"Mas, hari ini aku ada acara dadakan di cafe. Temanku ingin merayakan acara ulang tahun pernikahannya di sana. Aku minta maaf ya, aku tidak bisa menemani kamu menghadiri acara kantor. Kamu gak marah kan Mas?" ucap Zahira yang sudah berpakaian rapi. Dia duduk bersama suaminya di meja makan menikmati sarapan pagi.
"Tidak apa-apa, Mas gak marah kok. Nikmati saja harimu, semoga menyenangkan!" jawab Roni. Dia juga sudah rapi dengan setelah jas berwarna hitam yang melekat di tubuhnya.
Zahira dan Roni adalah dua orang insan manusia yang disatukan dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Tidak ada cinta diantara keduanya, yang mereka lakukan hanya untuk menyenangkan hati ayah Roni yang kini tengah sakit-sakitan.
Sejak berumur lima tahun, mereka berdua sudah diikat dalam perjodohan. Meski kedua orang tua Zahira sudah meninggal, ayah Roni tetap kekeh ingin melunasi hutang janji tersebut. Mau tidak mau Roni terpaksa menurut mengingat kondisi ayahnya yang tidak bisa menerima beban mental.
Dilihat dari luar hubungan mereka nampak biasa-biasa saja seperti pasangan suami istri pada umumnya. Zahira tidak pernah melalaikan tugasnya sebagai seorang istri, begitu juga dengan Roni yang selalu mencukupi kebutuhan Zahira. Hanya saja keduanya tidak pernah terlibat hubungan intim kecuali sekedar bersentuhan tangan.
Setelah Roni meninggalkan rumah, Zahira juga menyusul. Dia harus mendekorasi cafe sesuai permintaan Dira dan suaminya, dia juga harus menyiapkan menu makanan sesuai permintaan sahabatnya itu.
Setengah jam berlalu, Zahira tiba di cafe dan memerintahkan semua pelayan untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Khusus hari ini cafe sengaja ditutup untuk umum.
Sesuai permintaan sahabatnya itu, cafe didekorasi sama persis dengan desain yang dikirimkan Dira kepada Zahira. Zahira tidak ingin mengecewakan Dira dan berusaha memberikan yang terbaik.
Acara akan dilangsungkan pukul tujuh malam, sementara pukul lima sore semua persiapan sudah selesai seratus persen.
"Aaaaa..."
Suara jeritan Zahira memecah keheningan sore itu. Karena terlalu fokus dia tidak sengaja menumpahkan saos asam manis yang baru saja matang hingga menyiram punggung kakinya.
Beberapa orang pelayan yang mendengar jeritan Zahira langsung berhamburan menuju dapur, termasuk seorang pria muda yang masih berumur dua puluh tahun. Pria itu baru saja bergabung di cafe sejak satu minggu yang lalu.
"Astaga Bu, apa yang terjadi?" Tanpa pikir pria muda itu langsung menggendong Zahira dan mendudukkannya di sofa yang tak jauh dari dapur. Pelayan lain segera mengambilkan air, ada juga yang mengambilkan kotak p3k untuk mengobati luka di kaki Zahira.
"Maaf ya Bu, saya tidak bermaksud lancang. Tahan sebentar ya, mungkin akan sedikit perih!" ujar pria muda itu, lalu dengan sangat hati-hati dia membersihkan saos yang melekat di kulit kaki Zahira.
"Aww..." Zahira meringis saat merasakan perih yang sungguh menyiksa.
"Ma-Maaf Bu," ujar pria muda itu terbata.
"Tidak apa-apa, lanjutkan saja!" sahut Zahira.
Pria muda itu meniup pelan punggung kaki Zahira, lalu mengolesinya dengan salep.
"Sudah Bu, semoga lukanya tidak terlalu serius." ujar pria muda itu.
"Terima kasih," ucap Zahira dengan suara khasnya yang lembut.
"Sama-sama," balas pria muda itu.
"Kamu karyawan baru?" tanya Zahira. Seminggu ini dia memang jarang sekali mengunjungi cafe, kalaupun datang hanya sebentar saja untuk melihat-lihat keadaan. Jadi baru kali ini dia melihat pria muda itu di cafe.
"Iya Bu, baru satu minggu yang lalu." jawab pria muda itu.
