NovelToon NovelToon

Jodohku Tak Kan Kemana

Dewi Prameswari

Saat rinduku tak lagi terbalas, saat aku tak bisa berucap. Hanya ini yang bisa aku lakukan. Menangis. Ya! Menangis. Kenapa rasanya sakit sekali? Apa pada kehidupan lampau aku pernah menyakiti orang sedemikian rupa sehingga sekarang aku merasakan sakit yang pilu? Mengapa kamu terus membayangiku? Apa kamu tidak pernah paham? Bahwa aku terluka merasakan perpisahan ini. Disaat aku berharap suatu saat nanti kita bisa bersama lagi, bisa bertemu lagi tapi pada kenyataannya aku hanya sedang bermimpi dan ketika aku terbangun, aku harus menatap kenyataan dengan rasa sembilu bahkan aku terjatuh dalam kubangan lara. Mungkin kamu sekarang sudah bahagia, sudah bisa menata kehidupan kamu. Tapi lihatlah aku, aku masih berhenti di sini, bahkan untuk melangkah pun rasanya enggan.

Setiap detik yang kulalui sekarang adalah jalan menuju masa depan, entah masa depan apa yang akan kujalani nantinya. Semuanya masih kabur, masih tertutup awan tebal. Saat ini aku hanya ingin berdamai dengan keadaan luka yang sedang aku rasakan. Aku tidak ingin lagi berlari dalam kehidupan ini. Aku akan menghadapinya karena semakin aku berlari, aku hanya merasa lelah dan tidak pernah bisa hidup dengan tenang.

Jalan kita sudah berbeda namun hati kita masih saling bertaut. Menjadi yang tidak terpilih memang sakit, namun

mundur perlahan adalah pilihanku ketika takdir sudah tidak lagi berpihak pada kita untuk bersama lagi. Berjalanlah menuju bahagia meskipun tidak lagi bergandengan tangan.

Mentari pagi telah beranjak dari peraduan dan menyengat kulit-kulit manusia yang mulai beraktivitas, padahal jam

baru menunjukan pukul 07.00 pagi. Di salah satu sekolah internasional yang terkenal di Kota Pekanbaru ini, sudah nampak aktivitas para guru yang mulai berdatangan dengan wajah sumringah, meskipun hari Senin tetapi para guru sadar bahwa ini adalah tugas mereka untuk menyapa para siswa dan memberikan yang terbaik untuk mereka.

Salah seorang guru perempuan sedang berjalan anggun memasuki area sekolah elit tersebut. Ia adalah guru seni tari yang memiliki tubuh tinggi semampai, sorot matanya tajam seperti mata elang, alise nanggal sepisan (alis

seperti bulan tanggal satu, bulan Jawa), lambene manggis karengat (merahnya bibir seperti kulit buah manggis yang retak), idepe tumenga ing tawang (bulu matanya lentik), uwange nyangkal putung (dagunya memiliki sudut bagus), bathuke nyela cendhani (dahi yang halus dan bersinar seperti marmer), untune miji timun (putih, kecil, seperti biji mentimun), irunge ngudhup melathi (hidung seperti kuncup bunga melati), rambute ngembang

bakung (rambut panjang yang berombak-ombak seperti bunga Bakung), drijine mucuk ri (Jemarinya lentik seperti pucuk duri), disertai dengan kakinya yang jenjang jenjang.

Kata-kata yang keluar dari bibir wanita tersebut selalu lemah lembut namun tegas dan penuh wibawa. Sebagai keturunan Jawa, ia menjadi wanita yang menjunjung tinggi nilai-nilai tata krama. Ia tetap menjaga tradisi budaya Jawa dalam era modern.

