Disore hari yang cerah, matahari mulai condong kebarat dengan sinarnya yang mulai redup. Seorang gadis duduk dengan gelisah dibawah gazebo disebuah pantai yang terletak sekitar tiga puluh meter dari pusat kota. Berkali-kali dia melirik jam tangannya dan menarik nafas panjang.
Dia adalah Fira Anastasya yang biasa dipanggil Fira yang sedang menunggu Dewanta Saputra yang dipanggil Dewanta kekasihnya yang sudah enam tahun terakhir menjadi tambatan hatinya.
Sudah seminggu Dewanta pamit pulang memenuhi keinginan kedua orang tuanya. Dewanta memang berasal dari desa yang merantau sejak kuliah hingga mendapat pekerjaan dikota ini.
Siang tadi Fira mendapat pesan dari Dewanta yang mengajak bertemu di pantai tempat dimana mereka bertemu enam tahun yang silam.
"Fira kamu sudah lama menunggu, maaf yah membuatmu lama menunggu, tadi jalanan macet," ucap Dewanta yang menyapanya dari belakang, membuat Fira terkejut. Namun yang membuatnya heran wajah Dewanta yang terlihat murung seperti memikul beban berat.
" Ada apa mas tumben ngajak ketemuan disini, biasanya kita kesini kan pas liburan, itu juga aku yang maksa," ucap Fira sekedar ingin mencairkan suasana. Namun wajah Dewanta tetap kaku tanpa senyum.
Ehemm...
Ehemm....
Dewanta mendehem sekedar untuk menetralisir debaran didalam dada yang membuatnya kian sesak.
"Fira sebenarnya aku meminta bertemu disini untuk membicarakan sesuatu yang penting," ucap Dewanta dengan suara parau.
"Apa sih mas yang ingin kamu ucapkan kayanya penting banget. Ayah dan ibu sehat," jawab Fira dengan hati mulai gelisah.
"Iya, ayah dan ibu sehat, kemarin ayah dan ibu memintaku pulang karena ada hal penting yang ingin disampaikan, ayah dan ibu telah menjodohkan aku dengan putri sahabatnya," jawab Dewanta gugup.
"Tapi kamu sudah menolaknya kan, kamu tidak menerima perjodohan itu bukan kan ," ucap Fira dengan muka memerah dan bibirnya menyedot es kelapa yang tadi dipesannya.
"Maafkan aku Fira, aku tidak bisa menentang keinginan kedua orang yang sudah melahirkan dan membesarkanku," ucap Dewanta sembari tertunduk.
Seketika Fira langsung menghentikan aktivitas menikmati es kelapanya, dia terperangah mendengar jawaban Dewanta.
"Maksudnya, bagaimana dengan hubungan kita,"ucap Fira dengan terbata-bata bibirnya bergetar, bulir-bulir kristal mulai mengalir melewati pipinya yang licin bagai boneka manekin.
"Sekali lagi maafkan aku Fira, karena aku tidak bisa meneruskan hubungan kita," suara dewanta semakin pelan, hatinya begitu pedih, sebenarnya dia tidak tega mengucapkan kata-kata yang begitu menyakitkan, andai boleh memilih mungkin dia lebih baik dipukul bertubi-tubi hingga bersimbah darah. Daripada harus mengucapkan kata perpisahan dengan wanita yang begitu dia cintainya.
"Kamu tega sekali mas, apa artinya kata cinta yang selalu kau katakan, apa artinya enam tahun kebersamaan kita, begitu mudah kamu ucapkan kalimat perpisahan, kamu benar-benar tidak punya hati mas. Kemana kalimat cinta yang selalu kamu kumandangkan mas, kamu benar-benar keterlaluan," ucap Fira terus terisak diselingi teriakan yang ditujukan kepada Dewanta.
Untunglah suasana pantai sore itu tampak lengang sehingga apa yang terjadi diantara mereka tidak menjadi pusat perhatian.
