NovelToon NovelToon

Jangan Halangi Jodohku

Putus

POV HANIN

Drrrrrt drrrrrt

Sebuah getaran di ponselku membuatku yang semula sedang membaca buku langsung beralih ke benda pipih itu.

Ku lihat bahwa itu adalah pesan dari Mas Bagas, kekasih ku yang baru satu bulan ini aku pacari. Aku tersenyum melihatnya, segera ku geser layar menuju atas agar aku bisa membaca isi pesannya.

Seketika senyumanku memudar saat melihat isi pesan tersebut.

[Hanin, mulai sekarang kita putus, ya]

Mataku terbelalak melihat pesan tersebut. Apa maksudnya berkata putus? Kami bahkan baru saja memulai hubungan. Terakhir kami bertemu tidak ada pertengkaran apapun, bahkan tadi pagi kami masih bertemu di taman dekat tempat kerjaku, yaitu butik milik ibuku.

Aku mencoba menghubunginya melalui sambungan telepon, namun dia malah menolak panggilan ku.

Aku pun gegas membalas pesannya.

[Tapi kenapa, Mas? Kita kan baik-baik aja]

Aku menunggu balasan darinya dengan perasaan yang tak menentu.

[Aku merasa jenuh denganmu. Aku bosan, apalagi semua temanku meledekku karena aku berpacaran denganmu yang hanya pekerja di butik, sedangkan pacar mereka adalah pekerja kantoran]

Hah? Apa? Hanya karena itu? Dia malu dengan pekerjaan ku yang sebagai pegawai butik? Aku terkejut melihat isi pesan menyakitkan itu.

[Mas, butik itu milik ibuku, gajiku bahkan lebih besar dari gajimu]

Nafasku kembang kempis saat mengetikkan kata demi kata di layar ponsel ku. Apa dia tidak sadar dengan yang dia katakan? Gajiku bahkan dua kali lipat dari gajinya. Dia hanya karyawan biasa dan dengan entengnya mengatakan alasan seperti itu?

[Ya bukan itu aja. Kamu nggak cantik kayak Stevi]

Bingo, sudah aku duga, pasti karena Stevi. Aku masih ingat saat tadi kami tanpa sengaja bertemu Stevi di taman. Entah ada angin apa dia mampir ke butik dan mengantarkan makan siang padaku bahkan sampai menyusulku ke taman.

Flashback On

"Han, ini buat kamu." Mas Bagas memberikan aku sebuah gelang yang sangat cantik dan langsung memakaikannya.

"Wah, bagus banget, Mas." Aku menatap gelang indah itu dengan senyuman sumringah. Meski gelang itu tidak mahal, namun aku menghargai apa yang dia berikan padaku.

"Kapan dong Mas bisa ketemu sama orang tua kamu. Mas ingin melamar kamu. Meski kita baru saja berpacaran, tapi Mas ingin serius sama kamu. Masa sejak pacaran Mas nggak boleh ke rumah kamu."

Ah, lagi-lagi pertanyaan itu terlontar dari mulut Mas Bagas. Bukannya aku tidak mau membawanya ke rumah, tapi aku hanya takut dia akan memutuskan ku seperti para mantan pacarku selama ini. Mereka memutuskan ku begitu saja setelah melihat kecantikan Stevi.

Memang ini salahku yang sejak dulu jarang memperhatikan penampilan. Bahkan saat bekerja saja aku hanya mengandalkan bedak dan lipstik saja. Pensil alis, eyeliner, maskara, blush-on, eyeshadow, dan alat make up yang lain tidak pernah terlihat di meja riasku. Bukan karena aku tidak pandai menggunakannya. Tetapi karena aku malas merepotkan diriku.

Sedangkan Stevi, sepupuku yang berusia dua puluh tiga tahun itu sangat cantik bergaya. Semua meja riasnya penuh dengan alat make up, pakaiannya bagus-bagus karena ibuku memberikannya secara cuma cuma. Ah, entahlah, kenapa ibuku sangat menyayanginya. Apa karena beliau kasihan pada Stevi yang seorang yatim piatu? Sehingga setelah orang tuanya meninggal, ibu langsung membawanya ke rumah ini dan memanjakannya layaknya seorang anak.

"Hei, kenapa bengong." Mas Bagas menepuk pundak ku dan menyadarkan ku dari lamunan panjang ku.

"Eh, enggak, Mas, bukan gitu, tapi,,,,,"

"Eh, Mbak Hanin di sini."

Sepupuku

Mataku terbelalak saat melihat ke arah belakang ku. Ternyata yang datang adalah Stevi, orang yang baru saja masuk dalam lamunanku.

"Ada apa, Stev?" tanyaku pelan.

"Ini, Mbak, aku mau anterin makan siang buat Mbak." Stevi menyerahkan sebuah bekal makanan padaku.

