"Taktik utama untuk balas dendam terhadap mantan ialah, mengajaknya untuk balikan, kemudian mencampakkan."
****
Cinta adalah suatu hal yang teramat begitu indah, apalagi ketika merasakannya disaat masa-masa SMA. Rasa sakit penuh luka bisa tiba-tiba sembuh oleh cinta. Apalagi kalau bisa lebih bermanja pada si dia.
Kata-kata itu seakan menjadi sebuah tamparan telak bagi Aldevaro yang baru merasakan indahnya cinta, namun diharuskan berhenti di tengah jalan akibat suatu kesalahan yang bahkan ia saja tidak tahu, di mana letaknya?
Peringatan satu bulan jadian sekitar dua tahun yang lalu masih teringat sangat jelas di kepala Aldevaro sampai detik ini. Aldevaro yang pada saat itu baru menginjak kelas sepuluh mencoba peruntungan berpacaran dengan gadis sebaya yang tak lain adalah anak dari tetangga baru di kompleksnya.
Namanya, Zeva. Dia cantik, pendiam, juga sedikit pemalu. Dia memiliki hobi yang sama dengan Aldevaro, di mana ia pun memiliki hobi bermain badminton. Pertemuan mereka waktu itu berawal ketika Aldevaro baru saja menginjak bangku kelas satu sekolah menengah pertama. Saat itu, Aldevaro yang baru aja pulang sekolah langsung disuguhkan dengan kedatangan tetangga baru yang rumahnya tepat berhadapan langsung dengan rumahnya.
Waktu itu, Aldevaro tidak sengaja menginjak sebuah barang yang tergeletak di tanah. Ia pikir itu sampah. Ketika Aldevaro hendak membuangnya, seorang gadis seumurannya datang seraya marah-marah, kemudian merebut barang yang Aldevaro lihat adalah sebuah boneka, atau semacam gantungan kunci.
"Iiiih! Ini tuh bukan sampah! Sembarangan aja mau dibuang,"
Kalimat itu. Kalimat pertama yang Zeva lontarkan pada Aldevaro di hari pertama pertemuan mereka. Saat itu, yang bisa Aldevaro lakukan hanyalah cengo dengan sesekali mengerjapkan mata.
"Sorry! Gak sengaja,"
Bukannya berniat kembali membalas, Zeva malah pergi begitu saja sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya. Gadis itu kemudian masuk ke dalam rumahnya yang Aldevaro tebak masih belum selesai dibereskan.
Karena bingung, Aldevaro pun memilih lanjut pulang ke rumah dengan sesekali menggeleng-geleng kepala. Namun, tak sampai berhenti di sana, setelahnya di hari-hari berikutnya, Aldevaro mencoba mendekatkan dan mengakrabkan diri pada Zeva. Bukan hendak menggombal, atau hal-hal lain yang berada di luar pemikiran.
Aldevaro hanya ingin meminta maaf atas kesalahannya yang telah merusak barang milik gadis itu.
Em, memang tidak sampai rusak juga, sih. Hanya sedikit kotor, sepertinya masih bisa dicuci? Tapi tidak tahu kenapa, Aldevaro tetap merasa bersalah saat itu, sehingga ide konyol yang sebelumnya tidak pernah terlintas di kepala, langsung Aldevaro lakukan tanpa persiapan sedikit pun.
Dan, ya. Awalnya memang masih tetap tidak berhasil. Aldevaro bahkan sering sekali mendapat perlakuan dingin dan jutek dari Zeva.
Hingga tak berapa lama setelah kejadian di mana Aldevaro terus-menerus mengikutinya tanpa jeda, akhirnya Zeva mulai membuka hatinya untuk memaafkan Aldevaro dan berusaha melupakan kesan menyebalkan yang sebelumnya sempat tertanam.
Dan sejak saat itu, dua orang remaja tanggung itu menjadi semakin dekat. Mereka juga telah bertukar informasi nama dan sering keluar masuk dari rumah masing-masing untuk bermain bersama. Sayangnya, mereka tidak satu sekolah pada waktu itu. Zeva lebih memilih bersekolah di SMP khusus putri yang jaraknya lumayan cukup jauh dari letak sekolah Aldevaro.
Hari-hari terus Aldevaro lalui bersama Zeva. Sampai pada suatu ketika, Aldevaro menyadari satu hal bahwa dirinya menyukai Zeva.
Zeva yang pendiam, polos, dan jarang sekali tersenyum alias si muka jutek, sanggup membuat Aldevaro, si cowok datar nan kaku yang tidak pernah tersenyum dibuat tertawa oleh candaannya.
Iya. Zeva memang gadis pendiam dan bermuka jutek. Tapi jangan salah. Sekalinya kalau gadis itu sudah bercanda, kalian akan lupa bahwa orang yang berada di hadapan kalian saat ini adalah orang yang sama.
Hampir tiga tahun lebih memendam perasaan, Aldevaro akhirnya memutuskan untuk mulai berani menyatakan perasaannya pada Zeva. Waktu itu, Aldevaro baru saja diterima masuk SMA paling bergengsi yang sudah dari sejak lama ia idam-idamkan.
Aldevaro masih ingat betul, di mana pertama kali dirinya menembak Zeva. Kalau tidak salah ingat, di tengah alun-alun ibu kota.
Dengan bermodalkan nasihat dari teman ke teman, Aldevaro berusaha untuk tetap ber-positive thinking, dan mencoba mengenyahkan segala kemungkinan terbesar bahwa Zeva akan menolak cintanya.
"Va! Sebenernya, ada yang mau gue omongin ke lo!"
"Hm? Ngomong aja. Gue dengerin,"
Fyuh... "Gue suka sama lo! Lo mau gak jadi pacar gue?"
Detik itu juga, dunia seakan berhenti berputar pada forosnya selepas Aldevaro mengutarakan perasaannya pada Zeva. Reaksi Zeva yang terdiam kaku, semakin membuat Aldevaro pasrah jika pada akhirnya, Zeva benar-benar akan menolak cintanya.
"Gue mau!" Mendengar kalimat tak terduga itu, Aldevaro yang pada awalnya menunduk langsung mendongak, dengan sepasang bola mata yang membulat seolah siap keluar dari tempatnya.
"Hah?! Serius?" Demi apa pun, Aldevaro masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar!