"Siapa nama kamu?" tanya Zahira lagi.
"Zainuddin Bu, biasa dipanggil Zayn." sahut pria muda itu dengan jujur. Mungkin bagi segelintir orang nama itu terdengar sangat kampungan, tapi bagi Zayn nama itu adalah nama terindah yang sudah dipilihkan oleh almarhum kedua orang tuanya.
"Nama yang unik, zaman sekarang sudah jarang para orang tua memberikan nama itu untuk anak-anak mereka." ucap Zahira.
"Iya, Ibu benar tapi bagi saya nama itu adalah anugerah. Tidak semua orang bangga memiliki nama itu." jelas Zayn.
"Hehehe... Iya, apapun itu harus tetap disyukuri. Pasti kedua orang tua kamu sudah memikirkannya dengan sangat matang, mereka juga pasti bangga punya putra seperti kamu." sanjung Zahira.
"Sayangnya tidak Bu, mereka sudah kembali kepada Sang Pencipta. Hanya doa yang bisa saya kirimkan untuk mereka." lirih Zayn.
Seketika Zahira terdiam.
"Sama, kedua orang tua saya juga sudah kembali kepada Sang Pencipta. Sepertinya kita senasib ya," Zahira mengusap mata menghapus cairan yang hampir saja meleleh di sudut matanya.
Zahira yang kini sudah berusia dua puluh lima tahun tidak ingin terlihat cengeng di hadapan para pekerjanya. Dia yang harusnya memberi kekuatan untuk mereka.
Dari awal Zahira sudah berniat untuk mempekerjakan orang-orang yang memiliki nasib kurang beruntung, para remaja putus sekolah dan yang memiliki ekonomi menengah ke bawah. Tujuannya hanya ingin membantu mereka agar bisa mencukupi kehidupan sehari-hari.
Zahira juga memberikan bonus tiap bulan pada pekerja yang cekatan dan mampu melayani pelanggan dengan baik.
...****************...
Pukul sepuluh malam, acara selesai digelar. Dira dan suaminya pamit meninggalkan cafe dengan air muka sumringah. Keduanya sangat puas dengan pelayanan Zahira, bahkan makanannya sangat lezat menurut mereka.
Para tamu juga puas, beberapa diantara mereka tidak segan-segan merekomendasikan cafe itu untuk tempat bersantai, nongkrong dan mengadakan acara penting. Cafe itu cukup luas dengan dua lantai yang mampu menampung seratus tamu sekali duduk, bahkan lebih.
"Semuanya, terima kasih untuk kerja sama hari ini. Kalau begitu saya pulang duluan ya," pamit Zahira pada manager cafe dan para pelayan yang masih sibuk membereskan sisa-sisa acara.
"Sama-sama Bu, Ibu hati-hati ya." sahut semuanya berbarengan.
Baru saja berjalan lima langkah, kaki Zahira sudah bergetar menahan rasa nyeri yang sungguh menyiksa.
"Aww..." rintih Zahira. Dia berusaha meraih kursi untuk menopang bobot tubuhnya agar tidak terjatuh.
"Hati-hati Bu," Zayn yang berdiri tak jauh dari sana langsung menangkap lengan Zahira.
Zahira tersentak kaget, tatapan keduanya saling bertemu untuk sesaat.
"Lagi-lagi kamu membantuku, terima kasih." ucap Zahira setelah memutus kontak mata mereka.
Zayn hanya tersenyum, lalu dengan cepat melepaskan tangannya dari lengan Zahira.
"Sepertinya Ibu tidak akan kuat menyetir sendirian, biar saya antar ya!" tawar Zayn.
"Jangan, saya tidak mau merepotkan!" tolak Zahira.
"Tidak repot kok Bu, saya ikhlas. Ayo, saya bantu!" Zayn mencengkram pelan lengan Zahira menuju mobil yang terparkir di luar sana.
Setelah Zahira masuk, Zayn ikut masuk dan duduk di bangku kemudi. Mobil itu melesat pergi meninggalkan cafe.
Selama di perjalanan, tidak ada pembicaraan diantara mereka berdua. Hingga pada suatu ketika Zahira bersorak yang membuat Zayn terperanjat.
"Stop!"