Itulah gambaran seorang Dewi Prameswari yang memiliki paras ayu sebagaimana keturuan Jawa asli.  Orang tuanya bukan tanpa tujuan memberi nama ia dengan nama Dewi Prameswari yang diharapkan menjadi wanita tertinggi dalam menjunjung moralitas dan tata karma dalam melangkah dan berselancar di alam jagat raya ini. Orang tua Prames berharap anaknya seperti Tribhuwaneswari yang merupakan anak dari Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari dan menikah dengan Raden Wijaya ketika Raden Wijaya menjabat sebagai panglima perang di Kerajaan Singasari. Tribhuwaneswari memiliki gelar Sri Prameswari Dyah Dewi Tribuaneswari sebagai permaisuri Kerajaan Singasari. Mereka berharap Prameswari juga dapat menjadi permaisuri yang selalu kuat dan tangguh dalam menghadapi kehidupannya kelak bersama suaminya.

Prameswari meskipun baru berumur 26 tahun dan belum menikah. Prames selalu menjadi primadona diantara guru

laki-laki di sekolah tersebut, namun Prames justru menjatuhkan hatinya kepada seorang lelaki yang baru dikenalnya dan akhirnya mereka terjebak dalam suatu hubungan yang mendebarkan.

Prames hidup seorang diri di kota besar ini, ia berasal dari desa yang berada di salah satu pulau Jawa, tepatnya di

Jawa Tengah. Kehidupan Prames bisa dibilang sederhana karena ia memang berasal dari keluarga yang sederhana juga. Di kota ini, ia hanya menyewa kamar kost yang tidak terlalu lebar yang penting ia bisa tidur dengan nyaman melepas lelah setelah bekerja seharian. Kehidupannya yang sendiri dan sudah hampir menginjak

kepala tiga, membuat Prames sering mendapatkan pertanyaan, “apakah kamu tidak ingin menikah?” begitulah kira-kira setiap pulang kampung maupun di tempat ia bekerja. Prames bukannya tidak ingin memiliki pasangan, tetapi ia memang belum menemukan yang cocok untuk menemaninya sampai tua nanti, sehingga ia lebih nyaman sendiri, dan ia tidak pernah ambil pusing dengan omongan orang-orang, contohnya pada pagi hari itu.

“Mes, kamu nggak capek tuh sendirian mulu? Bentar lagi kamu 30 tahun loh, teman-teman kamu aja yang umurnya di bawahmu sudah pada punya 2 anak, lha kamu?” celoteh seorang temannya, yaitu Susi. Susi adalah sahabat Prames, mereka bertemu ketika baru mulai masuk kerja di sekolah tersebut.

“Eh, mbak Susi, sing ayu denok deblong, kamu kok nggak ada bedanya dengan yang lain sih? Selalu aja ngomongin hal begitu. Gini loh Sus, aku bukannya tidak tidak mau menikah tapi aku memang santai nanti kalau sudah waktunya juga bakalan menikah kok, lagian ya jaman sekarang tuh menikah tidak ada batasan umur nggak kaya jaman nenek lu yang kalau nggak nikah-nikah dibilang perawan tua lah, nggak laku lah” papar Prames kepada Susi. “Halah kamu, bisanya cuma ngelesss aja” balas Susi yang kemudian ditinggalkan begitu saja oleh Prames sambil memanyunkan bibirnya.

Begitulah kehidupan Prames, disela-sela kehidupannya sebagai seorang guru ia tetap bercanda dan mendapatkan olok-olok dari temannya ketika jam istirahat di ruang guru, ia selalu ceria dan menanggapi mereka dengan gaya yang jenaka. Prames menjalani kehidupannya dengan santai tanpa beban meskipun ia memiliki pekerjaan segunung sekalipun. Prames selalu mempunyai waktu untuk dirinya sekadar untuk membaca, menonton, maupun

olahraga yang dilakukan setiap ia pulang dari mengajar. Nantinya pada saat yang tak terduga seorang Prames yang bisa dibilang jomblo akut he... he... he... akan mendapatkan orang yang membawa warna dalam hidupnya.

