NovelToon NovelToon

Author And The Baby

Berat

"Alena ...."

"Kau tidak pernah mencoba mengerti aku. Tidak pernah! Kau hanya sibuk dengan urusanmu sendiri."

"Alena, ini waktunya aku berangkat ke kantor, Alena. Aku harus bersiap-siap. Bukan mendengarkan omonganmu yang belum berhenti sejak semalam itu."

"Jadi kamu pikir, masalah kita mengada-ada, begitu? Kita tak pernah sepakat pada banyak hal dan kau selalu menghindar. Kau pura-pura tidur 'kan tadi malam?"

Terdengar suara bayi menangis. Abigail menghela napas pelan. Dari semalam ia tidak bisa tidur karena istrinya mengajak ribut terus. Padahal pekerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya dan ia pulang dalam keadaan lelah. Bukannya disambut dengan keramahan, istrinya malah mengajaknya bertengkar. Belum lagi bayi mereka yang tak kunjung berhenti menangis.

Dari awal mereka menikah, mereka sudah sering ribut. Dari masalah kecil hingga masalah besar dan Alena bukan tipe yang mudah mengalah. Padahal Abigail sudah berusaha bersabar dan menyabarkan istrinya, tapi wanita itu selalu membuatnya serba salah. Apapun yang dibuat Abigail untuk istrinya, semua salah.

Kadang ia merasa, menerima pernikahan ini atas dasar perjodohan saja sudah salah. Mereka baru berkenalan dan tidak saling cinta membuat biduk rumah tangga yang coba Abigail bangun terasa sangat timpang. Ia yang berusaha bersabar, tidak ditanggapi serius oleh Alena karena istrinya itu menuntut pengertian dan pengorbanan Abigail.

Tuntutan ini terasa sangat berlebihan dimana secara tidak langsung ego prianya juga ikut bicara. Mereka menikah bukan atas nama cinta, kenapa juga ia harus berkorban dan kemudian merasa sendirian?

"Alena, anak kita menangis," ujar Abigail pelan.

Alena mengambil bayi mereka. Di saat itulah, Abigail keluar kamar. Sesak rasanya bersama istrinya yang selalu minta dimengerti sementara dirinya pun butuh dimengerti.

Entah kenapa, sejak melahirkan beberapa minggu lalu, Alena semakin tidak terkendali. Rasanya, kemarahannya semakin tanpa ujung. Abigail bahkan kurang tidur selama beberapa hari, bukan saja karena istrinya yang selalu mengajaknya ribut tiap hari, tapi bayinya yang selalu bangun tengah malam untuk menyusui.

Ingin rasanya ia pindah kamar, tapi ia tak tega melihat Alena sendirian mengurus bayinya, sampai kadang saat istrinya sudah kelelahan, ia bangun saat bayi mereka menangis dan memberi botol susu hangat yang sudah disiapkan istrinya di dalam kamar. Ia bukan tidak pernah membantunya tapi membantu secara diam-diam.

"Abi ... aku belum selesai bicara." Wanita itu mengejarnya.

"Urus saja anak kita, Lena. Aku harus ke kantor karena ada rapat pagi ini." Abigail menyambar sepotong roti panggang yang ada di meja makan dan bergegas melangkah keluar rumah.

--------+++--------

Pria Indo itu melangkah keluar dengan membuka pintu gedung. Ah, udara sedikit hangat.

"Mau sekedar bersantai di sini, Pak." Seorang pria menawarinya sebuah brosur. Ia ternyata sedang menyebarkan brosur di depan gedung kantor Abigail, dilihat dari tumpukan kertas yang berada ditangannya.

Abigail mengambil selembar kertas yang disodorkan.

"Kami sedang promo. Kafe kami baru buka. Berhadiah sepotong cake untuk setiap pembelian secangkir kopi."

Mmh, terdengar menggiurkan. "Di mana ini?"

"Oh, di sebelah gedung perkantoran ini, Pak. Di dalam apartemen."

"Ok, aku coba ya?"