Zeva menerima cintanya? Ah, yang benar?
Bukan jawaban lisan yang terucap dari mulut Zeva, melainkan anggukan kepala mantap disertai kedua pipinya yang sedikit merona. Melihat hal itu, Aldevaro hanya bisa mengulum senyum bahagia sambil menahan diri untuk tidak bertingkah heboh saat itu juga. Apa pun yang terjadi, Aldevaro harus tetap jaga imej di depan Zeva.
Setelah hari di mana Aldevaro mengutarakan perasaannya, mereka berdua menjadi semakin sering bertemu satu sama lain. Sayangnya, mereka memilih merahasiakan hubungan dari kedua keluarga.
Sebenarnya, Aldevaro tidak ingin melakukan hal itu. Karena yang ia mau adalah, kedua orangtuanya tahu bahwa Zeva adalah pacarnya. Sayangnya, demi Zeva yang sifatnya pemalu, Aldevaro pun setuju untuk merahasiakan hubungan mereka.
Sampai pada suatu ketika, saat hubungan mereka berjalan satu bulan, cinta yang selama ini Aldevaro jaga sepenuh hati, pergi begitu saja tanpa kabar yang pasti.
"Please, Zeva, angkat telepon gue! Lo di mana, sih?"
Aldevaro masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi hari itu. Padahal, satu hari sebelumnya, mereka masih saling melempar canda sambil memikirkan hadiah apa yang akan mereka berikan pada masing-masing untuk memperingati satu bulan jadian.
Sayangnya, tepat ketika Aldevaro baru saja pulang dari sekolah, hal yang tidak terduga telah terjadi. Di mana halaman rumah Zeva yang biasanya selalu terlihat rapi dan bersih, mendadak kacau dengan beberapa barang perabotan rumah tangga yang rusak dan berceceran di halaman depan.
Detik itu juga, Aldevaro langsung berlari ke arah pintu masuk. Mencoba untuk mengetahui keadaan Zeva. Dan hal lain yang baru Aldevaro sadari adalah, pintu rumah itu terkunci. Mobil yang senantiasa terparkir di garasi pun mendadak hilang entah ke mana.
Panik! Aldevaro lantas menghubungi Zeva untuk menanyakan di mana keberadaan dia saat ini. Sialnya, nomornya tidak aktif. Dan itu semua sanggup membuat Aldevaro cemas setengah mati.
Cukup lama Aldevaro terus berusaha menghubungi Zeva, namun tetap berakhir sama, ia pun memutuskan mengalah dan pulang terlebih dahulu ke rumahnya.
Belum sempat tangannya menyentuh gagang pintu, seseorang dari dalam telah berhasil membukakan pintu tersebut, yang tak lain adalah sang mama sendiri. Tampak raut wajahnya yang begitu syok ketika mendapati Aldevaro berada tepat di hadapannya. Tatapan matanya kemudian berubah lesu yang diiiringi helaan napas berat setelahnya.
"Mama—"
"Ada titipan dari Zeva. Katanya buat kamu," sang mama, Regina, memberikan sebuah kotak berukuran sedang berwarna cokelat yang katanya dari Zeva.
Karena penasaran, dengan tergesa-gesa Aldevaro meraih kotak tersebut dan berjalan memasuki kamarnya, kemudian menguncinya dari dalam. Tas sekolah yang berada di kedua pundak langsung ia lempar sembarangan. Dasi abu-abu yang menggantung di kerah kemeja pun turut ia tarik tanpa aba-aba.
Ketika kotak tersebut telah Aldevaro buka sepenuhnya, tampak sebuah amplop disertai sebuah gantungan kunci yang terbuat dari kayu, terukir sebuah nama yang diambil dari gabungan nama mereka.
☆ZEVARO☆
Gantungan kunci itu seolah menyimbolkan satu hal bahwa Aldevaro dan juga Zeva, tidak akan pernah berpisah sampai kapan pun.
Sayangnya, apa yang Aldevaro simpulkan tak sama dengan isi dari surat yang Zeva tulis sendiri di dalam amplop putih itu.
Dear, Varo
Selamat hari jadi kita yang ke 1 bulan! Maaf, ya, aku ngucapinnya lewat surat. Dan maaf juga karena sepertinya, hubungan kita mungkin cuma bisa sampai di sini aja.
Maaf, aku pergi gak bilang-bilang. Sejujurnya, aku juga baru tahu hari ini.
Aku gak bisa jelasin keadaan aku ke kamu saat ini seperti apa!? Tapi yang jelas, Aku benar-benar minta maaf! Aku bukan bermaksud buat nyakitin kamu apalagi mainin perasaan kamu. Aku hanya bingung harus bilang dari mana.
Var...
Lebih baik kamu lupain aku. Tolong kamu ikhlasin aku. Aku gak mau hanya karena satu orang cewek kayak aku akan merusak masa depan kamu. Dan aku harap di masa depan, kita gak akan ketemu lagi.
Untuk:
Aldevaro Wirathama♡
Dari:
Zeva Anindira
Kesal? Jelas!
Surat macam apa ini, yang diawali dengan kata 'selamat', namun malah diakhiri dengan kata 'maaf'?
Sampai di sini aja? Maksudnya putus?! Tidak! Aldevaro tidak terima!
Dengan menahan berbagai amarah dan kekesalan, Aldevaro kembali mencoba menghubungi Zeva dengan segala cara. Nyatanya, nomornya masih tidak bisa dihubungi seperti sebelumnya.
Cinta yang selama ini Aldevaro jaga sepenuh hati, pada akhirnya kandas di tengah jalan. Sial! Apakah ini yang dinamakan di-ghosting?!
Rasanya sakit, sungguh! Apalagi ketika rasa cinta itu tengah berada puncaknya. Dan dengan pernyataan sepihak tentang hubungan mereka yang diharuskan berakhir begitu saja, tubuhnya seakan dijatuhkan ke jurang gelap nan berbatu.
Dan, ya. Sejak hari di mana Aldevaro dicampakkan, ia mulai mencoba untuk melupakan Zeva, walau pada dasarnya ia masih tidak rela. Pada akhirnya, 'cewek' kini menjadi makhluk yang paling Aldevaro benci di dunia ini.