Bagi seorang Prames memilih pasangan bukan sekadar memenuhi kodrat sebagai manusia untuk menikah namun banyak hal yang harus ia pikirkan karena sebelumnya Prames juga pernah menjatuhkan pilihannya namun ternyata belum berjodoh dan masih menyisakan lara sampai saat ini sehingga ia lebih berhati-hati karena tidak mau jatuh dalam lubang yang sama. Prames memiliki harapan suatu saat ia menemukan sesosok laki-laki yang mampu menjalankan salah satu filosofi Jawa dalam mengarungi bahtera rumah tangga yaitu Panca Hang yang berisi mengayomi (laki-laki mampu melindunginya dan memberikan rasa tentram lahir batin) hangayani (bertanggung jawab; mampu mencukupi kebutuhan istrinya dari sisi harta benda atau uang dan kekayaan dengan terus bekerja keras), hangayemi (laki-laki mampu membuat keluarga senantiasa tenang dan selalu rukun), dan hangomahi (mampu mengajak istrinya hidup mandiri, tidak bergantung pada orang tua dan memberinya rumah atau tempat tinggal).

Apakah seorang Dewi Prameswari mampu menemukan tambatan hatinya sesuai dengan harapannya? Apakah ia mampu mewujudkan mimpi-mimpi indahnya bersama pangeran yang selalu ia selipkan dalam doa?

Seseorang

Setelah mengajar beberapa kelas, akhirnya Prames bisa menjatuhkan pantatnya di kursi yang empuk, bahkan ia bisa menyomot camilan kacang atom yang dibawanya dari rumah. Sambil ngemil, ia mengambil dan meneguk air dingin agar kepalanya yang mulai nyut-nyutan karena pekerjaan yang banyak dan cuaca sedang panas-panasnya kembali dingin. Tiba-tiba ia mendengar kegaduhan di luar, ia mendengar ada orang-orang heboh sedang berbicang-bincang dengan menggebu-gebu. Ia heran dan penasaran, maka ia melongokkan kepalanya lewat pintu yang tidak jauh dari tempat duduknya. Ketika menyembulkan kepalnya keluar, ia melihat ada anak-anak yang sedang mengerumuni seseorang. Tiba-tiba ada salah satu guru yang lewat. “Pak Rudi, ada apa itu kok anak-anak berkerumun?” tanya Prames kepada Pak Rudi guru Bahasa Indonesia. “Oh, itu bu ada guru Bahasa Inggris baru yang hari ini baru datang dari Jawa” Jawab pak Rudi. Prames tidak memperdulikan guru baru tersebut, ia lebih memilih untuk melanjutkan acara ngemilnya. Setelah beberapa saat, pintu ruang guru diketuk oleh seseorang dan tidak lama kemudian pintu terbuka memperlihatkan tampang seorang laki-laki muda. Orang itu tinggi dengan badan yang tegap, matanya menyorot tajam, dan ia tersenyum kepada semua orang yang ada di ruangan tersebut. “Cukup manis” batin Prames tanpa sadar. Namun kesadarannya kembali dan merutuki dirinya setelah Pak Anton sebagai kepala sekolah tiba-tiba sudah ada di samping orang tersebut. “Bapak ibu guru sekalian, hari ini sangat berbahagia sekali, karena sekolah kita kedatangan guru Bahasa Inggris baru dan tentunya akan menambah kinerja sekolah kita menjadi lebih baik” terang Pak Anton. “Silahkan pak, untuk memperkenalkan diri” Pak Anton meminta guru baru tersebut untuk memperkenalkan dirinya kepada guru-guru.

“Selamat siang semuanya” sapa guru baru tersebut.

“Selamat siang!” koor bergema di ruang guru karena semua guru serempak menjawab bersamaan.

“Perkenalkan nama saya Aldi Mahendra, saya di sini akan mengajar Bahasa Inggris, saya berasal dari Madiun Jawa Timur, terima kasih” ucap Aldi.