"Terima kasih, Pak." Pria itu sampai menundukkan kepala pada pria Indo Inggris yang rupawan itu.

Letaknya ternyata gampang ditemukan karena berada di lantai satu dekat pintu masuk apartemen. Pria itu segera saja masuk dan mencari tempat duduk.

Saat itu sudah ada seorang wanita yang bertubuh sintal dengan penampilan sedikit aneh, duduk menatap laptop yang berada di atas meja. Abigail memesan minuman dan memilih duduk di salah satu sudut ruangan dan memperhatikan sekitar, tapi kembali lagi, tidak ada yang lebih menarik dilihat daripada wanita di depannya.

Ya, wanita itu sangat aneh karena memakai jilbab lalu memakai topi dengan warna senada. Bahkan seluruh pakaian berwarna senada. Hitam. Ia juga memakai jaket berwarna hitam juga.

Bagian menarik berikutnya adalah saat wanita itu mulai bosan menatap laptopnya. Ia bahkan meletakkan sedotan di bawah hidung dan menjepit dengan bibir dengan cara mengerucutkan mulutnya. Ini membuat pria itu hampir tertawa. Wajah wanita itu lucu sekali. Ia merebahkan kepalanya di atas lipatan tangan dengan malas.

Tingkah wanita itu membuat Abigail senyum-senyum sendiri, tapi ia tak bosan. ia terus mengikuti tingkah lucu wanita ini hingga suatu kali wanita itu tanpa sengaja menekan sesuatu di laptopnya dan wanita itu panik.

Abigail yang baru saja mencoba sebagian potongan cake-nya, kini fokus menatap wanita itu. Ia kemudian meminum kopinya.

Wanita itu ternyata kehilangan semua yang ditulisnya dan ia tidak tahu bagaimana mengembalikannya.

"Mau kubantu?"

Wanita itu mengangkat kepalanya. Seorang pria bule yang tampan dan rupawan berdiri di sampingnya.

"Eh, tadi aku salah tekan jadi ke delete semua. Gimana ini?" ucap wanita itu panik.

"Oh." Pria itu membungkuk dan menekan sesuatu. "Ini."

Wanita itu lega ketika tulisannya kembali. "Alhamdulillah."

"Ini kan gampang, tinggal di undo."

"Oh iya, kenapa sampai lupa ya?"

Pria itu tertawa. "Makanya jangan panik." Kemudian ia berlalu pergi.

"Oh, terima kasih ya?"

"Ya." Abigail mengangkat tangannya tanpa berbalik. Pikirannya kini sudah kembali segar. Entah kenapa bertemu wanita itu membuat dirinya lebih bersemangat memulai hari. Padahal hanya menyaksikan tingkah wanita itu yang apa adanya bahkan cenderung ceroboh.

Namun sejak itu Abigail ternyata ketagihan. Ia tahu, di waktu-waktu kapan wanita itu ada di situ dan dia selalu hadir untuk bisa melihat tingkah konyol wanita itu. Hanya untuk melihat itu ia meluangkan waktunya tiap hari datang ke kafe itu, hingga pada suatu hari, wanita itu absen datang ke kafe itu. Ke manakah ia gerangan pergi?

---------+++--------

Alena bergegas membawa keranjang itu keluar gerbang rumah mewah itu. Sebuah taksi menunggunya di depan gerbang.

"Nyonya, Anda mau ke mana?" Seorang pembantu mengejarnya dari belakang.

"Mencari ketenangan!" Wanita itu masuk dengan membawa keranjang besar itu ke dalam taksi.

"Nyonya, nanti Tuan tanya bagaimana?"

Namun pintu taksi telah tertutup dan taksi itu pergi.

"Nyonya!!!"

----------+++--------

Ke manakah wanita yang dicari Abigail itu?

Namanya Marina dan dia tengah pergi keluar kota demi mencari inspirasi untuk tulisannya. Ya, wanita itu sedang mencoba menulis novel. Baru kali ini ia mencoba menulis dan ia butuh ide untuk tulisannya karena itu ia memutuskan keluar kota naik bus. Ia kembali mendatangi sebuah kafe dan mencoba menulis di sana.