Dua tahun lamanya semenjak kejadian di-ghosting, sosok yang hampir Aldevaro lupakan dari mulai rupa, tawa, serta senyumnya, kembali ke hadapan Aldevaro dengan status, MANTAN PACAR!
Zeva Anindira. Siswi pindahan di kelas XII IPA 2, alias kelas sebelah. Kini berdiri tepat di hadapan Aldevaro dengan penampilan yang jauh berbeda dari dua tahun yang lalu.
Rambutnya yang seingat Aldevaro dulu hanya sepundak, sekarang panjangnya menjadi sepunggung. Raut wajahnya yang pemalu juga sudah tidak ada lagi. Hanya ada Zeva si wajah jutek yang terlihat semakin dewasa.
Saat itu juga, amarah yang selama dua tahun ini Aldevaro pendam kembali meluap. Perasaan benci akibat ditinggal begitu saja lagi-lagi bersinggah tanpa berniat meminta izin terlebih dahulu.
"Varo?"
Varo? Zeva memanggil Aldevaro dengan nama panggilan yang bahkan hanya ia yang memanggil Aldevaro dengan panggilan itu.
Sial!
"Hai! Gi-gimana kabar kamu? Kamu baik-baik aja, 'kan?"
Haha. Kalimat basa-basi rupanya. Sayangnya, Aldevaro sudah terlanjur benci untuk sekadar disapa manis oleh mantan yang sudah mencampakkannya disaat ia lagi sayang-sayangnya.
Tanpa bicara sepatah kata untuk membalas sapaan dari sang mantan, Aldevaro lantas melenggang dari hadapan Zeva dengan memendam perasaan dendam yang tak bisa terelakkan. Sejak hari itu, Aldevaro berjanji satu hal pada dirinya sendiri.
Balas dendam!
Ya, Aldevaro harus membalaskan dendam atas apa yang sudah gadis itu lakukan kepadanya. Setidaknya, berusaha mengajaknya balikan kemudian balik mencampakkan seperti dulu, mungkin akan membuat dia sadar bahwa, seorang Aldevaro tidak bisa semudah itu ditinggalkan perempuan.
Dendam masa lalu itu pun, dimulai!
To be continue....
"Aaakkk!!! Kak Al ganteng bangetttt!!!"
"Omaygat, omaygat, omaygattt!!! Itu Kak Al kok bisa sih ganteng banget gitu? Heran gue!"
"Aww! Itu rambutnya dikibas ke belakang dooonggg!!!"
"Alll!!! Ailovyuuu!"
Teriakan demi teriakan terus bersahutan dari dalam gor sekolah tempat berlangsungnya sebuah pertandingan badminton.
Bukan pertandingan antar kelas, apalagi pertandingan nasional. Hanya permainan biasa yang dilakoni oleh sepasang saudara sepupu yang selalu bertolak belakang. Singkatnya, mereka bermusuhan.
Tak!
Suara kok yang di-smash cukup kuat melesat melewati tubuh seseorang, sehingga menyebabkannya kehilangan satu point sampai berakibat kekalahan.
Semua penonton terdiam. Raut wajah penuh semangat tadi, langsung berubah seratus delapan puluh derajat, dengan perhatian yang beralih ke papan point.
Aldevaro/Geraldino
21/19
"Aaaakkk! Kak Al menang lagi dooonggg!"
"Yesss! Udah gue sangka sih iniii! Secara 'kan, ya, Aldevaro itu jago bangettttt!"
"Aww! Makin bucin aku sama Kak Al!"
"Alll! Selamaaattt!"
Dan masih banyak lagi teriakan para siswi yang memuja sekaligus memberikan selamat atas kemenangan telak Aldevaro melawan sepupunya sendiri yang bisa dikenal sebagai rajanya biang onar.
Mari kita sedikit perkenalan antara dua sepupu yang saling bertolak belakang ini.
Aldevaro Wirathama. Sering disapa 'Al' oleh semua orang. Dia adalah siswa kelas XII IPA 1 di SMA Bima Sakti dan sering dijuluki cogan bermuka datar. Tubuhnya yang sangat tinggi menjulang dan wajahnya yang super duper baby face menjadikannya idola seluruh siswi.
Tak hanya itu. Aldevaro juga merupakan siswa paling berprestasi di SMA Bima Sakti. Bukan hanya di bidang akademik. Non akademik pun ia sangat berprestasi. Salah satu contohnya adalah di bidang olahraga yang baru saja ia tekuni. Badminton.
Ya. Aldevaro menyukai badminton dari sejak kecil.
Dan, Geraldino Abraham. Sering disapa 'Gerald'. Dia juga merupakan siswa kelas tiga SMA Bima Sakti. Bedanya, Gerald masuk di kelas XII IPS 5. Kelasnya para biang onar.
Ya. Gerald adalah siswa biang onar, ia sudah langganan keluar-masuk ruang BK dari sejak awal kelas sepuluh. Siswa maupun siswi sering menjulukinya begitu bukan tanpa alasan. Karena pada kenyataannya memang begitu.
Sering memusuhi orang-orang yang membencinya, pun termasuk Aldevaro yang sangat ia benci. Bukan tanpa alasan Gerald membenci saudara sepupunya tersebut. Ia hanya ingin menunjukkan satu hal pada keluarga besarnya, bahwa dirinya pun layak.
Gerald melempar raketnya sembarangan dengan emosi yang sudah hampir meluap. Kekalahannya kali ini membuat dirinya semakin membenci Aldevaro sampai ke dalam tulang. Awas saja nanti!
Aldevaro melangkahkan kakinya sedikit ke hadapan Gerald yang terhalang oleh net. Tatapan yang ia layangkan pada sang saudara sepupu tampak begitu dingin namun masih tetap tenang.
"Sesuai ucapan lo. Yang menang bebas, dan yang kalah jangan ngusik lagi yang menang." Aldevaro berucap cukup lantang, membuat para penonton yang didominasi para siswi langsung terdiam dan memilih untuk memerhatikan interaksi kedua saudara sepupu tersebut.
Gerald berdecih malas menanggapi ucapan Aldevaro. "Lo pikir gue peduli?" Cowok itu berjalan menerobos net hanya untuk menghampiri Aldevaro. Satu gor dibuat heboh akibat sikap Gerald yang tidak pernah memegang ucapannya.
