bisa kehilangannya kalau dia tidak memiliki perasaan yang sama denganmu. Sedang yang lain akan mendesakmu untuk mengambil sikap karena, jika kau tidak mengatakannya, bukan tidak mungkin kau akan melewatkan cinta sejatimu.

Malang bagiku, aku mendengarkan pendapat yang terakhir. Aku mengatakan kepada kakak angkatku bahwa aku mencintainya.

Tatapan mata kelabu tengah malam Kak Sanjeev mengatakan semuanya: aku baru saja melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku.

"Maksudmu?"

Mungkin dia tidak mendengarku tadi. Mungkin harus kuulang?

"Tadi aku bilang kalau aku mencintaimu."

Dia mengerjapkan mata. "Kau tidak serius, kan?"

Aku dapat merasakan sensasi tarikan maut menyeret harapanku ke dalam kehampaan.

"Oh, maaf, Zia. Mungkin aku yang salah tanggap. Maksudmu, kau mencintaiku sebagai saudara, kan? Cinta dan sayang, itu adalah hal yang sama. Jadi, ya, Zia, aku juga mencintaimu dan menyayangimu. Kau satu-satunya keluarga yang kumiliki saat ini. Kau adik terbaik, saudari terbaik, dan aku sangat menyayangimu."

Kasihan sekali diriku. Ini sungguh-sungguh suatu kekeliruan.

"Zia? Ada apa?"

"Bukan itu maksudku."

"Astaga. Zia, kau... tidak bermaksud...?"

"Ya. Maafkan aku, Kakak."

"Ya Tuhan, bagaimana mungkin?"

Sirna sudah senyuman khas Kak Sanjeev yang beberapa saat tadi menempel begitu lekat di wajahnya. Berganti raut yang tidak kukenali, tapi aku tahu itu bukan pertanda bagus.

"S-sudah berapa lama kau...?"

Kuturunkan tatapan ke arah tanaman dalam pot di sebelah meja kami. "Emm... sudah lama, sebenarnya."

Mungkin seharusnya aku mengenakan sesuatu yang lebih memancarkan aura "calon pacar potensial" hari ini? Dan bukannya dengan menggunakan masker yang menutupi wajahku yang seolah-olah aku memang sudah menyiapkan diri untuk penolakan ini.

Tetapi percuma, dilihat dari raut ngeri di wajah Kak Sanjeev, tidak akan ada bedanya jika aku duduk di seberangnya mengenakan gaun desainer ternama dan seuntai berlian ataukah gaun biasa. Sekali lagi, ini sungguh-sungguh suatu kekeliruan....

"Kakak?"

"Tapi kita bersaudara, Zia."

"Ya, tentu saja. Aku...."

"Dengarkan aku, Zia. Kita memang tidak sedarah, tapi kau dan aku, kita dibesarkan bersama oleh satu ibu yang sama. Kau adikku, dan aku kakakmu."

Halus seperti godam. Penolakan ini tak akan pernah bisa terlupakan dari ingatanku. "Maafkan aku, Kakak. Aku salah. Begini, lupakan yang aku katakan tadi, oke?"

Dia menatap latte-nya seakan-akan minuman itu baru saja menghinanya. "Aku tidak tahu reaksi apa yang kauharapkan dariku. Tapi barusan kau sudah mengatakannya, kan? Maksudku, itu... itu sudah terucap."

Kuedarkan pandangan ke sekeliling kedai kopi yang ramai. Tempat itu penuh sesak dengan para pembelanja Natal yang bersungut-sungut dan mengerubungi meja-meja berukuran terlalu kecil lalu duduk di atas kursi-kursi yang dengan egois dan tak tahu diri telah mereka rebut dari tamu-tamu yang datang sendirian dan mudah diperdaya. "Kurasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan, Kakak. Tidak ada yang mendengarnya. Di sini tidak ada seorang pun yang mengenali kita."

