NovelToon NovelToon

Aku Bukan Jembatanmu

Bab 1

Brukk....

"Ini dia orangnya,Tuan. Kami berhasil menangkapnya saat ia mencoba kabur di Bandara tadi."

Seorang pria dengan kondisi kedua mata tertutup oleh kain hitam serta kedua tangan terikat kebelakang tengah mengerang kesakitan setelah tubuhnya dilempar keatas lantai. Sekujur tubuhnya terlihat penuh luka dan lebam setelah dipukuli habis-habisan oleh lima orang berbadan kekar yang membawanya tadi. Mulutnya yang tertutup oleh lakban membuat suaranya tenggelam di tenggorokan. Bahkan pakaian yang dikenakannya pun sudah tak berbentuk.

Pria itu adalah Aaron. Dia dibawa paksa oleh kelima orang yang memukulinya tadi saat hendak pergi ke bandara. Dan kini ia tak tahu dimana dirinya dibawa.

"Bagus! sekarang buka penutup kepalanya. Saya ingin tahu, dia mau mencari alasan apa lagi sekarang!" ucap pria yang dipanggil dengan sebutan tuan oleh kelima orang tadi.

Duduk diatas kursi di hadapan Aaron dengan posisi kaki saling menumpuk satu sama lain. Sesekali terlihat menghisap sebatang rokok yang dipegangnya. Wajahnya terlihat dingin dengan senyum bengis terukir dibibir. Dia adalah Albert, pemilik raksasa bisnis di kota ini.

Seorang pria suruhannya maju ke depan dan membuka penutup kepala Aaron beserta lakban yang menutupi mulutnya dengan kasar.

"Hoah, siapa kalian? Kenapa kalian membawaku kesini?" teriak Aaron begitu mulutnya terbuka. Disisirnya satu persatu orang yang berada di ruangan tersebut. Namun minimnya cahaya disana membuatnya tak bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Apalagi tadi matanya di tutup dalam waktu yang lama.

Albert menurunkan kaki dan mendekatkan wajah ke arah Aaron. Ia menghembuskan asap rokok yang dihisapnya ke wajah Aaron hingga membuatnya terbatuk-batuk sebelum mulai bicara. "Apa kau tak bisa mengenali wajahku lagi? Atau kau memang pura-pura tak mengingatnya?" ucapnya dingin.

Mata Aaron terbelalak lebar begitu melihat dengan jelas wajah dari pemilik suara tersebut. Mengertilah kini dalang dibalik penculikannya tadi. Seketika itu tubuhnya bergetar hebat karena rasa takut. "Tu....tuan Albert" ucapnya terbata.

"Ya, saya Albert. The most and one only. Kau kira bisa lari dariku setelah membawa kabur uangku. Cuih, jangan mimpi!" ucapnya sinis lalu meludah ke samping.

Seketika itu Aaron langsung bersujud di kaki Albert memohon pengampunan atas nyawanya. "Maafkan saya, tuan! Jangan habisi nyawa saya. Tolong beri saya satu kesempatan lagi. Saya janji, akan segera mengembalikan uang tuan."

Albert mensejajarkan diri dengan Aaron. Jari telunjuknya mengangkat dagu Aaron keatas. Senyum sinis tersungging di wajah mendengar permintaannya. "Aku sudah memberimu kesempatan untuk mengembalikan uangku, tapi kau malah mencoba untuk melarikan diri. Dan sekarang, kau ingin aku memberimu satu kesempatan lagi?"

Aaron tertunduk takut, tak berani menatap wajah Albert. "Saya mohon, tuan, satu kali kesempatan lagi. Saya akan melakukan apapun yang tuan perintahkan asal tuan tidak menghabisi nyawa saya."

"Apa saja?" tanya Albert memastikan. Sebelah mata memicing keatas.

"Ya, tuan. Apa saja!" jawabnya memastikan.

"Apa kau yakin?" kembali Albert meminta penegasan.

"Sangat yakin!." Aaron mengangguk penuh pasti. Terserah nanti Albert mau melakukan apa, yang penting sekarang ia tak kehilangan nyawa.

"Baiklah kalau begitu!" ucap Albert. Bangkit berdiri dan mengitari tubuh Aaron. Di bibirnya tersungging senyuman licik. "Aku akan membebaskanmu tapi dengan satu syarat."

"Apa itu, tuan?" tanya Aaron. Wajahnya berseri penuh harapan saat mendengar Albert akan melepaskannya.