Sudah setengah jam ia berada di sana dan tetap tak bisa meneruskan cerita. Huh, andai saja ada bayi yang bisa dipinjam untuk bisa mengerti cara mengasuh anak ini ....

Ia tak sadar, gerak geriknya diperhatikan oleh seseorang. Orang itu kemudian mendatanginya dengan sebuah keranjang besar dan diletakkan di samping kursi sofa panjang yang sedang di duduki Marina. "Eh, Mbak. Titip anak saya ya?"

Tanpa menoleh Marina menjawab. "Oh, ya. Taruh saja di sana." Ia menoleh sekilas pada wanita cantik itu yang meninggalkannya. Ia menoleh ke samping dan melihat bayi mungil di dalam keranjang. "Oh, lucunya." Namun kemudian ia kembali fokus dengan tulisannya.

Alena menaiki bus secara acak. Ia menangis diam-diam saat duduk. Ia tak bisa berpikir jernih, semuanya berputar-putar di kepala tanpa solusi. Lalu, ia harus ke mana? Ketika bus berhenti di samping sebuah gedung yang amat tinggi, tiba-tiba terlintas sesuatu di kepalanya.

___________________________________________

Halo reader. Ini novel author yang ke 10. Budaya tekan subscribe agar kalian dapat update-an novel ini dan jangan lupa kirim like, komen, vote atau hadiah ke novel ini agar author tambah semangat menulisnya. Ini visual Marina Cakra. Wanita bertubuh sintal yang menarik perhatian Abigail. Salam, ingflora💋

Penemuan

Abigail dibuat pusing oleh laporan pembantu rumahnya bahwa istrinya sudah 2 jam pergi dan belum kembali ke rumah. Sang istri pergi membawa buah hati mereka dan belum ada kabar apa-apa setelahnya. Ia mencoba menelepon tapi HP-nya dimatikan. Pergi ke mana dia?

Pria itu telah menelepon mertuanya dan Alena tidak pergi ke sana. Lalu, ia harus cari di mana? Apakah Alena punya pria lain selain dirinya? Ah ....

Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. Setelah makan siang, pria itu tak lagi bisa fokus dengan pekerjaannya sejak di telepon pembantu rumah tangganya itu.

Sebuah dering telepon mengagetkan pria itu secara tiba-tiba. Jantungnya berdetak cepat ketika ia menyadari orang yang meneleponnya berasal dari nomor yang tidak dikenal. Ya Allah, ya rabb, ia merasa punya firasat buruk. Ia mengangkat telepon itu.

Saat sebuah kepastian dipertanyakan, ia menjawab, "iya." Lalu meluncurlah sebuah informasi yang sangat mengejutkan hingga sampai-sampai ia tak sanggup mendengarnya.

HP itu begitu saja meluncur jatuh dari tangannya saat ia merasa tak tahu harus berbuat apa. Mimpikah ini? Ia mencubit tangan dan sakit terasa nyata. Juga sakit didada ini karena serasa hidupnya belum juga berhenti dari masalah.

-----------+++---------

Marina bingung. Sudah sedari tadi ia duduk di sana tapi ibu si bayi belum juga muncul. Bayi itu sempat terbangun dan menangis tapi ia bisa membuat bayi itu kembali tidur dalam pelukan karena kebetulan ada susu botol yang hampir dingin yang melancarkan bayi itu tidur kembali, tapi untuk berapa lama? Untung saja bayi itu tidak rewel dalam gendongannya. Ia kemudian meletakkan bayi itu dalam keranjang.

Dengan pihak kafe Marina sudah coba berbicara. Mereka bisa saja membantu melapor pada polisi tapi tetap tidak bisa dititipi bayi itu karena bukan tanggung jawabnya. Hari mulai menjelang malam dan Marina bingung harus berbuat apa. Bila ia melapor ke polisi, ia harus tinggal di sana sedang ia tidak punya banyak uang untuk menginap. Terpaksa ia membawa bayi itu pulang ke Jakarta bersamanya.