Sayangnya celotehan yang kulemparkan itu bukan usahaku yang terbaik. Kuturunkan maskerku dan kutelan seteguk besar kopi sambil berharap mati saja.

Kak Sanjeev menggeleng. "Itu tidak penting. Aku mendengarnya. Oh, Zia, kenapa kau katakan itu? Kenapa kau tidak bisa...?"

Aku menatapnya. "Tidak bisa apa?"

"Tidak mengatakan apa-apa? Maksudku, tidak usah dikatakan saja. Sungguh, kenapa aku? Kenapa membebani aku?"

Aku benci tatapan panik di matanya. Dia tidak pernah memandangku seperti itu sebelumnya. Dalam lamunan abadiku tentang saat ini, kejadiannya sangat berbeda: Oh, Zia, aku juga sudah lama mencintaimu. Kalau kau tidak mengatakannya kepadaku, kita tidak akan pernah menemukan cinta sejati.

"Kita baik-baik saja seperti biasanya, bukan? Maksudku, kalau hubungan kita sudah bagus, kenapa harus diubah? Aku tak percaya kau bisa mengira kalau ini ide yang bagus."

Yah, maaf, tapi begitulah. Di suatu tempat antara hatiku yang konyol serta jelas-jelas terkelabui dan mulut besarku yang konyol, otakku tersingkir keluar dan aku -- si gila yang sakit jiwa ini -- mendapati diriku termakan bujukan bahwa mungkin akulah jawaban dari mimpi-mimpinya. Bahwa mungkin alasan atas begitu banyak waktu yang kami habiskan bersama -- hari-hari penuh gelak tawa dan obrolan dari hati ke hati hingga larut malam -- itu karena kami ditakdirkan lebih dari sekadar bersaudara.

Tentu saja, aku tidak bisa mengatakan semua ini kepadanya. Rasa malu mencuri argumen-argumen cerdas dari otakku sehingga saat itu, di kafe yang penuh dengan orang-orang yang tidak peduli dengan apa yang akan kukatakan, kurasa yang mampu kuucapkan hanyalah:

"Maaf."

Kak Sanjeev menggeleng. "Aku tidak menyangka ini akan terjadi. Kukira kita bersaudara, itu saja. Tapi ini, ini aneh...."

"Aku... aku tidak bisa mengatakan apa pun. Aku sungguh minta maaf, Kakak."

Dia menatapku, kebingungan meliputi matanya. "A-aku tidak bermaksud...."

Aku menggeleng lalu kukenakan kembali maskerku ke tempatnya. Sekarang, air mata yang menggenang tumpah meski aku sudah berusaha mati-matian untuk menahannya.

"Ya ampun, Zia, maafkan aku. Kau perlu memberiku waktu untuk mencerna semua ini."

Aku memalingkan wajah lalu memusatkan perhatian pada pasangan yang tampak sangat menderita yang sedang berbicara dengan sengit di meja sebelah di atas gelas-gelas besar berisi kopi yang tampak meriah dengan banyak krim di atasnya. "Kau tidak menghargaiku," kata si wanita. Saat ini, aku tahu persis bagaimana perasaannya.

"Masalahnya," Kak Sanjeev berkata, "selama ini, kau dan aku, kita berdua, kau mengerti, kan? Kau diadopsi oleh ibuku sedari kecil. Dari pinggir hutan, anak kecil berusia sekitar empat tahun, dibawa pulang oleh ibuku dan dijadikan saudariku. Sejak itu kita bersaudara. Tapi sekarang...." Dia sedang membuat alasan yang tidak masuk akal dan dia tahu itu. Dia mendesa* dalam-dalam. "Maafkan aku. Aku tidak begitu yakin bagaimana harus menghadapi ini. Tapi yang pasti, walaupun ibu kita sudah tiada, itu tidak akan mengubah persaudaraan kita. Tidak ada yang akan berubah. Kau dan aku tetap adik-kakak. Aku adalah kakakmu. Dan, kau, kau harus mengendalikan perasaanmu itu. Oke? Kendalikan dirimu."

