NovelToon NovelToon

Heh, Sebenarnya Apa Yang Terjadi???

1

Di suatu hari bergerimis, suara rintik hujan yang jatuh di atas atap tak juga berhenti terdengar. Empat dara remaja duduk berkumpul, salah satu dari mereka memegang ponsel di tangannya. Wajah gadis itu terlihat sangat serius, membaca setiap kata yang tertera di layar ponsel pintarnya.

"Bagaimanakah aku akan menjalani kehidupan yang baru ini?" ucapnya dengan nada menjeda. "Jadilah saksi kisah perjalananku di dunia yang tak aku ketahui ini!" lanjutnya seraya menghela napas panjang.

Hening sejenak, tak ada yang bersuara. Hingga gadis yang memegang ponsel kembali membuka mulutnya. "Gila!!!" katanya sambil melirik salah satu kawannya yang duduk di hadapannya. "Cerita apa yang lu buat kali ini?" protesnya sambil menunjuk-nunjuk layar ponselnya yang masih menyala, layar yang masih memperlihatkan halaman yang sama yang baru saja selesai dia baca.

"Kenapa?" tanya orang yang bersangkutan tanpa beban. "Menurut gue udah bagus kok!" katanya lagi.

"Kalau mau buat novel gak gini juga konsepnya Bambang!" pekik gadis yang sejak tadi protes. Dia dipaksa membaca karya baru yang ditulis temannya secara online, ingat ada kata dipaksa di sana. Lalu setelah itu, dia harus memberikan masukan. Nah masalahnya ada di sana, apa yang mau diberi masukan kalau isi bab pertamanya saja penuh dengan tanda tanya.

"Benar kata Miu, cerita lu bukan kek cerita, tapi tumpukan pertanyaan," sahut gadis lainnya dengan suara masa bodoh.

"Namanya juga baru awal, baru pronolog-nya itu!" kata gadis yang membuat novel penuh tanda tanya membela diri.

"Seenggaknya lu bisa ngasih perkenalan dulu lah sama si tokoh utama yang penuh dengan pertanyaan di bab pertamanya ini, Vie!" desah salah satu dari mereka memberi masukan.

"Ih, udah gak zaman kenalan-kenalan dulu. Sekarang zamannya main nanya dulu, baru kenalan!" kata gadis yang bernama Vie kekeuh dengan pendiriannya. Menurutnya tak ada yang salah dengan novel yang dia buat, lagian itu baru awal, jadi masih pembukaan, gak perlu ribet mikirin ini dan itu. Cukup buka dengan sedikit keterangan waktu dan tempat, lalu akhiri dengan pertanyaan yang sekiranya bisa membuat orang-orang penasaran dan lanjut baca. Selesai.

"Lu belajar ngeles di mana sih? Jago amat!" dengus Miu merasa kepalanya sudah mau pecah. Menyesal dia tadi mau-maunya saja dipaksa oleh sahabat tanpa akhlak seperti sahabatnya yang satu ini.

"Kan belajarnya dari kalian? Lupa ya?" timpal Vie dengan senyum kemenangan. Kalau jawabannya sudah begini, lantas bagaimana mereka bertiga bisa menimpali coba.

"Balik lagi ke masalah cerita lu," potong Indi mengingatkan apa yang sedang mereka bicarakan. "Lu ada angin apa sih bisa-bisanya nulis kek gini?" tanyanya penasaran.

"Iya, mau-maunya lu ikutan nulis?" sahut Lili menimpali. "Biasanya aja lu bilang napas aja udah bikin lelah, ngapain harus bergerak dan beraktivitas!" katanya lagi mengikuti gaya bicara kawannya yang terkenal pemalas. Anehnya sekarang kawannya itu malah jadi yang paling aktif di antara mereka bertiga.