“Apakah ada yang mau ditanyakan kepada Pak Aldi, teman-teman? Tanya Pak Anton kepada kami semua.

“Ada pak, Pak Aldi sudah menikah belum dan sekarang umur berapa? Celetuk Susi sahabat Prames dengan gayanya yang cengar cengir.

“Saya masih singel bu, saya baru berumur 27 tahun” jawab Pak Aldi santai. “huuuuuuu, dasar Bu Susi, nggak punya malu, ingat suami dan anaknya di rumah bu” seloroh beberapa guru yang lain. “Jangan didengarkan Pak Aldi, nanti bapak terbujuk rayuannya loh, Bu Susi kan sudah punya anak 3” sambung guru yang lain. Semua guru akhirnya tertawa terbahak-bahak sedangkan Aldi hanya tersenyum kikuk karena ia masih asing dengan suasana yang baru.

“Baiklah Pak Aldi, silahkan duduk di tempat yang sudah disediakan. Kalau nanti ada yang kurang paham bisa ditanyakan kepada rekan guru maupun kepada saya” jelas Pak Anton.

“Terima kasih pak dan salam kenal untuk semuanya semoga kedepannya kita bisa saling bekerjasama ya bapak ibu” jawab Pak Aldi. Kemudian ia menuju meja yang sudah disediakan, tepat berada di samping meja Prames. Setelah Aldi duduk, ia masih merasa kikuk dengan tempat yang baru.

“Nama ibu siapa?” tiba-tiba Aldi menghampiri tempat duduk Prames sambil mengulurkan tangan. “Dewi Prameswari, tapi biasa dipanggil Prames” Jawab Prames. “Ha ha ha ha… panggilannya lucu banget ya, mirip nama kereta” jelas Aldi sambil tertawa lepas mengejek panggilan nama Prames. “Memangnya ada ya di Jawa kereta yang dikasih nama Prames kayak namaku?” Prames masih keheranan. “Ya enggak lah…. Namanya itu kereta Prameks alias Prambanan Ekspres, tapi kayanya cocok juga kalau aku panggil ibu dengan ibu Prameks ya” seloroh Aldi. Tanpa ada jawaban dari Prames, akhirnya Aldi tidak enak hati “maaf ya bu, kalau saya sudah lancang. Hanya bercanda saja kok dan sepertinya ibu jadi tersinggung”. Mendengar permintaan maaf Aldi, Prames menjawab dengan sekenanya “iya gak papa pak, santai aja”. “salam kenal ya bu Prameks, eh… bu Prames maksud saya, saya Aldi dari Madiun Jawa Timur” papar Aldi sambil senyum-senyum sendiri. “Ibu sendiri dari mana? tanya Aldi. “Saya dari sini mau ke depan pak” jawab Prames sambil senyum jail. “Bukan itu maksud saya bu, tapi maksud saya bu Prames ini asalnya dari daerah mana? Tapi kalau dilihat-lihat dari wajah dan logatnya bu Prames ini pasti asli Jawa ya?” “Iya betul sekali 100 untuk Pak Aldi” jawab Prames dan smabil berlalu keluar ruangan guru untuk segera masuk ke kelas.

Setelah ditinggal oleh Prames, Aldi akhirnya duduk di tempat duduk yang sudah disediakan sebagai tempat kerjanya. “lumayan, ada teman sesama Jawa juga biar bisa menyesuaikan diri dengan baik nih” gumam Aldi dalam hati. “paling tidak ada yang bisa berbahasa Jawa lah biar nggak lupa dengan Bahasa Jawaku he…he…he..” Aldi melanjutkan gumamannya sambil terbesit senyum di bibir manisnya. Aldi pun mulai mengamati tempat kerjanya dan bahkan sambil melihat-lihat ke dalam kelas-kelas yang nantinya bakal ia masuki. Hatinya senang karena ini pengalaman pertama menjadi guru dan akan menjadi tantangan tersendiri karena pastinya nanti ia akan menemui hal-hal baru dari kegiatan mengajarnya.

