NovelToon NovelToon

Aku Bisa Bahagia Tanpa Kamu, Mas

Bab 1 Bertengkar Lagi

"Mas, tokennya sudah hampir habis," lapor Rania kepada suaminya.

"Aku tidak punya uang," jawab suaminya santai.

"Lalu bagaimana?" tanyanya.

"Ya coba kamu pinjam dulu, nanti aku ganti," jawab alif suaminya.

Rania menghela napas, ia sudah menduga ucapan suaminya seperti itu. Walaupun ia tidak pernah berhenti berharap, namun selalu dipatahkan dengan jawaban yang sama.Jika menurut banyak orang pernikahan yang sudah berjalan di atas lima tahun telah berhasil secara finansial, itu tidak berlaku untuk rumah tangga Rania Salsabila dan Alif Darmawangsa.

Usia pernikahan mereka sudah 11 tahun, di karuniai seorang putri berusia 10 tahun bernama Alisa Putri dan seorang putra berusia 3 tahun bernama Bintang Dwi Putra. Dari luar hubungan mereka terlihat harmonis, kehidupan mereka juga terlihat cukup padahal kenyataannya hutang mereka menumpuk. Rania jarang sekali di beri nafkah suaminya dengan alasan uang gajinya sudah habis untuk cicilan motor dan kebutuhannya yang lain.

"Aku harus pinjam kepada siapa lagi, Mas?" tanya Rania mulai kesal.

Alif hanya diam seperti biasa, ia lebih memilih menghindar jika tidak ada solusi. Sebenarnya bukan dia tidak peduli namun memang ia malas berpikir lagi, baginya ia sudah melakukan tugasnya sebagai kepala keluarga yaitu membanting tulang. Perkara uang yang ia hasilkan itu cukup atau tidak, itu urusan istrinya. Dan ini sudah terjadi sejak awal pernikahan mereka, awalnya Rania mengira bisa merubah sifat suaminya dengan kasih sayang, nyatanya sampai saat ini tetap sama.

"Mas itu selalu begini, tidak pernah memberi solusi selalu diam dan diam. Aku lelah Mas, hutang kita menumpuk. Setiap hari bukannya berkurang justru terus bertambah," ucap Rania setengah berteriak.

"Lalu aku harus bagaimana, Nia? Aku sudah bekerja, bukannya hanya ongkang-ongkang kaki. Jika hasilnya tidak cukup, lalu mau bagaimana lagi," jawab Alif lembut.

"Ya kamu berusaha Mas, jika tidak cukup ya carilah pekerjaan lain. Anak kita sudah dua, Alisa sudah mau naik kelas 5, Bintang juga masih kecil butuh asupan gizi yang cukup," ucap Rania.

Alif hanya diam, ia menyulut rokok dan memilih keluar merokok. Begitulah dia, selalu memilih menghindar daripada bertengkar dengan istrinya. Mungkin inilah yang membuat rumah tangga mereka bertahan hingga 11 tahun lamanya dengan permasalahan yang sama. Namun bagi Rania justru sikap suaminya membuat dia lelah, selalu menghindar dalam setiap masalah dan kembali dengan sikap biasa seolah tidak pernah ada adu mulut sebelumnya.

Rania harus memikirkan cara untuk mendapatkan uang, jika tidak listrik di rumahnya akan padam. Ia membawa Bintang putra bungsunya, memboncengnya dengan motor menuju rumah kakaknya untuk meminjam uang.

"Assalamualaikum," ucap Rania memberi salam.

"Waalaikumsalam, eh Rania ayo masuk," ajak Tiara, kakak kandung Rania.

"Tumben pagi-pagi sudah kesini, kamu tidak masak?" tanya Tiara.

"Belum Kak, aku mau minta tolong,"

Dengan malu-malu Rania mulai berterus terang, namun ia terpaksa karena tidak ada pilihan lain lagi. Hutangnya kepada kakaknya sebenarnya sudah banyak, namun Tiara tetap selalu membantunya jika butuh pinjaman.

"Kenapa lagi, kamu butuh uang lagi ya? Suami mu tetap tidak memberi mu nafkah?" tanya Tiara sepertinya sudah bisa menduga.

"Aku pusing Kak, rasanya sudah tidak sanggup lagi hidup begini terus. Bukannya tidak mau bersyukur tapi dia sungguh keterlaluan," jawab Rania mulai meneteskan air mata.