"Buat ngisi waktu aja kalau kita gak bisa ngumpul kayak gini," aku Vie sembari menggaruk pipinya yang tak gatal. "Kalian kan pada sibuk dengan urusan masing-masing, nah gue bete dan boring banget kalau sendirian terus gak ngapa-ngapain. Jadi, gue mutusin buat ikut-ikutan nulis sih. Selama ini kan gue udah banyak baca novel ini dan itu dari berbagai genre, bisa lah gue kalau nulis yang gaya ceritanya aneh dan nyerempet ke humor sedikit," jelas gadis itu sambil melirik ke lain arah.

"Bukan gaya ceritanya aja yang aneh, awalnya pun udah aneh pake banget, Vie," celetuk Lili dengan tampang malas. "Tokoh utama lu gak dikenalkan siapa namanya, dia penuh dengan banyak pertanyaan dari awal hingga akhir. Gak ada keterangan dia kenapa dan dari mana, tapi tetiba dia langsung ada aja gitu. Logikanya mati karena terlalu banyak nanya tapi gak punya jawaban satu pun untuk semua pertanyaan yang dia tanyakan dalam dirinya. Dan satu lagi yang paling bikin gue kesel, si tokoh ini ngomong pakai aku-kamu atau saya-anda, astaga, ini udah tahun berapa? Gak bisa apa ngikutin gaya bicara kita aja yang pake lo-gue?" cerocos Lili memaparkan berbagai fakta yang dia rasa patut diedit habis-habisan sebelum di-up ulang.

"Di situ seninya, gue lagi pengen aja nulis begitu untuk pronolog awal," kata Vie setelah menerima semua masukan.

"Bentar-bentar, kayaknya ada yang salah dengan otak sohib kita satu ini. Dikasih masukan bukannya ngedit ceritanya, malah dengan bangganya bilang kalau itu bagian seni yang pengen dia tonjolkan? Astaga, lama-lama gue gila ini!" desah Miu tak tahu lagi harus berkata apa. "Siapa yang bakalan baca cerita lu, neng?" lanjutnya dengan mata melotot gemas. Kawannya ini terlalu benget kalau sekali aja menggunakan otaknya, gak ada yang paham apa yang dia pikirkan dan apa yang dia lakukan kalau itu sudah terjadi.

"Loe!" tukas Vie menunjuk Miu. "Dan kalian berdua tentunya!" lanjut gadis itu dengan senyum yang teramat lebar.

"Vie, kita baca karena lu yang maksa. Kalau lu gak maksa, kita mungkin gak bakalan tahu kalau novel seaneh ini ada loh!" ucap Miu dengan kesabaran yang terus menipis semakin lama dia berbicara dengan sahabatnya yang satu ini.

"Itu dia! Kalian kan sohib gue, tahu kalau gue nulis di sini. Nah, kalian pasti bantu baca trus like novel gue kan?" timpal gadis itu dengan entengnya.

"Akhirnya, gue tahu kita-kita bakalan dimanfaatkan kek begini!" dengus Lili merengut kesal.

"Gue gak bisa janji, tapi sebagai sahabat, gue pasti mampir ke novel lo," kata Indi dengan wajah pasrah.

"Nah, kalau gini gue kan tetep semangat buat terus nulis!" kata Vie tersenyum puas. "Ada tiga pembaca tetap yang gue dapat tanpa perlu susah payah promo ke mana-mana!" katanya terus tertawa.

Miu menghela napas panjang, beginilah kawannya yang satu ini. Pola pikirnya terlalu simple, tak pernah merasa terbebani dan selalu melakukan apa pun yang dia inginkan dengan spontan.

Seperti saat ini, kawannya itu sudah ngepost satu bab novel dan malah tak peduli ada yang mau baca atau tidak. Yang penting dia senang dan itu sudah cukup, mana mau dia mendengar ocehan orang lain yang menurutnya tak penting dan malah bikin pusing. Yah, kecuali ketiga sahabatnya tentunya. Masukan dari mereka wajib didengarkan lalu ditimpali sebaik mungkin, mereka berteman jadi masukan dari sahabatnya tak mungkin aneh-aneh.

Hari itu, diselesaikan dengan memutuskan untuk membuat bab kedua pada saat itu juga. Mereka berempat ikut menyumbang sedikit-sedikit apa yang mereka pikirkan untuk kelanjutan novel temannya itu.