Kamu Fikir aku dengan mudah memutuskan itu Fira, kamu yang tidak mengerti perasaanku. Aku berada diantara dua pilihan yang sangat sulit. Memilih bersamamu, mungkin aku akan bahagia tapi bagaimana dengan perasaan kedua orang tuaku. Tidak mematuhi keinginan mereka sama saja aku menyakiti hati mereka. Sementara jika mengikuti keinginan mereka maka aku harus menikah dengan perempuan yang bahkan akupun tidak mengenalnya. Membayangkan saja rasanya sesak dada ini. Dewanta terus saja berbicara sembari terisak.
Dewanta menggenggam tangan Fira, ikhlaskan semuanya, mungkin takdirnya harus seperti ini. Jodoh kita adalah yang terbaik bagi kita, mungkin aku bukan yang terbaik untukmu dan kamu bukan yang terbaik untukku. Allah lebih tahu, mungkin suatu hari kamu akan menemukan jodoh yang lebih baik daripada aku," ucap Dewanta.
Fira terus terisak. Hatinya begitu hancur, harapan hidup bahagia bersama orang terkasih kini hanya tinggal harapan. Dewanta benar mengikhlaskan jauh lebih baik daripada meratapi hanya akan membuat jiwa semakin rapuh. Mengikhlaskan adalah puncak tertinggi dari mencintai, ikhlas jika orang yang kita cintai tidak dapat kita miliki.
Fira mengangkat wajah, dia melepaskan genggaman tangan Dewanta, perlahan dia menghapus air matanya , senyum kembali tersungging dari bibirnya.
Jika memang berpisah adalah keputusanmu, aku akan belajar ikhlas, aku tidak mau kebersamaan kita justru akan membuat kamu durhaka pada kedua orang tuamu. Sudah selayaknya kamu berbakti pada mereka mas, aku doakan semoga kamu bahagia dengan wanita pilihan orang tuamu. Doaku selalu yang terbaik untukmu, doakan aku juga agar bisa ikhlas menerima takdir ini, semoga hari esok lebih indah daripada saat ini, ucap Fira dengan senyum yang dipaksakan.
Terima kasih atas pengertianmu, terima kasih karena kamu telah menerima takdir ini dengan lapang dada, semoga semua doamu didengar dan dikabulkan oleh sang sekenario hidup," ucap Dewanta, untuk terakhir kalinya dia menggenggam tangan Fira dan mengecupnya, kemudian mereka berpelukan. Sebuah pelukan terakhir yang menyisakan rasa yang begitu sakit walau tak berdarah. Tangisan pilu mengiringi perpisahan dua insan yang saling mencintai.
Disebuah pantai dimana pertama kali mereka bertemu hingga berbuah bahagia selama kurun waktu enam tahun terakhir ini. Kini dipantai yang sama mereka harus berpisah untuk selanjutnya menjalani hidup mereka masing-masing membawa luka yang begitu pedih dihati mereka.
Fira melepaskan pelukannya, melangkah gontai meninggalkan mantan kekasihnya, menuju mobil mewahnya. Sementara Dewanta pun melakukan hal yang sama, pulang menuju apartemen yang disewanya mengendarai motor Ninja kesayangannya.
Pagi ini Dewanta berangkat menuju kantornya, malam tadi dia sudah membuat surat pengunduran diri dan hari ini, rencananya akan dia ajukan kebagian personalia.
Beberapa hari ini satu persatu segala urusannya dikota ini diselesaikannya. Dia tidak ingin kepindahannya kedesa menimbulkan masalah baru bagi orang-orang terdekatnya dikota ini.
Sore ini dengan mengendarai kendaraan roda dua dan membawa perlengkapan pribadinya dalam sebuah ransel ukuran besar. Dewanta pulang menuju desa meninggalkan kota yang sudah tujuh tahun ditinggalinya. Meninggalkan segala kenangan indah sekaligus sejuta luka yang tidak tahu kapan sembuh.