Padahal ia sempat melihat CCTV yang diperlihatkan orang kafe tentang ciri-ciri wanita itu tapi ia punya kesulitan sendiri untuk mencari wanita itu karena ia sendiri dalam pelarian. Ia memeluk keranjang itu dalam bus dan berharap masalahnya cepat selesai.

------------+++----------

Abigail keluar dari kamar mayat dengan dengkul lemas. Hampir saja ia jatuh terduduk bila ia tidak berpegangan pada dinding di sampingnya. Matanya yang tengah berkaca-kaca langsung menjatuhkan air mata pertamanya saat ia mendengar ibu mertuanya menangis menyayat hati.

Ke mana dirinya saat istrinya membutuhkannya? Namun sungguh ia tak mengira, wanita yang begitu garang dan berapi-api saat bertengkar dengannya ternyata wanita yang sangat rapuh.

Saking rapuhnya, wanita itu melempar dirinya dari atap gedung lantai 10. Apa yang dipikirkan Alena saat itu? Kenapa pikirannya begitu singkat hingga ingin mengakhiri hidupnya secepat itu?

Abigail merasa dirinya gagal. Gagal menjadi manusia dan gagal menjadi suami untuk istrinya yang tengah depresi hingga wanita itu harus menghadapinya sendirian. Kenapa ia tidak melihat tanda-tanda ini sebelumnya, kenapa ia tidak bisa sensitif dengan keinginan istrinya?

Oya, dia sibuk. Sibuk dengan pekerjaannya hingga perasaan istri sendiri ia abaikan.

Ia juga menderita tapi kenapa semua kesalahan seakan menunjuk ke arahnya. Ini tidak adil, ini tidak adil!

"Pak, sabar ya, Pak. Untuk anak Bapak, masih kita cari keberadaannya." Seorang pria berpakaian polisi menepuk bahunya.

"Apa?" Abigail mengusap kasar wajahnya dengan segera dan menyeka dengan tangan, kedua air matanya. Kenapa aku sampai lupa dengan juniorku? Di mana bayi itu? Di mana bayiku? Pria itu berusaha berdiri tegak. "Bagaimana jadinya, Pak?"

"Di tempat TKP telah ditelusuri tapi tak ada tanda ditemukan bayi itu di manapun. Jadi untuk hal ini masih menjadi teka-teki bagi kami untuk menemukannya. Sejauh ini yang saya dengar, banyak saksi yang mengatakan bahwa wanita itu datang sendirian. Dia juga tidak membawa apapun jadi besar kemungkinan istri Bapak telah menitipkan bayi itu pada seseorang, tapi itu hanya harapan saja, karena mungkin saja ia meninggalkannya di suatu tempat."

"Di suatu tempat? Maksudmu, istriku membuang anak kami, begitu?!!" Abigail tersulut emosi.

Seorang polisi lain datang menenangkan pria bule itu. "Aku yakin istri Bapak tidak begitu, percayalah." Polisi itu menahan lengan pria itu agar tidak terjadi perkelahian. Polisi itu juga melirik teman polisinya dengan memberi kode agar jangan bicara sembarangan.

Abigail menyandarkan punggungnya pada dinding di sampingnya. Pikirannya kacau. Ia tak tahu apa dulu yang harus diurusnya kini, mengurus pemakaman istrinya atau mencari anaknya?

"Bapak urus saja pemakaman istri Bapak dulu, biar pencarian anak Bapak kami bantu."

Pria bule itu melirik pada polisi itu.

"Pemakamannya kami bantu juga, Pak. Jangan khawatir."

"Terima kasih."

---------+++--------

Marina menekan bel. Tak lama, terdengar suara sendal yang bergerak ke pintu. Seseorang membuka pintu. "Marina?" Seorang wanita berjilbab instan menyambutnya.

"Mbak Sila, tolong bantu aku ya?" ucap Marina memelas.