Tidak butuh waktu lama, seorang Aldi Mahendra dapat menyesuaikan diri di sekolah elit tersebut dan bahkan sudah menjadi guru yang diidolakan oleh anak-anak. Di luar sekolah Aldi memang orang yang tengil dan suka jail namun ketika memasuki lingkungan sekolah Aldi menjadi sosok yang berwibawa dan disegani namun ia selalu menunjukkan rasa sayang untuk anak didiknya. Sebagai Pria dewasa yang hampir mendekati kepala tiga ia juga memiliki harapan segera menemukan tambatan hati agar dapat berbagi keluh kesah saat hatinya gundah. Aldi memimpikan wanita yang jadi pendampingnya adalah wanita yang baik dan memiliki sifat Panca Ti yaitu Gemi Nastiti (perempuan yang berhemat dalam keluarganya, tidak boros, dan bisa mengatur keuangan keluarga dengan baik), Reti Gumati (mampu memperhatikan suaminya dan menata kehidupannya ke depan), Surti (mampu menjaga kewibawaan suaminya), Ngati ati (perempuan yang selalu berhati-hati dalam berbicara dan bertindak, serta selalu menomor satukan kerukunan), dan Bekti (perempuan harus mampu hormat kepada suaminya dengan mencapai ketentraman bersama). Ya…. Itulah kriteria yang setiap laki-laki harapkan dari seorang perempuan yang nantinya akan menjadi teman sampai tua. Masalah fisik Aldi tidak pernah mempermasalahkan karena kecantikan fisik dapat memudar seiring berjalannya waktu namun jika seorang perempuan memiliki kecantikan hati ia mampu bertahan sampai mati dan tentunya akan membuat siapapun yang bersamanya pasti akan merasa tentram.

Apakah sesosok Aldi mampu menemukan wanita yang diidamkannya untuk menemani berlayar mengarungi samudera rumah tangganya suatu saat nanti?

Mengenal Lebih Dekat

Hari-hari berjalan seperti biasa setelah kedatangan Aldi ke sekolah dimana Prames mengajar. Minggu telah berganti bulan, rupanya Aldi dan Prames sudah akrab karena mereka satu suku sehingga obrolan mereka selalu nyambung. Hampir setiap hari Prames dan Aldi pulang dan berangkat ke sekolah bersama karena memang Aldi belum memiliki kendaraan sendiri sehingga Prames selalu mampir ke tempat Aldi tinggal karena kebetulan meraka satu arah.

“Ciyeee, Prames kayaknya ada yang sedang jatuh cinta nih? Aku perhatiin kok tiap hari semangat banget, apalagi sekarang pulang pergi selalu kaya perangko sampe sahabat sendiri aja dilupain” cerocoh Susi sahabat Prames.

“Haiiisss, apaan sih kamu Sus? Selalu aja heboh gini” acuh Prames.

“halaaah, Prames kamu jangan nutup nutupin dong, cerita kek sama aku. Gimana? Udah sejauh apa? Udah ada rencana nikah gitu sama Aldi?” cecer Susi.

“What??? Kamu gila ya? Eh masih pagi kamu kesambet setan dimana? Kok omongan kamu nglantur kemana mana? Umpat Prames karena ia merasa tertodong.

“Hi hi hi hi habisnya kamu sekarang selalu sama Aldi dan aku justru dilupakan begitu aja” tuntut Susi. “Ya maaf Sus, kamu kan tahu sendiri si Aldi itu belum ada motor sendiri, makanya aku barengin dia biar sekalian aja kan kasihan kalau harus naik ojek atau jalan kaki” jelas Prames. “Yaelah! ada yang perhatian banget nih ceritanya sama pacar baru” ledek Susi. “Apaan sih sus, aku sama Aldi tuh nggak ada hubungan apa-apa, hanya sebatas teman aja.”

