NovelToon NovelToon

Secretary & Secret Baby

Diterima

Jangan kaget ya, cerita ini sudah ku buat lama sebelum cerita Badai dan Cheryl, tapi karena nggak mau ngelangkahin Cheryl, aku buat cerita After One Night terlebih dahulu untuk menenangkan komentar kalian hehe, ...

Perkenalkan, Pak CEO ganteng ini bernama lengkap Axel Prince Miller. Putra genius Dhyrga Miller bersama Queen Kirana Rain. Lebih tepatnya Adik Cheryl Arsya. Berusia 24 tahun. Ia menjadi CEO di usia muda karena berhasil lompat kelas seperti ayahnya.

Berikutnya visual Alex Prince Miller, saudara kembar Axel yang sikap dan sifat nya sangat bertolak belakang sekali dari Axel. Tak seperti Axel yang jomblo abadi, Alex justru memiliki banyak sekali wanita untuk digilir. Dan yah, disaat Axel memimpin perusahaan Millers-Corpora, Alex justru masih kuliah S1.

Nah tokoh utama di dalam nopel ini bukan keturunan berada, bukan juga wanita super cantik dan super Sexy seperti tokoh-tokoh Pasha sebelumnya. Ia bernama lengkap Lilyana Bachir, biasa dipanggil Lily. Berusia 23 tahun. Yatim piatu, cerdas, dan mandiri.

...🎬🎬🎬🎬🎬...

Lilyana termenung mendapat kabar yang entah harus bahagia atau tidak. Satu sisi ia di terima sebagai karyawan di perusahaan besar.

Sisi lainnya lagi, ia baru tahu bahwa perusahaan yang ia masuki adalah milik keluarga dari pria yang dahulu pernah ia kenal secara tragis.

"Kenapa bengong?" Suara berat membuyar lamunannya. Pria tampan itu menatap kernyit wajah gugup Lily.

Lily baru teringat, dirinya sedang berada di dalam ruangan interview. Di depan sana HRD beserta jajarannya masih menatap serius wajahnya. Tak terkecuali CEO tampan dari perusahaan Millers-Corpora itu.

Lily mendongak, kali ini ia beranikan diri untuk menatap calon atasannya. "A-apa boleh saya pikir-pikir dulu?"

Satu pria paruh baya tercengang. "Dari ratusan pelamar. Kau di terima di perusahaan bonafid ini, dan kau bilang pikir-pikir?"

Lily meneguk saliva, kedua tangannya terus mengepal kuat. Beberapa orang bertanya- tanya. Kenapa sekarang Lily terlihat sangat gugup, padahal saat melakukan tes saja, gadis itu tak gentar sama sekali.

"Maaf, tapi saya, ..."

"Kau boleh berpikir, dan waktu mu hanya satu Minggu dari sekarang." Putus pria yang paling muda dan paling tampan di antara lainnya.

Pria bersuara dingin itu satu dari putra pewaris perusahaan Millers-Corpora. Wajah itu lah yang membuat Lily meragu untuk bekerja di sini, bahkan setelah ia bersusah payah memenuhi rangkaian tes dan beberapa persyaratannya.

"Tuan Axel." Laki-laki dengan nametag Alif menegur sang Tuan muda.

Bukankah seharusnya tidak ada yang boleh berpikir selama satu Minggu hanya untuk memantapkan niatnya bekerja di perusahaan ini, mengingat banyaknya antrian pelamar yang begitu panjang.

"Benarkah?" Lily justru membulat mata. Rupanya tuan muda yang ia kira dingin, memiliki kebijakan yang menguntungkan dirinya.

Axel mengangguk. "Ya. Aku beri waktu satu Minggu, itu pun karena prestasi mu yang cukup bagus. Saya harap, Anda bisa segera memutuskannya."

"Baik terima kasih Pak." Lily menundukkan kepalanya. Ia lega, setidaknya ia masih bisa berpikir lebih banyak untuk melanjutkan langkahnya ke depan.

Tak lama kemudian, Lily di persilahkan keluar dari ruangan. Dan para staf bertanya-tanya, sebenarnya ada apa dengan gadis itu, kenapa bisa meragu untuk bekerja di perusahaan yang cukup besar ini, dan ada apa pula dengan tuan Axel, kenapa pria sedingin salju bisa memberikan dispensasi waktu berpikir.

...🎬🎬🎬🎬🎬...

