...***...
Plak!!!
Suara tamparan terdengar nyaring di telinga Gisha, gadis yang sudah berusia 24 tahun itu menerima tamparan dari sang ayah tiri. Seseorang yang harusnya menggantikan tanggung jawab ayah kandungnya, untuk menyayanginya, melindungi dan membahagiakannya. Nyatanya tidak, pria yang mengaku sebagai ayah tiri Gisha baru saja menamparnya dengan sangat keras.
Tak hanya bekas tamparan yang terlukis di wajah putih Gisha, sedikit darah juga keluar karna terkena cincin yang ayah tirinya pakai.
"Kau berani menolak? Setelah segalanya kau berani menolak?! Berani-beraninya kau pulang kesini! Ini bukan lagi rumah mu! Kau sudah menikah Gisha! Maka kembalilah ke rumah suamimu!"
Suara pria itu menggelegar, tak hanya menyakiti telinga Gisha, ia juga menyakiti perasaan gadis itu.
"Nak, kembalilah kesana, disanalah rumah mu. Bukan disini lagi, Nak, pulanglah, kau sudah menikah."
Lantas? Jika perempuan yang mengaku seorang ibu kandung ini berbicara selembut itu pada Gisha, mencoba memberi pengertian? Apa menurutnya sakit hati yang Gisha rasakan akan hilang dan pudar begitu saja?
Padahal Gisha-lah yang menderita disini, padahal Gisha-lah korbannya, padahal Gisha-lah yang terpaksa menikah demi menebus hutang-hutang ayah tirinya. Tapi sang ibu kandung malah berkata begitu?
Gisha terpaksa menikah dengan William Joy Moran, putra orang kaya yang fisiknya lemah, terkadang mentalnya juga terganggu. Ini semua demi menebus hutang-hutang suami ibunya yang tidak memiliki hubungan darah apapun dengan Gisha.
"Rumah? Rumah Kak Gisha itu disini! Mama jangan aneh-aneh deh! Kan yang punya hutang suami mama! Kenapa Kak Gisha yang harus bayar! Makanya jangan ngejudi!"
Rendi menegakkan badannya, berdiri di depan Gisha yang sudah diam dengan segala luka yang coba dia pendam. Rendi memasang badan, sebagai pelindung Kakaknya yang kini rapuh, Rendi yang masih berusia 16 tahun siap menerima segala tamparan untuk kakaknya. Sebagai adik laki-laki, dia merasa bertanggung jawab atas sang kakak setelah kematian sang ayah.
"Rendi, masuk ke kamar! Sekarang!" Suara keras sang ibu keluarkan, membentak sang anak yang sedang berjuang untuk sang kakak.
"Apa menurut mama memang ini tanggung jawab Gisha?" Suaranya parau, dia lemah, Gisha bahkan tidak berani menatap mata sang ibu. Bukan karna takut, Gisha hanya tidak ingin kecewa, kalau tau kejujuran dari mata sang ibu, kalau ternyata sang ibu lebih menyayangi ayah tirinya dibanding dirinya sang putri kandung, memiliki ikatan darah yang kuat, harusnya begitu.
"Tapi cuma kamu yang bisa melunasi hutang-hutang keluarga kita, Nak." Suara lembut, seperti sang ibu yang memberi pengertian pada anak yang meminta mainan.
"Tapi itu bukan hutang keluarga kita Ma, itu hutangnya suami mama! Kenapa malah Gisha yang harus melunasinya? Kenapa malah Gisha yang harus tanggung jawab."
"Karna dia itu papa mu Nak!"
"Dia bukan papa Gisha! Papa Gisha udah gak ada, Ma! Dia bukan Papa Gisha!"
"Gisha!!! Apa sih susahnya kamu tinggal nurut aja! Toh kamu kan juga dinikahin sama orang kaya! Kamu kan juga bisa makan enak, tidur gampang, punya rumah mewah, menantu orang kaya dan keluarga terkenal! Apa sih susahnya tinggal nikah aja! Walau suami mu cacat juga kan hartanya gak cacat! Kamu kan masih bisa menikmati hartanya!"
Gisha menatap sang ibu tidak percaya, rasanya wanita paruh baya yang ada di depannya benar-benar asing. Dia bukan ibu yang Gisha kenal, dia bukan perempuan lemah lembut yang selalu ada di saat Gisha lemah, dia bukan perempuan yang menguatkan disaat Gisha rapuh, dia bukan perempuan yang sama yang membawa obat disaat Gisha terluka. Ibunya benar-benar berubah sejak menikah dengan pria itu.
