NovelToon NovelToon

Yes! I Love You, Sir!

Part 1

"Huuffft ...!"

Di dalam ruangan kecil apartemen studio, lagi-lagi Olivia menghembuskan kekecewaan bersama-sama dengan kekesalannya.

Satu persatu pakaian dari dalam lemarinya sudah dia coba di depan cermin, namun tidak ada satupun yang rasanya layak untuk dikenakan ke pesta kantor malam ini.

Hampir semua baju-baju miliknya sudah berpindah posisi ke atas tempat tidurnya, Olivia pun berbaring dengan kasar di atasnya.

Kartu kredit di dalam dompet, dilirik dengan ujung matanya, sambil berpikir keras.

Apakah setimpal jika harus menambah pengeluaran untuk tagihan bulanan, hanya demi membeli selembar kain?

"Aaarrrghh ...!" Frustrasi, Olivia berteriak dengan suara tertahan.

Tapi ... Tunggu! Olivia teringat sesuatu.

Kotak-kotak kardus yang masih tersusun rapi di sudut kamar, dipandangi Olivia dengan penuh dugaan.

Sudah lebih dari setahun waktu yang berlalu, semenjak mendiang mommy dari Olivia meninggal dunia, tapi barang-barang peninggalannya yang cukup berarti bagi Olivia, masih tersimpan di dalam kardus-kardus.

Kamar apartemen studio yang sempit, membuat Olivia tidak bisa mengeluarkan isi dari dalam kotak-kotak kardus itu, dan mau tidak mau, hanya bisa menggeletakkannya di sudut ruangan.

Kalau tidak salah, di antara kardus itu, ada yang berisikan beberapa gaun lama yang menjadi kesayangan mendiang mommy-nya, ketika beliau masih hidup.

"Mom! Kau tidak akan marah kalau aku memakainya, kan?" Olivia bicara sendiri, seolah-olah sedang meminta izin pada mommy-nya di situ.

Olivia melompat turun dari atas tempat tidur, dan segera membongkar kardus-kardus, untuk mencari di mana keberadaan gaun yang mungkin bisa dia pakai.

"Found it!" Sambil membentangkan salah satu gaun ke atas tempat tidurnya, Olivia tersenyum lebar. "It's perfect!"

"Mom! Aku pinjam baju mommy yang satu ini, ya?!" ujar Olivia, lalu bergegas ke kamar mandi.

***

Andersen's Construction, di perusahaan konstruksi terbesar di negeri itulah, Olivia menjadi salah satu karyawan di divisi hubungan masyarakat, selama lima tahun belakangan, semenjak dia lulus dari universitas.

Namun, selama Olivia bekerja di kantor utama perusahaan itu, baru kali ini perusahaan raksasa itu bisa mengadakan pesta gabungan dari beberapa kantor cabang, yang berada di seluruh penjuru negeri.

Pesta yang dianggap spesial bagi semua karyawannya, hingga sebagian besar rekan kerja Olivia sibuk berbelanja pakaian baru, agar bisa tampil maksimal di sana.

Tapi, tidak bagi Olivia. Seistimewa apapun pesta itu, Olivia tetap harus berhati-hati menggunakan uangnya.

Gaun lama mommy-nya masih terlihat indah dan pas di badan Olivia, hingga membuatnya terlihat cantik dan mirip dengan mommy-nya semasa beliau masih muda dulu, dan itu sudah lebih dari cukup bagi Olivia.

Di depan cermin di kamarnya, Olivia melengkapi penampilan vintage-nya dengan menggerai rambut coklat panjangnya yang bergelombang.

"Mom! Lihatlah!" Olivia melirik beberapa foto yang ditempelkannya di dinding kamar.

Foto-foto favorit Olivia saat bersama mommy-nya, dan beberapa foto lama yang menjadi peninggalan terakhir, yang menunjukkan kenangan manis akan kebersamaan daddy dan mommy-nya, semasa mereka masih hidup.