"Makasih, ya, Stev, kamu sampai repot-repot dateng ke sini." Aku tersenyum memaksa.

"Iya, Mbak, aku sekalian mau ke toko buku yang di sana itu." Menunjuk sebuah toko buku tak jauh dari butik ibu.

"Oh, sejak kapan kamu suka baca buku. Mbak lihat semua buku di kamar kamu cuma dijadiin pajangan aja, sampai berdebu." Aku menatap serius ingin melihat reaksi Stevi.

"Hehehe, aku kan juga pengin baca buku juga, Mbak. Aku sering kesepian, kan Mbak tau sendiri aku ini masih sendiri," sahutnya sambil tersenyum.

Hah? Kenapa dia malah curhat? Batinku.

"Ya udah, Mbak, aku pergi dulu." Stevi akhirnya meninggalkan kami."

Ku lihat Mas Bagas masih memerhatikan Stevi yang semakin menjauh.

"Itu siapa?"

Ah, itu pertanyaan yang sangat tidak ingin aku dengar.

"Dia sepupu aku, Mas. Tinggal serumah sama aku," jawabku lesu.

"Oh." Mas Bagas hanya mengangguk pelan. "Ya sudah, Mas pergi dulu, ya, sebentar lagi jam masuk kerja." 

Mas Bagas langsung pergi terburu-buru menuju sepeda motornya. Aku yang tidak mencurigai apapun langsung masuk ke dalam butik, menikmati makan siang yang dibawakan Stevi.

Flashback Off

Aku menghela nafas pelan. Aku pun langsung membalas pesan dari Mas Bagas.

[Ya udah, aku terima. Selamat tinggal, Mas. Oh ya, balikin uang yang kamu pinjem dua hari yang lalu. Kalo kere, nggak usah belagu. Cepet balikin, atau aku sebarin ke teman-teman mu]

Aku tersenyum miring, memang sakit rasanya diputuskan sepihak seperti ini, tapi, setidaknya, aku tahu seperti apa orang yang aku cintai sejak sebulan terakhir.

[Jangan, iya, aku akan bayar nanti, kasih aku waktu]

Cih, akhirnya dia kelabakan juga. Aku tidak lagi menggubris pesannya. Kini aku larut dalam kesedihanku. Lagi-lagi, cintaku kandas hanya karena kecantikan Stevi.

Tidak ada air mata, karena aku sudah terbiasa seperti ini. Ah, malangnya aku.

Tak berselang lama, pintu diketuk. Ternyata itu adalah ibuku yang biasa aku panggil dengan sebutan mama.

"Masuk, Ma," jawabku pelan.

Perlahan pintu terbuka, terlihatlah seorang wanita separuh baya yang masih terlihat cantik.

"Kamu lagi ngapain, Sayang?" tanya Mama sambil mendudukkan diri ke atas ranjang ku.

"Nggak ada, Ma, cuma baca buku aja."

"Han, kata Stevi, kamu udah punya pacar baru, mana, kenalin dong sama Mama dan Papa," bisik Mama.

"Udah putus," jawabku malas.

"Hah? Kok udah putus? Kapan?"

"Barusan aja. Dan Mama tau penyebabnya apa? Stevi, Ma."

"Hah? Stevi? Emang dia ngapain?"

"Dia nunjukin mukanya ke pacar aku, ya terus pacar aku mutusin aku karena naksir sama dia." Aku semakin cemberut saat membicarakan masalah itu.

"Sayang, kamu jangan nyalahin Stevi, dong. Gimana pun juga, dia itu adik sepupu kamu. Bukan salah dia kalau dia cantik."

"Ya tapi sampai kapan aku bisa nikah, Ma. Aku udah semakin tua, dan belum punya calon. Kenapa sih Mama nggak balikin aja Stevi ke kakek nenek, ya biar deh tiap bulan Mama kirimin dia uang."

"Ya nggak bisa gitu dong, Sayang. Mama udah janji sama almarhumah ibunya Stevi untuk menjaga Stevi sampai dia menikah. Ya meskipun yang saudara itu papa dan ayah Stevi, tapi Mama juga punya tanggung jawab di sini."

"Ya udah, suruh dia nikah."

"Kamu kayaknya lagi sensian deh. Ya udah, tenangin diri dulu." Mama mengecup kening ku dan pergi keluar kamar.

Ya, begitulah kalau aku sudah membicarakan Stevi, pasti Mama akan membelanya dengan dalih anak yatim piatu dan demi amanah.

Dijodohkan

Pagi menjelang. Aku tidak terlalu memikirkan Mas Bagas lagi. Bagiku, dia hanya angin lalu, pria tak bermodal yang tidak tahu diri.