Luka yang dia rasakan tidak bisa di deskripsikan, sesak di dada yang tak mampu Gisha tahan. Terluka saja tidak cukup menjelaskan kondisi mental Gisha saat ini.
Dia tidak tau bahwa sang ibu ternyata juga memiliki pikiran yang sama dengan pria bajingan yang telah menjualnya dengan kedok pernikahan. Gisha tidak tau bahwa harga dirinya di depan sang ibu, hanya sebagai gadis pelunas hutang. Gisha tidak pernah tau, bahwa ibunya sendiri bisa memandangnya serendah itu.
Lantas bagaimana Gisha harus percaya diri lagi? Sang ibu saja sudah menjelaskan seberapa berharga Gisha untuknya. Hanya sekadar gadis pelunas hutang.
Kekecewaan yang tidak bisa dijelaskan, sakit yang sulit untuk orang lain mengerti.
Luar biasa! Sepertinya bukan hanya suaminya yang cacat mental, sepertinya Gisha juga akan menyusulnya, depresi karna tidak tahan dengan segala hal ini.
"Jadi, dimata mama, Gisha hanya sekedar alat pelunas hutang gitu Ma? Luar biasa!"
Sakit, sesak, seolah jutaan jarum datang langsung menusuk hatinya, semakin lama semakin perih. Benar kata pepatah, kekecewaan hanya datang dari orang yang kita cintai. Kali ini, Gisha benar-benar mengerti akan hal itu.
"Tapi, Ma, Ka--"
"Permisi, sepertinya Nyonya muda Moran yang baru saja menikah dengan Tuan William kembali kesini?" Suara tegas dari pria berseragam hitam yang rapi memotong ucapan Rendi. Dia baru saja masuk dari pintu yang sudah terbuka sejak Gisha masuk.
"Ah? Tuan Fredrin! Maafkan putri saya, dia terlalu manja, dan merindukan kami. Karna rasa rindu itu dia malah membuat kesalahan! Tolong maafkan dia, dan tolong bawa dia kembali! Sampaikan permintaan maaf kami pada tuan muda William dan keluarga Moran! Mau bagaimana lagi, dia begitu menyayangi kami hingga membuatnya lupa kalau dia sudah menikah, dan malah kembali kesini!"
Basa-basi, dan banyak bicara, alasan tidak masuk akal, segalanya Bernad keluarkan. Ayah tiri yang namanya sangat Gisha benci. Ayah tiri yang merusak segala kehidupannya.
"Luka?" Fredrin, tanpa ekspresi menatap Gisha yang berdiri menunduk dengan luka dan darah di wajahnya.
Fredrin adalah tangan kanan William, pria tanpa ekspresi ini sudah menjadi ajudan William sejak lama.
"Ah, dia terjatuh saat berjalan kembali."
"Tapi ada bekas tamparan di wajahnya, anda kira saya buta? Saya bisa melihatnya, bahkan ada darah disekitar wajahnya."
"I-itu ...."
"Bagaimanapun juga, seperti kata anda, sekarang Nyonya muda adalah istri Tuan William, bagian dari keluarga Moran yang terhormat, anda tidak berhak untuk menyakiti beliau."
"Ta-tapi ini semua kar--"
"Akan saya lupakan untuk kali ini, tapi tidak ada selanjutnya lagi, tolong camkan hal itu dengan baik. Tanamkan dalam-dalam di benak anda, bahwa saat ini Nyonya Gisha adalah Istri dari Tuan William Joy Moran. Dan Nyonya muda, ayo segera kembali, Tuan William sudah menunggu anda."
"Ya, tidak ada gunanya lagi tetap disini. Gadis pelunas hutang, harus tetap berada di sisi Tuannya kan?"
Harga diri? Harga diri mana yang mau Gisha pertahankan? Sepertinya tidak ada sisa harga diri yang harus Gisha jaga, semuanya sudah hancur luluh lantah entah bagaimana.
...***...
Sudah lima belas menit mobil berjalan, dan Gisha masih tetap duduk diam di dalam sana, dia bahkan tidak berani menangis, karna ada William di sebelahnya.
Gisha cukup terkejut saat melihat William ada di dalam mobil, dia tidak menyangka bahwa pria itu sendiri yang akan datang menjemputnya.