"Aku dengar istrimu masih muda dan sangat cantik. Aku ingin kau memberikan istrimu itu padaku, dan aku akan menganggap semua hutangmu lunas."

Jlebb....

Aaron serasa di tikam oleh ribuan pisau tajam. Tak mengira bahwa Albert akan meminta istrinya sebagai jaminan. "I...itu tidak mungkin, tuan. Mana mungkin saya memberikan istri saya sendiri pada anda" ucapnya.

"Bukankah tadi kau sangat yakin akan melakukan apapun yang aku perintahkan?" tanya Albert cepat, mengingatkan Aaron akan ucapannya sendiri tadi. Berbalik lalu menatap tajam Aaron.

"I...iya, tuan, itu memang benar. Tapi bukan ini maksud saya tadi. Saya rela melakukan apa saja yang tuan minta tapi bukan dengan menyerahkan istri saya."

"Jadi kau tak mau menuruti perintahku?" berang Albert marah.

Melihat kemarahan Albert, Aaron semakin gemetar ketakutan. "Saya mohon, tuan, minta lah hal lain. Jangan meminta saya menyerahkan istri saya sendiri. Itu halnyang mustahil saya lakukan karena saya sangat mencintainya."

"Mmh, begitu rupanya. Kalau begitu, bagaimana kalau saya memberimu sebuah penawaran yang sangat menarik?."

Wajah Aaron kembali mendongak. Matanya menatap Albert dengan penuh kebingungan. "Maksud tuan?."

Albert tersenyum tipis. "Saya akan memberikan satu perusahaanku padamu dan juga menganggap semua hutangmu lunas jika kau bersedia menyerahkan istrimu padaku. Kau bebas memilih manapun dari perusahaanku yang kau suka."

Sebuah tawaran yang sangat menggiurkan dan amat sayang untuk di lewatkan. Namun Aaron tetap kukuh menolak tawaran itu karena begitu besarnya rasa cintanya pada sang istri. "Maafkan saya, tuan! tapi saya tidak bisa menyerahkan istri saya pada anda," ucapnya lirih sambil menundukkan kepala.

"Jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan," ucap Albert tersenyum tipis. Duduk kembali di atas kursinya tadi dan menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Kedua tangan terlipat di depan dada dengan kedua kaki saling menumpuk satu sama lain.

"Saya akan memberikanmu waktu untuk memikirkan tawaranku tadi. Dan jika kau berubah pikiran, maka kau tahu harus menghubungiku di mana."

Aaron diam, tak menolak atau mengiyakan tawaran Albert.

Albert beralih menatap orang suruhannya. "Lepaskan semua ikatan di tubuhnya dan berikan dia pakaian baru. Setelah itu biarkan dia bebas."

Seorang mengangguk lalu melepas semua ikatan di tubuh Aaron. Tak lupa ia berikan pula satu stel pakaian baru.

Aaron menggerakkan tubuhnya yang terasa kaku akibat terlalu lama terikat. Kemudian ia bergegas mengganti pakaiannya.

"Sekarang kau boleh pulang. Tapi ingat, jangan coba-coba untuk lari atau bersembunyi. Saya akan selalu mengawasimu dan mencarimu sampai ketemu," ucap Albert kembali dengan sikap dinginnya tadi.

Aaron mengangguk pelan. "Baik, tuan, saya mengerti! Saya janji tidak akan kabur lagi."

"Mmh, bagus! Sekarang pergilah!" mengibaskan tangan menyuruh Aaron pergi.

"Alex, antarkan dia pulang ke rumahnya."

Pria bernama Alex mengangguk. "Baik, tuan!."

Dengan mengendarai sebuah mobil semi jeep, Alex membawa Aaron pulang. Namun ia tak mengantarkannya sampai dirumah seperti perintah Albert tadi dan malah menurunkannya di pinggir jalan. "Heh, turun sekarang! Cari saja jalan pulang sendiri," ucapnya kasar. ditariknya tubuh Aaron dengan kasar hingga ia jatuh terjerembab ke tanah.

Aaron menoleh sekikas, tak membuang-buang kesempatan itu dan langsung bangkit berdiri lalu bergegas lari menjauh dari mobil jeep itu.

Dengan langkah tertatih-tatih akibat luka di sekujur tubuh, Aaron kembali pulang kerumah menemui sang istri tercinta.

Bab 2

Sejak sore hati Nayyara merasa tak tenang. Hatinya diliputi oleh perasaan was-was, seakan terjadi sesuatu yang buruk pada suaminya.