Menjelang senja Dewanta memasuki gerbang desa Padang Sawit yang merupakan tempat dimana dia besar dan dilahirkan. Udara sejuk disore ini mengiringi perjalanan Dewanta menuju kekediamannya. Sementara lembayung senja turut serta menambah keindahan disore hari.
"Assalamu allaikum ayah, Dewanta pulang yah," Dewanta mengucapkan salam sembari naik keteras rumah dimana Sukarta ayahnya sedang bersantai menikmati udara senja ditemani secangkir kopi pahit dan beberapa potong ubi rebus kegemarannya. Dewanta meraih tangannya, mencium punggung tangannya kemudian memeluknya.
"Wa allaikum salam nak, syukur alhamdullilah nak, kamu pulang, kamu membawa barang banyak sekali. Apa kamu ingin menetap didesa ini memenuhi keinginan ayah," jawab Sukarta.
"Iya ayah, Dewanta telah memutuskan hubungan dengan Fira dan memilih berbakti kepadamu dengan menerima perjodohan ini.
"Terima kasih nak, semoga apa yang kamu lakukan menjadi ladang pahala bagimu dan semoga Fira menerima keputusanmu dengan hati lapang dan kelak ia mendapat jodoh laki-laki yang baik mampu memberi dia kebahagiaan sampai ke Janah.
"Pak, bapak ngobrol sama siapa, ada tamu," dengan tergopoh-gopoh ibu Wajirah muncul dari balik pintu, tangannya memegang sapu lidi.
"Dewanta, kamu pulang nak, ibu Wajirah mendekati Dewanta putra semata wayangnya. Begitu juga Dewanta langsung menyongsong kedatangan ibunya dan mencium punggung tangannya sembari memeluknya.
Dewanta kemudian mengutarakan kesediaannya untuk dijodohkan dengan wanita bernama Fatimah Azzahra yang biasa dipanggil Zahra kepada ibunya. Sang ibu pun mengucapkan rasa syukur atas keputusan Dewanta. Rencananya sekitar beberapa hari lagi mereka akan sowan kekediaman pak Sasmito guna membicarakan perjodohan putra dan putri mereka
(POV) Dewanta
Pagi ini adalah hari pertama, aku memutuskan untuk menjalani hidup sebagai orang desa. Saat sang mentari menyinari bumi dimana aku berdiri, aku melangkah diatas perbukitan yang membentang perkebunan sawit. Disinilah kelak aku menghabiskan masa tuaku bersama anak-anak dan istriku Zahra seorang wanita yang sama sekali aku belum ketahui raut wajahnya apalagi sifat dan kepribadiannya.
Besok adalah hari pertama kami dipertemukan sebelum terucapnya janji sakral pernikahan. Berbagai macam rasa, berbagai macam tanya terus mengisi relung hatiku.
Saat sang surya mulai menampakkan sinarnya yang semakin menyengat kulit, kulihat jam tanganku menunjukkan jam sebelas siang. Entah sudah berapa kilometer aku berjalan, melewati perkebunan sawit, melewati perkebunan karet hingga kini sampailah aku diarea persawahan yang membentang luas sejauh mata memandang. Kebetulan panen padi telah usai, lahan persawahan dibiarkan tanpa tanaman, hanya ada rumput liar diantara tanaman kangkung yang tumbuh tanpa ada yang menanamnya.
Serombongan perawan desa berjalan beriringan membawa bakul. Mereka hendak memutik kangkung liar untuk sayur nanti sore. Seorang gadis berjilbab lebar dengan tatapan yang begitu teduh ada diantara mereka. Dia memandangku dan mengangguk dengan senyuman yang begitu manis.