"Aku mirip sepertimu, kan?! ... Okay, okay! Mommy masih lebih cantik dariku. Tapi, itu kesalahan mommy karena memilih daddy yang tidak tampan ... Sorry, dad! Tapi memang begitu kenyataannya."

Lagi-lagi, Olivia berbicara seolah-olah dia sedang berbincang-bincang dengan mendiang kedua orang tuanya, di dalam kamar itu.

Untuk beberapa saat kemudian, rasanya air mata Olivia akan menetes saat itu juga, padahal dia tidak mau merusak riasan tipis yang sudah terpakai di wajahnya.

"Okay, mom! ... Dad! ... Aku pergi dulu! Kalau aku masih di sini, maka riasanku akan rusak, dan mommy pasti akan memarahiku," ujar Olivia, sambil menyambar tas kecil dari atas meja rias, dan menggantung tali panjangnya di salah satu sisi pundaknya.

"Bye! ... Muaach!" Olivia kemudian beranjak keluar dari kamar apartemennya, setelah memberi kecupan perpisahan kepada foto kedua orang tuanya.

***

Padatnya jumlah kendaraan yang berada di halaman gedung itu, membuat taksi yang menjadi tumpangan Olivia, tidak bisa mengantarkan Olivia sampai ke dalam, dan hanya bisa menurunkan Olivia di depan pintu gerbang pagar.

Mau tidak mau, Olivia harus berjalan kaki ekstra untuk mencapai gedung yang menjadi tempat pesta berlangsung, yang letaknya cukup jauh dari gerbang depan.

Sambil melirik ke kakinya, Olivia tersenyum kecut.

Karena walaupun hak sepatunya tidak terlalu tinggi, namun tetap terasa sangat melelahkan saat harus berjalan kaki sejauh itu, sambil mengenakan sepatu seperti itu.

Kalau Olivia tahu akan begitu keadaannya, maka dia hanya akan memakai sepatu kerjanya yang datar saja.

Tapi, mau bagaimana lagi?

Penyesalan memang datangnya pasti belakangan, dan tidak mungkin Olivia melepaskan sepatunya sekarang ini, lalu berjalan hanya dengan bertelanjang kaki.

Sudahlah!

Asalkan Olivia berjalan santai, maka mungkin kakinya tidak akan lecet.

Olivia juga tidak perlu terlalu memikirkan kedatangannya ke pesta itu, yang waktunya sudah sangat terlambat.

Karena dengan banyaknya orang yang hadir di pesta itu, belum tentu ada dari mereka yang akan menyadari keterlambatannya.

Diterangi lampu taman yang dipasang di sepanjang jalan mengarah ke gedung, Olivia berjalan pelan sendirian, sambil melihat-lihat kendaraan yang terparkir di sepanjang jalannya itu.

Benar-benar tidak main-main jumlah, dan beragamnya jenis kendaraan yang ada di sana.

Mulai dari kendaraan yang berkelas menengah ke bawah, hingga yang kelasnya paling atas dengan harga ratusan ribu sampai jutaan dolar, tampak terparkir di sana.

Olivia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Jika saja Olivia sampai memiliki uang sebanyak itu, maka rumah lama keluarganya akan dengan mudahnya terbeli kembali.

"Sorry, mom! ... Dad! Aku masih berusaha. Please don't be mad at me ...! Tetaplah kalian do'akan, agar aku bisa berhasil suatu saat nanti!" ujar Olivia berbicara sendiri.

Sekilas, ingatan akan bayangan wajah kedua orang tuanya, terlintas di pikiran Olivia.

Daddy-nya yang berprofesi sebagai seorang pemadam kebakaran, meninggal dunia dalam kecelakaan kerja, ketika Olivia masih berusia dua belas tahun.

Santunan dari pemerintah akan tindakan kepahlawanan dari daddy Olivia, tidak bisa membantu banyak untuk kebutuhan hidup Olivia dan mommy-nya.

Walaupun mommy-nya pernah bekerja di perusahaan tempat Olivia bekerja sekarang ini, tapi karena faktor usianya yang sudah tidak lagi muda di saat itu, mommy-nya akhirnya hanya bisa bekerja paruh waktu di sebuah coffee shop.