Dengan cepat Zayn menginjak pedal rem dan menepikan mobil tersebut di pinggir jalan.
"Kenapa Bu? Apa kakinya sakit lagi?" tanya Zayn khawatir.
"Ti-Tidak, tolong putar arah! Masuk ke parkiran hotel itu!" tunjuk Zahira ke arah hotel yang ada di belakang mereka.
Barusan Zahira seperti melihat mobil suaminya masuk ke dalam hotel tersebut. Tidak mau berpikir buruk, Zahira lebih memilih memastikannya sendiri.
"Baik Bu," angguk Zayn.
Setelah memutar stir, masuklah mobil yang dikendarai Zayn ke parkiran hotel mewah bintang lima itu.
Zahira bergegas turun. Ternyata yang dia lihat tadi memang benar mobil suaminya, mobil itu terparkir bersebelahan dengan mobilnya.
Tanpa pikir, Zahira langsung berlari memasuki lobby. Tak peduli betapa sakit dan pedih luka yang dia rasakan di kakinya, Zahira terus berlari tanpa alas kaki.
Zayn hanya plangak plongok seperti orang kebingungan, namun akhirnya dia memberanikan diri menyusul Zahira.
Setelah Zahira beradu mulut dengan resepsionis yang bertugas, dia berhasil mendapatkan nomor kamar yang ditempati Roni. Dia juga berhasil mendapatkan kartu akses cadangan setelah mengancam ingin melaporkan hotel itu pada polisi.
Air mata sudah tak tertahan, Zahira terus menangis saat memasuki lift. Kata resepsionis tadi Roni check-in bersama seorang wanita yang diakuinya sebagai istri, lalu Zahira siapa? Bukankah Zahira istri sah nya?
Sesampainya di lantai sembilan, Zahira mengusap wajahnya yang sudah kacau. Tanpa pikir dia kembali berlari menuju kamar 1056, darah yang menetes di kaki sudah tak dihiraukan lagi olehnya.
"Braaak!"
Pintu terbuka, Zahira membuka mata lebar-lebar dengan mulut sedikit menganga. Seketika dia terduduk lesu saat menangkap sepasang anak manusia yang tengah bergumul di atas ranjang, hal itu sangat menyakitkan buat Zahira.
Bersambung...
Roni tersentak dari pergulatan panasnya, dengan cepat dia meraih pakaian yang sudah berserakan di lantai dan bergegas mengenakannya. Begitu juga dengan wanita yang ada bersamanya, dia dengan sigap menarik selimut untuk menutupi tubuh yang sudah polos.
Roni mendekati Zahira selepas merapikan celana. "Zahira, apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa dengan kakimu?" Seakan tak memiliki beban dosa sedikitpun, Roni malah bertanya dengan entengnya.
"Diam! Apa peduli mu padaku, hah?" Zahira berteriak histeris membentak Roni. "Aku pikir kamu pria yang baik tapi ternyata aku salah. Jadi ini alasan kamu tidak mau menyentuhku, aku pikir kamu butuh waktu tapi ternyata..." Tangisan Zahira pecah, bahkan untuk melanjutkan kata-kata saja rasanya begitu sulit.
"Zahira, dengar penjelasan Mas dulu ya!"
Roni berjongkok di depan Zahira dan mencoba menyentuhnya tapi Zahira dengan cepat menepis tangannya.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotor mu itu!" Zahira meninggikan suara. Matanya menyala mengobarkan percikan api yang membara. "Apa salahku padamu hah? Apa? Aku tau pernikahan kita tidak didasari dengan cinta tapi kenapa melakukan ini padaku, aku masih istri sah kamu. Kenapa tidak menceraikan aku saja?"
"Zahira, Mas minta maaf tapi tolong dengar dulu penjelasan Mas! Mas tidak bisa menceraikan kamu, Mas tidak ingin membuat Ayah terluka." jelas Roni.
"Kamu takut melukai perasaan Ayah tapi kamu melukai aku dengan meniduri pelakor itu." bentak Zahira berderai air mata.
"Zahira, kamu salah paham. Dia bukan pelakor, dia juga istri Mas. Kami sudah menikah," ungkap Roni mengakui kebenaran.