"Kak, awas itu ada ular," dia menunjuk kearah kakiku. Seekor ular tadung sebesar lenganku melingkar dengan kepala terangkat seolah ingin menerkamku. Aku sangat kaget dan seketika aku berlari kearahnya kemudian memegang ujung jilbabnya bersembunyi dibelakangnya. Tawa mereka pun pecah.
Gadis bermata teduh itu pun mengambil ranting pohon dengan memggunakan tangannya yang putih bersih dan berbulu halus.
Perlahan dia mengusir ular tadung itu agar menjauh dan beberapa saat ular tadung itupun menjauh.
"Terima kasih dek, ternyata adek pemberani juga," ucapku pada gadis bermata teduh itu. Namun dia hanya tersenyum dan berlalu pergi diikuti oleh beberapa temannya.
Kembali aku meneruskan perjalanan pulang karena rasanya perutku sudah terasa lapar.
Sampai dirumah ternyata ibu sedang menyiapkan oleh-oleh untuk dibawa kerumah pak Sasmito calon mertuaku yang ada didesa sebelah yaitu desa Padang Gatah.
Pagi ini kami sedang mempersiapkan diri untuk berkunjung kerumah Zahra calon istri yang aku belum tau bagaimana wajahnya.
"Dewanta kamu pakai kemeja dan celana panjang yang ibu beli kemarin, itu sudah ibu siapkan, " kata ibu, aku hanya membalas dengan anggukan.
"Dewa, ayo cepat, kamu ini pakai baju lama sekali seperti perempuan saja, apa kamu pakai mike up juga," ibu terus saja mengomel.
"Ibuuuuu," aku berteriak saat aku buru-buru menaikkan ressletingku tanpa sengaja ternyata aset berhargaku terjepit resleting, rasanya pedih sekali.
Ada apa lagi Dewa, kok malah teriak-teriak," ibu mendatangiku ke kamar, aku menunjukan asetku yang terjepit resleting. Untung kamu sudah pakai CD jadi tidak terluka, lain kali hati-hati, ibu terus mengomel dan mengambil tang kemudian merusak resleting agar jepitannya terlepas.
"Ibu...sakit bu...
Jepitan resleting akhirnya terlepas, namun celana itu tidak bisa dipakai lagi. Buru-buru aku mengganti celanaku, karena ayah diluar sudah memanggil - manggil namaku, beliau sudah tidak sabar menunggu kami. Kami bertiga pun naik kemobil menuju desa Padang Gatah.
"Kalian ini kalau mau kemana-mana kok selalu lama, pakai ribut-ribut segala didalam kamar," ayah terus saja mengomel sambil menyetir mobil.
"Gimana engga ribut yah, anakmu pakai celana aja itunya sampai kejepit resleting. Gara-gara dia tidak hati-hati celana yang ibu belikan kemarin rusak tidak dapat dipakai lagi," ucap ibu dengan bibir dimonyong-monyongkan. Ayah tertawa terpingkal-pingkal.
"Mungkin juniornya gugup karena sebentar lagi akan menjalankan kewajibannya," sepanjang jalan ayah terus mengolokku.
Hanya sekitar dua puluh menit kami sudah sampai di kediaman pak Sasmito. Pak Sasmito dan bu Markonah menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Setelah kami semua duduk, ayah menyampaikan maksud kedatangannya yaitu ingin memperkenalkan aku dengan Fatimah putri mereka.
Bu Markonah segera berdiri dan masuk kedalam, selang beberapa saat kemudian beliau kembali dengan seorang wanita muda berpakaian muslimah. Dia menyalami ibuku dan mencium punggung tangannya, sementara pada ayah dan aku dia hanya menangkupkan kedua tangannya didada seraya mengangguk. Saat netra kami saling menatap aku sangat terkejut ternyata dia adalah gadis bermata teduh yang kemarin aku temui diarea persawahan. Ada rasa bahagia karena ternyata dialah calon pendamping hidupku.