"Ini pegang saja, ada uang 500rb kamu pakai saja dulu. Sebaiknya kamu berjualan agar uangnya bisa berputar, dulu kamu kan juga sudah sering membuat usaha. Coba saja berjualan yang tidak perlu modal banyak tapi bisa laku setiap hari, jadi kamu bisa selalu pegang uang," saran tiara sembari menyerahkan uang ke tangan Rania.

Rania menerima uang dari kakaknya dengan penuh rasa haru. Selama ini keluarganya tahu apa yang terjadi dengan kehidupan rumah tangganya bersama Alif, namun mereka tidak terlalu ingin ikut campur. Mereka selalu memberi nasehat yang baik kepadanya, walau suaminya kerap menganggur tapi keluarganya tidak pernah menghina atau meremehkannya. Mereka hanya bisa membantu Rania sesuai kemampuannya.

"Iya Kak, aku mau mencoba menjual gorengan dan makanan ringan serta es saja. Semoga bisa berjalan dengan lancar," ucap Rania.

"Amin," balas Tiara.

Rania segera berpamitan untuk mulai membeli bahan dan jajanan anak-anak di pasar. Sebenarnya ia ingin meninggalkan Bintang bersama suaminya, namun itu tidak mungkin karena putranya selalu menolak bersama ayahnya jika tidak ada dia. Mungkin karena mereka jarang bersama sehingga tidak ada kedekatan diantara keduanya. Suaminya memang selalu sibuk bekerja dan jarang mempunyai waktu bersama keluarga kecil mereka, namun entah mengapa ia merasa bayaran yang suaminya dapatkan tidak pernah sesuai dengan waktunya bekerja.

Terkadang ia berpikir suaminya berbohong tentang gajinya, namun segera di tepisnya pikiran buruk itu dari kepalanya. Suaminya sebenarnya baik, sabar namun kurang tegas dalam segala hal. Dia sudah berusaha menerima kekurangannya selama ini, namun tuntutan hidup yang semakin besar kerap membuat mereka bertengkar dan bertengkar lagi karena keadaan.

"Kamu bawa apa saja itu, kok banyak sekali?" tanya Alif ketika Rania datang membawa banyak belanjaan.

"Mbak Tiara memberi aku pinjaman, aku mau mulai berjualan lagi. Ini kamu isi token listriknya," jawab Rania sembari menyodorkan kertas token.

Ya seperti inilah mereka, setelah bertengkar jika masalah terselesaikan keadaan akan segera membaik. Namun Rania akan memilih diam berhari-hari bila tidak ada solusi.

"Memangnya kamu mau jualan apa?" tanya Alif.

"Aku ingin mencoba jualan gorengan, itu sudah beli pisang, tempe, benjes, sama bahan tahu isi dan ote-ote. Kalau yang kresek hitam itu jajanan anak-anak, pasti laku karena di sini dekat dengan kos-kosan dan taman kanak-kanak," jawab Rania.

"Ya tapi kamu jangan terlalu lelah, Bintang juga butuh perhatian mu," ucap suaminya.

"Iya aku tahu Mas, aku tidak akan seperti kamu yang tidak bisa menjalankan kewajibannya," balas Rania kesal.

Selama ini ia tidak pernah melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri dan ibu, bahkan semua itu lebih penting dari dirinya sendiri.

Setelah memasak nasi, ia memandikan anaknya Bintang. Alisa di antar sekolah oleh ayahnya, sementara ia memasak. Setelah semua pekerjaan rumah selesai barulah ia mulai mempersiapkan untuk mulai berjualan. Beruntung Bintang tidak pernah rewel asal ada dirinya di deket putranya, jadi dia bisa melakukan aktivitasnya sembari mengawasi putranya bermain.

Suaminya segera mandi selepas mengantar putrinya sekolah, lalu bergegas sarapan dan menemani Bintang bermain sebentar.

"Kamu tidak kerja hari ini, Mas?" tanya Rania.

"Nanti sore, jadi sekarang masih bisa menemani Bintang bermain," jawab Alif.

"Kamu harus menabung Mas, dua bulan lagi kontrakan ini habis. Jangan sampai nunggak, aku malu," ucap Rania.

"Iya aku tahu, aku usahakan sebelum waktunya akan aku bayar," balas Alif.

Bintang terlihat bermain dengan ayahnya, ia merasa gembira sekali. Kebersamaan mereka memang sangat jarang karena Alif terlalu sibuk bekerja, namun walaupun begitu Bintang akan menangis jika di tinggal ayahnya berangkat kerja.