Insting seorang istri memang sangat kuat. Mereka bisa merasakan apa yang terjadi pada suaminya walau ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Berulangkali ia mencoba menghubungi suaminya, namun panggilannya selalu berakhir dengan tak diangkat. Bahkan saat terakhir kali mencoba, ponsel suaminya sudah tak aktif lagi.

"Ya Allah, Mas, kamu lagi ada dimana sih? Kenapa kamu susah sekali untuk dihubungi?" gumamnya dengan wajah penuh keresahan.

Nayyara berjalan mondar-mandir seperti setrikaan menanti kepulangan suaminya. Namun hingga tengah malam, suaminya itu belum juga tiba hingga membuat hati Nayyara semakin resah tak karuan.

"Kenapa kamu belum juga pulang sih, Mas? Memangnya kamu lagi ngapain?."

Lelah berjalan Nayyara memutuskan untuk duduk menunggu di atas kursi di ruang tamu. Hingga kemudian serangan kantuk datang dan tanpa sadar matanya sudah terpejam lantaran lama menunggu.

Belum juga lama Nayyara memejamkan mata, ia sudah dikejutkan oleh suara ketukan pintu. Ia tergeragap, menguap lebar dan mengusap wajah yang masih setengah mengantuk. "Ini udah jam berapa, ya?" tanyanya bermonolog sambil melihat kerah jam di dinding.

Terlihat arah jarum jam menunjuk ke angka lima. Ia pun terkejut sstengah mati. "Astaga, ternyata hari sudah pagi."

Kembali terdengar suara pintu di ketuk. Nayyara pun bangkit dan segera membuka pintu untuk mengetahui siapa yang datang.

Cekrek.....

Kriet.....

Begitu pintu terbuka, tubuh Aaron ambruk seketika menimpa Nayyara karena kakinya tak sanggup lagi untuk berdiri. Sontak Nayyara pun memegangi tubuh suaminya agar tak jatuh ke tanah.

"Astaga, Mas Aaron! Kau kenapa?" tanya Nayyara terkejut. Semakin terkejut lagi saat melihat sekujur tubuh suaminya dipenuhi oleh luka dan lebam.

Aaron tak menjawab pertanyaan istrinya dan hanya berucap lirih meminta tolong. "Tolong bantu aku masuk kedalam, Nay."

"Baik, Mas!" Tanpa banyak tanya, Nayyara membantu memapah tubuh tinggi tegap suaminya dan mendudukkannya di atas kursi di ruang tamu.

"Tunggu disini sebentar, Mas. Biar aku ambil kotak obat dan air bersih untuk bersihkan luka-lukamu."

Tanpa menunggu persetujuan dari suaminya, ia pun berlalu menuju dapur untuk mengambil kotak obat dan baskom berisi air bersih untuk membersihkan luka-luka suaminya lalu menghampirinya kembali.

"Tolong buka pakaianmu, Mas. Biar aku bisa membersihkan tubuhmu," ucapnya sambil berjongkok di depan suaminya.

Aaron segera melepas pakaiannya dan membiarkan istrinya membersihkan luka-lukanya.

Nayyara mencelupkan kain bersih ke dalam baskom yang dibawanya tadi lalu mulai membersihkan luka di tubuh suaminya.

"Argk... " erang Aaron kesakitan saat secara tak sengaja tangan Nayyara menyentuh bagian kulitnya yang terkelupas.

Sontak Nayyara mengangkat tangannya kembali. "Sakit ya? Maaf ya, Mas, aku tak sengaja. Aku akan lebih berhati-hati lagi" raut wajahnya terlihat sangat bersalah hingga membuat Aaron tak tega melihatnya. "Tidak apa. Tadi hanya perih sedikit."

Nayyara kembali membersihkan bagian tubuh suaminya yang lain namun kali ini lebih lembut dan berhati-hati.

Usai membersihkan tubuh, ia membalurkan obat di atas luka dan menutupnya dengan plester. "Udah, Mas. Sudah selesai. Sekarang katakan padaku, kenapa tubuhmu bisa penuh luka begini? Dan kenapa kau baru pulang sekarang."

"Tidak apa. Tidak ada yang perlu di khawatirkan" jawab Aaron datar.

"Gimana aku nggak khawatir? Kau pulang dalam keadaan penuh luka begini" ucap Nayyara dengan nada meninggi. "Kau tahu, semalaman aku tak bisa tidur karena mengkhawatirkanmu."