Aku sarapan bersama Mama, Papa, dan Stevi. Ku lihat pagi ini dia sudah mandi dan berdandan cantik. Aneh memang, untuk apa di rumah tampil cantik? Mau menggoda siapa? Tidak ada, kan? Pikirku sambil melirik Stevi yang masih asyik mengunyah makanannya.

"Han, ada yang mau Papa dan Mama bicarakan," ucap Papa sambil menatapku serius.

"Ya, Pa, bilang aja," jawabku santai.

"Kami bermaksud menjodohkan mu dengan anak teman Papa."

"Apa? Dijodohkan? kenapa, Pa?" Aku meminum seteguk air setelah berhasil menelan makananku dengan baik tanpa adegan tersedak.

"Kamu sudah terlalu lama sendiri. Usia kamu sudah semakin tua, Papa sering sekali ditanyai oleh rekan bisnis Papa."

"Tapi, Pa, aku bisa cari sendiri, nggak perlu dijodohin juga, kan?" Aku menatap penuh permohonan.

"Tapi masalahnya kapan? Mama dan Papa sudah semakin menua, dan kamu masih belum menikah dan memberi kami cucu." Mama menambahkan.

Aku melirik ekspresi Stevi. Dia hanya terlihat biasa saja.

"Pokoknya sudah diputuskan kalau kamu akan dijodohkan dengan anak rekan bisnis Papa. Kalau kamu nanti malem nggak mau dateng di restoran senja, maka Papa nggak mau bicara lagi sama kamu."

Papa langsung menyudahi makanannya. Ia pun bangkit dari duduknya dan pergi setelah sebelumnya mengecup kening Mama. Ah, romantisnya. Bahkan di usia mereka yang semakin menua, mereka semakin terlihat romatis. Andai saja aku bisa mendapatkan suami seperti Papa.

"Han, dengerin kata Papa. Hari ini kamu nggak usah masuk kerja aja." Mama memperingatkan ku.

"Terus aku ngapain, Ma?" tanyaku kesal.

"Ya ke salon, spa, beli make up, biar nanti malem kamu tampil cantik. Kalau soal baju, nanti Mama yang bakalan pilihin buat kamu."

"Ya udah, iya, Ma." Aku menurut saja. Rasanya berdebat dengan Mama akan membutuhkan waktu yang lama. Akupun melirik Stevi yang masih menikmati sarapannya.

"Terus Stevi ikut, nggak, Ma?"

Mendengar pertanyaanku Stevie langsung menatap ke arahku.

"Ya ikut, dong." Mama tersenyum menatap Stevi.

"Oh, ya udah, aku ke salon sama dia aja. Dia kan tau dimana salon yang bagus dan alat make up yang cocok buat aku."

"Iya, ya. Stevi, kamu temenin Kak Hanin, ya, Sayang." 

"Iya, Tante." Stevi mengangguk sambil tersenyum.

Aku menghela nafas pelan. Pasti malam ini, anak teman Papa akan memilih Stevi. Sedangkan aku? Aku hanya akan menjadi objek penderita saja di sana. Tapi tidak apalah, aku juga tidak terlalu suka dijodohkan.

Setelah menyelesaikan sarapan, aku dan Stevi pun pergi ke salon langganannya. Di sana terlihat jelas bahwa ia adalah pelanggan tetap. Terlihat semua pegawai menyapanya dengan ramah.

"Mbak Stevi mau diapain?" tanya salah satu pegawai.

"Aku cuma mau creambath aja, Mbak, ini Kakak sepupu ku mau perawatan penuh di sini," jelas Stevi.

"Oh, ayo, Mbak, kita perawatan dulu," ajak pegawai salon tersebut.

Aku pun dibawa ke salah satu ruangan dan menjalani perawatan tubuh.

"Mbak sebenernya cantik banget, malah lebih cantik dari Mbak Stevi, tapi kayaknya Mbak jarang perawatan, ya?"

"Iya, Mbak, saya emang nggak pernah nyalon. Ribet aja gitu hehehe." Aku tertawa cengengesan.

"Mbak sering-sering deh ke sini, biar makin cantik."

Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

"Mbak, bisa rekomendasi nggak make up dan skincare yang cocok buat saya?" tanyaku pelan.

"Bisa banget, Mbak, di sini kami menyediakan skincare dan make up. Mbak, jangan khawatir, nanti saya pilihkan barang yang bagus."

Aku tersenyum. Bukannya aku tidak ingin Stevi yang memilihkannya. Hanya saja, aku tidak terlalu percaya padanya.

Ah, andai saja adikku waktu itu tidak meninggal setelah dilahirkan, pasti saat ini aku tidak akan kesepian. Adikku yang berjenis kelamin perempuan itu juga harusnya seusia dengan Stevi. Namun dia meninggal karena kelainan pada jantung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!