Ketika cowok itu telah benar-benar berdiri tepat di hadapan Aldevaro, tatapan yang ia layangkan padanya semakin terlihat mengerikan. Apalagi ditambah dengan kepalan di kedua tangannya yang telah hampir memucat. Siapa pun yang melihatnya akan mengira bahwa cowok itu akan melayangkan pukulannya pada Aldevaro.
"Denger ini baik-baik. Sampai kapan pun, gue gak akan sudi akur sama lo! Camkan itu!" Gertak Gerald, kemudian mendorong tubuh Aldevaro menggunakan salah satu jari telunjuknya. Setelahnya, cowok itu melenggang dari dalam gor badminton dengan membawa setumpuk kekesalan.
****
"Al!" Suara sahutan lembut dari arah belakang, menyentak Aldevaro dari apa yang tengah ia lakukan.
Ketika berbalik badan, seorang gadis berparas manis, bertubuh mungil, tersenyum lembut ke arahnya. Salah satu tangannya membawa sebotol air mineral yang baru ia beli dari kantin.
"Lo gak pa-pa?" Tanyanya penuh perhatian, seraya memberikan sebotol air mineral tadi pada Aldevaro.
Awalnya, Aldevaro hendak menolak pemberian gadis itu. Namun ketika melihat raut wajahnya yang cemas, ia jadi tidak tega. Dengan terpaksa, Aldevaro mengambil air mineral tersebut.
"Gue gak pa-pa. Makasih, ya," ujar Aldevaro. Seulas senyum tipis terbit di wajah tampannya. Membuat gadis itu seketika dibuat gugup setengah mati.
"Em ... soal ucapannya Gerald, lo jangan masukin ke hati, ya? Lo tahu 'kan, kalau dari dulu saudara angkat gue emang sikapnya kayak gitu?"
"Lo tenang aja. Gak gue masukin ke hati, kok. Em, btw, lo gak rapat?"
"Eh?!" Gadis itu sedikit tersentak atas pertanyaan Aldevaro di kalimat yang paling terakhir.
Ketika dirinya menyalakan ponselnya, seketika gadis itu menepuk dahinya cukup keras. "Udah jam segini ternyata. Ya udah, gue duluan, ya, Al! Lima menit lagi udah mau rapat OSIS lagi, huuh! Males banget," Aldevaro mengangguk sebagai jawaban dari perkataan gadis itu padanya.
Saat gadis itu sudah hendak melenggang, Aldevaro mengernyitkan dahinya merasa ada sesuatu yang kurang dari gadis itu.
"Diandra!" Panggil Aldevaro. Seketika membuat langkah kaki gadis itu langsung terhenti, kemudian berbalik menghadap Aldevaro dengan raut wajah polos penuh tanya.
"Jepit rambut lo ke mana?"
"Hah?!" Gadis yang dipanggil Diandra itu pun langsung panik, seraya menyentuh kepalanya. Merasa jepit rambut yang dikatakan Aldevaro benar-benar tidak ada, sepasang bola matanya langsung mengedar ke segala penjuru. Tak lama kemudian, ia menghela napas lega saat sepasang bola matanya menemukan di mana letak jepit rambut kesayangannya.
"Di sana!" Diandra menunjuk jepit rambutnya yang berada lantai di sebelah Aldevaro. Sontak saja cowok itu langsung mengalihkan perhatiannya pada apa yang gadis itu tunjuk.
"Lo tunggu di sana. Gue ambilin." Ujar Aldevaro, lagi-lagi membuat Diandra semakin dibuat gugup setengah mati.
Tak berapa lama ketika Aldevaro mengambil jepit rambut Diandra yang terjatuh, cowok itu pun mulai berjalan ke arah Diandra, sampai pada akhirnya jarak di antara keduanya hanya bersisa beberapa puluh sentimeter saja.
"Nih! Ke kelas gih!" Ucap Aldevaro, yang dibalas anggukan kepala oleh Diandra.
Tak lagi mengatakan sepatah kata, gadis itu pun mulai melenggang dari hadapan Aldevaro. Seulas senyum bahagia terus terpampang jelas di raut wajahnya.
Aldevaro. Tidak peduli cowok itu adalah sepupu angkatnya, Diandra tidak akan menyerah untuk memberikan cintanya pada cowok itu.
****
Di sepanjang langkah kaki melewati koridor kelas sepuluh yang berada di lantai satu, Aldevaro tak henti-hentinya terus mendengus sebal tatkala pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi siang.
Geraldino, atau sering disapa Gerald, membuat keputusan dari janji mereka dengan semena-mena di akhir pertandingan mereka. Cowok yang tak lain adalah saudara sepupunya itu entah memiliki alasan apa yang membuat dirinya sebegitu benci dengan Aldevaro.
Soal Kakek yang lebih menyukainya? Aldevaro rasa tidak akan mungkin sedangkal itu. Lantas, apa alasannya? Sampai detik ini pun, Aldevaro masih mencoba mencari tahu akan hal itu.
Terlalu larut dalam pikiran, Aldevaro sampai lengah dengan langkah kakinya sendiri. Ketika cowok itu hendak menaiki tangga untuk sampai di kelasnya, seseorang dari arah lain berjalan dengan tergesa-gesa sehingga menyebabkan keduanya terlibat benturan kecil yang sanggup menghentikan niat serta langkah keduanya.
Keduanya refleks sama-sama mengaduh, kemudian dilanjut dengan saling meminta maaf. Tersadar keduanya selalu berucap bersamaan, masing-masing dari mereka perlahan mulai mendongakkan wajah untuk menatap siapa yang baru saja mereka tabrak.
Dan, ketika dua pasang mata itu telah saling bersitatap, saat itu juga, waktu seakan berhenti berputar.
Deg!
Zeva? Batin Aldevaro memanggil. Tanpa sadar kedua tangannya langsung terkepal kuat dengan sepasang bola matanya yang menyipit tajam.
Zeva. Ya, tidak salah lagi. Orang yang baru saja bertabrakan dengannya adalah Zeva! Gadis yang telah begitu tega mencampakkannya dua tahun yang lalu. Meskipun kejadian itu sudah sangat lama sekali, namun Aldevaro masih sangat ingat seperti apa wajah gadis itu.