"Menikah diam-diam di belakangku, iya? Aku ini manusia bukan binatang, aku juga punya perasaan. Jika kamu mencintai dia, kenapa menerima perjodohan itu? Apa kamu ingin membunuhku secara perlahan? Hiks..." Suara Zahira semakin meninggi seiring isak yang sudah tak terkendali.
"Tidak Zahira, bukan begitu. Dia istri pertama Mas, kami sudah menikah sebelum kita menikah." terang Roni jujur.
"Oh, jadi berarti akulah pelakor yang sesungguhnya. Begitu kan maksud kamu? Menyedihkan sekali nasibku ini," Zahira menyapu wajahnya dengan kasar.
"Zahira, Mas tidak bermaksud-"
"Cukup, aku tidak ingin mendengar apa-apa lagi dari mulutmu itu! Lebih baik ceraikan aku sekarang juga dan berbuatlah sesuka hatimu!" teriak Zahira yang sudah tersulut emosi.
Zahira mencoba bangkit dari duduknya, mendadak tubuhnya oleng saat nyeri di kakinya terasa semakin menjadi-jadi. Bahkan darah segar semakin mengalir karena kulit Zahira yang melepuh sudah terbuka.
"Aww..." Zahira meringis menahan sakit, tubuhnya hampir tersungkur di lantai.
"Zahira..." Roni ingin membantunya tapi tiba-tiba Zayn datang dan lebih dulu menangkap lengan Zahira.
"Ibu tidak apa-apa?" tanya Zayn khawatir.
Zayn mendekap tubuh ringkih itu. Meski usianya lebih muda dari Zahira tapi tubuhnya jauh lebih besar dan tinggi dari wanita itu.
"Saya tidak apa-apa Zayn, tolong bawa saya pergi dari sini!" pinta Zahira memohon.
"Iya Bu, ayo!" Zayn yang tidak tau apa-apa menurut saja dengan perintah bos nya itu.
Saat keduanya tiba di ambang pintu, Zahira menahan langkahnya dan berbalik. Tatapannya terlihat tajam dipenuhi angkara murka yang sudah membuncah.
"Apapun alasannya, aku ingin kita bercerai secepatnya. Persetan dengan Ayahmu, aku tidak peduli lagi pada kalian." tegas Zahira dengan tatapan mematikan.
"Zahira, jaga bicaramu! Ingat, aku ini suamimu!" bentak Roni.
"Ya, kamu benar. Kamu memang suamiku sebelum aku mengetahui keburukan mu, tapi mulai detik ini aku bukan lagi istrimu."
Setelah mengatakan itu, Zahira memutar tubuhnya menghadap Zayn. Dia menatap manik mata pria muda itu dengan intens.
"Zayn, apa kamu sudah punya pacar?" tanya Zahira melembutkan suara. Berbanding terbalik saat dirinya berhadapan dengan Roni.
"Tidak Bu," geleng Zayn dengan polosnya.
"Apa kamu pernah berciuman?" tanya Zahira lagi.
"Tidak Bu," jawab Zayn dengan air muka memucat. Dia benar-benar bingung dengan situasi ini. Untuk apa Zahira menanyakan hal yang tidak penting seperti itu padanya?
Setelah mendengar pengakuan Zayn, Zahira mengulas senyum padanya. Tanpa pikir Zahira tiba-tiba meninjitkan kaki dan mengalungkan tangan di leher Zayn, dia dengan cepat mengesap bibir pria muda itu dan melu*matnya dengan rakus. Rasa malu hilang ditelan kekecewaan yang begitu dalam di hati Zahira. Dia memang tidak mencintai Roni, tapi yang namanya suami tetap saja salah jika sudah menduakan istrinya. Apalagi istri yang dia nikahi secara sah.
Zayn tiba-tiba mematung tanpa gerak, jantungnya berdegup kencang seakan diguncang gempa berkekuatan besar. Seumur-umur baru kali ini dia merasakan hangatnya sentuhan bibir seorang wanita dan itu bibir bos nya sendiri.
"Zahira... Apa yang kamu lakukan? Lepaskan dia!" bentak Roni yang sudah kehilangan kesabaran. Bisa-bisanya Zahira mencium pria lain di depan mata kepala suaminya sendiri.