"Sudahlah, Nay, tidak perlu di besar-besarkan. Yang penting sekarang aku sudah pulang kan."

"Aku tidak bermaksud membesar-besarkan, Mas, hanya saja.....ah sudahlah. Sekarang katakan, kenapa ponselmu tidak bisa aku hubungi?."

"Aku sibuk, dan ponselku mati."

"Kau pasti bohong. Selama ini kau tak pernah mengabaikan panggilanku seperti ini." Nayyara tak percaya dengan alasan yang dikatakan suaminya karena ia tahu betul bagaiamana karakter suaminya itu. Sesibuk apapun, ia tak pernah mengabaikan panggilan darinya.

"Bukankah sudah aku bilang, aku sibuk! Kenapa kau masih tak mau mengerti?" bentak Aaron keras. Tubuhnya langsung bangkit karena luapan emosi.

Nayyara terperangah melihat kemarahan suaminya. Mulutnya menganga lebar, tak menyangka bahwa Aaron akan semarah itu hanya sebuah pertanyaan sederhana. Dan bila diingat kembali, ini adalah kali pertama Aaron membentaknya. "Ka....kau membentakku?" ucapnya terbata.

Aaron tersadar dengan kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia langsung meredam emosinya kembali dan langsung meminta maaf pada istrinya. "Maafkan aku, Nay. Aku tidak bermaksud untuk membentakmu. Hanya saja kepalaku agak pusing karena lagi banyak masalah."

Nayyara menundukkan kepala. "Tidak, Mas. Harusnya aku yang meminta maaf karena memberondongmu dengan banyak pertanyaan. Aku memang bukan seorang istri yang baik. Kau pantas untuk memarahiku," ucapnya lirih, air mata terlihat merebak di kedua kelopak mata.

Melihat air mata di mata istrinya, Aaron semakin merasa bersalah. "Tidak, Nay, akulah yang salah. Kau bertanya karena mengkhawatirkanku, tapi aku malah membentakmu dengan sangat keras. Maaf karena sudah membuatmu khawatir. Dan maafkan aku juga karena sudah membentakmu tadi."

Nayyara menghambur kedalam pelukan suaminya. Air matanya tumpah ruah membasahi dada bidang suaminya. "Tolong jangan bersuara keras padaku lagi, Mas. A....aku tidak bisa...." ucapnya terbata-bata.

Aaron menghela nafas berat. Di dekapnya tubuh ringkih sang istri erat. Lalu ia membelai surai panjang yang menghiasi kepalanya. "Maafkan aku! Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi."

Untuk sesaat Aaron gelap mata dan melampiaskan kemarahan pada sang istri tercinta. Tapi sebenarnya ia bukan seorang lelaki yang kasar. Ia hanya tak tahu harus berbuat apa untuk menyelesaikan semua permasalahan yang membelitnya saat ini, dan kebetulan saat itu Nayyara terus memberondongnya dengan berbagai macam pertanyaan.

Semua ini bermula sejak kejadian beberapa bulan lalu. Saat itu usahanya yang baru saja berkembang harus mengalami banyak kerugian lantaran ada orang yang dengan sengaja mensabotase produk usahanya itu hingga membuatnya terpaksa harus mencari pinjaman untuk menutupi semua kerugian itu.

Saat itulah Albert datang bak dewa penolong dan menawarinya pinjaman dalam jumlah yang cukup besar. Dan tanpa berpikir panjang, ia menerima tawaran itu tanpa tahu apa yang akan terjadi nantinya.

Kini ia bingung harus bagaimana untuk mengembalikan uang Albert lagi. Karena saat ini ia tak memiliki uang sepeserpun untuk di berikan.

Aaron sengaja menyembunyikan semua masalah yang menimpanya dari Nayyara. Ia tak ingin wanita yang dinikahinya setahun yang lalu itu menjadi khawatir.

Aaron menghela nafas berat. Dalam hati ia berkata, "Maafkan aku, Nay, terpaksa harus membohongimu seperti ini. Tapi bagaimana mungkin aku bisa memberitahumu semua masalah yang menimpaku. Apalagi memberitahukan kalau aku harus menyerahkanmu pada tuan Albert sebagai jaminan."