Lily menghela napas panjang. Akhirnya ia keluar juga dari ruang interview yang cukup menegangkan.

Segera Lily keluar dari gedung perkantoran tersebut. Kemudian berlari menuju mobil hitam milik kekasih temannya.

Ia ke sini bersama Mitha sang Bestie, dengan mobil mewah fasilitas dari Rodeo, si Om Om tajir melintir.

Brugh.... Lily masuk dan duduk di jok penumpang bagian depan.

"Kebetulan Ly Baby Livia nangis mulu dari tadi, kayaknya dia kelaparan deh." Mitha menyerahkan satu bayi mungil pada sahabat terbaiknya.

Lily menerima dan segera membuka beberapa kancing bajunya demi memberikan makanan ekslusif putrinya. "Ulu, Sayang. Maafin Mama, Mama lagi cari kerja buat biaya kita berdua." Celotehnya. Livia perlahan pun tertidur.

Gegas Mitha membawa mobilnya keluar dari parkiran. Ia tahu betul bahwa Lily sudah selesai dengan urusannya. "Gimana interviewnya, kamu di terima?"

Sambil menyusui bayinya, Lily mengangguk perlahan. "Aku di terima, tapi aku ragu." Lirihnya.

"Kenapa?" Mitha terheran-heran.

"Ternyata yang mimpin perusahaan tadi tuh saudara kembar Alex! Dan salah satu pemilik dari gedung ini, tidak lain tidak bukan, Daddy Alex sendiri!"

Mitha terperanjat. "What? Jadi Alex punya saudara kembar? Dan Alex berasal dari Indonesia, gitu? Bukannya dia keturunan Britania raya dan tinggal di sana?"

"Yah, itulah shock nya aku!" Sergah Lily. Sesekali memelankan suaranya supaya tidak membangunkan tidur Baby Livia.

"Kamu tahu dari mana memangnya?" Sembari fokus pada jalanan, Mitha terus mencecar.

"Ada foto-foto keluarga pemilik dan pewaris perusahaan Millers-Corpora. Dan salah satunya Alex!" Jelas Lily. "Aku baru tahu semua itu, setelah aku menyelesaikan tes tesnya. Jadi aku sendiri bingung, mau lanjut kerja apa tidak!"

"Tapi bukannya Alex juga dah lupa sama kamu? Jadi ngapain lagi kamu pikirin soal hubungan sesaat kalian? Anggap saja kamu sudah move on dan melanjutkan kehidupan baru."

"Apa semudah itu hmm?" Lily mengernyit.

"Ya enggak sih, tapi ini kesempatan kamu bisa bekerja di perusahaan bonafid. Apa lagi gaji di perusahaan ini sangat besar." Sambung Mitha.

Lily menghela pelan. "Aku juga maunya menerima. Tapi gimana kalo tiba-tiba Alex lulus kuliah, lalu bekerja di sini juga menjadi atasan ku?"

Mitha terkekeh kecil. "Alah Ly tenang saja lah. Setelah itu terjadi, kamu sudah punya banyak modal dari uang hasil nabung kamu Ly. Alex lulus masih satu tahun lagi. Itu pun kalo lulus. Selama ini dia kan cuma bisa foya-foya, main perempuan!"

"Jadi apa aku ambil saja pekerjaan ini? Terus setelah punya modal banyak, aku cari tempat kerja lainnya, gitu?" Imbuh Lily.

Mitha mengangguk. "Yuapz, ya kamu tahu sendiri kan Ly, aku nggak bisa terlalu banyak membantu urusan mu. Kamu juga tahu sendiri, apa pekerjaan ku di negara ini. Aku nggak mungkin ngajakin kamu ikut kerja sama aku!" Ungkapnya.

Lily tersenyum. Temannya ini memang bukan wanita suci baik-baik, Mitha hanya lulusan SMA, dan menjadi simpanan Sugar Daddy, juga laki-laki hidung belang, tapi tak pernah sekalipun Mitha menjerumuskan dirinya ke jurang yang sama.

Terlebih, Lily juga tak mungkin menafkahi putrinya dari hasil menjadi simpanan laki-laki tidak setia.

Lily lagi-lagi tersenyum. "Terima kasih ya, kamu sudah mau bantu aku sama Baby Livia sampai ke tahap ini." Ucapnya.

"Sama-sama Sayang." Mitha mengusap kaki mungil Baby Livia, lalu kembali fokus pada jalanan ibukota.