“Nggak ada atau belum ada tuh?” ucap Susi sambil berlalu dari hadapan Prames dan segera keluar ruangan.

“Huh! Dasar similikiti!” umpat Prames lagi.

“Kamu bilang apa? Lagi sakit hati? Siapa yang nyakitin orang secantik Prameks?” tiba-tiba ada seruntun pertanyaan bertubi-tubi dari seseorang yang berada di belakang Prames. Prames memutar badan sambil melototkan matanya, tentu saja yang heboh kali ini adalah Aldi.

“Heiii… nggak usah melotot gitu kali Prameks, kaya lihat uang segepok aja kamu” cerocoh Aldi.

“Siapa juga yang melotot, emang mataku udah kaya gini dari lahir kok! Lagian kamu kenapa sih harus panggil aku dengan nama kereta, nanti diomelin ibuk gara-gara ganti nama seenak jidat loh” ucap Prames sambil memanyunkan bibirnya 2 centi ke depan. “Ha ha ha…. Lagian bagus kok dan biar beda aja lah sama orang lain yang panggil kamu” jelas Aldi. “Kenapa harus beda?” tanya Prames. “Karena bagiku kamu spesial” Deg! Prames kembali tersadar dan menyahut perkataan Aldi, “nasi goreng kali spesial.” Akhirnya Prames meninggalkan Aldi yang sudah mulai melihat hasil ujian siswa. Prames berjalan ke toilet dengan perasaan berdebar-debar karena ucapan Aldi barusan. Ia tidak tahu mengapa hanya sebuah ucapan tapi bisa mengubah perasaan tenang menjadi gelisah, “apa maksud Aldi ya? Mengapa aku spesial buat dia?” tanya Prames dalam hati.

Setelah suasana hati tenang, Prames keluar dari toilet dan kembali ke meja kerjanya. Ia menjadi kikuk ketika bertatapan dengan Aldi. Ia kembali menekuni pekerjaannya yang tadi sempat tertunda karena obrolan kecil dengan Susi dan Aldi. Akhirnya Prames dapat mengoreksi semua pekerjaan siswa minggu ini dengan baik dan ia akan masuk kelas di jam terakhir, namun tiba-tiba. . . . “Prameks, ada kelas lagi nggak?” tanya Aldi yang duduk di sampingnya. “Iya ada Al, ini sebentar lagi masuk jam terakhir, kenapa?” tanya Prames “Nanti pulang sekolah cari jus yuk, kita kan udah lama nggak ngejus, mau nggak?” “Ok” cukup singkat jawaban Prames dan ia segera berjalan ke kelas terakhirnya hari ini.

Jam pulang kerja sebentar lagi, namun langit sudah mulai gelap, bukan! bukan karena sudah malam tapi karena hujan akan segera turun dengan derasnya. Kilat-kilat api mulai bermunculan, angin berhembus lebih kencang seolah akan membawa apapun yang ia terpa. Semua guru di sekolah itu sudah mulai membereskan meja masing-masing dan bersiap untuk pulang. Namun tiba-tiba. . ..