Ini parah sekali -- sudah cukup yang kudengar. Aku bangkit berdiri, kepedihan luar biasa dan rasa malu yang menghancurkan mendorong tubuhku lepas dari kursi. Kubuka mulutku untuk melontarkan ucapan perpisahan yang menohok, tapi tidak ada yang keluar. Sebagai gantinya, aku berbalik lalu berlari, jari kakiku terantuk pada kursi tamu sebelah lalu tersandung berbagai jenis kantong belanjaan berjubel, nyaris menyeret kereta dorong bayi berisi barang-barang bersamaku saat aku melarikan diri dengan cara yang sangat tidak anggun dari kedai kopi itu menuju jalan yang sibuk di baliknya, di Pasar Natal yang terkenal di Birmingham.

Aku bodoh! Setelah ini, bagaimana aku bisa menampakkan wajahku di depan Kak Sanjeev? Jelas-jelas aku tidak punya tempat lain yang bisa kutuju selain pulang ke rumahnya.

Ya Tuhan... cinta dan rasa sakit hatiku ini sama besarnya.

Tapi dia tidak bersalah, Zia. Tunjukkan saja kalau kau sangat mencintainya tanpa harus terbalas. Demi ibu yang membesarkanmu, dia ingin kau mencintai putranya -- cinta setulus hati seperti cinta ibunya kepadamu. Penuhi saja permintaan itu. Jangan pedulikan jika perasaanmu tak terbalas. Please, Zia. Kau pasti bisa. Please....

Pertemuan Pertama

Ramai. Keadaan Pasar Natal yang terkenal di Birmingham memang sedang ramai-ramainya, dipenuhi orang yang berbelanja kado Natal pada menit-menit terakhir dan berkerumun di sekitar stan-stan kayu yang menjual bir. Lampu-lampu berwarna yang digantung di atas kepala berpendar terang dengan latar langit malam bulan Desember yang kelabu sementara musik Natal membahana tanpa malu-malu dari pengeras suara di sepanjang ruas New Street.

"Zia! Kau mau ke mana? Maafkan aku, kumohon kembalilah! Zia!"

Di belakangku, teriakan Kak Sanjeev berbaur ke dalam riuh rendah para pembelanja dan lagu-lagu hit Natal lawas. Kupercepat langkahku, berjalan membabi buta melawan gelombang arus tubuh manusia, wajah-wajah mereka yang tak terhitung jumlahnya berseliweran di depanku, tanpa senyum dan tanpa peduli. Aku sudah cukup mempermalukan diriku sendiri: hal terakhir yang kubutuhkan yaitu hubunganku dan Kak Sanjeev sebelum pernyataan cintaku tadi.

Saat kulewati tiap toko, tulisan obral mereka mulai berubah bentuk menjadi penilaian yang mengutuk tindakan-tindakanku, berseru kepadaku dari tiap jendelanya yang terang:

...Sinting!...

...Dasar bodoh!...

...Apa yang kaupikirkan...?...

Sementara keramaian yang saling sikut itu mendorongku ke arah pilar-pilar marmer balai kota, Paul McCartney menyanyikan Wonderful Christmastime seakan-akan lagu itu seharusnya di akhiri dengan tanda tanya ironis. Tidak mampu membebaskan diri, kudapati diriku bergerak mengikuti arus pengunjung. Tapi aku tidak merasakan apa-apa: pasca inderaku dibuat mati rasa oleh tubuh-tubuh tanpa wajah yang mengimpitku, dan hatiku terlalu terkepung oleh gema kata-kata Kak Sanjeev yang tak berkesudahan untuk bisa lebih mempedulikannya. Sama sekali tidak mampu memahami malapetaka besar yang baru saja kuhasilkan, aku pasrah terhadap kekuatan tak terelakkan dari kerumunan itu dan, cukup harafiah, mengikuti arus saja.