"Bantu apa?"

"Bantu ini, Mbak." Marina memperlihatkan isi keranjang besar yang dibawanya.

"Bayi?" Wanita itu menatap bayi yang sedang tidur dengan pulasnya di dalam keranjang yang di bawa Marina. Sila tahu, pasti ada cerita dibalik ini sehingga mengajak Marina masuk ke dalam apartemennya.

Sila mendengarkan semua cerita wanita itu tentang bagaimana ia mendapatkan bayi tanpa diduga ini. Ia mendengarkan seraya menggendong bayi itu, tapi ia mencium sesuatu bau yang tak mengenakkan dari tubuh bayi itu. "Mmh, pampers-nya mesti diganti ini."

Wanita itu mencoba menyibak kain penutup keranjang dan terlihatlah barang-barang keperluan bayi itu di bawahnya. Pampers, tisu basah, sekaleng susu, bedak, sisir dan beberapa pakaian bayi.

"Oh, ini lumayan lengkap. Ibu bayi sudah mempersiapkannya. Ayo, kita bersihkan dulu bayinya." Sila meletakkan bayi itu di atas sebuah meja dan mengganti pampers bayi itu di sana dan Marina memperhatikannya. Sesekali Sila memberi tahu apa-apa yang harus dilakukan bila punya bayi yang masih kecil seperti itu.

Sila sudah terampil, tentu saja, karena dia punya anak kecil juga dan sekarang bersama suaminya di kamar sedang menemani untuk tidur karena Marina datang ke apartemen mereka sudah malam.

Suami Sila pun keluar dari kamarnya dan mendapati istrinya sedang mengobrol dengan Marina, tetangga apartemen mereka. "Oh, ada Marina. Tumben malam?"

"Ini lho, Pa. Marina, dititipi bayi sama seseorang."

"Seseorang siapa?"

Sila kemudian bercerita pada suaminya.

"Mmh, begitu. Sudah lapor polisi?"

Di saat bersamaan, pintu apartemen terbuka, seorang pemuda masuk dan terkejut melihat semua orang ada di sana. Termasuk Marina. "Marina?"

"Anka, kenapa baru pulang? Tugas lagi di kampus?" tanya Sila.

"Enggak, di rumah teman kerjain tugasnya." Pemuda itu tersenyum melihat kedatangan Marina.

___________________________________________

Halo reader. Masih semangat baca 'kan? Ikuti terus cerita ini ya? Jangan lupa vote, like dan komen, juga hadiah penyemangat author. Ini visual Abigail Morgan, pria kaya yang frustasi kehilangan anak dan istrinya. Salam, ingflora💋

Farhan

"Apa ini, bayi? Bayi siapa?" Anka terkejut saat mendatangi mereka. "Saudaramu Kak Marina?"

"Sebenarnya dia dititipi orang tak di kenal," terang Sila.

"orang tak dikenal, siapa maksudnya?"

Akhirnya Sila mengulangi ceritanya pada adiknya.

"Wuah, harus lapor polisi dong!"

"Maunya begitu, tapi tempat kejadian jauh dari sini, dan tidak ada yang mau dititipi bayi ini karena kalau mau berurusan dengan polisi aku harus menginap di sana, dan belum pasti juga berapa lama harus menunggu," terang Marina bingung.

"Harusnya sih, polisi tidak akan mempersulit. Mungkin saja polisi bisa bantu dititipi bayi itu."

"Gitu ya?" Marina menyesali tindakannya.

"Biasanya begitu. Polisi pasti punya lembaga sosial yang bisa dijadikan tempat untuk menitipkan bayi itu," sela Surya, suami Sila.

"Tapi kalau sudah kejadian begini bagaimana?"

Surya menyentuh dagunya. "Mmh, kalau ibunya menitipkannya padamu, besar kemungkinan ibu bayi ini sudah tidak menginginkan bayi itu kembali."

"Tapi aku 'kan tidak tahu cara mengurus bayi dan tidak tahu pula cara membesarkannya."