Namun, demi harapan Olivia dan mendiang daddy Olivia semasa hidupnya, yang ingin agar Olivia bisa berkuliah di universitas swasta ternama di kota itu, membuat mommy-nya tetap berusaha keras, agar keinginan kedua orang penting dalam hidupnya itu bisa tercapai.

Sampai-sampai, mommy-nya nekat menjual rumah peninggalan daddy-nya, dengan alasan bahwa mommy Olivia tidak mau mengecewakan impian dari mendiang suaminya itu.

Walaupun mommy-nya tidak pernah mengungkit tentang rumah lama mereka yang terjual karena sekolahnya, namun Olivia tetap bertekad agar rumah itu nanti menjadi milik mereka lagi.

***

Ketika Olivia tiba di gedung, keringat yang membasahi keningnya membuatnya menunda untuk segera masuk ke dalam gedung itu, dan memilih untuk berdiri di bagian samping gedung untuk menurunkan suhu tubuhnya.

"Miss! ... Please, help! ... Grandpa sakit!"

Seorang anak kecil, tiba-tiba menghampiri Olivia dan berbicara sambil menarik bagian rok dari gaun Olivia, seakan-akan sedang mengajak Olivia agar segera ikut dengannya.

Olivia melihat ke sana kemari, namun di luar itu tidak terlihat siapa-siapa, sedangkan anak kecil itu tampak panik, dan terburu-buru agar bisa membawa Olivia bersamanya.

Part 2

Olivia melangkah dengan cepat, mengikuti anak laki-laki yang tampaknya masih berusia sekitar tiga atau empat tahun, yang tampak berlari sekuat tenaganya, hingga mencapai hampir ke bagian belakang gedung.

Di taman yang ada di dekat situ, terlihat seorang laki-laki dewasa yang terbaring di atas rerumputan, dan tampaknya sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri.

Olivia bergegas menghampiri laki-laki itu, dan mencoba untuk menyadarkannya.

Dengan terduduk di atas rumput taman, Olivia meletakkan kepala laki-laki itu di atas pangkuannya, lalu menepuk-nepuk pipi dari laki-laki yang pingsan itu.

Namun kelihatannya, usaha dari Olivia tidak membuahkan hasil apa-apa, dan pernafasan dari laki-laki itu seakan-akan hampir terhenti.

Buru-buru Olivia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, dan segera menghubungi nomor darurat.

"Halo! Tolong segera kirim paramedis! Alamatnya di jalan xxx, gedung xxx! Ada seseorang yang hampir berhenti bernafas!"

"Saya tidak tahu penyebabnya, saya hanya menemukannya saja!"

"CPR? ... Okay! Saya akan mencobanya! Tapi tolong datangkan paramedis secepatnya!"

Setelah Olivia berbicara dengan operator di seberang telepon, Olivia segera menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas.

Dengan hati-hati, Olivia meletakkan kepala laki-laki itu ke atas rerumputan, dan membuat orang itu jadi benar-benar terlentang.

Olivia kemudian mulai melakukan *CPR kepada laki-laki itu, untuk beberapa waktu lamanya tanpa henti, hingga akhirnya laki-laki itu terbatuk-batuk, dan membuka matanya secara perlahan-lahan.

(* CPR : Cardiopulmonary resuscitation : Pertolongan pertama untuk orang yang mengalami henti nafas karena sebab tertentu.)

"Apa anda baik-baik saja?" tanya Olivia buru-buru.

Laki-laki itu tidak menjawab pertanyaan Olivia, melainkan kembali mengedipkan matanya secara perlahan, dan terdengar seolah-olah sedang menggumamkan sesuatu yang familiar di telinga Olivia.

"Anda bilang apa?" tanya Olivia memastikan.

"Vivia ...! Aku baik-baik saja." Dengan salah satu tangannya yang melambai-lambai, orang itu tampaknya sedang berusaha menggapai sesuatu, hingga Olivia memegang tangannya.