Apa yang terlintas dalam benakku saat mengatakan kepada lelaki terbaik di dalam hidupku ini bahwa aku mencintainya? Aku bahkan sama sekali tidak berencana mengatakan itu -- dan sekarang aku tidak percaya sudah menyemburkan rahasia terbesarku sekonyong-konyong. Semenit sebelumnya kami sedang menertawakan karakter hantu dalam film komedi yang tadi kami tonton, senyumnya begitu hangat dan matanya berbinar sebagaimana biasanya saat kami sedang mengobrol berdua dalam pembahasan yang menyenangkan. Berikutnya aku mengakui perasaan-perasaanku kepadanya yang sudah kupendam selama empat tahun. Apa gerangan yang membuatku mengira itu ide yang bagus?

Mungkin karena Most Wonderful Time of the Year alias Saat Paling Indah dalam Setahun akan segera tiba. Terima kasih untuk lagunya atau suasana meriah yang memenuhi kota hari ini yang menyebabkanku mengungkapkan perasaan-perasaanku terhadap Kak Sanjeev seperti tadi. Mungkin akibat terlalu sering menonton adegan di film-film ceweklah yang mendorong kewarasanku ke jurang dan membuat seluruhnya tampak seperti ide yang terhebat.

Dicampakkan begitu saja oleh keramaian itu di dasar tangga batu besar Victoria Square, aku berhasil menjejalkan diri melalui celah para pembelanja yang berimpitan dan bergerak lambat lalu muncul dengan kehabisan napas di suatu relung kecil yang dipenuhi udara beraroma pinus dekat pagar pembatas yang mengelilingi dasar pohon Natal Swiss raksasa. Air mata menyengat mataku dan aku menelan ludah dengan marah berusaha menahannya agar tidak jatuh namun sia-sia.

Ada apa denganku? Bagaimana aku bisa begitu keliru? Bodoh sekali, Zia! Mestinya kau berpikir ribuan kali sebelum bicara.

Ponselku berdering di dalam tas, tapi aku tidak sanggup menerima telepon, jadi Stevie Wonder melanjutkan nyanyian Sir Duke-nya tanpa kusela seperti yang biasanya terjadi.

Hari itu sabtu terakhir sebelum Natal. Aku sengaja datang ke sana untuk melihat-lihat keramaian orang-orang yang bersuka ria menyambut Natal. Barangkali aku akan menemukan sesuatu yang ingin kubeli. Tapi ternyata, hati yang remuk dan dipenuhi rasa malu yang malah kudapatkan pada hari ini.

"Zia!"

Kepalaku tersentak tegak dengan ngeri ketika melihat Kak Sanjeev berusaha menerobos di antara kerumunan, di jalan sebelah sana. Tidak, ini jelas tidak akan terjadi sekarang. Aku tidak sanggup menghadapinya. Rasa malu seberat timah yang mencengkeram isi perutku saja sudah tidak tertahankan. Berbalik, aku kembali masuk ke dalam keramaian lalu terus berlari.

"Oh, ayolah, Zia! Berhentilah!" Kak Sanjeev memanggil di belakangku, kali ini lebih dekat.

Menoleh, aku balas berseru. "Pulanglah, Kak! Aku butuh waktu untuk sendiri."

Aku melihatnya berhenti, melempar kedua tangannya ke udara lalu berputar kembali ke dalam kawanan pembelanja di belakangnya. Marah terhadap diriku sendiri karena sudah menciptakan situasi buruk ini, aku ingin membuat jarak sejauh mungkin di antara aku dan adegan kuputusan terburukku tadi. Air mata menggenangi mataku saat lagi-lagi aku berlari, bergegas menerobos ketebalan tubuh-tubuh yang mengerubungiku. Sebagian dari diriku menginginkan Kak Sanjeev mengikutiku, menjajari langkahku dan berkata bahwa reaksinya berlebihan, bahwa aku tidak keliru, tapi aku tahu itu tidak akan terjadi dan aku benci diriku sendiri karena menginginkan yang tidak mungkin untuk terjadi. Dengan gusar, kuseka air mata -- sepersekian detik sebelum melihat tubuh tinggi seorang pria muncul persis di depanku dan tubuhku menubruknya tak terkendali.