“Va-varo?” Panggilnya. Refleks membangunkan Aldevaro dari apa yang sempat ia lamunkan sejenak.
Tunggu! Apa yang baru saja gadis itu katakan? Apakah dia baru saja memanggilnya?
“Hai! Em … Gi-gimana kabar kamu? Kamu baik-baik aja, ‘kan?”
Aldevaro refleks berdecih pelan membuat Zeva seketika melebarkan kedua bola matanya. Ditatapnya dari atas sampai bawah, Aldevaro benar-benar dibuat kagum oleh perubahan total gadis itu.
Rambutnya yang seingat dulu Aldevaro hanya sepundak, kini terlihat hampir menutupi seluruh punggungnya. Penampilan wajahnya yang polos dan natural sudah tidak ada lagi. Aldevaro tebak, gadis itu mengenakan make-up sehingga wajahnya terlihat begitu dewasa dan semakin cantik.
Sial! Disaat begini pun ia masih tak lupa untuk memuji gadis itu yang padahal hanya berstatuskan MANTAN PACAR!
Tak ingin terus berdiam diri lebih lama dengan sang masa lalu di tempat tersebut, Aldevaro memilih melenggang terlebih dahulu menaiki undakan tangga kelas tanpa berniat membalas ucapan yang lebih ke sapaan basa-basi dari mantan.
Mantan? Heh, menyebalkan! Kenapa juga harus ketemu lagi?
****
Di tengah perasaan kalut dan amarah yang masih menguasainya, Gerald memilih memejamkan mata di saat jam pelajaran terakhir masih diterangkan di depan sana. Tidak ada yang memedulikannya, mau itu sang guru mata pelajaran yang tengah berbicara panjang lebar menerangkan pelajaran.
Bukan tanpa alasan ia bersikap acuh tak acuh begini. Ia hanya merasa lelah dengan perangai Gerald yang tidak pernah bisa berubah, walau diberitahu seberapa sering pun itu.
Dan lihatlah cowok itu sekarang. Dengan wajah tanpa dosa ia merebahkan kepalanya di atas meja, padahal posisi meja cowok itu bukan berada di bangku paling belakang.
Bisa dibilang, posisi meja Gerald berada tepat di paling depan berhadapan langsung dengan meja guru. Sayangnya, hal itu tak membuat dirinya takut. Ia bahkan dengan gamblang memperlihatkan kenakalannya di dalam kelas, tepat di hadapan para guru.
“Gerald!” Sahutan datar dari sang guru mata pelajaran sejarah, membuat tidur Gerald terusik.
Perlahan namun pasti, sepasang bola mata cowok itu terbuka, tanpa sedikit pun mau mengubah posisi kepalanya yang ia rebahkan di atas meja.
Sepasang netra tajam Gerald kemudian bertemu dengan netra dingin dari sang guru. “Apa?” Pertanyaan kurang ajar itu meluncur dari mulutnya tanpa mau disaring terlebih dahulu.
Dengan malas, Gerald kemudian menegakkan kepalanya. Posisi duduknya pun berubah menjadi duduk menyandar pada punggung kursi. Terlihat tatapan tak suka dari sang guru yang juga ia tujukan pada Gerald.
Demi apa pun, ia ingin sekali menutup mata selamanya atas perangai Gerald yang tiada habisnya. Sayangnya, kesabarannya kali ini telah menipis. Gerald terlalu keenakan jika terus didiamkan seperti ini.
“Kamu mau begini sampai kapan? Apa kamu tidak takut memengaruhi nilai kamu?”
“Bodo amat! Gue gak akan kuliah juga. Kenapa emangnya?”
Di tempatnya, sang guru tampak menarik napas dalam-dalam sembari mengepal kuat kepalan tangannya. “Begitu, ya? Kalau begitu kamu lebih baik keluar dari kelas saya!”
Sempat terjadi adu tatapan tajam di antara keduanya, hingga pada akhirnya, Gerald yang lebih dulu memutuskan kontak mata mereka.
“Oke.” Ujarnya, tenang.
Satu kelas lantas dibuat menganga lebar oleh jawaban impulsif yang terucap dari mulut Gerald. Mereka semua sibuk berbisik-bisik sana-sini. Mengatakan hal buruk tentang Gerald yang tidak pernah berubah dari sejak awal menjadi murid kelas sepuluh.
Gerald yang menyadari bahwa dirinya kini menjadi bahan tontonan satu kelas pun langsung menatap tajam satu-persatu teman-teman sekelasnya. Berbagai bisik-bisik tentang; betapa semena-menanya tindakan cowok itu, harus mereka hentikan ketika tatapan tajam itu seolah mengisyaratkan mereka untuk berhenti saat itu juga.
“Ngomong tuh yang jelas, jangan bisik-bisik! Mumpung gue lagi ada di hadapan lo, lo, lo, dan lo!” Tunjuk Gerald satu-persatu, sebelum pada akhirnya ia benar-benar melenggang dari dalam kelasnya.
To be continue…
Mimpi…
Kejadian yang sudah cukup lama itu kembali terulang dalam mimpi. Kejadian yang seharusnya telah aku lupakan, namun malah berakhir terus terbayang.
Senyumnya, tawanya, dan tingkah konyolnya, serta sikapnya yang perhatian, seakan menjadi kutukan buatku yang telah begitu tega mencampakkan.
Dia yang memiliki hati bak malaikat diharuskan bertemu diri ini yang memiliki banyak rahasia dan tipu muslihat. Satu saja kata maaf, rasanya takkan pernah bisa diterima olehnya yang telah begitu dalam kusakiti.
Cintanya yang tulus harus kuakhiri dengan sepihak. Tak peduli bagaimana responnya ketika mendengar kalimat itu.
“Kita cukup sampai di sini aja,”
Maaf! Kata-kata itu pasti telah sangat menyakiti kamu. Bukannya aku sudah tak memiliki rasa, namun karena aku tak ingin menyakitimu terlalu dalam.
Cukup hanya aku yang terluka. Jangan sampai kamu terkena imbasnya.
Zeva mulai menutup buku diary-nya setelah gadis itu dirasa selesai mengungkapkan curahan hatinya di sana. Ya, gadis itu baru saja menuliskan berbagai emosi dan perasaannya ke dalam sebuah buku binder berukuran A5 dengan sampul berwarna pink yang terbuat dari kulit sintetis.