2

Hari ini, keempat dara jelita yang bersahabat itu memutuskan untuk liburan bersama. Mumpung musim liburan panjang dan mereka tak memiliki tugas dari sekolah. Jadi, tak ada salahnya menghabiskan waktu dengan bersenang-senang.

"Astaga, lu bawa apaan sebanyak itu?" pekik Miu menatap penuh tanya koper-koper Vie yang berderet dengan rapi di sisi gadis itu.

"Lu mau liburan atau pindahan, sih?" ketus Lili seraya menggelengkan kepalanya heran.

"Liat Lili, cuma bawa satu tas ransel aja udah cukup," timpal Indi memikirkan bagasi mereka akan penuh dengan koper milik Vie saja.

"Ini tuh penting tahu!" kata Vie bersikeras kalau dia membawa hal-hal yang paling penting, bukan cuma benda-benda gak diperlukan. "Di sini ada selimut, jaket, jas ujan, ada payung juga, terus ada tenda, ada alat masak, korek, dan kompor portabel," jelas Vie sambil menunjuk koper-kopernya.

"Vie, kita liburan dan bakalan nginep di hotel, bukannya kamping di hutan belantara yang gak ada kehidupan," kata Miu menyanggah.

Lili mengangguk membenarkan. "Jadi gak perlu bawa tenda, jas hujan, kompor, dan yang lainnya, bund!" kata gadis itu menambahkan.

"Jaga-jaga aja, gak ada salahnya. Kalau gak dipakai, gak kenapa-napa juga. Yang penting ada dulu, sedia payung sebelum hujan kata emak gue!" kata Vie yang selalu siap sedia dengan segala sesuatu yang mungkin dibutuhkan di dalam tas Doraemon-nya. Kenapa disebut tas Doraemon, ya kerena seperti kantong Doraemon, semua serba ada walau ukurannya pasti kecil-kecil yang dibawa.

"Ya, udah. Ayo berangkat aja, ntar makin siang cuma gegara ributin barang bawaan aja," kata Miu menengahi. Vie dan segala persiapannya, apa lagi kalau ada embel-embel kata emak gue, udah kelar. Gak akan ada yang bisa membantah kata keramat yang memenuhi isi kepala sahabat mereka itu. Belum lagi mereka juga bingung, kenapa sahabatnya itu memanggil ibunya emak bukannya mama, mami, atau nyokap lah. Kayak gak cocok aja sama gaya bicara kawannya yang gaul abis itu.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Belum sampai tengah hari, mereka berempat sudah sampai di pinggiran desa yang memiliki pemandangan sangat-sangat indah. Belum lagi tepian pantai yang bisa dilihat sejauh mata memandang, sungguh menyegarkan. Ingin rasanya mereka segera menceburkan diri ke air dan bermain di sana, tapi keempatnya memilih memesan kamar dulu dan membongkar barang yang mereka bawa. Mereka sepakat setelah makan baru mereka akan bermain air di sore hari. Terlalu panas kalau bermain tepat setelah makan siang berakhir.

"Udaranya beda, ya," celetuk Indi menghirup rakus udara yang sangat segar menurutnya, berbeda dengan udara di ibukota yang yah, tak usah dikatakan pasti semua sudah pada tahu.

"Ya, iyalah. Masih seger dan asri begini, pasti udaranya fresh," kata Lili menanggapi. "Pengen gue bungkus terus jual di sono, pasti banyak yang mau beli," lanjut gadis itu mulai asal cuap.

"Masukin ke mana? Kresek item?" cibir Indi menanggapi ocehan asal sahabatnya yang satu ini.

"Masukkan ke botol aja atau kaleng, Li!" celetuk Vie ikut-ikutan ngasal.

"Yaelah, ini juga satu ikut-ikutan aja. Udah tahu temennya gak bener!" dengus Indi setengah kesal.