"Dek, aku minta uangnya untuk beli rokok ya," pinta Alif.

Bab 2 Lelah Yang Terbayar

"Astaga Mas, kamu masih memikirkan rokok di tengah hidup kita yang sudah begini," ucap Rania merasa miris.

"Nanti aku ganti jika sudah gajian," balas suaminya.

"Selalu saja kamu berkata begitu, coba kamu lihat ini hutang kamu sangat banyak. Itu hanya yang besar-besar saja yang aku catat, sudah sekian juta. Harusnya kamu mengerti aku bukan pekerja kantoran lagi, uang itu hasil meminjam malah kamu pakai dan tidak kamu bayar," ucap Rania kesal.

"Ya sudah kalau tidak mau memberi," balas Alif kecewa.

Rania merasa begitu kesal, selama ini dia selalu tidak tega jika suaminya meminta. Asal dia punya uang entah dari hasil bekerja bahkan dari meminjam ia selalu memberinya. Lama-lama ia merasa suaminya tidak betul-betul mencintainya, tapi hanya karena ingin memanfaatkannya.

Sebenarnya ia sudah tidak tahan sejak lama, namun mengingat kedua anaknya membuatnya selalu mengurungkan niat untuk bercerai. Tapi kesalahan yang suaminya buat selalu berulang, membuatnya tidak habis pikir dengan cara pandang suaminya. Usia suaminya lebih tua 5 tahun darinya, namun sikapnya tidak menunjukkan kedewasaan sama sekali. Ini merupakan hasil didikan keluarganya yang terlalu memanjakannya.

"Aku mau pergi dulu," pamit Alif.

"Mau kemana, katanya kerjanya masih nanti sore?" tanya Rania.

"Keluar ke depan, sebentar," jawab Alif.

Ia mengeluarkan motor dan bergegas pergi. Sementara Rania mulai menata dagangannya, dia mengeluarkan meja untuk menaruh semua dagangannya. Semua makanan ringan ia susun rapi. Rania membuatkan susu terlebih dahulu untuk Bintang supaya dia tidak rewel.

Rasa lelah mulai mendekap tubuhnya, namun ia tetap melanjutkan pekerjaannya. Ia mulai menata gorengan yang sudah matang, pembeli juga mulai berdatangan. Sudah sekitar setengah jam suaminya pergi namun belum juga kembali.

"Gorengannya harganya berapa mbak?" tanya seorang pembeli.

"Semuanya serba seribu, Bu," jawab Rania ramah.

Alhamdulillah dagangannya banyak yang membeli, Rania sangat bersyukur.

"Sudah selesai, Nia?" tanya Alif yang baru datang.

"Belum semua aku goreng, sebagian saja biar tetap hangat saat ada yang membeli. Mas itu bilangnya sebentar tapi hampir satu jam," jawab Rania.

"Iya, tadi tidak sengaja bertemu teman di depan jadi ngobrol dulu," ucap Alif.

"Katanya tidak punya uang, kok bisa beli rokok?" tanya Rania heran.

"Pinjam sama teman," jawab Alif.

Rania heran sekali kepada suaminya, jika pinjam untuk beli rokok dia pasti dapat dan tidak merasa malu, tapi jika di suruh pinjam untuk urusan rumah dia sering bilang tidak ada. Pernah suatu ketika waktu Bintang masih belum genap satu tahun kehabisan susu, saat itu Rania sama sekali tidak punya uang. Dia meminta suaminya untuk membelikan susu Bintang tapi suaminya mengatakan tidak memiliki uang, namun betapa sakit hatinya saat mengetahui suaminya bisa membeli rokok untuk dirinya sendiri.

"Tolong jaga dagangan ku, aku mau mandi lagi badan ku terasa lengket," pinta Rania.

"Iya, tapi jangan lama-lama," ucap Alif.

"Memangnya kapan aku pernah mandi lama, Mas? Baru masuk kamar mandi sebentar saja Bintang sudah terus memanggil ku," balas Rania.

"Iya, maksud ku tidak perlu nyuci biar tidak lama," ucap Alif.

Rania tak menjawab suaminya dan langsung masuk ke kamar mandi. Ia merasa selama ini hidup bagai di dalam penjara, pergi sebentar sudah di suruh pulang. Setiap pergi wajib membawa anak-anak. Setiap mengajak suaminya jalan-jalan selalu menolak dengan alasan membuang-buang uang. Padahal jika ia mengajak pergi pasti dia yang mengeluarkan uang.