"Ini baru permulaan, aku juga bisa memberikan tubuhku padanya." Zahira tersenyum miring. "Ayo Zayn, sebaiknya kita memesan kamar saja! Malam ini aku milikmu,"
Setelah mengatakan itu, Zahira mengikis jarak dengan Zayn. Dia memeluk pinggang pria muda itu dan melangkah sedikit pincang.
Roni yang melihat itu hanya diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia sadar Zahira tengah terluka, dia juga tidak punya keberanian untuk membela diri.
Dengan air muka sendu, Roni menutup pintu kamar dengan kasar. Dia melangkah menuju ranjang dan duduk di samping wanita yang dia cumbu tadi.
Di bawah sana, Zahira benar-benar membuktikan kata-katanya. Dia tidak mau pulang dan meminta Zayn memesan kamar untuk mereka. Awalnya Zayn menolak, tapi Zahira mengancam ingin memecatnya. Mau tidak mau Zayn terpaksa menurut.
Setelah memesan kamar dan mendapatkan kartu akses, Zayn meminta petugas membawakan kotak p3k ke kamar mereka, lalu memapah Zahira menuju lift.
Sesampainya di lantai tujuh, keduanya masuk ke kamar 1015. Zayn mendudukkan Zahira di sofa. Tidak lama, petugas hotel datang membawakan kotak p3k.
Zayn kemudian berjongkok, dia bermaksud mengobati luka di kaki Zahira tapi wanita itu menolak. "Nanti saja, aku mau mandi." Zahira bangkit dari duduknya dan melangkah seperti orang pincang. Sakit memang, tapi luka di hatinya jauh lebih sakit dari itu.
Di kamar mandi, Zahira membuka pakaiannya tanpa menyisakan sehelai benang pun. Dia berdiri di depan cermin dan mematut tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Tubuh itu terlihat sempurna, tidak ada yang kurang dengan dirinya. Kulitnya putih mulus dengan body yang tak kalah ideal dengan artis papan atas. Wajahnya juga cantik dan menarik.
Zahira tersenyum getir, dia masuk ke dalam bathtub dan menyalakan kran. Bahkan rasa nyeri saat air menyentuh kulitnya pun tak lagi terasa.
Setelah air memenuhi bathtub, Zahira menurunkan kepalanya. Mungkin dengan ini luka di hatinya akan sembuh sesegera mungkin.
Air terus mengalir sementara tubuh Zahira sudah tak terlihat lagi.
Setengah jam menunggu, Zayn mulai gelisah di luar sana. Perasaannya tidak tenang memikirkan keadaan Zahira.
Tanpa pikir, Zayn melangkah menuju pintu kamar mandi. Dia berteriak memanggil Zahira tapi tak ada sahutan dari dalam sana.
Lalu Zayn menekan kenop pintu berulang kali tapi sayang pintu terkunci dari dalam.
Karena khawatir, Zayn pun memutuskan mendobrak pintu. Dobrakan ketiga barulah pintu terbuka hingga membuat mata Zayn terbelalak.
"Bu..."
Zayn berlari menghampiri bathtub, ternyata firasatnya benar. Zahira sudah tak bergerak di dalam sana.
Dengan cepat Zayn mematikan kran dan mengangkat tubuh Zahira dari dalam bathtub.
"Apa yang Ibu lakukan? Ini tidak benar," bentak Zayn. Dia benar-benar marah melihat kebodohan Zahira.
Zahira tersenyum kecut dan mengalungkan tangannya di tengkuk Zayn. Tubuhnya sudah pucat karena terlalu lama di dalam air.
Bersambung...
Setelah membungkus tubuh Zahira dengan handuk, Zayn membawanya keluar dan membaringkannya di atas ranjang. Saat Zayn hendak menjauh, Zahira dengan sigap menahan pergelangan tangannya.
"Jangan pergi!" lirih Zahira dengan suara bergetar.
Zayn mengurungkan niatnya untuk pergi, dia pun duduk di sisi ranjang.
"Ibu tidur saja, aku tidak akan pergi." ucap Zayn sembari mematut wajah pucat bos nya itu dengan intim.
Zahira tersenyum getir dan menggenggam tangan Zayn dengan erat. Dia membutuhkan tempat untuk bersandar, tapi apa mungkin Zayn orangnya. Usia mereka terpaut lima tahun, dia terlalu tua buat Zayn. Tapi Zahira merasa nyaman bersama pria itu.