Bab 3

Dok..dok...dok

Suara gedoran pintu yang teramat keras memecah keheningan di pagi buta. Nayyara dan Aaron yang masih tidur terlelap di atas peraduan mereka terjingkat kaget mendengarnya. "Siapa yang menggedor pintu rumah kita keras-keras sepagi ini, Mas?" tanya Nayyara dengan kedua alis saling bertaut.

Aaron menggeleng kecil. "Entahlah! Aku juga nggak tahu, Nay."

Kembali terdengar suara pintu di gedor. Namun kali ini disertai dengan suara teriakan seorang wanita. "Aaron, keluar kamu! Aku tahu kalau kamu ada di dalam."

"Tuh kan, Mas, kedengeran lagi. Kira-kira suara siapa itu ya?" tanya Nayyara kembali. Ia memang ikut mendengar suara teriakan itu, namun ia tak terlalu mendengar apa yang di ucapkannya.

Aaron yang sudah tahu siapa yang mengentuk pintu begitu mendengar suara teriakan tadi masih saja bungkam dan berpura-pura tak tahu. Ia malah menyibak selimut dan bangkit dari ranjang.

Melihat pergerakan suaminya, Nayyara pun bertanya, "Kamu mau kemana, Mas?" sambil menangkap pergelangan tangan suaminya.

"Kamu tunggu dulu disini. Biar aku lihat dulu siapa yang datang."

"Hati-hati, Mas! Aku takut itu orang jahat yang mencelakakan kamu kemarin" ucap Nayyara penuh kekhawatiran.

Meski suaminya tak menceritakan penyebab dari luka di sekujur tubuhnya, namun Nayyara bisa berasumsi jika ia baru saja dipukuli oleh seseorang. Terlihat dari lebam yang terdapat di sekujur tubuhnya.

Aaron mengangguk menenangkan. "Kamu jangan khawatir. Aku akan berhati-hati."

Aaron pun keluar kamar dan segera membukakan pintu. "Ada apa pagi-pagi begini ibu sudah menggedor pintu rumah saya?" tanyanya saat pintu sudah terbuka.

Terlihat seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk berdiri di hadapannya dengan berkacak pinggang. Beberapa gelang terlihat melingkar di kedua tangannya hingga batas siku. Ke sepuluh jarinya pun dihiasi dengan cincin dengan batu besar. Belum lagi kalung bertumpuk yang melingkar di lehernya. Jika diperhatikan dengan seksama, wanita itu tak ubahnya seperti toko perhiasan berjalan.

Berdiri dengan congkaknya. Wajahnya yang tertutup oleh bedak yang cukup tebal membuatnya terlihat sangat lucu. Namun Aaron berusaha keras untuk tidak tertawa karena tak ingin membuat wanita itu tersinggung dan marah. Apalagi ia tahu betul siapa wanita yang berdiri di hadapannya itu.

"Heh, Aaron. Kau pasti tahu betul kan apa tujuanku kesini?" ucapnya judes. Jari tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Aaron sengaja ingin memamerkan perhiasan yang di kenakannya.

Datang bersama dengan dua orang pria berbadan kekar. Aaron tahu betul apa maksud kedatangannya kesini. Ia hanya bisa menghela nafas berat lalu mengangguk pelan. " Tahu, bu, " jawabnya lirih.

"Bagus! Kalau gitu cepat bayar uang sewa rumah ini. Kau sudah menunggak uang sewa selama enam bulan, tahu!" ucapnya sambil menadahkan tangan ke hadapan Aaron.

"Tapi masalahnya sekarang saya nggak ada uang sama sekali, bu."

"Alah alasan! Bulan lalu kau juga bilang begitu kan."

"Tapi saya memang benar-benar nggak ada uang, bu," ucapnya memelas. "Tolong beri saya sedikit waktu untuk membayarnya."

Wajah ibu pemilik rumah sewa terlihat sangat kesal. "Kalau seperti ini terus, saya dong yang rugi."

Melihat kekesalan ibu tersebut, terpaksa Aaron berlutut di hadapannya dan memohon dengan sangat. "Saya mohon, bu, beri saya sedikit waktu lagi. Saya janji, kali ini akan membayar sewanya."

Ibu rumah kos mendengus kesal. "Makanya kalau nggak sanggup bayar jangan sok-sok an sewa rumah besar. Miskin aja pakai belagu" cibirnya kasar.

Aaron menghela nafas berat dan mengabaikan cibiran dari wanita itu. "Kalau bukan wanita, sudah aku tampar mulut berbisamu itu" gerutunya dalam hati.