Dan kelihatannya, orang itu tadinya memang hendak menggapai tangan Olivia, sehingga ketika Olivia memegang tangannya, orang itu kemudian menggenggam tangan Olivia dengan erat.

Walaupun matanya sedang terbuka, namun pandangan orang itu terlihat kosong.

Olivia yang kebingungan hanya melihatnya saja, dan tidak berkata apa-apa lagi, karena pikiran Olivia yang dipenuhi dengan rasa penasaran.

Vivia?

Olivia benar-benar tersentak, karena Vivia, adalah nama dari mendiang mommy-nya.

Apakah laki-laki ini mengenal mommy-nya?

Kalau menilai dari penampilan fisik dari laki-laki itu, tampaknya usianya memang tidak jauh berbeda, jika dibandingkan dengan mendiang mommy Olivia.

Tapi apa mungkin, ada yang masih mengingat mommy-nya yang pernah bekerja di perusahaan konstruksi itu, setelah berpuluh-puluh tahun yang telah berlalu?

Dan siapa orang ini?

Apa yang sedang dia lakukan di luar gedung, hingga jatuh pingsan di situ?

Olivia sama sekali tidak bisa menemukan sedikitpun petunjuk, untuk perkiraan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul secara mendadak di dalam kepalanya.

"Dad! ... Daddy! ... Apa kamu baik-baik saja?"

Suara orang yang terdengar setengah berteriak dari jarak yang tidak terlalu jauh dari Olivia, membuyarkan lamunan Olivia, dan segera membuatnya menoleh ke arah datangnya suara.

Seorang laki-laki yang wajahnya sangat familiar bagi Olivia, dengan usia yang tampaknya tidak jauh berbeda darinya, sedang berlari menghampiri laki-laki yang terbaring di dekat Olivia.

Daddy?

Setahu Olivia, laki-laki yang memanggil orang yang pingsan di dekat Olivia itu dengan sebutan daddy, dia adalah Jericho Andersen, Direktur dari perusahaan konstruksi tempat Olivia bekerja.

Mata Olivia terbelalak.

Kalau begitu, laki-laki yang ditolong oleh Olivia itu adalah Johan Andersen, CEO dari Andersen's Construction.

Jericho yang terlihat panik, sambil berlutut di samping daddy-nya, tampak sibuk mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, dan seolah-olah hendak menghubungi seseorang di sana.

Menurut perkiraan Olivia, mungkin Jericho sekarang ini sedang mencoba menghubungi nomor darurat, sehingga Olivia segera berkata,

"Saya sudah menghubungi nomor darurat. Seharusnya, tidak lama lagi bantuan sudah tiba di tempat ini."

Benar dugaan Olivia, karena setelah dia mengatakan kalau dia sudah meminta bantuan, Jericho lalu terlihat menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku jasnya.

Jericho kemudian menatap Olivia lekat-lekat. "Apa yang terjadi?"

"Maaf, Sir! Tapi saya juga tidak tahu. Saat saya menemukannya tadi, dia sudah dalam keadaan pingsan dan hampir tidak bernafas, sehingga saya memberikannya CPR. Seorang anak—"

Olivia menghentikan perkataannya, karena dengan semua hal yang terjadi, yang cukup membingungkan baginya, Olivia baru teringat dengan anak kecil yang membawanya ke situ tadi.

"... Di mana anak kecil tadi yang memanggil saya ke sini?" lanjut Olivia kebingungan. "Saya benar-benar melupakannya, karena saya terlalu sibuk memberi CPR kepadanya—Johan."

"Maksudmu itu, anakku Jonah? ... Dia ada di dalam bersama dengan pengasuhnya." Jericho berbicara sambil menatap tangan Olivia, yang digenggam oleh Johan, daddy dari Jericho.

Olivia menyadari tatapan heran dari Jericho, lalu buru-buru mencoba melepaskan genggaman tangan Johan, dari tangannya.

Akan tetapi, Johan menggenggam tangan Olivia dengan erat.