"Kamu barusan sudah melihat tubuhku kan? Apa kamu tidak tertarik sedikitpun?" tanya Zahira dengan tatapan tak biasa.
"Deg!"
Mendadak air muka Zayn ikut memucat, jantungnya berdegup kencang mendengar pertanyaan nyeleneh itu.
Bukannya tidak tertarik, tapi sedari tadi Zayn tengah berusaha mengendalikan diri agar tidak melewati batasannya. Sebagai pria normal tentu saja tubuhnya merespon pemandangan itu, tapi Zahira bos nya dan status Zahira masih istri orang. Zayn tidak berani mengambil resiko.
"Tidak usah dijawab, aku sudah tau jawabannya." Zahira tersenyum getir dan memalingkan wajah, dia juga melepaskan tangan Zayn dari genggamannya.
"Bu..."
"Tidak apa-apa, sekarang aku tau kenapa suamiku tidak mau menyentuhku. Aku pikir suamiku memiliki kelainan tapi ternyata kesalahan ada pada diriku sendiri. Aku tidak menarik, mana ada laki-laki yang menginginkan aku." lirih Zahira dengan mata berkaca.
"Bukan begitu Bu, maksudnya-"
"Mungkin aku memang ditakdirkan untuk hidup sendiri, tidak ada seorangpun yang menginginkan aku. Kedua orang tuaku pergi meninggalkan aku, aku kesepian, aku merasa kehilangan. Aku pikir dengan menerima perjodohan itu aku bisa menjadikan suamiku sebagai tonggak tempat bersandar, tapi ternyata dia mengkhianati pernikahan kami. Meski kami tidak saling mencintai tapi aku sedang belajar. Kini semua impianku sirna, aku harus menerima kesendirian ini seumur hidupku."
"Bu, jangan bicara seperti itu! Ibu bukannya tidak menarik, tapi suami Ibu lah yang buta. Dia tidak bisa melihat betapa sempurnanya Ibu sebagai seorang wanita."
Dengan tangan yang bergetar, Zayn memberanikan diri menyentuh pipi Zahira dan mengusapnya dengan lembut.
"Ibu cantik, Ibu wanita hebat, dia akan menyesal karena sudah menyia-nyiakan wanita seperti Ibu. Aku yakin di luar sana masih banyak laki-laki hebat yang ingin memiliki Ibu, mungkin waktunya saja yang belum tiba." ucap Zayn.
"Bagaimana dengan kamu? Kamu juga laki-laki kan? Apa kamu tidak ingin memilikiku?" cerca Zahira.
"Deg!"
Lagi-lagi jantung Zayn dibuat berguncang mendengar ucapan Zahira. Sebagai laki-laki normal dia sangat ingin memiliki wanita itu, tapi dia menyadari siapa dirinya dan dimana posisinya. Dia tidak sepadan dengan Zahira, mana mungkin batu karang bisa disandingkan dengan permata.
"Jika aku ingin pun, hal itu tidak akan mungkin terjadi. Hubungan kita hanya sebatas bos dan anak buahnya. Sekarang Ibu tidur ya, tenangkan pikirannya Ibu. Yakinlah besok pagi semuanya akan baik-baik saja!"
Zayn menjauhkan tangannya dari pipi Zahira, dia memalingkan wajah dan menghela nafas berat. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan Zahira tadi membuat adrenalin nya semakin terpacu. Tubuh Zayn mulai memanas menahan sesak melihat tubuh Zahira yang hanya terbungkus handuk.
"Aku pamit mandi sebentar," ucap Zayn. Dia bangkit dari duduknya dan melangkah menuju kamar mandi.
Sembari menunggu Zayn selesai mandi, Zahira turun dari ranjang dan mengambil iPhone miliknya di dalam tas. Zahira membuka aplikasi online dan memesan pakaian untuk mereka berdua. Tidak mungkin Zahira pakai handuk terus-terusan seperti itu.
Setelah selesai memilih pakaian yang dia inginkan, Zahira duduk di sofa. Dia membuka kotak p3k tadi dan membaluri lukanya dengan salep.
Tidak lama, Zayn keluar hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggang. Seketika Zahira mematung, dia tak menyangka bahwa Zayn memiliki tubuh yang sangat proporsional di usia semuda itu.