Baby Livia

Lilyana mengusap lembut pipi mulus bayi mungilnya. Syukurlah anak yang ia lahir kan tanpa ayah itu sehat dan semakin berat tubuhnya.

Baby Livia sudah berusia empat bulan. Dan uang tabungan dari ayah anak itu sudah ludes untuk keperluan sehari-hari mereka selama Baby Livia masih dalam kandungan, terlebih biaya melahirkan juga tidak sedikit.

Mau tidak mau, Lily juga harus bekerja demi bisa melanjutkan hidupnya bersama sang buah hati.

Lily memutuskan untuk merawat Baby Livia secara mandiri. Sebab ayah dari Baby Livia tak mau bertanggung jawab menikahinya.

Tepatnya satu tahun lalu. Di London Inggris. Lily mendatangi kelab malam yang cukup elit. Ia terpaksa harus masuk ke dalam sini demi menemui pemuda tampan yang dua bulan lalu tidur bersamanya.

Kelap-kelip lampu temaram menyambut netra kecoklatan miliknya. Lily asli warga Indonesia, Lily berada di negara ini pun karena beasiswa khusus dari yayasan panti asuhan tempat dirinya tinggal.

Hari kelulusan yang seharusnya membuatnya bahagia, ia justru menerima kenyataan pahit tentang berita kehamilannya.

Di sepanjang perjalanan. Tak ada satu pun bule laki-laki yang melirik kan mata genit, Lily bukan wanita yang menarik. Lilyana Bachir hanya gadis biasa. Bahkan dandanannya pun terkesan seperti pelayan toko pinggiran.

Setelah berkeliling bar, akhirnya mata sendu Lily menangkap sosok tampan yang sedari tadi ia cari. Alex duduk pada kursi bartender. Tertawa tawa bag manusia yang tak memiliki secuil pun dosa.

Berwajah gamang Lily mendekat, ia paham Alex tak mungkin senang dengan kedatangan dirinya. Dua bulan saat mereka tidur bersama, Alex berujar sinis.

Kau hanya wanita taruhan Lily cupu, kenapa juga kau harus menjebak ku dengan cinta satu malam hmm? Aku tidak berniat tidur bersama wanita seperti mu.

Saat itu Lily mengeluarkan kaca-kaca di matanya. Tak menyangka sama sekali naas ini terjadi padanya.

Jadi rupanya, di mata Alex ia hanya wanita taruhan saja. Setelah berhasil mendapatkan simpatik dari gadis yang terkenal paling cupu di kampusnya, Alex menang dan pergi.

Padahal, saat Alex menidurinya di gudang kampus, Lily yakin Alex tak mabuk sama sekali.

"Alex." Lily memanggil pemuda tampan yang masih duduk di kursi bartender.

Alex menoleh, dan senyum mencemooh ia sungging kan. Mungkin sudah tak heran melihat gadis mengejarnya. Alex memang terkenal playboy. "Hmm?"

Lily mendekat gamang. "Lex, I'am pregnant." Aku hamil. Berharap Alex berempati padanya. Nanar ia berujar tanpa mau basa basi.

Bicara soal percakapan sehari-hari mereka, tentu saja berbahasa Inggris.

Alex terdiam sejenak, tapi ia yakin, cepat atau lambat kabar ini akan terdengar setelah khilaf meniduri gadis cupu itu.

Ini memang bukan yang pertama kalinya Alex menjalin hubungan dengan wanita. Tapi meniduri, seingat Alex baru pertama kalinya. Bukan karena cinta, melainkan khilaf saja.

Tak mau lelah berpikir, Alex kemudian meraih sebuah dompet hitam dari saku belakang celananya. Ia ambil kartu kredit no limit lantas menyodorkannya.

"Pakai kartu kredit ini. Beli semua yang kau mau termasuk biaya abo-rsi mu."

"Abo-rsi?" Lily terperanjat. Lily tak habis pikir, Alex tega menyuruhnya abo-rsi setelah dirinya mengandung anaknya.

Tunggu. Ngomong-ngomong berapa wanita yang Alex suruh abo-rsi? Lily bergidik ngeri membayangkan nya. Apakah pantas calon anaknya mengenal ayah dengan kualitas seperti itu?

Segera Lily berputar haluan, ia kembali melengos dari hadapan laki-laki tak bertanggung jawab itu tanpa sepatah lagi pun kata.