Meskipun begitu, tidak ada kemarahan, tidak ada bentakan yang William lontarkan, dia hanya diam sejak Gisha datang.
"Tidak ada yang ingin istriku jelaskan soal masalah ini?"
Sepertinya William juga tidak tahan. Akhirnya dia membuka suaranya, melirik sang istri yang hanya diam membeku.
"Maaf." Gisha tau dia salah, memberikan penjelasan apapun tidak membuat kesalahannya menjadi benar. Lagipula, dia juga tidak ingin membela diri.
"Hanya itu? Setelah satu minggu pernikahan kita, dan kau kabur kembali kesini, hanya itu penjelasan yang ingin kau katakan?"
Gisha tidak menjawab apa-apa lagi, memang sudah seminggu sejak mereka menikah. Gisha merasa tidak tahan, dan akhirnya dia pergi dari rumah suaminya dan kembali ke rumah ini, tapi sayang kembali ke rumah ini tidak membuat Gisba bahagia. Rumah ini bukan lagi tempatnya untuk pulang, ini sangat jauh dari eskpetasinya.
"Lain kali jangan ulangi itu."
"Anda sendiri kan juga pergi setelah malam pertama kita, kenapa saya tidak boleh pergi?"
Benar, Gisha pergi karna kesal juga dengan William. Bagaimana tidak? Tepat setelah malam pertama mereka, tepat setelah William mengambil keperawanan Gisha, di pagi harinya dia sudah tidak melihat William lagi. Di pagi harinya, sosok disisinya yang memeluknya sepanjang malam telah hilang tanpa kabar apapun.
Bagaimana dia tidak kesal? Bagaimana Gisha tidak marah? Jujur saja, Gisha pikir setelah malam itu, dia tidak akan pernah melihat William lagi, William tidak akan kembali selama-lamanya, tapi nyatanya, sang pria itu datang kembali sekarang, dan kini duduk tepat di sebelah Gisha.
Oh, apakah dia kembali karna Gisha kabur? Mungkin jika Gisha tidak kabur, William tidak akan mencarinya?
"Aku menjalani pengobatan, istri ku ini tau kan? Kalau aku ini penyakitan, dan terkadang memiliki masalah mental." Dia tersenyum, tapi senyuman aneh yang begitu mengundang banyak kecurigaan. Gisha saja sampai begidik ngeri di sampingnya. Aura senyumannya benar-benar berbeda, seperti bukan aura orang yang lemah dan gila.
Orang lemah fisik dan mental, tidak akan bisa memberikan atmosfer dengan tekanan seperti ini.
"Tapi anda pergi tanpa mengatakan apa-apa, tanpa surat dan kabar setelahnya, bahkan itupun pergi setelah malam pertama kita, jadi saya pikir anda sudah bosan dengan saya dan pergi meninggalkan saya sendirian. Dibanding sendirian di rumah itu, saya merasa lebih baik kalau saya kembali ke rumah saya sendiri."
"Tapi nyatanya mereka tidak menerima mu kan, istriku?"
Cup ...
William meninggalkan satu jejak kecupan di pipi Gisha, tepat dimana bekas tamparan itu berada. Dengan tenang, William mengusap darah yang masih sedikit tersisa di pipi Gisha dengan tangannya.
Gisha yang sadar akan hal itu tiba-tiba merinding. Sentuhan sederhana itu mengingatkan dirinya, perih yang harus dia tahan di malam pertama saat itu. Sakit dan nikmat yang perlahan menggerogoti jiwanya di tengah malam.
"Apa ada luka lain?" Tanya William lagi, dia menatap tepat di retina Gisha, pandangan yang penuh makna.
"Tidak ada." Gisha menggeleng pelan.
"Mau ke rumah sakit lebih dulu atau langsung pulang ke rumah?"
"Saya gak punya rumah."
"Bercanda kan?" Lagi dan lagi, William mengeluarkan senyuman yang membuat Gisha ngeri sendiri. Tidak bisa dijelaskan, tapi auranya benar-benar menekan.
Saat William ada di mode seperti ini, Gisha sama sekali tidak berani membantahnya, atau bahkan mengatakan tidak. Senyumannya seperti hipnotis mengerikan yang membuat badan Gisha kaku seperti batu, ketakutan tersendiri hadir saat William tersenyum seperti itu.