"Sekarang kalian sudah saling kenal, Dewanta, setelah kamu mengenal Zahra, apakah kamu tetap bersedia menikah dengan Zahra, " ucap ayah sambil memandang kearahku dan mengharap jawabanku.
"Aku bersedia ayah," jawabku singkat.
"Kalau kamu bagaimana Zahra," ucap ayah dan kali ini ayah bertanya kepada Zahra .
"Namun jawaban Zahra hanya mengangguk sembari tersenyum. Semua yang hadir diruang tamu menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan dibarengi dengan senyum bahagia.
"Karena Dewanta dan Zahra sudah bersedia menerima perjodohan ini, bagaimana kalau kalian ngobrol berdua agar bisa saling mengenal lebih dekat.
Mungkin diteras samping atau ditaman belakang," ucap pak Sasmito dan disetujui oleh semua anggota keluarga yang hadir.
"Oh iya, silakan dicicipi ini tadi saya membuat kue awug-awug kesukaan ibu Wajirah, kamu juga Zahra bawa awug-awug ini buat teman mengobrol," ucap ibu Markonah sambil menunjuk kearah kue awug-awug.
"Hampir saja saya lupa, saya juga tadi membawa oleh-oleh buat ibu Markonah, itu masih dimobil, mandai cimpedak sama iwak samu makanan khas daerah kita, buatan sendiri. Kebetulan kemarin ayah Dewanta mancing disawah," ujar ibuku.
Kemudian ayah pun berdiri dan menuju kemobil untuk mengambil oleh-oleh tersebut.
Zahra kemudian mengambil beberapa potong awug-awug dengan menggunakan piring dan beberapa gelas air mineral. Kami melangkah menuju ke taman belakang.
Disana ternyata tempatnya sejuk dan nyaman. Ada dua kursi dan meja, tampaknya tempat ini biasa digunakan untuk bersantai. Zahra lalu meletakkan piring berisi kue awug-awug dan beberapa gelas air mineral diatas meja kemudian dia duduk disalah satu kursi dan aku pun mengikutinya.
Sesaat kami saling diam, hingga aku berinisiatif untuk bicara lebih dulu.
"Fatimah Azzahra, oh iya, biasanya kamu dipanggil apa," ucapku memulai pembicaraan.
"Kalau disekolah tempatku mengajar aku dipanggil Zahra tapi kalau dirumah abah sama mama memanggilku zahra juga," ujarnya seraya tersenyum.
"Terus kalau sama aku kamu mau dipanggil apa?," ucapku mencoba bertanya.
"Terserah aja kak," jawab Zahra.
"Kalau dirumah dipanggil Zahra. Bagaimana kalau aku memanggil Izah," ucapku sambil menarik ujung bibirku untuk membentuk senyuman yang teramat manis. Lagi-lagi Zahra hanya tersenyum.
"Terima kasih ya Izah, untuk yang kemarin. By the way, kamu berani juga sama ular he...he...," ucapku sembari tertawa.
"Bukan akunya kak, yang pemberani tapi kakaknya yang penakut, ucap Fatimah santai dan aku pun membalas dengan tersenyum kecut.
"Ini anak dari tadi diam aja, sekali bicara gitu amat," batinku.
"Zah boleh aku tahu, apa alasanmu menerima perjodohan ini, kita belum saling kenal, kamu tidak takut kalau aku jahat sama kamu atau karena aku ganteng," ucapku sambil nyengir kuda.
"Aku menerima perjodohan ini karena aku ingin berbakti kepada kedua orang tuaku. Aku percaya dengan lelaki pilihan orang tuaku.
Hidup ini singkat kak, jadi kita harus mengisinya dengan berbuat baik sebanyak-banyaknya untuk bekal kita setelah kematian.