"Mmh. Untuk sementara kau urus saja dulu bayi ini, Marina. Kami akan membantumu. Kita akan mencari solusinya bersama-sama," ujar Sila berusaha menenangkannya.

Bayi itu kemudian menangis.

"Mungkin dia lapar. Kita buat dulu susu ya?" Sila yang masih menggendong bayi mengajak Marina ke dapur. Ia mengajari Marina untuk mencuci botol susu bayi terlebih dahulu dengan air hangat karena botol itu bekas pakai.

Anka yang mengikuti, membantu Marina mencuci botol susu dengan air mendidih dan mengikuti instruksi kakaknya mengisi botol itu dengan susu bubuk dan air hangat. Marina menyaksikannya dengan teliti. Setelah air susu dikocok dan hangatnya sesuai, barulah botol susu itu diberikan pada bayi itu. Saat itu juga tangisnya hilang. Sila coba memberikannya lagi pada wanita itu agar terbiasa menggendong dan menyusukan bayi itu. "Bisa 'kan?"

"Mudah-mudahan."

Anka mengusap kepala bayi itu, dan sesekali melirik Marina. Wanita yang sedikit gemuk ini memang punya wajah yang menarik dan Anka sangat menyukai wajah wanita itu. Ia tidak sadar kakaknya tengah memperhatikannya.

Sila berdehem. "Letakkan dulu tasmu, 'kan sudah sampai rumah."

"Oh, iya kak." Anka berlari keluar dapur sambil melepas tas ranselnya.

Marina tertawa tanpa suara berdua dengan Sila karena melihat tingkah Anka yang lucu.

"Sepertinya kamu beruntung, Marina mendapatkan bayi yang tidak rewel."

"Mmh." Marina berpikir sejenak. "Aku sebenarnya juga menitipkan nomor teleponku pada pegawai kafe di sana, berharap, ya ... mungkin ibu bayi itu berubah pikiran atau ia tengah bermasalah di jalan, misalnya kecelakaan. Astaghfirullah alazim, mudah-mudahan enggak sih, Mbak cuma kalau melihat bayi ini kasihan saja, kalau ternyata benar ibunya membuangnya." Marina mengeluarkan isi hatinya.

"Ya, mudah-mudahan tidak." Sila melirik tetangganya itu. "Tapi ibunya berani juga membawa bayinya yang masih sangat kecil ini ke mana-mana. Aku rasa ini umurnya baru sekitar sebulanan ini karena masih sangat kecil dan matanya belum sepenuhnya terbuka."

Marina memperhatikan bayi itu yang matanya terbuka setiap mereka bicara padahal mereka mulai bicara dengan nada rendah, tapi bayi itu sama sekali tak terganggu. Ia terus menyusu.

"Ngomong-ngomong, kau mau kasih nama anak ini siapa, 'kan dia tinggal sementara denganmu," tanya Sila penasaran.

"Oh, iya. Apa ya? Mmh ... Farhan?"

Bayi itu membuka matanya dan berhenti menyusu.

"Oh, kamu suka nama itu ya, Sayang. Ok, namamu Farhan," bisik Marina pada bayi kecil itu seraya mengusap kepalanya.

Bayi itu kembali menutup matanya dan menyusu.

Marina dan Sila saling pandang dan tersenyum.

-----------+++---------

Siang itu setelah acara penguburan jenazah istrinya, Abigail kembali ke rumah dengan perasaan hampa. Karena ia tak sanggup menggelar acara pengajian istrinya sendirian, mertuanya mengambil alih acara itu dan diadakan di rumah mereka. Pria itu bahkan tak sanggup pergi kerja.

Setelah lama mengurung diri di kamar akhirnya ia keluar juga. Pria itu matanya sudah sembab karena terus menerus menangis dan menyalahkan diri sendiri hingga tak sempat menolong istrinya.

Orang tua Abigail tak lama datang ke rumah itu. Mereka yang dari luar negri terpaksa menghentikan perjalanan bisnisnya demi menengok anak satu-satunya yang secara tiba-tiba kehilangan istrinya akibat bunuh diri.