"Ya, saya bercanda." Gisha tertekan, dia sesak, kebebasannya seperti direnggut. Jadi dia memilih menerima saja semua perkataan dan perintah William.
"Terdengar lucu, tapi jangan di ulangi ya, istri ku."
*Cup
Satu kecupan lagi William daratkan di kening Gisha, turun perlahan hingga sampai bibirnya. Ciuman yang tidak bisa Gisha tolak, dia tidak kuasa, badannya membeku. William seperti masuk menguasai diri Gisha, melakukan apapun yang dia suka terhadap perempuan yang kini berstatus istrinya.
Sungguh, tidak ada debaran cinta di hati Gisha, hanya ada ketakutan dan tekanan yang tidak ada habisnya. Jangankan menolak, sulit bagi Gisha untuk bernapas dengan normal sekarang.
"Kemari."
William menunjuk pahanya, bermaksud untuk meminta Gisha duduk di pangkuannya.
"Tidak, saya tidak ingin merepotkan Anda. Tubuh saya berat, dan anda juga kan sedang sakit. Anda sendiri yang bilang baru pulang dari perawatan."
Gisha berusaha setengah mati mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan William.
Sungguh, demi apapun, siapapun, tolong bawa Gisha pergi dari sini sekarang, bawa dia jauh dari orang gila ini. Sensasi berada di dekat William benar-benar beda.
"Justru karna aku telah pulang perawatan aku jadi lebih sehat, hingga bisa memangku istri ku yang manis ini. Jadi, kemarilah."
Nada suara, tatapan, dan senyuman khas itu terus menekan Gisha.
"Iya." Hanya satu kata dan anggukan dengan pasrah yang bisa Gisha berikan. Dia duduk perlahan di pangkuan William.
Meski William sangat tampan dan menawan, tapi pria ini juga mengerikan. Sepertinya benar, bahwa ada yang aneh dengan mental orang ini. Gisha selalu berpikir untuk bisa lari dari pria ini.
William langsung memeluk Gisha dengan erat, mendaratkan wajahnya di leher putih sang istri. Tidak bergerak, hanya diam dan bersandar.
"Jangan pernah berpikir untuk lari dari ku." Peringat William lagi dan lagi. Sepertinya dia punya firasat kuat bahwa Gisha akan pergi jauh dari dirinya.
"Saya tidak akan lari, tidak tau juga mau lari kemana."
"Jangan sedih, orang tua seperti mereka memang sampah. Tapi, kita akan menjadi orang tua yang lebih baik untuk anak-anak kita nanti, benarkan istri ku?" William menarik badannya, mensejajarkan wajahnya dengan sang istri, menatap dalam-dalam di keheningan malam itu.
"Saya tidak tau, saya pikir saya tidak ingin menjadi orang tua."
"Kenapa? Kau takut jadi orang tua yang buruk?"
"Mungkin iya."
"Tidak apa-apa, pelan-pelan saja, tapi aku yakin istriku ini akan jadi ibu terbaik di dunia."
William meninggalkan satu jejak sayang di bibir Gisha, menenggelamkan wajahnya di leher sang istri, memeluk tubuh mungil itu dengan erat dan hangat. Mungkin nyaman untuk William, tapi tidak dengan Gisha, dia masih diselimuti rasa ketakutan akan William yang sering berganti-ganti wajah. Khususnya dengan nada suara dan senyuman yang acap kali dia keluarkan untuk meminta suatu hal pada Gisha, yang tidak boleh Gisha tolak sama sekali.
Gisha hanya bisa diam dan menuruti saja segala perkataan William. Benar, Gisha itu seorang wanita yang lemah, Gisha mengakui hal itu. Setelah dia dicampakkan oleh ibu kandungnya, kewarasannya sepertinya sedikit terganggu, masih ada trauma yang tidak bisa Gisha jelaskan. Situasi kacau yang datang secara beruntun ini membuatnya sedikit kehilangan kesadaran.
Benar, Gisha tidak memiliki keberanian untuk membantah William, mendorong pria tampan itu, apalagi sampai lompat dari mobil. Gisha mengaku dia lemah, dengan memasrahkan dirinya. Setidaknya untuk saat ini, saat-saat dimana jiwanya sedang tidak baik-baik saja.
...***...
Perlahan Gisha membuka matanya, perih terasa di area wajahnya, ah, bekas tamparan itu masih terasa. Belum lagi badannya sakit semua, kakinya pegal dan sulit di gerakkan.