Olivia tidak mau berlaku kasar dengan memaksa melepaskan genggaman tangan Johan darinya, sehingga Olivia akhirnya menyerah, dan membiarkan Johan tetap menggenggam tangannya.

"Maafkan saya," ucap Olivia pelan.

"Tidak apa-apa. Saya hanya merasa bingung," kata Jericho. "Apakah kalian berdua saling mengenal?"

"Tidak, Sir! Saya justru baru kali ini melihatnya dan anda secara langsung, Sir," jawab Olivia.

"Vivia! ... Apakah kamu sudah melupakanku?"

Tiba-tiba, Johan melontarkan pertanyaan dengan suaranya yang masih terdengar lemah, yang lantas menarik perhatian dari Olivia dan Jericho.

Seketika itu juga, Jericho tampak memasang raut wajah tidak senang, dan menatap Olivia lekat-lekat dengan tatapannya yang tajam, hingga seolah-olah tatapan Jericho bisa membuat lubang di wajah Olivia.

Jericho sekarang ini, tampaknya seperti sedang merasa sangat marah kepada Olivia.

Menurut dugaan Olivia, Bosnya itu mungkin beranggapan kalau Olivia sudah berbicara bohong kepadanya, bahwa Olivia tidak mengenal Johan.

Belum sempat Olivia menjelaskan apa-apa kepada Jericho, petugas paramedis terlihat sudah berada di situ sambil membawa tandu, lalu mengangkat Johan yang masih terlihat lemas ke atas tandu.

"Vivia ...! Kamu ikutlah denganku ...! Janganlah kamu meninggalkanku lagi ...!" ujar Johan pelan.

Meskipun merasa enggan, tapi karena Johan yang tidak mau melepaskan tangannya, membuat Olivia terpaksa ikut dengannya, hingga masuk ke dalam ambulance.

Hanya Olivia dan paramedis yang menemani Johan di dalam ambulance, yang segera membawa Johan ke rumah sakit dengan kecepatan tinggi.

Sedangkan Jericho, Olivia tidak tahu apa yang selanjutnya dilakukan oleh bosnya itu, setelah pintu belakang ambulance tertutup, dan Olivia tidak bisa melihat situasi di luar.

Di sepanjang perjalanan, Johan tetap menggenggam tangan Olivia, dan memanggil Olivia dengan menyebut nama mendiang mommy Olivia.

"Ada apa dengannya? Kenapa dia bisa salah mengenal orang?" tanya Olivia, kepada seorang paramedis yang bersamanya dan Johan, di bagian belakang ambulance.

"Tekanan darahnya terlalu rendah. Mungkin itu sebabnya, sehingga pasien mengalami halusinasi," jawab paramedis itu. "Tapi nanti setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut di rumah sakit, barulah bisa dipastikan."

Part 3

Setibanya di rumah sakit, sebelum Johan dimasukkan ke dalam ruang pemeriksaan, Johan membuat Olivia berjanji, bahwa Olivia tidak akan ke mana-mana, dan harus tetap menunggu sampai pemeriksaannya selesai.

"Vivia ...! Berjanjilah kalau kamu akan tetap di sini. Jika kamu tidak berjanji, maka aku tidak mau dirawat, dan aku akan mengikutimu ke mana pun kamu pergi."

Johan benar-benar bersikeras, dan tidak mau didorong masuk ke dalam ruang pemeriksaan, sebelum Olivia menyetujui permintaannya.

Sampai-sampai Olivia menjadi ragu jika Johan memang benar-benar sedang sakit, karena melihat keras kepala yang ditampakkan oleh laki-laki itu.

"Iya, Sir! Saya akan menunggu di sini, sampai anda selesai diperiksa. Okay?!" ujar Olivia meyakinkan Johan.

Johan kemudian menganggukkan kepalanya, dan setuju untuk dibawa oleh para perawat di rumah sakit, ke ruang pemeriksaan.

Tidak berapa lama, Jericho tampak berlari di koridor rumah sakit, dan menghampiri Olivia. "Di mana, daddy?"