"Nia, cepat mandinya ini banyak pembeli. Aku bingung melayani mereka," teriak Alif.

"Iya Mas, ini sudah selesai," ucap Rania.

Ia bergegas mengenakan pakaian, tanpa bedak atau make up ia mulai melayani pembeli. Karena gorengannya hampir habis ia mulai menggoreng kembali.

"Mas, ini waktunya Alisa pulang sekolah, jangan biarkan dia menunggu terlalu lama," ucap Rania.

"Iya,"

Tugas mengantar dan menjemput Alisa adalah tanggung jawab Rania jika suaminya sedang bekerja. Ia akan meminta tolong suaminya jika ia sedang sibuk dengan hal lainnya, seperti saat ini.

"Wah dagangan mu laris manis, sudah dapat berapa?" tanya Alif.

Ia melihat istrinya sedang menghitung uang saat ia baru tiba, sepertinya dagangan istrinya laris manis.

"Alhamdulillah Mas, sudah dapat 200 ribu," jawab Rania senang.

"Semoga terus seperti ini ya, Nia,"

"Amin,"

Hari sudah siang gorengannya sisa sedikit, Rania meninggalkan dagangannya sebentar untuk makan. Perutnya sudah mulai terasa lapar karena sejak tadi belum terisi nasi sama sekali. Sebenarnya dia punya penyakit maag yang terkadang kambuh, namun kesibukan selalu membuatnya lupa makan. Bahkan terkadang sore baru bisa menyentuh nasi.

"Bu, kata bu guru semua murid wajib membeli buku LKS, harganya 167 ribu," ucap Alisa.

"Ya Nak, besok ibu beri uangnya. Kamu belajar yang rajin ya Nak, agar bisa menjadi orang yang bermanfaat," balas Rania sembari mengelus rambut putrinya.

Alif hanya diam saja mendengar mereka berbicara, selama ini memang Rania yang lebih peduli tentang apapun yang terjadi di dalam rumah tangga mereka. Di saat Rania tidak memegang uang jarang sekali suaminya membantunya namun ketika Alif tidak punya uang tanpa rasa sungkan atau malu ia pasti meminjam bahkan meminta kepada Rania. Baru saja ingin merebahkan tubuhnya ada yang memanggil namanya.

"Rania," panggilnya.

"Eh bu Santi, ada apa ya Bu?" tanya Rania.

"Gorengannya masih ada tidak, aku butuh 50 biji karena nanti akan ada tamu," jawab bu Santi.

"Ada Bu, tapi saya harus menggoreng dulu,"

"Ya sudah tidak apa-apa, nanti tolong diantarkan ke rumah ya. Campur saja gorengannya ya, ini uangnya,"

"Baik Bu, nanti akan saya antarkan,"

Rania bersyukur sekali hari ini dagangannya laris manis, bisa untuk membayar buku Alisa dan modal untuk jualan besok. Ia bergegas berjibaku dengan gorengannya kembali, rasa lelah tidak ia hiraukan lagi. Rasanya begitu panas berada di depan wajan penggorengan, wajahnya yang tadi sudah segar kembali berkeringat. Dulu dia adalah gadis yang modis dan selalu menjaga penampilan, namun seiring tuntutan hidup yang semakin berat ia rela mengalah. Baginya saat ini yang terpenting adalah bagaimana keluarganya bisa tercukupi.

"Mas, tolong kamu jaga Bintang. Aku mau antar gorengan ke rumah bu Santi dulu," ucap Rania.

"Kenapa harus di antar sih, kenapa bukan orangnya yang datang kesini?" tanya Alif kesal tidurnya terganggu.

"Tadi dia sudah kesini, tapi hitungannya habis jadi aku harus menggoreng dulu," jawab Rania.

"Ya sudah sana, jangan lama-lama aku masih mengantuk,"

Rania bergegas ke rumah bu Santi, namun baru beberapa langkah putranya Bintang sudah merengek minta ikut. Sebenarnya Rania tidak tega, namun apa boleh buat tidak mungkin suaminya mau di suruh mengantarnya. Alif membujuk Bintang supaya tidak menangis, namun sepertinya upayanya tidak membuahkan hasil. Rania masih bisa mendengar tangisan Bintang dari kejauhan, membuat dia semakin mempercepat langkahnya.

Bab 3 Sabar

Sore hari, pukul 15.30.