"Ya sudah kalau begitu. Karena saya baik hati, ramah, tidak sombong dan rajin menabung, saya beri waktu kamu seminggu. Lewat dari itu, silahkan angkat kaki dari rumah ini. Masih banyak orang lain yang akan menyewanya," ucap ibu pemilik rumah dengan gaya yang sangat menyebalkan.

Aaron sangat muak mendengar kata-kata wanita itu yang terkesan memuji-muji dirinya sendiri. Namun ia cukup lega akhirnya wanita itu mau memberinya sedikit waktu. "Terimakasih banyak, bu. Saya janji, kali ini tidak akan mengecewakan ibu" ucap Aaron dengan mata berbinar.

Wajah ibu pemilik rumah melengos. "Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu. Tapi seminggu lagi aku akan datang kesini untuk menagih janjimu. Ingat, kalau kau tak sanggup bayar, siap-siap pergi dari rumah ini." Setelah itu ia pun berlalu meninggalkan Aaron.

Setelah kepergian ibu tadi, Aaron mengusap wajah kasar, memghela nafas berat. "Sekarang aku harus bagaimana? Bagaimana caraku untuk mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu satu minggu."

Sementara itu, Nayyara yang menunggu di kamar menjadi tak tenang karena suaminya belum juga kembali. Ia pun memutuskan untuk menyusulnya ke pintu utama.

Berjalan pelan keluar kamar, Nayyara sayup-sayup mendengar pembicaraan antara suaminya dengan wanita tersebut. Namun ia tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Ia pun semakin melangkah mendekat. Namun tiba-tiba ia mendengar wanita yang tengah bersama dengan suaminya berbicara tentang rumah sewa. Ia pun mengernyitkan dahi bingung. "Kenapa wanita itu bicara tentang uang sewa? Memangnya uang sewa apa yang harus Mas Aaron bayar?."

Ia pun mempercepat langkah. Namun begitu sampai di depan, wanita itu sudah berlalu pergi. "Orang tadi siapa, Mas?" tanya Nayyara sambil celingak-celinguk mencari keberadaan wanita tadi.

Aaron yang masih terduduk di atas lantai terkejut begitu melihat istrinya sudah berdiri di belakangnya. Sontak ia pun bangkit agar tak membuat istrinya curiga. "Mmh...bukan siapa-siapa. Hanya sales yang menawarkan dagangannya," jawabnya berbohong.

Aaron sengaja tak mengatakan siapa sebenarnya wanita tadi karena sang istri tak tahu bahwa rumah yang mereka tempati saat ini hanya berstatus rumah sewa. Dan ia tak ingin istrinya tahu akan hal itu. Harga dirinya yang terlalu tinggi membuatnya tak ingin terlihat lemah di mata sang istri.

Nayyara menautkan kedua alis mata, tak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh suaminya. Mana ada sales yang menawarkan barang dagangannya di pagi buta seperti ini, apalagi dengan cara tak sopan seperti tadi.

"Jangan coba-coba bohongin aku, Mas! Tadi aku mendengar wanita itu bicara tentang uang sewa. Memang siapa yang harus membayar uang sewa?."

Aaron gelagapan mendengar pertanyaan istrinya, tak menyangka bahwa ia mendengar pembicaraannya tadi. Ia memutar otak cepat untuk mencari alasan.

"Mmh...itu...tadi wanita itu memaksa agar aku mau membeli barang dagangnya karena harus segera membayar uang sewa rumah."

Hanya itu satu-satunya alasan yang terlintas di otaknya. Ia hanya bisa berharap agar istrinya tak curiga.

Nayyara manggut-manggut mendengar jawaban suaminya. "Oh, jadi gitu. Tapi nawarin barang kok nggak sopan banget sih. Pakai getar-gedor pintu segala lagi."

Aaron bernafas lega melihat istrinya mempercayai ucapannya. "Sudahlah! Tidak usah terlalu dipikirkan. Beda orang kan beda cara," ucapnya sambil mengalungkan lengannya di bahu sang istri.

Nayyara terlihat manggut-manggut, tapi detik berikutnya ia menatap tajam suaminya. "Lalu kenapa tadi Kamu duduk di lantai, Mas?."

Aaron yang terus di brondong dengan berbagai pertanyaan oleh istrinya jadi sedikit kesal. "Ayolah, Nay. Jangan memberondongku dengan berbagai pertanyaan seperti itu. Aku bukan terdakwa kasus kriminal yang harus diinterogasi seperti ini."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!