Helaan napas berat ia embuskan tatkala ingatannya lagi-lagi melayang pada kejadian dua tahun yang lalu di mana keluarganya yang harmonis hancur berantakan dalam satu malam. Bukan hanya itu saja. Hubungan cintanya yang baik-baik saja diharuskan kandas tanpa arah dan tujuan, akibat keadaannya yang waktu itu tak cukup memungkinkan.
Zeva mulai menarik napasnya dalam-dalam ketika salah satu sudut matanya mengeluarkan air mata. Tak ingin terus-menerus berlarut dalam kesedihan, gadis itu pun memilih bangkit dari posisi duduknya, kemudian melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.
“Zeva! Kamu udah selesai beres-beresnya, Nak?” Suara sahutan dari luar kamarnya seketika mengalihkan perhatian gadis itu dari apa yang tengah ia lakukan.
Ketika ia menoleh ke arah pintu kamarnya yang setengah terbuka, Raya, sang mama berdiri dengan salah satu tangannya menggenggam ponsel. Spontan Zeva yang tadinya tengah memasang wajah muram langsung menarik kedua sudut bibirnya membentuk seulas senyuman.
“Bentar lagi, Ma. Tinggal alat-alat sekolahnya aja,”
“Cepetan, ya! Mobil yang akan bantu kita pindahan bentar lagi sampe, loh.” Ucap Raya. Membuat Zeva hanya dapat mengangguk seraya mempercepat geraknya seperti yang diinginkan sang mama.
“Mama tenang aja. Ini juga paling-“ Zeva langsung menghentikan ucapannya ketika suara dering ponsel terdengar memekakkan telinga mereka.
Diliriknya ke arah sumber suara, ponsel milik sang mama yang berada di genggamannya berdering dengan nama ‘penjual rumah’ tertera besar di layer ponselnya.
“Mama angkat dulu, ya. Kamu cepetan beres-beresnya. Nanti Mama ke sini lagi,” ujar Raya. Dan setelahnya, wanita paruh baya tersebut mulai melenggang dari dalam kamar puterinya.
Sepeninggalan sang mama dari kamarnya, Zeva lagi-lagi menghela napasnya cukup dalam dengan raut wajahnya yang kian masam. Omong-omong soal hari ini, ya, hari ini adalah hari di mana ia beserta sang mama akan kembali pindah rumah.
Sudah hampir menjadi ritual mereka setiap tahun untuk pindah dari satu kota ke kota lainnya. Zeva bahkan hampir tak memiliki teman akibat dirinya yang sering sekali pindah sekolah dan rumah. Beruntung tujuannya kali ini adalah Jakarta, kota di mana ia dilahirkan sekaligus kota di mana hubungan percintaannya dimulai.
Oh, ya, rumah yang akan Zeva tempati nanti bukanlah rumah lama mereka yang letaknya bertetanggaan dengan Aldevaro. Jadi, ia tidak akan merasa canggung jika sewaktu-waktu harus bertemu dengan cowok itu.
Ekhem. Omong-omong soal Aldevaro, kira-kira sekarang bagaimana kabarnya, ya?
“Zeva! Kamu udah beres-beresnya?” Teriakan nyaring dari luar kamarnya lagi-lagi mengenyahkan Zeva dari apa yang tengah ia lakukan. Dengan terburu-buru, gadis itu pun mulai mengambil sebuah kardus berukuran cukup besar yang berisi barang-barangnya yang baru saja ia bereskan.
Tak berapa lama kemudian, mamanya kembali mengunjungi kamar Zeva. Dirasa semuanya telah selesai dipindahkan, seulas senyuman terbit di wajah cantiknya. “Udah, Sayang?” Tanyanya sekali lagi, mencoba memastikan.
“Udah, Mah.”
“Ya udah. Kamu bawain satu-satu barangnya ke luar, ya. Yang nggak berat aja. Sisanya biar orang lain yang urus, oke?” Tutur Raya, yang dibalas anggukan kecil oleh Zeva.
****
“Nah, gimana menurut kamu soal rumah baru kita, Sayang? Kamu suka?” Raya mengalihkan perhatiannya pada Zeva, ketika setibanya ia beserta sang puteri di depan pekarangan rumah baru mereka.
Zeva tak langsung menjawab pertanyaan sang mama. Sepasang netranya terlalu sibuk menatap sekeliling halaman rumah barunya yang terlihat lebih kecil dibandingkan dengan rumah lamanya.
“Bagus kok, Mah.” Ujar Zeva, sesaat ketika netranya dirasa cukup melihat-lihat.
Kini giliran Raya yang tak langsung menjawab perkataan puterinya. Sepasang netranya bahkan mulai menatap Zeva dengan tatapan sendu yang hampir berkaca-kaca. “Maafin Mama, ya. Karena keegoisan Mama, kamu malah harus terus pindah-pindah kayak gini.”
Zeva yang tadinya tengah menunduk hendak mengambil tas yang ia taruh di teras langsung terjeda. Perhatiannya bahkan langsung beralih menatap sang mama yang baru saja mengatakan beberapa patah kata padanya.
“Kok, Mama ngomongnya gitu, sih? Aku gak pa-pa, kok, Ma. Serius! Lagian juga bisa nambah pengalaman juga, ‘kan, kalau pindah-pindah kota? Sekaligus bisa jalan-jalan juga. Iya, ‘kan?” Zeva menyunggingkan seulas senyuman, membuat Raya semakin dibuat tak dapat berkata-kata.
“Oh, iya. Mama bilang, besok aku bisa mulai sekolah, ‘kan? Gimana kalau sekarang kita masuk dulu, habis itu beres-beres?” Raya terkekeh pelan mendengar penuturan lain dari puterinya. Selang berapa lama, wanita itu pun mengangguk diiringi seulas senyum yang kembali terukir di wajah sendunya.
“Ya sudah. Nih, kamu yang bukain pintunya.” Ujar Raya, seraya menyerahkan kunci rumah baru mereka kepada Zeva.
****
Di sepanjang langkah menyusuri trotoar jalan raya, Zeva tak henti-hentinya terus termenung menatap sepasang kakinya yang berbalutkan kaos kaki dan sepatu. Raut wajahnya yang cantik terlihat begitu murung dengan sesekali mengehela napas Lelah.