Dia menatap lengan yang kini mengurungnya, beralih melihat wajah pria itu, wajahnya tampan seperti biasa. William memeluk Gisha dengan erat, tidak melepaskannya bahkan dalam tidurnya.
Tidak seperti malam pertama kala itu, dimana Gisha menghabiskan malam bersama tapi bangun sendiri. Kali ini, Gisha menghabiskan malam bersama dan bangun juga bersama, William masih tetap berada di sisinya.
Sedikit malu, saat Gisha menutup matanya, mengingat kembali hal-hal tadi malam yang dia lakukan dengan pria satu selimutnya saat ini. Bahkan Gisha saja tidak berpakaian dengan lengkap, jangan tanya, William juga sama.
Tapi, tidak ada debaran menyenangkan, hanya ada ketakutan dan tekanan. Gisha benar-benar hanya menuruti perkataan William karena rasa takut tanpa ada cinta disana.
"Kalau dilihat begini dia polos seperti malaikat tanpa dosa. Tapi, kalau mengingat tadi malam, benar-benar deh, dia iblis berwajah malaikat. Aku bahkan tidak ingat jam berapa aku tidur kemarin malam."
Gisha mengucek matanya, mencoba menahan rasa kantuk yang masih tersisa. Dia harus bangun, di rumah mereka tidak ada seorang pelayan pun, makanya harus tetap Gisha yang membersihkan dan membuat sarapan untuk William. Tidak masalah, tidak terlalu melelahkan juga, rumah mereka tidak besar, tidak megah, yah walau William merupakan Tuan Muda dari keluarga Moran, tetap saja, William adalah anak haram yang dibenci, makanya dijauhkan dan diasingkan dari rumah utama. Apalagi William itu penyakitan dan memiliki masalah mental, mana ada keluarga yang mau mengurusnya.
"Tidur aja lagi, aku tidak terlalu lapar, dan ya kau tidur pukul tiga lewat dua puluh enam menit, jadi kau masih mengantuk, ayo tidur lagi istri ku. Tutup matamu lagi."
Satu kecupan William daratkan tepat di mata istrinya, Gisha menatap wajah pria itu lagi. Dia masih menutup matanya dengan sempurna, tapi mendengar segala perkataan Gisha?
"Aku udah enggak ngantuk, Aku mau bangun sekarang. Jadi tolong singkirkan lengan anda ini."
"Ah, istri ku sudah tidak mengantuk lagi? Dibanding sarapan? Bagaimana kalau melanjutkan hal kemarin malam yang belum selesai?"
"Tidak, aku ngantuk, aku akan tidur lagi." Gisha segera menutup matanya, dibandingkan dia menyetujui tawaran William barusan, lebih baik dia tidur saja.
"Pilihan yang bagus, selamat pagi istri ku, dan ayo tidur lagi. Lagipula, hanya ada kita berdua di rumah ini."
William menarik tubuh Gisha untuk lebih rapat dengannya, agar dia bisa merasakan hangatnya tubuh sang istri.
"Selamat pagi, dan aku akan tidur lagi."
Terserah, toh William sendiri kan yang memintanya untuk tidur lagi, itu lebih bagus dia mau tidur juga. Sejujurnya Gisha juga masih ngantuk dan dia lelah.
William membuka matanya dengan jelas setelah Gisha benar-benar tertidur nyenyak. Di pagi hari yang mendung ini, memang paling enak tidur lagi.
"Sampai kapan pun kamu tidak akan bisa lari, istri ku. Sekali milikku, selamanya akan tetap menjadi milikku. Akan ku buat kau tetap di sisiku, entah itu harus menghilangkan kaki mu atau kebebasan mu. Tidak boleh pergi, sama sekali tidak boleh."
...***...
Gisha membuka matanya, ini sudah kedua kalinya dia bangun hari ini, satunya bangun pagi yang langsung tidur lagi, dan kali ini bangun siang. Berkat itu, tubuh Gisha jadi lebih baik, setidaknya tubuhnya tidak sepegal sebelumnya, nyeri di wajahnya sudah mulai berkurang. Pegal di kakinya juga sudah mulai hilang, badannya yang kaku sudah mulai rileks. Rasa kantuk yang tadi mendominasi juga telah hilang sempurna.