Memang diantara kita tidak ada rasa saling cinta, tapi hidup bukan sekedar untuk cinta-cintaan saja kak, hidup untuk mencari ridho Allah dan menjalankan ujiannya. Tidak adanya cinta dalam pernikahan kita itu adalah salah satu ujian dalam pernikahan yang akan kita jalani. Kak, bahagia itu kita yang ciptakan dengan cara mensyukuri apa yang kita miliki.
Kalau kita mengetahui hak dan kewajiban kita sebagai suami istri maka cepat atau lambat cinta akan datang, insyaallah," ucap Zahra panjang lebar. Sungguh aku merasa kagum dengan pemikirannya. Semoga kelak rumah tanggaku samawa sepanjang usiaku. Semoga kelak kami diberi keturunan yang bisa meningkatkan derajat kami di mata Allah SWT.
(POV) Fatimah Azzahra
Namaku adalah Fatimah azzahra dirumah mama dan abahku memanggil Zahra. Setelah menyelesaikan kuliah aku melanjutkan PGPAUD hingga selesai. Saat itu didesaku didirikan Sekolah Anak Usia Dini (PAUD) yang diberi nama PAUD Buah Hati Bunda. Aku mencoba peruntungan dengan mendaftar sebagai peserta didik disekolah tersebut. Ternyata nasib baik berpihak kepadaku.
Tepatnya dua tahun yang silam aku memulai karirku sebagai guru PAUD. Sebuah profesi yang selama ini aku impikan.
Namun diusiaku yang tak muda lagi untuk ukuran gadis desa, aku belum juga menemukan pendamping hidup. Bukan berarti aku tak laku bukan pula aku yang terlalu memilih. Entah sudah berapa banyak pemuda dari daerah ini yang datang kerumah untuk meminangku. Namun semuanya ditolak oleh abah dengan alasan aku telah dijodohkan dengan seorang pemuda putra sahabatnya dari desa Padang Sawit.
Diantara mereka adalah Galih teman kuliahku seorang pemuda tampan putra juragan sayur tersohor di daerah ini. Sebenarnya aku jatuh cinta sekaligus kagum dengan Galih karena dia pemuda yang cerdas dan pekerja keras. Kami kerap berjumpa saat menjalani kuliah dikampus yang sama.
Walau di sela-sela kuliah dia merintis usaha dibidang kuliner, namun nilainya tetap bagus. Bahkan dia lulus dengan nilai coumloud. Kini beberapa cabang restoran pun telah dibukanya.
Sudah tiga kali Galih datang kerumah untuk melamarku, namun tiga kali juga abah menolaknya. Tapi rasanya tak ada faedahnya aku meratapi cintaku yang kandas sebelum berlabuh.
Disekolah tempaku mengajar sering kali aku diolok sebagai perawan yang tak laku-laku. Karena diantara semua guru PAUD hanya aku saja yang belum menikah.
Hari ini tidak biasanya mama sibuk didapur.
"Mama lagi ngapain, dari tadi Zahra lihat mama sibuk didapur," aku mencoba bertanya pada mama.
"Mama sedang membuat awug-awug kesukaan bu Wajirah. Hari ini rencananya mereka akan datang untuk mengenalkan anak lelakinya yang baru datang dari kota denganmu. Tolong bantu mama memarut kelapa tapi hati-hati jangan sampai jarimu ikut keparut," ucap mama sambil menyerahkan baskom berisi kelapa lengkap dengan parutannya.
Sebenarnya aku sudah tahu siapa Dewanta putra pak Sukarta pengusaha sawit dari kampung sebelah. Kemarin aku baru saja ketemu dia diarea persawahan saat mencari kangkung-kangkung liar untuk sayur. Namun aku belum mengenal dia secara pribadi.
Setelah beberapa saat mengobrol dengan dia ternyata orangnya santai dan humoris.
Namun sayang sepertinya dia penakut. Tadinya aku merasa sangat gugup waktu baru mengenalnya. Tapi setelah beberapa saat kami mengobrol. Aku merasa nyaman, ada rasa bahagia, terkadang hatiku bergetar saat kami saling menatap.