Alex yang bingung, ia meraih lengan gadis itu untuk dihentikan langkahnya. "Mau ke mana hmm?"

"Pulang."

Alex meraih tangan Lily. Lalu meletakkan kartu kreditnya di sana. "Take this with you." Bawa ini bersama mu.

Lily menggeleng. "No, thank you." Tidak, terima kasih. Lirihnya.

Alex mengernyit. "Do I have to marry you? Jadi apa aku harus menikahi mu, begitu?

"Not." Tidak.

"Don't make me angry! Take this with you." Jangan membuat ku marah! Bawa ini bersama mu! Alex memaksa Lily menerima kartu kreditnya.

Setelah cukup lama terdiam, kembali Lily berpikir realistis. Jika tidak dinikahi, setidaknya uang bisa membeli segala keperluannya.

"Thank you!" Terima kasih. Lily menerima dan pergi dari hadapan Alex.

Tak ada percakapan lagi setelah hari itu. Lily membelanjakan kartu kredit tersebut banyak perhiasan. Dengan tujuan supaya bisa di jual kembali ketika ia memerlukan uang cash.

Lily wanita yang kuat, meski tidak terlalu cantik, Lily tak pernah mau memohon pada laki-laki.

Sebelumnya ia menyerahkan diri pada Alex hanya karena ia telah lama menaruh hati pada pemuda paling tampan di kampusnya itu.

Lily hanya akan mengatakan satu kali. Jika Alex tidak mau, Lily bertekad hidup sendiri dengan segala konsekuensi

Lily terbiasa mandiri, sedari kecil panti asuhan tempatnya bermain. Tak ada waktu untuk menangis, Lily harus bertahan dengan segala sesuatu sekuat hati.

"Bhip bhip bhip." Suara celotehan Baby Livia membuyar lamunannya. Lily tersenyum menatap wajah cantik putrinya.

Tak seperti dirinya yang standar pabrik, Livia di lahir kan dengan mata ber iris biru. Dan kecantikan paras yang luar biasa. Livia sangat mirip ayah biologisnya.

"Kamu sudah rapi Ly." Mitha baru terbangun setelah mendengar celotehan Baby Livia. Ia juga terbangun karena aroma candu yang menguar dari tubuh mungil bayi itu.

Lily sudah rapi dengan busana formal miliknya. Hari ini juga Lily akan mulai masuk kerja. Tak perlu berpikir sampai satu Minggu, Lily butuh banyak uang untuk bayi cantiknya.

"Iya, aku titip Livia ya. Stok ASI nya ada di kulkas. Sebelum aku bisa membayar baby sitter, mungkin kamu akan kerepotan." Kata Lily.

Mitha menyengir. "Santai lagi. Kayak sama siapa aja. Kamu berangkat gih. Aku jagain Livia kok. Kamu kan tahu, Om Rodeo cuma mau ketemu pas malem doang."

"Terima kasih banyak Sayang." Lagi dan lagi Lily memeluk sahabatnya. Ia kemudian menciumi seluruh wajah Baby Livia sebelum pergi dari apartemen milik Mitha.

Pagi ini Lily mengenakan pakaian pilihan Mitha. Tak hanya cantik, Mitha juga fashionable. Mitha sendiri yang memilihkan busana itu untuk hari pertamanya bekerja.

Rok span putih gading di atas lutut, blouse merah muda dengan aksen menawan tersemat di bagian dadanya, sepatu heels hitam, lalu tas kantor hitam yang tidak terlalu mencolok modelnya.

Lilyana menaiki transportasi umum untuk sampai ke perusahaan tempat dirinya bekerja.

Dalam hati selalu tercetus doa. Semoga lancar tanpa halangan sampai saatnya Alex lulus kuliah, dia sudah memiliki banyak tabungan dan membuka sendiri usahanya.

...Terima kasih dukungannya temen-temen kesayangan, jangan lupa tap love, dan like untuk mendukung karya ini....

Merembes

"Sekretaris Buk?"

Betapa terkejutnya Lily, mendengar cetusan dari bibir atasannya.

Ia di tempatkan pada bagian yang berkaitan langsung dengan CEO dari perusahaannya.

Tidak ada lagi masa percobaan, karena mulai dari hari ini jam kerjanya berjalan.

"Iya. Kamu duduk di sini. Tugasmu, melayani keperluan Pak Axel. Ini daftar lengkap tugas-tugas mu sebagai sekretaris." Wanita itu menunjukkan meja kerja Lily yang tidak jauh dari ruangan Axel.