Jlegeeeerrrrrr!!!! Jlegeeerrrr!!!! Jlegeeerrrr!!!! Suara keras disertai sambaran kilat api muncul mengagetkan semua orang yang memang sudah bersiap keluar dari ruangan, dengan segera air mata langit berjatuhan dengan derasnya tanpa bisa dibendung lagi, suasana sudah seperti malam. Meskipun demikian para pekerja tetap bersiap pulang menerjang derasnya hujan, hingga satu persatu pekerja meninggalkan gedung sekolah, namun Prames masih duduk terdiam di kursinya. “Hey, belum pulang Prameks?” “Maaf aku bukan Prameks tapi Prames!” cetus Prames disertai bibir yang manyun. “He he he, iya iya Prameks yang paling cantik kalau lagi manyun begini” ledek Aldi. “Pulang yuks, masa mau menunggu hujan reda? Nanti keburu gelap loh jalan nggak kelihatan, apalagi banyak lubang”. “Gimana mau pulang Aldi? Aku nggak bawa jas hujan nih” sahut Prames. “Ya udah aku bawa nih bisa untuk berdua, kita pulang bareng aja nanti jas hujannya pakai kamu sampai rumah.” “Ya udah kalau gitu tapi pelan-pelan saja ya soalnya hujannya deres banget aku takut.” Akhirnya Prames memutuskan untuk segera pulang dengan membonceng motor bersama Aldi. Ketika sudah siap untuk jalan, “pegangan yang erat ya biar nggak jatuh karena jatuh di aspal tuh nggak seindah jatuh cinta” cerocos Aldi sambil meraih tangan Prames dan melingkarkannya di pinggangnya. “Halah…. Modus lu Pak Aldi” sebal Prames. “Tolong jangan panggil saya dengan pak ya karena saya bukan bapakmu yang kedua kita udah di luar sekolah jadi aku juga bukan bapak guru lagi tapi sebagai warga sipil biasa” jelas Aldi panjang lebar. “Iya iya cerewet amat sih kaya cewek aja…. Lalu aku panggil apa dong? Masa panggil nama? Atau aku panggil kang mas Aldi saja?” tanya Prames. “Yo wes iku yo apik kok Kang Mas Aldi” jawab Aldi dalam bahasa Jawa. Setelah itu Prames dan Aldi menerobos hujan deras yang semakin tidak terbendung lagi dan disertai dengan kilatan-kilatan peting yang menyambar nyambar membuat mereka berdua harus ekstra hati-hati dan membuat perjalanan mereka menjadi lambat. Secara tidak langsung mereka berdua menikmati suara hujan dan petir yang menggelegar meskipun menakutkan tetapi membuat dua insan tersebut semakin dekat. Itulah musim hujan pertama yang mereka lalui berdua dengan kisah yang hampir saja mau dimulai.

Mentari telah naik ke peraduan sinarnya memancar menerangi alam semesta sebagai tanda kita manusia harus segera sadar dari alam mimpi dan kembali merajut asa untuk melanjutkan hidup. Di rumah sederhana seorang perempuan baru saja terbangun dari mimpi indahnya dan masih tergolek sambil membuka hpnya dan mengecek apakah ada kabar terbaru dari kisah dunia ini. Prameswari wanita itu, karena hari ini libur maka ia tidak terlalu heboh untuk persiapan kerja. Klunting! Klunting! Klunting! Suara hp Prames berbunyi pertanda ada pesan masuk dari aplikasi berwarna hijau tersebut. “Prameks, sarapan tempatku aja ya, aku yang masak wes” bunyi pesan tersebut. Sudah jelas itu adalah Aldi. “Ok Kang Mas” balas Prames. Ia segera turun dari ranjang dan menyambar handuk yang tergantung di pintu kemudian menuju kamar mandi untuk menyegarkan badannya. Setelah siap, Prames menuju ke tempat Aldi.

Sesampainya di tempat Aldi, ia segera memarkirkan motornya dan memanggil empunya rumah. “Kaaaang…! Teriak Prames. “Apa sih teriak-teriak kaya di hutan aja, sini masuk cepat!” sahut Aldi sambil memonyongkan birinya karena merasa terganggu dengan suara ribut. “Tunggu di ruang tamu ya, aku siapkan sarapannya dulu” perintah Aldi. Prames pun menurut saja lalu duduk di ruang tamu rumah Aldi sambil memainkan hp. “Mari makan tuan putri Prameks!” tiba-tiba Aldi sudah muncul dari dalam dengan tangannya yang penuh dengan mangkuk dan piring. “Sini aku bantuin” tawar Prames. Mereka berdua menyiapkan sarapannya dengan rapi dan kemudian mereka duduk dan menyantap makanan yang sudah tersedia. “Wah… enak juga ya ternyata kamu bisa juga masak Kang..” puji Prames. “Halaaahh… masak telur dadar gini aja keciiilll, memangnya kamu masak aja pasti nggak bisa” ejek Aldi. “Jangan salah ya… gini gini aku bisa kok masak” sanggah Prames. “Buktikan!” sahut Aldi. “Okay kalau begitu tunggu aksiku ya” ucap Prames dengan percaya diri. Itulah kali pertama Prames memakan sarapan telur dadar hasil karya dari Aldi yang ternyata enak juga.