"Bisa jadi duit loh, Di. Kalau laku banyak, tinggal minta bagian sama Li!" kata Vie lagi, mata gadis itu berbinar memikirkan uang yang akan mereka dapatkan kalau memang mereka jadi membawa udara yang segar dan menjualnya di kota nanti.

"Astaga, aku menyerah," kata Indi pasrah, dia melirik ke arah Miu dengan tatapan memelas.

"Biarin saja, serah mereka asal bahagia aja," kata Miu menanggapi tatapan dari Indi kepada dirinya. "Gimana novel lo?" tanya Miu mencari topik baru setelah beberapa saat diam.

"Udah lanjut belum?" tambah Indi ikutan bertanya. Yah, kalau ada bab baru, bisa sekalian dititipin jempol lah, itu kan gunanya temen.

"Gak tahu juga gue, tuh novel gue baik-baik aja apa nggak, belum gue tanyain soalnya," cerocos asal sang penulis abal-abal yang sayangnya merupakan teman baik mereka. Kalau soal lanjutan, kabar baiknya gue belum nulis satu kata pun lagi, he-he," tambah gadis itu cengengesan.

"Banyaknya waktu lu dan lu belum nulis lagi dari kemaren?" celetuk Lili.

"Kan kita lagi liburan, ngapain lanjut nulis?" balas Vie lebih mementingkan liburan bersama mereka. "Lagian gue nulis untuk ngisi waktu kalau kita-kita gak bisa ngumpul trus gue gak ada kegiatan, bukannya untuk fokus bener-bener jadi penulis, kok," lanjut gadis itu yang hanya memilih ikutan menulis sebagai pengisi waktu luang.

"Padahal ada yang bilang kalau nulis bisa dapet cuan, loh, Vie," bisik Lili.

"Gue tahu, tapi gue gak terlalu berharap untuk itu. Yah, lu pada tahu sendiri lah tulisan gue kayak apa. Kata kalian kalau ada yang baca dan like selain kita-kita aja udah sukur banget, kan?" tukas Vie yang selalu ceria.

"Andai aja gue bisa mikir sesederhana lu, Vie," kata Miu, kedua sahabat mereka yang lain mengangguk membenarkan.

"Lah, tinggal ikutin aja, gak usah dibuat ribet!" kata Vie menimpali.

"Gak segampang itu, Vie. Banyak yang emang kayak dibuat jadi masalah dan harus dipikirin sebaik-baiknya sebelum dilakuin atau dijalani," ujar Indi menjelaskan.

"Stop bahas masalah yang ribet, kita di sini buat liburan dan main air sepuasnya. Ayo rehat dulu, ntar sore baru kita jalan-jalan!" tukas Vie berdiri dari duduknya.

"Yup, mari kita dengarkan kata sesepuh kita yang satu ini!" kekeh Miu sedikit bercanda.

"Dih, inget aja lu kalau gue udah idup selama ribuan tahun di bumi ini!" dengus Vie berpura-pura kesal. Tak lama keempatnya tertawa bersama, mereka masuk ke kamar yang mereka sewa dan beristirahat di dalam sana, menunggu sore hari datang dan mereka akan bermain air di pantai sepuasnya.

Mereka sangat tahu setelah liburan ini mereka akan sibuk dengan urusan masing-masing. Jadi, mungkin hanya kali ini mereka bisa berkumpul dan bermain bersama dengan leluasa. Setelahnya, akan banyak tugas yang mereka hadapi. Makanya Vie memilih membuat novel online untuk mengisi waktu luang agar tak bosan.

Kenapa harus menulis, karena menurut Vie itu yang paling mudah dikerjakan dan waktunya juga fleksibel, terserah di mana saja dan kapan saja dia bisa. Kalau memasak dan menjahit, bukannya Vie gak bisa, dia terlalu malas mengerjakan dua hal semacam itu.

Mereka berempat sudah berteman sejak kecil, makanya mereka bisa seenaknya berbicara kalau lagi berkumpul. Gak ada lagi kata ja'im, aib mereka sudah bukan rahasia lagi di antara keempatnya. Pokoknya mereka berempat tahu bagaimana sifat dan watak dari diri mereka masing-masing.