"Zah, kamu yakin mau menikah denganku yang penakut ini, apa sebelumnya kamu sudah punya kekasih atau laki-laki yang menarik perhatianmu.
Bagaimana kalau kita saling terbuka agar tidak ada rahasia yang kita sembunyikan sehingga kita bisa berjuang bersama untuk menumbuhkan rasa cinta dan kasih. Aku akan senantiasa menjagamu dan menyayangimu karena itu adalah bagian dari kewajibanku sebagai seorang suami. Pokoknya tanamkan dihatimu kalau aku lebih ganteng dari pada dia katanya," yang aku balas dengan menunjukan kedua jempol tanganku tanda setuju.
Sekarang gantian aku yang akan menceritakan masa laluku. Sebenarnya sudah enam tahun aku menjalin hubungan dengan Fira, aku dan dia saling mencintai," ucap kak Dewanta, netranya menatap kedepan entah apa yang sedang dilihatnya, ada rasa perih di dada saat mendengar apa yang dipaparkannya. Namun aku tetap diam menunggu kalimat demi kalimat yang keluar dari bibirnya.
"Tapi ayah ingin aku menikah denganmu, dengan berat hati aku memutuskan hubungan dengan Fira. Karena bagiku, aku tidak mungkin bahagia tanpa restu ayah dan ibu. Bagiku kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku juga. Aku tidak ingin menyakiti hati mereka dengan menolak perjodohan ini. Kemarin saat aku bertemu kamu diarea persawahan perlahan lukaku yang begitu pedih atas kandasnya jalinan cintaku dengan Fira perlahan menghilang.
Dan hari ini, kala aku tahu kalau wanita yang menarik perhatianku adalah kamu, hatiku sudah mantap aku ingin menikah denganmu," kak Dewanta tersenyum dengan senyuman yang begitu manis menurutku.
"Dewanta, Zahra ayo masuk ayah dan abah sudah menunggu kalian diruang tamu," mama tiba-tiba sudah ada dibelakangku membuat aku terkejut. Aku dan kak Dewanta pun berdiri dan melangkah menuju ruang tamu. Segera aku mendekati abah untuk duduk disampingnya, tapi aku merasa ada yang menarik ujung jilbabku. Saat aku menoleh kebelakang ternyata tangan kak Dewanta yang menarik ujung jilbabku. Kulihat mimik mukanya mengisyaratkan agar aku duduk disampingnya. Aku segera mengurungkan niatku untuk duduk disamping abah dan berpindah duduk disamping kak Dewanta. Semua yang hadir disitu seketika saling senyum.
"Dewanta, Zahra, selaku orang tua kami tadi sudah melakukan musyawarah dan sudah memutuskan kalau seminggu lagi kita akan diadakan lamaran dan sebulan kemudian baru ijab kabul dan acara resepsi. Untuk semua acara biar orang tua ini yang akan menghandle. Tugas kalian hanya siapkan diri kalian dan catat siapa teman kalian yang akan diundang. Catatannya serahkan kepada mama atau ibu kalian," ucap ayah kak Dewanta.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, kak Dewanta dan kedua orang tuanya pun pamit pulang.
Berita tentang akan dilangsungkan pernikahan antara aku dan kak Dewanta telah menyebar keseluruh antero kampung. Acara lamaran telah berlangsung, kini kita tinggal menunggu hari H.
"Bu, bu Zahra katanya ibu mau menikah, selamat ya bu, tidak sia-sia menunggu begitu lama dapatnya horang kayah," ujar salah satu ibu wali murid yang bernama ibu Watinem.
"Ibu bisa aja, saya lambat menikah bukan karena mencari orang kaya tapi karena belum ketemu jodoh," aku tidak ingin meladeni ucapan ibu Watinem.
"Kalau boleh tau berapa maharnya, siapa tau saya bisa ngutang," bu Lastri menimpali.