"Maaf Bu, aku tidak bermaksud lancang. Pakaianku sudah kotor dan bau, aku mau memesan pakaian sebentar." Zayn menyambar android miliknya yang tergeletak di atas meja.
"Tidak perlu, aku sudah memesan pakaian untuk kita berdua. Mungkin sebentar lagi datang," ucap Zahira yang masih setia memandangi tubuh atletis Zayn.
"Baiklah," Zayn menaruh android nya kembali. Dia sengaja duduk berjauhan dengan Zahira, dia tidak ingin khilaf jika berdekatan dengan wanita itu. Zahira seperti seorang penyihir yang sudah menaklukkan hatinya dalam sekejap mata.
"Zayn..." panggil Zahira.
"Iya Bu..." sahut Zayn.
"Apa kamu pernah jatuh cinta?" tanya Zahira.
"Tidak..." jawab Zayn jujur. Dia memang tidak pernah jatuh cinta, hari-harinya hanya bekerja dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. "Kenapa Bu?" imbuh Zayn.
"Tidak apa-apa, cuma nanya saja." jawab Zahira.
"Hmm..." Zayn manggut-manggut seakan mengerti.
"Tok Tok Tok"
Terdengar suara ketukan pintu dari arah luar. Zahira ingin berdiri tapi Zayn mencegahnya. "Biar aku saja!"
Zayn melangkah menuju pintu dan membukanya sedikit.
"Permisi, mau antar paket atas nama Ibu Zahira." ucap seorang kurir dari balik pintu.
"Iya, berikan padaku!" Zayn mengambil alih paket itu dari tangan kang kurir. "Berapa semuanya?" tanya Zayn.
"Sudah dibayar lunas, saya hanya mengantarkannya saja. Permisi,"
Selepas kurir itu menghilang, Zayn menutup pintu dan berjalan menghampiri Zahira.
"Ini Bu..." Zayn menyodorkan paket itu ke tangan Zahira. Setelah wanita itu membukanya, dia memberikan satu stel pakaian pria lengkap dengan pakaian inti kepada Zayn.
"Berapa uang yang harus aku bayar Bu?" tanya Zayn.
"Lima juta," jawab Zahira enteng.
"Lima juta?" Zayn terperanjat dengan mata terbuka sempurna. "Pakaian apa semahal itu? Biasanya tiga ratus ribu juga dapat." keluh Zayn. Dia terperangah dan mengusap wajahnya dengan kasar.
"Itu pakaian bermerek, lihat saja sendiri kalau tidak percaya." Zahira mengulum senyum.
"Astaga, tau begini mending aku pesan sendiri saja tadi. Auto gak gajian selama dua bulan," keluh Zayn dengan air muka menggelap.
Zahira yang mendengar itu sontak tersenyum melihat raut Zayn yang menggemaskan, tidak hanya tampan tapi pria itu juga polos. Zahira suka.
"Kamu tidak perlu mengembalikan uang itu, tapi sebagai gantinya kamu harus bersedia menuruti semua yang aku mau." ucap Zahira.
"Maksud Ibu?" Zayn mengerutkan kening.
Zahira mengulas senyum. "Pertama, jangan panggil Ibu lagi!" tegas Zahira.
"Kalau bukan panggil Ibu, lalu panggil siapa dong? Kakak, atau Tante?" kata Zayn dengan polosnya.
"Zahira, panggil namaku saja!"
"Aish, masa' manggil nama sih? Gak sopan itu, aku kan lebih muda dari Ibu," protes Zayn.
"Jadi maksudmu aku ini sudah tua?" Zahira menajamkan tatapan.
"Ti-Tidak, bukan itu maksudnya. Aduh, jadi serba salah kan." Zayn terlihat gugup dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.
"Ya sudah, kalau begitu panggil namaku. Kalau tidak mau, bayar uang lima juta itu sekarang juga!" ancam Zahira mengulum senyum.
"Iya iya," jawab Zayn cepat. Dia tidak mungkin membayar uang itu sekarang juga. Boro-boro lima juta, uang lima ratus ribu saja dia tidak punya.
"Za-Zahira, aku ke kamar mandi sebentar ya." Zayn malah gelagapan menyebut nama wanita itu.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!