3

Liburan usai, waktunya kembali ke kenyataan dan menghadapi rutinitas yang memuakkan. Tugas menumpuk dan juga soal-soal dadakan dari pembimbing mereka pasti akan datang seperti bom atom yang tak ada habisnya.

"Gue butuh waktu ekstra," kata Lili tepar di tempatnya.

"Rasanya dua puluh empat jam sehari itu masih sangat-sangat kurang untuk menyelesaikan tugas gue yang numpuk melebihi tingginya gunung!" sahut Indi mengeluh.

"Buat napas pun rasanya gak ada waktu," tukas Miu.

Hening, tak ada lagi sahutan, padahal masih ada satu orang lagi yang belum ikutan mengeluh atau menyumbang. Ketiganya segera menatap sahabat mereka yang tak ikutan bersuara meski mereka diam dan menunggu selama beberapa saat. "Apa?" tanya orang yang bersangkutan saat merasakan tatapan dari ketiga kawannya. "Napa kalian liatin gue?" tanya gadis itu lagi.

"Bumi kepada Vie, bumi kepada Vie! Bagaimana kabar anda di sana?" dengus Lili sambil merotasikan matanya, dia setengah kesal karena sudah berkeluh-kesah tapi kawannya malah tak menanggapi dengan ikutan mengeluh seperti yang lainnya.

"Lili yang ada di mars, Lili yang ada di mars. Bumi dalam keadaan baik, hanya manusianya saja yang banyak gak baik," balas Vie absurd seraya melemparkan senyuman polos tanpa dosa.

"Lu tadi mikirin apaan sih, Vie?" tanya Indi ingin tahu. "Kita semua saling mengeluh tapi lu malah diem aja pas dikasih giliran ngeluh juga," lanjut gadis itu menjelaskan.

"Ngeluh juga tak menyelesaikan tumpukan tugas gue, mending gue diem aja dan pergunain waktu gue sebaik mungkin untuk setiap detiknya," tukas Vie dengan entengnya.

"Bener juga, sih," gumam Indi sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Eh, novel lu gimana?" tanya Miu mengalihkan pembicaraan. "Gue liat belum ada notif, apa mungkin aplikasi gue yang lagi error?" tanya gadis itu menunjukkan layar ponselnya, di layar tersebut terlihat novel yang sedang ditulis oleh kawannya. Hanya ada satu bab dan belum ada tambahan bab lain, padahal hari sudah berlalu lebih dari seminggu sejak pertama kali kawannya itu mulai menulis.

"Oh, emang belum gue post kok," kata Vie santai.

"Lu bingung mau nulis lanjutannya gimana, kan?" tebak Lili sok tahu.

"Nggak, lah. Gue itu kalau nulis sejam juga kelar, tapi malas aja up," kilah Vie sedikit sombong. "Gue pengen up banyak sekalian, terus langsung main kontrak!" akunya penuh ambisi.

"Yakin mau kontrak?" tanya Miu takut kalau kawannya semakin sulit membagi waktu antara tugas-tugas yang kawannya itu punya dan tuntutan dari kontrak yang nanti dijalani.

Vie menggaruk pipinya yang tak gatal, gadis itu terlihat ragu dengan apa yang dia katakan. "Gue cuma pengen aja, sih. Gak juga harus sampai maksain diri apa lagi sampai gak tidur gara-gara ngurusin ini dan itu," tutur Vie sedikit ragu tapi teramat jujur.

"Sebagai sohib lo, kita-kita cuman bisa ngasih dukungan aja. Semangat, Vie!!!" kata Miu menanggapi. Lili dan Indi mengangguk sambil tersenyum lebar.

"Gue laper, ayo kita makan!" ajak Vie seraya berdiri dari duduknya.

"Lu gak capek apa?" tanya Indi mendesah malas. Gue malas gerak, bahkan ke sini aja gue udah maksa banget karena kita udah cukup lama gak ngumpul bareng," katanya terlihat sangat lelah dengan semua hal, bahkan untuk menggerakkan tangannya saja gadis itu terlalu malas, apa lagi diajak makan yang membutuhkan banyak tenaga.