"Mas, kamu berangkat jam berapa? ini sudah jam setengah empat?" tanya Rania membangunkan Alif yang masih tertidur.

Tanpa menjawab Alif segera bangkit dan menuju kamar mandi, setelah shalat ashar dia berganti seragam kerjanya. Dia masih sempat merokok di teras.

"Dek, uangnya aku pinjam 50 ribu untuk pegangan dan beli bensin ya,"

Alif mengambil uang dagangan milik Rania tanpa menunggu jawaban dari istrinya itu.

"Mas, tapi itu untuk modal dagang besok dan membayar uang buku Alisa," ucap Rania.

"Ya, itu kan masih ada. Aku cuma pinjam 50 ribu ini," balas Alif.

"Mana cukup Mas, kamu selalu saja begitu. Bilangnya pinjam tapi tidak pernah di kembalikan, kamu tidak peduli dengan pengeluaran rumah ini. Aku lelah jika terus seperti ini, kamu tidak pernah berubah," ucap Rania mulai terisak.

"Ya, nanti aku kembalikan," balas Alif singkat.

Alif bergegas berangkat kerja tanpa memperdulikan perasaan Rania. Terlalu sering baginya menerima perlakuan suaminya yang semaunya begini, namun tetap saja hatinya terasa sakit. Ia telah menikah dan bersuami, namun kenyataannya ia lebih sering berjuang sendiri untuk mempertahankan hidup keluarganya.

Di usapnya air mata yang menggenangi mata lentiknya. Rania menatap kedua buah hatinya yang masih terlelap, air matanya kembali mengalir. Jika bukan karena mereka mungkin telah lama ia meninggalkan suaminya itu.

"Alisa, bangun Nak sudah waktunya mengaji,"

Rania membangunkan putrinya dengan lembut, setelah menyeka air matanya. Ia tidak ingin putrinya tahu jika ia sedang bersedih.

"Bu, ini sudah waktunya bayar spp," ucap Alisa sembari menyodorkan kartu spp mengajinya.

"Iya Nak, ini ibu bayar. Langsung di berikan supaya tidak hilang ya,"

Rania mengambil uang 25 ribu dan memasukkannya ke kartu spp anaknya. Ia menghela napas panjang, kini uang untuk modal dagang besok semakin berkurang. Padahal bahan gorengan semua sudah habis tak bersisa, ia harus memutar otak lagi agar besok masih bisa menjual gorengan.

"Bu, Alisa berangkat dulu. Assalamualaikum," pamit Alisa.

"Tunggu Nak, ini sangu mu,"

Rania memberikan uang 3 ribu rupiah untuk jajan putrinya karena mengajinya hanya satu jam, sedang 5 ribu rupiah untuk sangu putrinya sekolah. Belum lagi ia harus memikirkan tentang pengeluaran Bintang, beruntung dia sudah lepas dari pampers dan susu bubuk. Namun begitu Bintang sudah mulai minta uang untuk jajan dan membeli susu uht, bisa di bayangkan pengeluaran wajib sehari berapa.

Suaminya tidak pernah memikirkan itu semua, ia harus mencari solusi sendiri agar bisa menghidupi keluarganya. Uang pesangon dan jamsostek sudah habis tak bersisa untuk biaya hidup, dia tidak memiliki harta yang berharga lagi bahkan cincin kawinnya telah lama sekali ia jual guna menutupi kebutuhan hidup. Ia hanya bisa sabar, entah sampai kapan ia juga tidak tahu.

"Mbak Rania," panggil seseorang.

"Iya, eh mbak Rita. Ada apa mbak?"

"Mbak besok kan ada arisan di rumah, apa bisa besok saya pesan gorengannya 150 biji campur ya. Ini uangnya saya berikan dulu, barangkali buat beli bahan-bahannya,"

Mbak Rita memberikan uang kepada Rania, ia bersyukur sekali. Rejeki dari Allah benar-benar tidak di sangka, ia mendapat modal untuk berjualan besok.

"Baik Mbak, besok jam berapa?" tanya Rania penuh syukur.

"Sore Mbak, sehabis ashar sekitar jam setengah 4 ya,"

"Baik, besok saya antar sebelum jam tersebut,"

Mbak Rita lantas berpamitan. Rania segera membereskan dagangannya karena akan memandikan Bintang dan lanjut ke pasar untuk membeli bahan dagangan untuk besok.