Musim hujan masih berlangsung, sehingga hampir setiap hari langit masih saja bercucuran air mata membasahi bumi tercinta ini. Pagi buta Prames sudah bangun dan bersiap-siap untuk bekerja seperti biasa. Setelah siap, ia pun keluar rumah namun ternyata halaman dalam kondisi banjir karena hujan tidak berhenti semalaman. “Lha kok banjir, jadi males masuk kerja nih” lirih Prames. Meskipun demikian ia tetap mengeluarkan motornya dan segera bersiap untuk menerobos banjir dan ia tidak lupa untuk memberi kabar kepada Aldi untuk menunggunya menjemput agak lambat karena kondisi banjir. Tidak lama kemudian, Prames sudah tiba di tempat tinggal Aldi dan segera memanggilnya dengan suara lantang. “Kaaanggg…. ayo berangkat udah siang nih!” “Iyaaa sebentar tunggu!” teriak Aldi dari dalam rumah. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya Aldi nongol. “Hari ini kamu yang nyetir ya Prameks, tanganku lagi sakit nih kemarin terkilir” “Halaaahhh… kamu tuh Kang ada aja alasannya giliran harus menerobos bajir aku pula yang harus melawan badai” sahut Prames. “Looohhh… beneran nih tanganku sakit, kalau nggak percaya nih aku lihatin” sangkal Aldi sambil memperlihatkan tangannya. “Awwww… sakit tahu kenapa kamu ngegampar tanganku? Nanti tambah cedera gimana?” “He…he…he… ya maaf Kang aku kira boongan aja sakitnya” ungkap Prames sambil merenges memperlihatkan giginya yang rapi. “Okay lah ayo aku boncengin tapi kalau nanti jatuh aku nggak mau tanggung jawab ya apalagi banjir nih jalanan banyak lobang yang nggak kelihatan.” “Siap meluncur” ucap Aldi. Prames akhirnya melajukan motornya dengan kecepatan sedang, namun karena ia tidak bisa konsentrasi penuh maka tanpa sadar motor sudah berbelok dengan cepat dan akhirnya…. Byurrrr!! Blubuk!…Blubuk..! ya! Mereka berdua ternyata kecebur ke got. Seluruh badan dari dua anak manusia ini sudah basah kuyup seperti habis terjun ke kolam renang. “Pramessss!!! Apa yang kamu lakukan wahai wanita tercantikku….!!!” teriak Aldi dengan penuh emosi. “Yah… mau gimana lagi, jatuh nih terlalu pinggir sih tadi, kenapa kamu nggak mengingatkan sih Kang?” balas Prames tanpa rasa bersalah. “Lohhh kok malah jadi nyalahin aku sih, udah ayok kita balik lagi harus ganti nih basah semua gini.” “Ha….ha…ha…udah lah jangan marah-marah mulu sekali-kali jatuh di got biar nggak jatuh cinta terus dari dulu tapi nggak pernah punya gandengan ha…ha…ha…ha.. kan ngenes” ledek Prames sambil mencoba mengangkat motornya. “Sini aku bantuin” tawar Aldi. “Makasih Kang” balas Prames. Akhirnya karena tidak memungkinkan lagi untuk bekerja dalam keadaan baju basah kuyup, mereka berdua putar balik untuk mengganti bajunya terlebih dahulu. Setelah itu, mereka meneruskan untuk ke sekolah bertemu dengan para siswa yang siap untuk menerima pelajaran.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!