"Abigail." Seorang wanita bule paruh baya melepas koper yang ditariknya dan segera memeluk anak laki-lakinya.

"Mama." Pria itu menyambut dekapan hangat wanita itu.

Seorang pria paruh baya juga menyusul mendatangi dan melihat ibu dan anak itu saling berpelukan. Sambil menitikkan air mata, ia juga merasa bersalah.

Ia sudah melihat bibit-bibit ketidakcocokan mereka di pernikahan awal dan malah meminta Abigail untuk bersabar, hingga kehancuran pernikahan anaknya kini menyadarkannya. Namun sudah terlambat. Waktu tidak lagi bisa diputar ulang untuk memperbaiki kesalahan, tinggal kini penyesalan yang mungkin akan menghantui seumur hidupnya.

Mereka kemudian duduk bersama di kursi sofa dan tafakur memikirkan langkah apa yang akan dilakukan kemudian.

"Pa." Abigail mengangkat wajahnya menatap wajah ayahnya yang orang Indonesia itu dengan raut penuh kesedihan. "Aku tak sanggup tinggal di rumah ini lagi. Aku ingin pindah saja, ke ... Apartemen mungkin yang dekat dengan kantor, karena aku ingin menyibukkan diri dengan pekerjaan."

"Lakukan saja apa yang kau mau, Sayang. Mama mendukungmu." Mama menyemangati.

Abigail menatap ibunya dengan lemah. "Maafkan aku, Ma, Pa. Aku tidak bisa melaksanakan cita-cita kalian dengan baik karena ini diluar kemampuanku."

"Sudah, Abigail jangan menyalahkan dirimu terus. Aku tahu kamu sudah berusaha. Kau anak yang patuh pada orang tua, mana mungkin kami menyalahkanmu."

Abigail menunduk. "Maafkan aku, Ma, Pa karena aku tidak mampu melakukan tugasku sebagai anak pada kalian."

Papa langsung menepuk-nepuk bahu anaknya itu untuk menenangkannya. "Sudah. Aku bebaskan kamu memilih jalan hidupmu sendiri sekarang. Kau boleh pindah dari rumah ini dan jangan bebani lagi pikiranmu. Biar Papa dan Mama yang akan mengurus rumah ini, jadi pergilah!"

Abigail menatap kedua orang tuanya dan mencoba tersenyum.

---------+++---------

Hari itu juga Abigail mencari apartemen dan pikirannya langsung tertuju pada apartemen yang berada di sebelah gedung perusahaannya. Untung saja masih ada unit kosong untuk dibeli karena apartemen itu juga baru satu tahun berdiri.

Abigail segera pindah dengan membawa barang-barang dari rumah lamanya agar ia cepat pindah. Di sore hari semua akhirnya tertata sesuai keinginan.

Ia ingin keluar makan. Sebelum keluar ia membekali diri dengan kaca mata hitam agar tak ada yang memperhatikan matanya yang bengkak karena terlalu banyak menangis.

Saat melangkah di koridor dan berbelok, ia terkejut melihat seorang wanita yang sedang membuka pintu kamarnya. Wanita itu ternyata wanita yang ia sering lihat di kafe di lantai bawah. "Oh ... kau tinggal di sini?"

Marina yang tak mengenali pria itu karena mengenakan kacamata hitam, mengerut kening.

"Ini aku!" Abigail mengangkat sedikit kacamatanya.

"Oh." Namun Marina melihat mata pria itu yang sedikit bengkak. "kenapa dengan matamu?"

Abigail buru-buru memakai lagi kacamatanya. "Eh, maaf. Masalah pribadi. Eh, tapi kenapa sekitar matamu menghitam?" Ia balik bertanya melihat sekeliling mata wanita itu yang menghitam.

"Biasa, kurang tidur."

"Oh ya, berarti kita tetangga. Kenalkan, namaku Abigail." Pria itu mengulur tangannya dan di sambut oleh wanita itu.

"Marina."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!