"Sir Andersen ada di dalam sana untuk pemeriksaan lebih lanjut, sebelum dibawa ke ruang perawatan," jawab Olivia, sambil menunjuk pintu ruangan yang ada di depannya.

Jericho terlihat seolah-olah akan masuk ke dalam ruangan itu, namun Olivia menahannya.

"Maaf, Sir. Tapi, tidak ada satupun yang diizinkan masuk ke sana. Anda harus menunggu di luar sini saja," ujar Olivia berhati-hati.

Jericho masih memasang wajah tidak senangnya, namun akhirnya dia duduk di samping Olivia, dengan berjarak satu kursi kosong.

"Katamu kalian tidak saling mengenal. Kamu berani membohongiku?" ujar Jericho yang tampak geram.

"Maafkan saya, Sir. Tapi, saya tidak berbohong. Kelihatannya, Sir Andersen telah salah mengira kalau saya adalah mommy saya," kata Olivia berusaha menjelaskan.

Akan tetapi, Jericho tampaknya tidak mudah percaya begitu saja akan penjelasan yang dikatakan oleh Olivia. "Bagaimana bisa? Itu hal yang tidak masuk akal!"

"Saya juga tidak tahu, Sir ... Daddy anda terus menerus memanggil saya dengan nama Vivia. Sedangkan itu, adalah nama dari mommy saya." Olivia kembali mencoba menjelaskan kepada Jericho.

Jericho menatap Olivia dengan tatapan penuh selidik, seolah-olah dia sedang ingin memastikan kalau Olivia memang sedang berkata jujur.

"Aaarrrghh ...! Sudahlah!" Jericho tampaknya tetap tidak bisa mempercayai perkataan Olivia.

"Huuufft ...!" Olivia mendengus pelan, dan bertingkah tidak perduli, apakah bosnya itu akan percaya padanya atau tidak.

Untuk beberapa waktu lamanya, baik Jericho maupun Olivia hanya terdiam di situ, dan tidak ada satupun yang mau mengeluarkan suaranya untuk berbicara.

Olivia memeriksa ponselnya, dan melihat-lihat isi dari percakapan grup, yang beranggotakan rekan-rekan kerjanya.

Berita tentang sakitnya CEO dari Andersen's Construction, menjadi topik hangat di percakapan dalam grup chat itu.

Dan bukan itu saja. Isu tentang seorang wanita yang terlihat bersama Johan Andersen, hingga memasuki ambulance, juga menjadi bahasan pembicaraan mereka.

Rekan-rekan kerja Olivia, sebagian besar menuliskan rasa penasaran mereka, akan siapa wanita yang bersama CEO dari perusahaan tempat mereka bekerja itu.

Namun, sampai ke bagian bawah percakapan grup itu, Olivia tidak membaca kalau ada satupun yang mengetikkan di sana, kalau wanita itu adalah Olivia.

Kelihatannya, rekan-rekan kerja Olivia tidak menyadari, kalau Olivia yang menemani Johan, atau mungkin mereka tidak sempat melihat Olivia di situ, makanya tidak satupun dari mereka yang tahu.

"Bagus!" Tanpa Olivia sadari, dia mengucapkan apa yang sedang dipikirkannya.

"Apanya yang bagus?" tanya Jericho ketus.

"Eh! ... Maafkan saya, Sir. Saya hanya menanggapi percakapan di dalam grup chat," jawab Olivia pelan.

"Huuufft ...!" Jericho mendengus kasar.

"Maafkan tingkah laku saya. Saya benar-benar mengkhawatirkan keadaan daddy. Karena setelah mommy meninggal dunia sebelas tahun yang lalu, daddy pasti sangat kesepian, dan tidak ada yang bisa merawatnya dengan baik....

... Tapi, karena kami berdua sama-sama sibuk bekerja, jadi saya tidak pernah mendengarnya mengeluh," kata Jericho tiba-tiba.

"Terima kasih, karena kamu sudah menolongnya tadi," lanjut Jericho, sambil mengulurkan tangan kanannya, seolah-olah ingin berjabat tangan dengan Olivia.