Bukan tanpa alasan ia begitu. Hanya saja, hari ini adalah hari pertamanya kembali ke sekolah. Dan itu pun bukan sekolah lamanya, melainkan sekolah baru.
Berutung jarak antara sekolah dan rumahnya hampir berdekatan. Hanya perlu lurus sampai perempatan jalan, kemudian belok kanan terus lurus kembali, dan sampailah ia di sekolah barunya.
Sayangnya, ekspektasi tak sesuai dengan realita. Walaupun kedengarannya seperti dekat, nyatanya jarak yang ditempuh lumayan jauh juga. Ini sudah hampir lewat sepuluh menit, namun Zeva masih belum juga sampai di depan gerbang sekolah.
“Harusnya tadi dengerin kata Mama aja buat naik ojek, huuh!” Dengus Zeva, kemudian berdecak.
Cukup lama Zeva berjalan kaki sampai langkahnya terasa pegal, akhirnya gadis itu sampai juga di depan sebuah gerbang sekolah yang masih terbuka lebar dengan beberapa kendaraan beroda dua yang berlalu-lalang masuk dipandu oleh seorang satpam penjaga sekolah.
“Selamat datang di SMA BIMA SAKTI.” Zeva membaca tulisan besar yang tertulis di bangunan pintu gerbang yang paling atas dengan sesekali terkekeh pelan.
“Fix, gue harus betah di sekolah ini. Karena kalau enggak, gue akan tersiksa. Seperti yang dibilang sama Mama, ini pindahan yang terakhir kali.” Gumamnya lagi, kemudian melanjutkan langkah kakinya yang sempat tertunda akibat mengagumi tampilan sekolah barunya.
****
“Anak-anak, kita kedatangan murid baru. Perkenalkan, namanya Zeva. Mulai hari ini, Zeva akan tinggal di kelas kita, XII IPA 2.” Bu Rita, sang wali kelas XII IPA 2 membeberkan pengumuman singkatnya pada seluruh murid-muridnya di depan kelas.
Di depan sana sudah ada beliau dan juga si murid baru, alias Zeva, yang berdiri kaku dengan raut wajahnya yang gugup. Sedangkan siswa siswi lain yang berada di kelas tersebut perlahan mulai bosan dengan sesekali menguap.
“Ekhem. Namaku-”
“Bu! Tugas minggu kemarin dikumpulin kapan?” Sahutan seorang siswi yang berada di meja paling depan dekat meja guru lantas menghentikan niatan Zeva yang hendak memperkenalkan diri.
Perhatian Zeva serta seluruh kelas tak terkecuali Bu Rita lantas beralih pada gadis itu. Namun yang membuat Zeva terkejut adalah, satu kelas seolah menyela gadis itu dengan tatapan mereka.
“Oh! Tugas yang bikin makalah itu, ya? Ya sudah, kumpulin sekarang di meja Ibu. Dan untuk Zeva, kamu boleh duduk di meja paling belakang yang masih kosong.” Ujar Bu Rita. Dengan lesu sekaligus pasrah, Zeva pun mengangguk seraya melangkahkan kakinya ke meja paling belakang yang kebetulan masih kosong.
****
Bel tanda istirahat pertama berbunyi membuat seluruh siswa dan siswi yang masih berkutat dengan pelajaran yang diberikan masing-masing guru yang mengajar, perlahan mulai menutup buku mereka dengan perasaan riang. Apalagi saat guru yang mengajar di kelas tersebut langsung menghentikan sesi belajarnya, membuat perasaan senang itu semakin menyeruak. Seperti halnya yang terjadi di kelass XII IPA 2.
“Selamat istirahat anak-anak!” Pamit Bu Rita, kemudian melenggang membawa serta barang-barangnya meninggalkan kelas.
Sepeninggalan beliau, kelas menjadi riuh dengan suara ocehan para siswi yang lebih mendominasi. Suara bisikan-bisikan yang terdengar cukup jelas di telinga Zeva yang berada di meja paling belakang membuat gadis itu hanya bisa menghela napas atas pembicaraan mereka yang tak berbeda jauh dengan para siswi di sekolahnya dulu.
Ya. Apalagi kalau bukan membahas tentang laki-laki?
“Eh, eh! Katanya hari ini ada pertandingan seru di gor sekolah kita, lho!”
“Al lawan Si Gerald Begajulan itu bukan?”
“Lo tahu? Ke sana, yuk! Gue denger-denger mereka mulai pertandingannya pas istirahat pertama,”
“Hah? Gue kira pas istirahat kedua! Ya udah, yuk, ke sana!”
Zeva lagi-lagi menghela napas saat para siswi di kelas barunya terlihat begitu bersemangat berlarian keluar kelas. Dasar cewek!
Pertandingan di gor sekolah katanya? Apakah adu pertandingan badminton?
Kenapa rasanya Zeva juga pengin ke sana? Sudah lama Zeva tidak menonton pertandingan badminton secara langsung. Terakhir ia menontonnya ketika ia masih berada di sekolah lama.
“Gak tahu, ah! Mending gue ke kantin aja,” ujar Zeva bermonolog. Setelahnya, gadis itu mulai bangkit dari posisi duduknya dengan perasaan campur aduk.
****
Risih.
Ya. Satu kata itu mampu mendeskripsikan perasaan Zeva saat ini.
Ketika sesampainya di salah satu kantin yang cukup jauh dari kelasnya, semua mata seolah tertuju pada Zeva saat gadis itu menginjakkan kakinya di sana. Apalagi ketika Zeva mendudukkan dirinya di salah satu bangku kantin paling pojok yang berhadapan langsung dengan dinding yang penuh dengan coretan tinta bertuliskan berbagai kata-kata kasar.
Mereka kenapa pada lihatin gue gitu, sih? Batin Zeva. Sepasang netranya tak henti-hentinya menatap sekitar yang sesekali melayangkan tatapan padanya, entah itu tatapan tak bersahabat maupun tatapan cemas. Zeva pun tak paham dengan situasinya saat ini.
Memilih diam dan acuh tak acuh, namun suara bisikan dari beberapa siswa maupun siswi di dalam kantin semakin membuatnya tak nyaman untuk sekadar menyantap makan siangnya.