Gisha melihat kanan dan kiri, sudah tidak ada lagi William di sebelahnya. Lagi dan lagi, dia bangun tanpa sosok William di sampingnya. Padahal William yang menyuruhnya tidur dengan nyenyak, tapi dia juga yang pergi setelah Gisha bangun.
Dejavu lagi? Dia pergi lagi setelah aku bangun? Luar biasa, aku di suruh nunggu lagi.
"Aku disini istri ku. Aku tidak pergi lagi. Jadi berhenti memasang wajah masam seperti itu, kau harus bangun dengan senyuman."
Deg
Gisha terkaget sendiri, dia melihat ke asal suara. Sudah ada William yang duduk di sofa dengan piyamanya kemarin malam.
"Maaf, aku pikir kamu akan pergi lagi setelah aku bangun." Gisha duduk bersandar di kasurnya, tentunya dengan selimut yang menutup sempurna tubuh polosnya.
"Maafkan aku, yang kemarin memang salah ku, harusnya aku memberitahu mu kalau aku akan periksa kesehatan, lain kali, tidak akan aku ulangi, jadi berhenti berpikir bahwa aku akan pergi meninggalkan mu setelah kau bangun. Selamanya, aku tidak akan pernah meninggalkan mu, selamanya aku akan selalu ada di sisi mu, istri ku." William berjalan perlahan ke arah sang istri, sedikit menunduk mengecup kening perempuan miliknya itu.
"Lagipula aku juga tidak berani meninggalkan mu sendirian lagi, karena istri ku sangat aktif, kau kan bisa pergi tiba-tiba tanpa izin dari ku, aku bersyukur bisa menemukan mu kemarin, tapi aku tidak tau apakah bisa menemukan mu lagi setelah kehilangan mu." Senyuman William sudah menjelaskan semuanya, bahwa Gisha benar-benar tidak boleh pergi lagi.
Deg
Seketika ketakutan kembali merayap di tubuh gadis itu, seperti kelinci yang terkurung di kandang serigala, seperti kelinci yang menjadi tawanan srigala, setiap detiknya sulit untuk Gisha lewati dengan tenang.
"Aku akan buat makan siang." Gisha bersiap memakai kembali seluruh pakaiannya secara lengkap.
"Tidak perlu, aku sudah pesan makanan tadi. Sebentar lagi pasti sampai. Aku ingin mandi, mau ikut?"
"Boleh kalau aku menolak?"
"Ya, kalau yang ini boleh." William tersenyum manis, senyuman yang harusnya bisa melelehkan banyak gadis, tapi tidak dengan Gisha yang sudah dipenuhi ketakutan akan William.
"Kalau begitu aku menolak, aku sedang tidak ingin menyentuh air, rasanya dingin."
"Baiklah, aku mengerti." Satu kecupan singkat William tinggalkan tepat di bibir Gisha, dia mengusap bibir merah muda yang lembut itu sebentar, sebelum akhirnya William melepaskannya dan pergi mandi sendiri.
Hah~
Akhirnya Gisha bisa bernapas lega setelah William menutup pintu kamar mandinya. Akhirnya Gisha bisa menghirup udara yang berbeda dengan William. Ada perasaan bebas di dalam dirinya.
"Gayanya kayak suami yang lembut dan baik hati. Tapi beda sensasinya kalau merasakan jadi istrinya langsung. Rasanya setiap di sentuh dia, nyawa ku berkurang 10 tahun." Gisha mengelus dadanya. Dia bergerak secara perlahan, memakai pakaiannya secara lengkap sebelum William kembali.
Tubuh yang lemah, mental yang kacau? Mental yang aneh itu benar, tapi kalah fisik yang lemah? Entahlah, aku masih bingung harus percaya atau tidak.
"Masih agak sakit. Apa sekarang Rendi masih di kurung di rumah itu ya?"
Meski sudah tidur cukup lama, tidak membuat Gisha melupakan ingatan menyedihkan kemarin malam soal orang tuanya. Untuk pertama kalinya Gisha merasa seperti itu, untuk pertama kalinya Gisha merasa dunianya runtuh, disaat sang ibu yang dia percaya sebagai dinding terkokoh dalam hidupnya malah rubuh menimpa dirinya.
*Ting!
Suara Bel rumah mengacaukan lamunan Gisha, dia harus keluar sendiri untuk mengecek siapa tamu itu, karna tidak ada satupun asisten rumah tangga di rumah ini.
"Mungkin makanan yang William pesan."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!