"Makan itu penting, kawan!" kata Vie menanggapi.

"Emang ada makanan di markas kita?" tanya Lili yang rupanya ingat kalau mereka sudah lama tak berbelanja untuk mengisi kulkas di markas mereka ini.

Vie menepuk dahinya pelan. "Gak ada! Dan kita udah lama gak belanja!" tukas gadis itu.

"Pesan aja, kalau udah datang baru kita makan bareng," ucap Indi memberi saran.

"Ya, udah. Ayo kita pilih-pilih terus pesen semua yang kelihatan enak!" tanggap Vie kembali bersemangat.

...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...

Sedikit cerita tentang empat sahabat yang sangat akrab dan tak pernah bertengkar ini, mereka semua bersahabat dari kecil. Orang tua mereka juga saling mengenal, makanya mereka lebih cepat menjadi akrab dan menjadi sahabat secara alami.

Dimulai dari Miu, sapaan yang lebih akrab dari Miura Syifa Khumaira. Gadis yang sangat sopan, jarang marah, pandai menjaga emosi, lebih sering ngerasa gak enakan, lebih mementingkan urusan orang lain dari pada dirinya sendiri. Untungnya dia bertemu dengan tiga sahabat sejati yang sering menjadi perisai kalau dia mau dimanfaatkan oleh orang lain. Itulah gunanya sahabat, untuk mencegah kawannya dimanfaatkan oleh teman yang ada maunya. Dilambangkan dengan warna merah, karena lebih berani kalau sudah marah dan kalau malas dengan seseorang dia udah gak mau lagi kenal atau melihat dengan orang itu.

Indi atau yang lebih dikenal dengan nama lengkap Indi Indira Putri, gadis yang ceria, sering mengeluh, baik hati, hampir mirip dengan Miu yang gak enakan sama yang namanya 'Temen'. Dilambangkan dengan warna putih yang polos dan berhati baik. Yah, karena belum pernah dia marah pada sahabatnya jadi Indi masih tetap memegang warna putih.

Untuk yang berikutnya, mari kita berkenalan dengan Lili Permata Sari. Gadis yang kelewat blak-blakan, sering keduluan emosi baru abis itu mikir, kalau udah marah gak ada rem-nya sama sekali, sopan dan baik itu sudah pasti, gak ada yang gak kenal dengan gadis satu ini di kampusnya, orangnya sangat supel dan jujur, makanya banyak yang suka. Gadis yang dilambangkan dengan warna biru ini penuh dengan keceriaan dan sangat santai dalam berteman atau berbicara.

Nah untuk yang terakhir, anggota paling cerewet, paling banyak makan, paling banyak maunya, paling meledak-ledak tapi juga paling melankolis orangnya. Kalau bertindak gak pakai yang namanya perhitungan, langsung set sat set semua kelar. Gak ada yang namanya menyesal karena itu udh jadi pilihan yang dia tetapkan, pendiriannya susah diubah atau bisa dibilang keras kepala. Orang tuanya aja nyerah kalau mau menasehati gadis satu ini, entah siapa yang bisa kuat dan bertahan jadi pawangnya nanti di masa depan. Untuk warna, gadis ini memilih hitam untuk dirinya sendiri. Alasannya sudah pasti karena dia suka, sesimpel itulah seorang Vie, Vie Azlina Marwa.

Persahabatan yang terjalin karena para orang tua saling mengenal, kecocokan mereka dan saling menerima bagaimana pun mereka saling mengejek. Keempatnya kelewat cocok dan terus bersahabat tanpa pernah ada pertikaian yang pernah terjadi. Mereka memiliki markas yang sengaja mereka buat untuk tempat pertemuan, para orang tua mereka juga tahu dengan hal tersebut. Begitulah hari-hari yang mereka lewati saat mereka berkumpul bersama. Terkadang mereka juga saling membantu membuat tugas saat mereka mempunyai waktu meski hanya sedikit.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!