“Dia siswi baru bukan?”
“Kayaknya sih, iya! Kalau dia murid lama, dia gak akan nempatin bangku keramat itu,”
Bangku keramat katanya?
“Kasih tahu, gih! Kasian nanti kalau ketahuan orangnya bakal jadi objek bully!”
“Lo aja sana! Gue males. Tar tiba-tiba orangnya dateng lagi, ewhh! Gak mau gue!”
Sudah cukup!
Zeva benar-benar sudah tidak kuat dengan pandangan serta bisikan para siswa terhadapnya.
Walaupun ia hanya mendengarnya sekilas, tapi itu sudah cukup membuat Zeva paham maksud dari tatapan aneh mereka padannya.
Bangku ini. Bangku kosong yang berada di pojok ini sudah diklaim oleh seseorang. Daripada mendapat bully seperti yang mereka bisikan di sana, lebih baik Zeva mengalah dan kembali menuju kelasnya.
Namun, belum sempat Zeva benar-benar meninggalkan bangku itu, seseorang dengan lantang menggebrak meja di depannya, membuat Zeva yang baru saja bangkit dibuat berjengit dengan sepasang bola matanya yang terpejam.
“Siapa lo? Ngapain di bangku gue?” Sahutan dingin dengan nada rendah itu lantas menyapa gendang telinga Zeva.
Dengan sangat bersusah payah menelan salivanya, Zeva mulai memberanikan diri membuka kedua matanya. Dan hal pertama yang ia lihat adalah, seorang laki-laki dengan seragam olahraga acak-acakan tengah menatapnya dengan tatapan menusuk.
Demi apa pun, raut wajah cowok itu terlihat begitu tidak bersahabat. Namun, entah mengapa wajah cowok itu sedikit mengingatkannya akan seseorang yang sangat ia kenali.
Ya! Wajahnya hampir serupa, namun tatapannya serta cara berbicaranya jauh berbeda.
“Gu-gue-”
“Lo murid baru?” Selanya. Refleks Zeva mengangguk. Raut wajahnya masih begitu tegang dan laki-laki itu menyadarinya.
“Gak ada yang ngasih tahu lo gitu, kalau bangku paling pojok di kantin ini milik gue?” Tanyanya lagi. Nada suaranya terdengar sedikit lebih baik dari sebelumnya.
Zeva menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaan cowok itu padanya. Cowok yang tak lain adalah Gerald itu pun mendengus pelan, kemudian mendudukkan dirinya di bangku lain yang berhadapan dengan posisi Zeva saat ini.
“Pergi! Gue lagi gak mood berurusan sama lo.” Pungkas Gerald, kemudian meraih ponselnya yang ia taruh di dalam saku celana.
“Sorry!” Ucap Zeva pelan, sebelum pada akhirnya ia mulai pergi meninggalkan cowok mengerikan itu.
****
Helaan napas lega lantas Zeva embuskan kala gadis itu telah sepenuhnya meninggalkan kantin sekolah. Apa yang terjadi beberapa saat yang lalu benar-benar membuatnya dilanda takut. Apalagi dengan tatapan matanya yang super duper menusuk itu.
Membayangkannya saja sudah membuat Zeva bergidik ngeri.
“Padahal muka tuh cowok imut-imut gitu. Bisa-bisanya muka gak mencerminkan sifat!” Gerutu Zeva, ketika ia telah sampai di koridor kelas sebelas.
Omong-omong soal cowok yang tadi, kenapa wajahnya sedikit mirip dengan Varo?
“Astaga! Kenapa gue mikirin dia lagi, sih? Sadar, Va! Lo udah putus sama dia dua tahun yang lalu. Move on dikit, kek,” gerutunya lagi, seraya mempercepat langkah kakinya.
Ketika langkah Zeva sudah hampir menyentuh penyangga tangga, seseorang dari arah lain berjalan menerobos, sampai pada akhirnya tabrakan kecil di antara mereka tak dapat terelakan.
Keduanya sama-sama mengaduh dengan kepala yang sedikit menunduk. Tak berapa lama kemudian, Zeva dan cowok yang baru saja tidak sengaja bertabrakan dengannya itu saling mengucapkan kata ‘maaf’, lagi-lagi berucap bersamaan.
Cukup penasaran, perlahan keduanya mulai mengangkat kepala masing-masing untuk melihat siapa orang yang baru saja saling bertabrakan dengan mereka.
Namun, rasa penasaran itu lantas sirna dan berganti dengan perasaan berkecamuk yang tak seharusnya kembali mereka rasakan.
Varo? Batin Zeva tak percaya.
Ya, cowok tinggi yang saat ini berhadapan dengannya adalah Varo! Atau pemilik nama kengkap Aldevaro Wirathama. Mantan pacar sekaligus cinta pertamanya.
Demi apa pun, Zeva tidak pernah menyangka akan kembali dipertemukan dengan sosok laki-laki itu. Zeva kira, ia tidak akan bertemu dengan Varo lagi. Karena bagaimanapun, Jakarta itu luas, jadi pikirnya ia tidak akan bertemu dengan Aldevaro.
Namun nyatanya, dirinya salah!
Duhh… Gue harus ngapain, ya? Masa terus bengong gini aja? Mana dia natap gue kek punya dendam gitu, lagi! Zeva lagi-lagi membatin dengan jantungnya yang mendadak berdegup kencang.
Bodo ah!
“Va-varo? Em … Gi-gimana kabar kamu? Kamu baik-baik aja, ‘kan?”
Sial! Entah keberanian dari mana Zeva sampai-sampai melontarkan pertanyaan basa-basi itu teruntuk mantan pacarnya.
Dan lihatlah respon Varo! Cowok itu terlihat berdecih dengan pandangannya yang menusuk menatap tampilan Zeva dari atas sampai bawah.
Demi apa pun, Zeva berasa tengah ditelanjangi oleh cowok itu! Bahkan hanya sekadar ditatap seperti itu olehnya.
Bukannya membalas sapaan dari Zeva, Aldevaro malah melenggang begitu saja menaiki puluhan undakan tangga yang tak terhitung jumlahnya.
Ya! Tanpa mengatakan sepatah dua patah kata, cowok itu pergi meninggalkan sedikit perasaan kecewa di hati Zeva.
To be continue...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!