"B-baik Buk, siap!" Jujur saja Lily sangat senang namun lagi-lagi ia takut jika sampai Alex datang ke kantor dan kedapatan bekerja di sini.

Kriiiiiing....

Baru saja duduk di kursi, telepon di depannya berdering. Gegas Lily mengangkatnya. Dan menyapa sesuai arahan dari trainer.

"Selamat pagi Bapak, ada yang bisa saya bantu?"

📞 "Masuk ke ruangan ku." Suara Axel terdengar sama seperti suara Alex. Lily sampai bergetar mendengarnya.

"B-baik Pak." Bagaimana pun, Lily harus profesional. Gegas Lily menutup telepon, dan bergerak menuju ruangan milik sang Tuan muda.

Satu kali sentuhan saja pintu kaca itu terbuka lebar. Lily melangkahkan kakinya masuk. Di depan sana Axel menyambut dengan tatapan datar.

"Sudah tahu kan, mulai hari ini kamu sekretaris ku?" Axel mengangkat satu alisnya, menatap lekat wajah damai Lily.

"S-sudah Pak." Sejauh ini Lily belum pernah bisa santai menghadapi atasannya.

Axel menyodorkan satu gadget. "Jadwalkan pertemuan sesuai dengan urutan tanggal pembuatan janji. Catat selalu apa pun yang perlu kamu hapal selama kau mengikuti perjalanan meeting ku, selain itu kau akan berdampingan secara langsung dengan asisten personal ku, namanya Rudolf, tapi saat ini Rudolf sedang cuti." Jelasnya.

"Baik Pak." Lily meraih tab dari meja kerja atasannya. Tab itu lah yang akan membantunya mencatat segala sesuatu yang di perlukan.

Axel mengusir. "Sekarang lakukan tugas mu yang lain. Aku tunggu dokumen sortiran mu yang perlu pemeriksaan langsung."

"Baik." Lily menundukkan kepalanya khidmat, sebelum keluar dari ruangan tersebut.

Lily tersenyum, syukurlah Axel tak seperti Alex yang sombong. Axel terkesan hormat pada wanita meski sedemikian dinginnya saat berbicara.

Lily meraih ponselnya, ia perlu memberi tahu Mitha, tentang jabatan yang saat ini ia sandang di perusahaan Millers-Corpora. Sekalian ingin meminta kabar Baby Livia.

...🎬🎬🎬🎬🎬...

Jam makan siang pun tiba, satu persatu karyawan Millers-Corpora berhamburan keluar dari masing-masing meja kerjanya.

Tak terkecuali Lilyana yang juga ikut serta menuju kantin. Segera Lily berdiri menunggu lift yang akan membawa banyak karyawan lainnya.

Di sana orang-orang menatap tidak suka padanya. Bagaimana tidak? Wanita berdandan biasa seperti Lily, bisa-bisanya dijadikan sekretaris pribadi sang Presdir.

Luna saja yang wanita tercantik di kantor ini, tidak pernah lolos seleksi, bahkan di pengajuan yang sudah kesekian kalinya.

Kenapa bisa, Lily yang baru diterima kerja, dijadikan sekretaris pribadi sang Presdir muda nan tampan?

Tentu saja keputusan Axel memilih Lily, membuat seluruh karyawan perempuan di kantor ini patah hati dan beramai-ramai membenci Lily.

Ting.... lift pun terbuka. Berbondong-bondong semua karyawan masuk ke dalam lift tersebut termasuk Liliyana.

Tiiiiiit.... Lift berbunyi setelah melebihi kapasitas semestinya. Semua orang saling melempar tatapan datarnya.

"Penuh, harus ada yang keluar!" Satu karyawan pria tak tahu malu berbicara seperti itu.

Luna mendorong tubuh Lily hingga keluar dari lift begitu saja. "Biar anak baru yang keluar! Pakai tuh tangga darurat!" Caci nya.

Semua orang tergelak menertawakan gadis tak seberapa cantik itu. Lily yang terbiasa mendapat perlakuan sebelah mata, ia hanya tersenyum tipis saja.

"Siang Pak Axel." Lily menyapa laki-laki yang baru saja tiba dengan menyertakan pesonanya.

Disaat pintu lift karyawan baru akan tertutup, langkah gagah Axel berhenti tepat di depan tubuh Lily.