"Bu Lastri ini bagaimana, masa mahar mau diutang, yang benar aja bu," ucap bu Watinem.
"Ya tidak apa-apa bu Watinem, kalau tidak bisa ngutang siapa tahu saya dapat jatah untuk beli kouta, lumayan buat baca novel online," bu Lastri tetap ngeyel. Sedangkan aku hanya terperangah mendengar perdebatan ibu-ibu wali murid PAUD Buah Hati Bunda.
"Bu adanya uang mahar itu ditujukan untuk menghargai seorang wanita, jadi bukan untuk diutangkan," ucapku menjelaskan kepada bu Lastri.
"Oh begitu, jadi tidak bisa diutang ya bu Zahral," aku hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum.
Sepulang dari mengajar PAUD Buah Hati Bunda aku mampir ke warung nasi bu Narsih. Aku memang kerap makan disini karena selain rasanya yang enak harganya pun terjangkau.
Dengan berjalan tergopoh-gopoh bu Narsih menyongsong kedatanganku.
"Waduh-waduh calon penganten mau makan apa?," ujar bu Narsih.
"Seperti biasa bu lalapan paha ayam, sambal petai sama oseng-oseng mandai.
"Sebentar ya, saya siapkan," jawab bu Narsih. Tidak berapa lama pesananku pun sudah terhidang di atas meja.
Aku segara menyuap makanan tersebut dan tepat pada suapan ketiga seorang laki-laki tampan yang selama ini mengejar cintaku duduk dikursi tepat dihadapanku.
"Mas Galih, mas apa kabar," sapaku amat gugup.
"Kabarku kurang baik. Aku baru saja datang dari kota karena mendengar kabar tentang kamu yang akan menikah dengan pemuda dari kampung Padang Sawit," ucap mas Galih dengan muka datar.
"Kenapa kamu menerima dia menjadi suamimu Zahra sedangkan kamu tidak pernah mencintainya. Aku tahu kamu hanya mencintaiku iya kan, lebih baik kamu menikah denganku tidak perlu meminta restu orang tuamu," kata mas Galih berapi-api.
"Aku memang mencintamu mas Galih, tapi pantang bagiku menikah tanpa restu orang tuaku. Orang yang menyebabkan aku ada di dunia ini, orang yang sudah melahirkan dan membesarkanku. Aku dan kak Dewanta, diantara kami memang belum ada rasa cinta, tapi kami sama-sama mempunyai niat baik untuk berbakti kepada kedua orang tua demi untuk mencari ridho Allah SWT.
kami akan sama saling berjuang untuk saling mencintai, jadi berhentilah mengejarku. Kalau memang mas Galih benar-benar mencintaiku ikhlaskan aku menikah dengan laki-laki pilihan orang tuaku," ucapku mulai terisak.
"kalau memang itu kehendakmu, baiklah!!, semoga pernikahanmu bahagia walau belum ada cinta saat ini, aku pamit," mas Galih berlalu meninggalkanku.
"Mas Galih...mas...
Bagaimana kalau mas Galih makan dulu," aku berteriak memanggil mas Galih, namun mas Galih sudah keburu pergi.
Tiba-tiba
meoooong.....
meooopng....
Aku terkejut, seluruh nasi pesananku yang baru tiga suap aku makan ternyata telah habis tak tersisa. Kulihat disekitarku sepi tak ada pengunjung. Pandanganku beralih kemeja kasir, ternyata bu Narsih sedang mendengkur, dia tertidur. Sementara dikursi dekat etalase dimana ditempat berbagai menu jualan bu Narsih, suami bu Narsih tengah asik tertidur dengan air liur mengalir dibibirnya. Aku segera bangkit meletakkan uang seharga makanan yang kupesan dan dimakan kucing dimeja kasir, kemudian berlalu pergi meninggalkan warung bu Narsih
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!