Hela napas berbarengan terdengar dari kerumunan pembelanja saat aku terjatuh, lengan dan tungkai menggapai-gapai, terjerembap dalam gerakan lambat yang sama sekali tidak anggun. Sialnya, kemalangan ini ditambah lagi dengan kesialan berikutnya, suara derak tak terelakkan yang membuat perut melilit saat tubuhku menghantam jalanan batu bongkah yang keras dan terhenti di atas aspal berlapis es.

Butuh sesaat bagiku untuk mengatur napas, telingaku berdengung akibat pertemuan tak mengenakkan antara kepala dan aspal. Kutahan air mata karena menahan malu dan kucoba untuk bangkit berdiri. Dan...

Pada saat itulah kulihat dia. Pria tinggi yang kutubruk mengulurkan tangan kepadaku. Ketika kuangkat tatapan, aku berhadapan dengan pria yang bisa dibilang paling tampan yang pernah kulihat. Luar biasa tampan. Mata hitamnya menangkap cahaya dari lampu-lampu Natal yang berwarna-warni di atas, sementara helai-helai rambut hitamnya memantulkan cahaya biru berkelap-kelip dari lampu-lampu kecil yang membingkai atap stan mainan. Warna kebiruan bekas cukuran menghiasi garis rahangnya dan kulihat tulang pipinya cukup terpahat jelas.

"Terima kasih," ucapku setelah menerima bantuannya. Aku kembali berdiri tegap. "Maafkan aku. Aku... aku tidak sengaja menabrakmu tadi. Maaf?"

Dia mengangguk. "Tidak apa-apa. Bukan masalah besar," jawabnya sambil mendorong kedua tangan ke dalam saku mantel.

Sesaat, kami berdiri tanpa bicara, napas kami membubung dalam uap air yang bermandikan cahaya lampu Natal. Jelas tidak seorang pun di antara kami tahu harus berkata apa dan rasa canggung dari kesunyian itu membuat rasa malu sebelumnya kembali membanjiriku. Sementara, di sisi lain, aku sadar bahwa dia mengamatiku, seoalah-olah dia penasaran dengan wajah di balik masker yang menutupi wajahku. Terlebih caranya menatap mata hitamku, seolah dia berusaha untuk mengenali diriku. Dan aku tidak bisa menjelaskan sebabnya, karena aku tidak mengenali pria itu. Bagaimana mungkin dia mengenalku?

Tidak masalah. Kupikir tidak ada salahnya jika aku mencoba bersikap ramah. Tanpa berpikir panjang, aku menjulurkan tanganku kepadanya. "Namaku Zia."

Berbalas. Dia menyambut jabat tanganku. "HansH. HansH Mahesvara."

"Senang mengenalmu."

Pria itu hanya mengangguk. Dia jelas hanya bersikap sopan, logikaku berbicara, hatiku melesak, dan sekarang dia mencari alasan untuk pergi.

"Yah, sebaiknya aku...." Aku mengangguk ke arah balai kota di belakang kami, seakan-akan ini akan jadi isyarat universal dari belanja Natal yang masih harus kulakukan sebelum aku bisa pulang. Untungnya, tampaknya dia mengerti, mengangguk sambil menunduk memandangi kakinya. "Sekali lagi terima kasih."

Dia mengangkat tatapan mata indahnya sekali lagi ke arahku. "Tidak masalah. Selamat Natal."

Saat bergegas pergi, aku merasa ingin berteriak. Belum puas hanya dengan menghancurkan persaudaraanku dengan Kak Sanjeev dan membuat diriku sendiri tampak bodoh di hadapan sebagian besar para pembelanja di kota, sekarang aku mempermalukan diri di depan seorang cowok yang sangat tampan.

Bagus, Zia. Bagus sekali! Kau hebat!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!