Olivia kemudian menyambut tangan Jericho, dan berjabat tangan dengannya.

"Sama-sama, Sir! Saya hanya kebetulan saja berada di sana. Saya rasa siapapun yang berada di situasi yang sama, pasti akan menolong Sir Andersen," kata Olivia.

Ketika Olivia hendak melepaskan tangan mereka yang berjabatan, Jericho menahannya, sambil bertanya, "Siapa namamu?"

"Olivia Lane," jawab Olivia memperkenalkan diri, lalu melepaskan genggamannya dari tangan Jericho.

"Kalau tidak salah, daddy-ku tadi memanggilmu dengan sebutan Vivia." Jericho tampak seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Iya, Sir ... Vivia adalah nama dari mendiang mommy saya," jawab Olivia.

"Maafkan saya," ucap Jericho pelan dan seolah-olah sedang merasa salah tingkah.

"Tidak apa-apa, Sir. Mommy-ku sudah meninggal dunia, lebih dari setahun yang lalu," kata Olivia menenangkan Jericho.

"Itu sebabnya saya juga merasa heran dan bingung, bagaimana Sir Andersen bisa memanggil saya dengan nama mommy saya?

...Mommy saya memang pernah bekerja di perusahaan Andersen's, tapi itu sudah puluhan tahun yang lalu, bahkan sebelum saya lahir....

... Dengan begitu, saya jadi terpikir, apakah Sir Andersen mungkin memang mengenal mommy saya dengan baik, dan mengira kalau saya adalah mommy, hanya karena wajah saya yang mirip dengannya."

Karena merasa ada kesempatan, Olivia lantas mengutarakan kebingungannya, yang sejak tadi berputar-putar di dalam kepalanya.

"Hmm ... Saya tidak tahu tentang hal itu. Kamu hanya akan mendapatkan jawabannya, jika daddy-ku sudah membaik," ujar Jericho.

"Oh, iya! Apakah kamu masih menunggu di sini, agar bisa mendapatkan jawaban itu dari daddy?" lanjut Jericho, yang tampak menaikkan kedua alisnya, dan melebarkan matanya.

"Umm ... Sebenarnya tidak demikian. Saya memang mau tahu, tapi bukan karena itu yang membuat saya tetap berada di sini....

... Sir Andersen tadi meminta saya agar berjanji, untuk tidak pergi ke mana-mana, dan menunggunya sampai selesai diperiksa. Dan jika saya menolak, maka Sir Andersen tidak mau dirawat," jawab Olivia ragu.

"Haah ...? Benarkah?" Jericho tampak benar-benar terkejut akan pernyataan dari Olivia.

"Geez ...! Mohon maafkan permintaan dari daddy-ku yang kekanak-kanakan, dan hanya merepotkanmu saja," kata Jericho, yang masih memasang raut wajah seolah-olah tidak percaya.

Olivia tersenyum tipis. "Tidak masalah, Sir. Saya bisa memakluminya."

Bola mata Jericho terlihat bergerak liar, lalu menatap Olivia, hingga berulang-ulang kali Jericho melakukannya, seolah-olah ada yang ingin dia bicarakan, namun masih merasa ragu.

"Ada apa, Sir?" tanya Olivia, heran.

"Dari mana saya harus memulainya?!" ujar Jericho terlihat bingung. "Apa kamu bekerja di Andersen's?"

"Iya, Sir," jawab Olivia.

"Kalau begitu, apa kamu tahu siapa saya?" tanya Jericho.

"Pffftt ...!" Olivia tertawa tertahan.

"Maafkan saya. Saya bukan berniat menertawakan anda. Saya hanya merasa heran, kenapa anda bisa terlihat ragu-ragu. Anda adalah Direktur di perusahaan tempat saya bekerja, tentu saja saya mengenal anda....

... Dan, setelah saya mendengar anda memanggil Sir Andersen dengan sebutan daddy, saya jadi tahu kalau orang yang menggenggam tangan saya, adalah Johan Andersen, CEO dari Andersen's Construction," kata Olivia.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!