Ia segera mengunci pintu dan bergegas ke pasar bersama Bintang, ia harus cepat karena pukul 17.10 Alisa sudah pulang dari mengaji. Gadis itu pasti bingung jika melihat rumahnya terkunci dan ibunya tidak ada di rumah.

Setelah semua belanjaan cukup, Rania segera bergegas pulang. Baru saja memarkirkan motor, putrinya juga tiba.

"Ibu darimana kok bawa belanjaan banyak sekali?" tanya Alisa.

"Ini bahan buat jualan besok Sayang, sekalian belanja buat yang akan di masak besok supaya tidak perlu ke pasar lagi," jawab Rania sembari mengelus kepala putrinya.

Setelah shalat magrib, Rania mengajari Alisa untuk mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya. Sembari mengajari putrinya ia juga harus menjaga Bintang agar tidak mengganggu kakaknya. Tugas ini terlihat mudah, namun nyatanya cukup sulit membuat keduanya berjalan berdampingan. Hanya seorang ibu yang mampu melakukannya, maka dari itu jangan pernah menyepelekan pekerjaan ibu rumah tangga.

Pukul 21.00 kedua anaknya telah terlelap, ia mulai menyiapkan bahan gorengan untuk besok. Ia mulai mengiris sayuran untuk isian tahu isi dan ote-ote, jadi besok tinggal melanjutkan saja. Sekitar pukul 23.00 semua pekerjaan telah selesai dikerjakan, semua piring telah bersih, jemuran juga sudah di lipat. Baru saja akan terlelap ponselnya berdering.

"Ada apa, Mas?" tanya Rania dengan suara serak karena mengantuk.

"Dek, tolong belikan aku pulsa ya, soalnya penting," jawab Alif.

"Apa? ini sudah jam 11, Mas. Kamu beli saja sendiri, tadi kan kamu sudah pinjam uang dagangan," ucap Rania kesal.

"Tapi aku tidak bisa keluar, belikan 20 ribu saja," balas Alif memaksa.

"Aku ini baru saja selesai dan baru saja mau tidur, Mas kok tega sih. Minta tolong saja sama teman mu, kamu itu selalu menyuruh ku mengerti, tapi di saat aku yang butuh di mengerti kamu kemana!" ucap Rania kesal.

"Ya sudah kalau tidak bisa, aku minta tolong yang lain saja,"

Rania segera memutuskan panggilan, hampir setiap hari suaminya membuatnya kesal. Selama ini segala kepahitan hidup selalu ia telan sendiri, ia tidak berani mengatakan kepada siapapun tentang kehidupannya.

Setiap lebaran atau ada acara keluarga, saudara-saudaranya kadang meledeknya karena berpenampilan kumal dan pakaiannya itu-itu saja. Rania juga tidak punya perhiasan satu pun, satu-satunya aksesoris yang ia pakai hanya jam tangan usang pemberian kakaknya satu tahun yang lalu. Bagaimana mungkin dia memperhatikan kebutuhannya jika untuk kehidupan sehari-hari saja dia sulit.

♥︎♥︎♥︎

Keesokan hari, sesaat setelah adzan subuh berkumandang.

Rania menggeliatkan tubuhnya yang masih terasa letih, rasa mengantuk masih menggelayut manja di kedua matanya. Segera ia mengambil wudhu' untuk selanjutnya bersimpuh di hadapan sang pencipta. Setelah merasa cukup berbagi dengan Tuhannya, ia segera memulai aktivitasnya.

Rania mulai mencuci baju kotor, ini dia lakukan setiap hari agar tidak menumpuk. Karena piring sudah ia cuci semalam ia mulai membuat adonan untuk gorengan. Pukul 06.00 ia membangunkan Alisa untuk, dan menyiapkan semua kebutuhan putrinya.

"Sayang ayo cepat bangun, ini sudah jam 6," ucap Rania.

"Iya Bu, aku akan segera mandi,"

Pukul 06.45 Rania sudah bersiap mengantar Alisa.

"Bu, Bintang belum bangun, bagaimana jika saat ibu mengantar ku dia bangun?" tanya Alisa kuatir.

"Sekolah mu kan dekat, sepertinya dia tidak akan bangun. Ayo cepat, Nak," jawab Rania.

Setelah mengantar Alisa sampai pintu gerbang, ia bergegas pulang.

"Ibu, ibu..."

Rania dikagetkan oleh teriakan Bintang dari dalam rumah, ia segera membuka pintu.

"Astaga, Bintang..."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!