Axel harus turun ke lantai bawah dengan memakai lift ekslusif yang menghadap lift karyawan.

"Kenapa? Lift penuh?" Tegur Axel. Lily hanya meringis kecil tanpa banyak bicara.

Karyawan di dalam lift sempat melihat percakapan Lily bersama sang Presdir. Luna lantas berdecak. "Jangan bilang Pak Axel mau ajak cupu masuk ke lift khususnya lagi!"

"Aduh benci deh aku sama anak baru yang jelek itu!" Satu wanita lagi menyahut sinis.

"Awas ajah kalo sampe tuh cupu ikut masuk ke lift ekslusif bareng Pak Axel!" Kata Luna ketus.

...🎬🎬🎬🎬🎬...

Benar saja, Lily memang di ajak CEO tampannya ikut masuk ke dalam lift ekslusif yang tak pernah di masuki satupun karyawan biasa.

Di dalam sana Lily dan Axel hanya berdua, maklum asisten personal Axel masih mengurus beberapa hal penting terkait keluarganya di luar kota.

Dari lantai 18 ke lantai 4 tidak lah dekat. Lily hanya diam menatap bergantinya angka di layar monitor saja.

Axel berdiri tegak, menyimpan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Sengaja Axel mengajak Lily ikut ke dalam lift ekslusif ini.

Axel tahu semua karyawan wanita iri pada Lily. Tapi mau bagaimana lagi, Axel tak suka digoda oleh perempuan materialistik seperti Luna dan lainnya.

Axel sengaja merekrut Lily karena sedari awal pertemuan. Lily tak pernah menunjukkan raut menggoda pada dirinya. Jelas Lily berbeda dari kebanyakan orang.

Di sela perjalanan yang minus percakapan. Tak sengaja mata biru Axel menyisir seluruh lekukan tubuh gadis itu. Dari mulai sepatu heels murahnya, rok biasanya, blouse ala online shopnya.

Kening berkerut ketika mata itu pun menatap bagian berair yang muncul di puncak dada gadis tersebut. Seperti basah tapi bukan keringat.

Lily melirik sekilas pada wajah Axel, dan yah tatapan tidak sopan Axel menuju pada pucuk dadanya.

Sontak Lily menurunkan pandangannya ke arah yang sama. "Oh, ya ampun!" Dia seketika menutup dadanya setelah menyadari air susunya merembes keluar.

Ting....

Pintu lift terbuka. Axel sontak melangkah keluar kemudian Lily menyusul di belakangnya dengan langkah pelan dan gamang.

Benar saja, di luar sana karyawan dan karyawati telah berderet menunggu terbukanya pintu lift ekslusif.

"Tuh kan, Lily kurang ajar banget satu lift sama Pak Axel!" Luna kembali berdecak sinis. Semua orang juga mengarahkan tatapan tidak ramah pada sekretaris baru Axel.

Sementara Lily masih hanya melipat kedua tangannya demi menutupi buah dada yang basah. Saliva ia telan secara tercekat. Gemetar sudah pasti ia rasakan.

Bagaimana jika Axel tahu dirinya menyusui bahkan sudah memiliki seorang anak? Apakah ia harus jujur dan dipecat tepat di hari pertama kerjanya?

Axel yang peka dengan wajah gugup sekretaris barunya. Ia kembali menatap Lily dengan raut sehangat mungkin.

"Kamu tidak apa-apa?"

"I-ini, ..." Lily menderu napas kasar. Keringat dingin keluar berbulir-bulir.

Melihat itu Axel membuka jas miliknya lalu menyerahkan pada gadis itu.

"Pakai ini. Tutupi bagian itu, aku tahu itu bukan keringat." Axel pintar, ia segera tahu apa yang sedang Lily sembunyikan.

Dulu saat Kakak perempuannya menyusui keponakannya, ia juga sering mendapati kakaknya mengeluarkan asi tanpa di sadari.

Lily menggeleng. "Tapi nanti jas Bapak kotor."

"Kau kan bisa mencucinya!" Dingin Axel dengan suara yang ditekan lirih. Seketika ruangan ini terasa beku, seperti ada hawa kutub yang tersasar ke dalamnya.

"Tapi, ..." Lagi-lagi Axel berkerut kening, Lily ini begitu sulit diajak kekeluargaan.

"Kenapa lagi?" Ketus Axel kembali.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!